Aguk Irawan MN *
Jurnal Kalimah, LESBUMI NU, I/Nov/2007
Di setiap erotisme selalu ada penyimpangan!
– Adonis
Hampir dua tahun yang lalu Marshall Clark (2005), peneliti sastra Indonesia
di School of Asian Languages and Studies, University of Tasmania, dalam
Konferensi Jurnal Antropologi di Universitas Indonesia menyebut puisi-puisi
Binhad dalam Kuda Ranjang sebagai ‘puisi metropolitan’. Alasan Marshall ini
tidak saja didasarkan pada puisi Binhad yang memukul pembaca dengan visi
seksualnya yang sangat menentang, sangat lugas, dan juga sangat banal. Tetapi
juga didasarkan pada kehidupan sang penyair, yang keluar masuk kafé-kafé elit
kota Jakarta dan sangat akrab dengan alat-alat kehidupan metropolitan seperti
HP, SMS, surat-e, dan entah apa lagi.
Dan kita sebagai pembaca, memang menemukan alasan Marshall itu dalam
antologi puisi Binhad, Kuda Ranjang (2004) dan ia baru saja melepas antologi
puisi terbarunya, Bau Betina (2007). Setali tiga uang dengan yang pertama,
lewat Bau Betina ia masih latah bergunjing perihal ‘dunia basah’, ‘dunia
tengah’. Dalam dua buku ini kita bisa menikmati imaji baik-buruknya adegan seks
lengkap dengan gaya puitis erotis yang sangat mencengangkan.Tema utama puisi
Binhad adalah politik seksual antara laki-laki dan perempuan dan yang sangat
menonjol adalah unsur seks atau lebih tepat lagi berbau seks. Tapi kenapa
Marshall hanya melulu mengaitkan seks dengan kehidupan metropolitan? Padahal
bukankah seks adalah gejalah alamiah dalam hidup ini? Dan ia adalah tema yang
purba dan selalu mengiringi sejarah hidup anak manusia. Karena sifat dasar
kealamiahan inilah, seks bisa juga dipandang bukan semata-mata hubungan
badaniah, yang kotor, berlumur berahi, melainkan ‘aktivitas batin’ yang penuh
kearifan dan simbol-simbol filosofis-spritual. Namun, bilamana ‘kearifan’ itu
sudah diobral dan diumbar di dalam karya, tempat-tempat pelacuran, panti-panti
pijat terselubung, kafe, atau diskotik, maka seketika itu bukankah seks berubah
menjadi tak lumrah, tak alamiah, tak lazim dan tercela. Karena itu, maka seks
harus dipingit, disembunyikan dalam ruang-ruang yang paling pribadi.
***
Sejak Islam turun di bumi (jazirah) Arab, dan al-Qur’an diturunkan sebagai
“penyaing” sastra Jahili. Sikap para penyair jahili terbagi menjadi dua
kelompok: pertama, mereka mempertahankan nilai-nilai yang dominan, nilai lama
yang diakui oleh islam, dan nilai baru yang dibawa (terkandung) Islam. Kedua,
mereka memberontak dan menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Di dalam literatur
kesusastraan Arab dijelaskan, sebagaimana yang direkam oleh Syauqi Dlaif dalam
pengantar bukunya “Tarikh al-Adab al-Arabi” (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), atau
pengantar tulisan Toha Husain “Fi Syi’ir al-Jahili” (Kairo, Haiatul Masry,
1967) Nabi dan para Khalifanya terus mendorong para penyair Jahili itu terus
menulis puisi (hal ini dilakukan setelah mengetahui Penyair Labid bin Rabiah
melakukan aksi mogok nulis), asal mereka masih berpegang pada pendirian yang
pertama, tetapi Nabi dan Khalifahnya tidak segan-segan untuk ‘menegur’ bahkan
menghukum para penyair yang berada dalam kecenderungan kedua. Dan di barisan
yang kedua ini, muncullah tokoh penyair besar, yang bernama Imri’ al-Qois.
Tidak diragukan lagi kepiawaian Al-Qois sebagai penyair Jahiliyah,
al-Ashama’i mengatakan, bahwa ia adalah pionir bagi para penyair (Lihat,
Al-Ashma’i, Kitab al-Fuhul asy-Syuara, hal 9 dan 18, 19: Beirut, Dar al-Kitab
al-Jadid 1971), bahkan Umar bin Khatab mengatakan, bahwa ia adalah penyair
garda depan, ia pencipta mata air puisi untuk para penyair (Lihat, Ibnu
Qutaibah, asy-Syi’ir wa asy-Syu’ara hal, 68-69: Beirut, Dar ats-Tsaqafah 1969).
