Kamis, 25 Februari 2021

Binhad Nurrohmat dan Kembalinya Unsur Sastra Jahiliyah

Aguk Irawan MN *
Jurnal Kalimah, LESBUMI NU, I/Nov/2007
 
Di setiap erotisme selalu ada penyimpangan!
– Adonis
 
Hampir dua tahun yang lalu Marshall Clark (2005), peneliti sastra Indonesia di School of Asian Languages and Studies, University of Tasmania, dalam Konferensi Jurnal Antropologi di Universitas Indonesia menyebut puisi-puisi Binhad dalam Kuda Ranjang sebagai ‘puisi metropolitan’. Alasan Marshall ini tidak saja didasarkan pada puisi Binhad yang memukul pembaca dengan visi seksualnya yang sangat menentang, sangat lugas, dan juga sangat banal. Tetapi juga didasarkan pada kehidupan sang penyair, yang keluar masuk kafé-kafé elit kota Jakarta dan sangat akrab dengan alat-alat kehidupan metropolitan seperti HP, SMS, surat-e, dan entah apa lagi.
 
Dan kita sebagai pembaca, memang menemukan alasan Marshall itu dalam antologi puisi Binhad, Kuda Ranjang (2004) dan ia baru saja melepas antologi puisi terbarunya, Bau Betina (2007). Setali tiga uang dengan yang pertama, lewat Bau Betina ia masih latah bergunjing perihal ‘dunia basah’, ‘dunia tengah’. Dalam dua buku ini kita bisa menikmati imaji baik-buruknya adegan seks lengkap dengan gaya puitis erotis yang sangat mencengangkan.Tema utama puisi Binhad adalah politik seksual antara laki-laki dan perempuan dan yang sangat menonjol adalah unsur seks atau lebih tepat lagi berbau seks. Tapi kenapa Marshall hanya melulu mengaitkan seks dengan kehidupan metropolitan? Padahal bukankah seks adalah gejalah alamiah dalam hidup ini? Dan ia adalah tema yang purba dan selalu mengiringi sejarah hidup anak manusia. Karena sifat dasar kealamiahan inilah, seks bisa juga dipandang bukan semata-mata hubungan badaniah, yang kotor, berlumur berahi, melainkan ‘aktivitas batin’ yang penuh kearifan dan simbol-simbol filosofis-spritual. Namun, bilamana ‘kearifan’ itu sudah diobral dan diumbar di dalam karya, tempat-tempat pelacuran, panti-panti pijat terselubung, kafe, atau diskotik, maka seketika itu bukankah seks berubah menjadi tak lumrah, tak alamiah, tak lazim dan tercela. Karena itu, maka seks harus dipingit, disembunyikan dalam ruang-ruang yang paling pribadi.
***
 
Sejak Islam turun di bumi (jazirah) Arab, dan al-Qur’an diturunkan sebagai “penyaing” sastra Jahili. Sikap para penyair jahili terbagi menjadi dua kelompok: pertama, mereka mempertahankan nilai-nilai yang dominan, nilai lama yang diakui oleh islam