Meskipun kebesaran namanya tak diragukan dalam kepenyairan, di akhir kehidupan
al-Qois sungguh sangat mengenaskan, ia menjadi gelandangan yang terlunta, dan
meninggal sebagai orang yang terusir. Ibnu Qutaibah mengatakan sebab terusirnya
al-Qois dari rumahnya dikarenakan ia melakukan pencabulan dalam puisi, atau
dalam bahasa Mariana Amiruddin, karena ia menulis sastra wangi, lembab, dan
melulu hanya seputar selangkangan. Qutaibah meriwayatkan bahwa al-Qois diusir
oleh orang tuanya pertama kali sejak menulis puisi ayyuhat ath-thalali al-bali
(wahai puing-puing usang). Pengusiran ini menunjukkan di zaman jahiliyah pun
moral atau etika merupakan hal yang penting dari sebuah karya sastra (dalam hal
ini puisi), sebab berbicara sastra tak bisa lepas dari makna atau nilai-nilai,
sebagaimana namanya dalam bahasa arab, ‘adab yang selain berarti sastra, juga
etika, atau su-sastra yang berarti pesan-pesan (etika) melalui abjad.
Demikianlah Imri’al-Qois menyimpang dari nilai-nilai dominan (moralitas
Jahiliyah) juga menyebrang nilai (etika) yang dibawa oleh Islam. Penyimpangan
ini dijelaskan al-Marzabani dalam dua poin:
Pertama, karena al-Qois menggunakan bahasa tubuh dengan sangat vulgar dan
gamblang, sehingga terkesan jorok dan menjijikkan. Al-Marzabani kemudian
menyinggung dua bait puisi al-Qois: Aku menyukai orang hamil dan menyusui/bukan
anak gadis yang perawan dan ranum/Tiada kupedulikan perut dan anak yang
merengek di teteknya/Tatkala Tubuhnya terperangkap di tubuhku.
Dua bait di atas, Ibnu Qutaibah mengatakan tentang Imri al-Qois, bahwa ia
dicela banyak masyarakat, karena terang-terang mengatakan zina, dan
perlahan-lahan merusak kehormatan perempuan. Sebagaimana puisi tersebut ditulis
dalam qashidah-nya qifa nabqi yang ditujukan kepada Fathima (al-Marzabani,
al-Muwasyyah, hal 41: Kairo, Dar al-Mahdlah 1965)
Kedua, karena al-Qois menggunakan bahasa yang tidak umum dalam perpuisian.
Misalnya menggunakan bahasa “kuda”, sebagai metafor, yang biasa mempunyai makna
simbolis, orang pemberani yang tidak pantang mundur dalam berperang: karena
sifatnya kuda adalah bergerak cepat, tanpa menunggu digertak dan terbebas dari
rasa lelah. Dan al-Qois dalam menggambarkan kuda menyimpang dari gambaran
tipologis itu. Ia justru memakai bahasa “kuda” untuk hal yang negatif, yaitu
kejantanan pria untuk menaklukan perempuan dalam hal seksual. Seperti puisinya:
Aku naiki kuda dalam peperangan/ bagaikan belalang/Lembut gemulai/Jambulnya
tergerai menutupi wajahnya.
Bait puisi itu mendapat kritikan, sebab dinilai tidak adanya kesusuain
langsung antara “kata” sebagai penanda dengan makna sebagai petanda, atau
antara bahasa yang nampak dengan bahasa yang simbolik. Karena ia mengaitkan
kata “kuda” dengan “belalang”, dan kuda dengan “lembut”. Bukankah ini merupakan
cacat? Karena “Kuda” yang keras itu bertentangan dengan makna “lembut”. Dan
dalam perpuisian arab, sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap bait tak boleh
ada yang saling bertentangan, tiap kata saling menguatkan, dan menjadi anak
kalimat hingga menjadi kesatuan makna yang tak terpisahkan (ia disebut qafiyah).
Dan al-Marzabani menunjukkan kecacatan itu. (al-Marzabani, al-Muwasyyah, hal
36: Kairo, Dar al-Mahdlah 1965)
Ketiga, karena Imri’ al-Qois dalam menggunakan kata-kata menyimpang dari
makna dasarnya. Ia tidak menyelaraskan antara makna dengan makna tipologisnya,
demikian pula ia tidak tidak menyelaraskan antara kata dengan makna yang
aslinya. Kerana bukankah sebuah karya puisi merupakan ungkapan tentang struktur
pemikiran dengan menggunakan kata-kata yang saling mengikat dan memadai dalam
kalimat-kalimat yang masing-masih berdiri sendiri untuk menuju makna yang
sesungguhnya. Seperti pada puisinya: wahai malam yang panjang, tidaklah engkau
mau pergi/Tuk berganti pagi, tapi pagi tidaklah lebih nikmat dari pada kamu,
wahai malam!.
Nampak dalam bait puisi di atas, hanya dibolak-balikkan dan sekedar
diperbandingkankan. Ia membuat makna dari jawaban yang ia putar sendiri. Dan ia
memutar makna untuk menjawab keresahannya. Perbandingan antara kata “malam” dan
“pagi”, mana yang lebih nikmat? Literar puisi itu sendiri yang menjawabnya.
Ketiga kritik diatas itu memang seakan-akan sebagai fakta ilmiah, yang tak
terbantahkan dan sudah biasa terjadi dalam dunia perpuisian. tapi justru dari
kritik itulah nama al-Qois semakin besar. Sebagaimana al -Ashama’i mengatakan,
bahwa kebesaran al-Qois jutsru karena pemberontakan dalam kerangka kepenulisan
puisi–dan melakukan penyimpangan dari kebiasaan. Namung sayang kebesaran ini
dirusak oleh maknanya yang berbau seks dan selangkangan (al-Ashama’i, Kitab
al-Fuhul asy-Syuara, hal 10, ungkapan senada juga dikatakan oleh al-Jumahi
dalam kitabnya Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hal 16-17: Beirut Dar al-Nahdlah
al-Arabiyah 1968). Dan al-Qois tidak sendiri di sana, di barisannya ada penyair
Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist
al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil
bin-Waraqa. Dan jika dibandingkan semua sajak-sajak penyair ulung Jahili itu
dengan puisi Binhad Nurrohmat akan menemui satu titik temu, yaitu dengan gegap gempita
mereka mengekplorasi seks.
***
Sekarang justru persoalannya lain, ketika puisi ditangan penyair Binhad
Nurrohmat. Ia dalam semua puisinya justru menampakkan makna seks
sebanyak-banyaknya, seliar-liarnya, sebebas-bebasnya, dengan (dan) tanpa
diikuti oleh pembaharuan kerangka kepenulisan puisi (sebagaimana yang menjadi
penyebab kebesaran al-Qois dalam kesusastraan Arab-Timur Tengah). Tetapi
kemiripin al-Qois dan Binhad nampak sama dalam segi pemaknaan, lihat saja pada
buku kumpulan puisi Binhad yang pertama. Kuda Ranjang. Bukankah yang dimaksud
Binhad kata ‘kuda’ adalah lambang kejantanan, sebagaimana al-Qois
menggunakannya di atas. Atau lebih jelasnya -meminjam terminologi Marianna
Amiruddin (Media Indonesia, 8/8/04), kuda melambangkan ‘otensitas maskulin’.
Lalu, dipertautkan dengan kata ‘ranjang’. Bukankah ranjang adalah sebuah medan
penaklukan perempuan? Dengan kata lain, bilamana seorang pejantan sudah
berhasil merayu perempuan di atas ranjang, maka pejantan dianggap menang, dan
perempuan akan tumbang sebagai pecundang. Kepenyairan Binhad yang menjalankan
laku ‘tarekat tubuh’ seperti Pejantan disimbolisasikan dengan Kuda (dalam Kuda
Ranjang) dan masih sama dalam antologi keduanya, yaitu Singa (dalam Bau Betina)
seperti yang termaktub dalam sajak Hidung Belang, Sex After Lunch, Pengakuan
Sepasang Girang, Ulang Tahun Tubuhmu, Malam Janda, Homo Eroticus. Kedua
antologi ini mempunyai makna yang sama, yaitu menaklukkan perempuan.
Kuda Ranjang adalah puisi pertama yang muncul sejak Pengakuan Pariyem Linus
Suryadi yang begitu berhasrat mengungkapkan pertualangan syahwat baik para
pejantan urban maupun kanca ranjangnya. Harus diakui juga bahwa erotisisme yang
ada di dalam syair Berak, Ngintip, dan Foreplay Binhad, berbedaa dengan Linus
yang menggambarkan aroma seks dengan “rasa” berbunga-bunga. Binhad begitu
nyinyir dan liar mengumbar aroma nafsu, bahkan seperti “kalap”, “bringas”, dan
terkesan “sadis”, betapa banyak ia mengantongi kata Zakar, Penis, Bokong,
Payudara, Syahwat, Telanjang, Cupang dan Sperma dalam sajak-sajaknya, simak
saja misal di dalam Berak, Ngintip, dan Foreplay, dan lain sebagainya. Misal
kita penggal sajaknya yang berjudul “Lajang”: hujan binal berduyun ke palung
jantung/mengguyur mujur bertubi urung/menggigilkan ingatan/cerita payudara pertama
dalam rematan. Apa sebenarnya yang hendak dikatakan Binhad dalam bait ini? Tak
lain adalah ingatan akan kebinalan terhadap perempuan. Gejala ini hampir nampak
pada semua jenis puisinya, meski terlihat seperti ada yang mencoba
ditenggelamkan kepada kritik sosial, seperti “Ajal Begundal”: Setelah
empatpuluh hari kematian/seluruh kota bernafas lega/tak ingat lagi coretan
dinding penuh ancaman/atau erang perkosaan di belakang bioskop murahan. Bahkan
gejala ini nampal sangat blak-blakkan dalam salah satu judul puisinya, “Kisah
Seekor Yanuba Merah”:”Ibuku angin betina/berleha di sela paha kawanan
domba/yang tiba waktu gatal birahi/merayapi kelaminnya.Bapakku topan
jantan/mencekam kasur pengantin remaja. Atau lihatlah pada judul pusinya “Cuci
Mata”: Sepasang tungkai di warung tak terhingga langsatnya/melenggang anggun
bersama rok sebatas dengkul/dan menggelandang berpasang mata tak
berdaya/menahan sumuk deru gurun yang kesepian.
Puisi Binhad Nurrohmat adalah pernyataan tubuh laki-laki yang norak, namun
percaya diri. Selain ia bersembunyi dibalik makna “kuda”, “Singa” ia juga
bersandar di balik makna “domba” Memang tubuh laki-laki tak menjadi “haram”
bila dibicarakan dalam konteks kejantanan. Tapi yang terasa membosankan adalah
Binhad semakin mengumbar metafora penis dan bokong yang bergelayut dalam bentuk
yang buruk. Zakarmu sekuyu gelambir leher jompo/bungkuk dan malu-malu/mengintip
puing tahi/terjepit bongkah coklat bokongmu. Kalau al-Qois hanya melihat dunia
dengan tubuhnya, sudah mendapatkan “kecaman” dari masyarakatnya yang jahili,
sementara Binhad mempertontonkan tubuh dengan telanjang bulat, apakah memang
tak pantas kita merenungkannnya?.
Agak mengejutkan memang, seorang alumnus pesantren Krapyak (Yogyakarta)
seperti Binhad memilih jalan dan mengulang kembali unsur ‘jahiliyah’ dengan
menulis sajak-sajak bergelimang syahwat. Apakah ia lantaran sudah terjerembab
dalam asyik-masyuk dunia malam kota Jakarta yang memang kerap menyesatkan? Dan
ini berpengaruh pada proses kepenyairannya, sehingga benar hepotesa Marshall?
Padahal lazimnya sebagai mantan santri, Binhad ‘seharusnya’ menulis puisi
sufistik sebagaimana Ahmadun Y Herfanda menulis Sembahyang Rumputan (1996) atau
mengikuti jejak kepenyairan Mustofa Bisri, Jamal D. Rahman, Acep Zam-Zam Noor,
Ahmad Nurullah, Emha Ainun Nadjib dan lain sebagainya, bukan menulis
sajak-sajak yang tidak mencerminkan budaya santri! Dan Apakah memang benar
kegeilisahan Marshall, bahwa menulis tentang hal-hal yang benar-benar
indah–seperti alis cantik, pipi merah, bibir kayak delima, bunga yang enak
wanginya, dan seterusnya–kurang cocok pada zaman yang serba metropolit di
negeri ini? Dan kini waktunya, kita dipaksa menulis dan membaca
“kejahiliyah-an” kembali, seperti tentang hal-hal yang erotis, banal dan
menjijikkan, termasuk berak, brewok, jembut, kelangkangan, zakar sekuyu
gelambir leher jompo dan seterusnya?
Yogyakarta, 27 Agustus 2007
*) Penulis adalah Penyair, dan Pengamat Sastra-Budaya Arab.
http://sastra-indonesia.com/2014/06/binhad-nurrohmat-dan-kembalinya-unsur-sastra-jahiliyah/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar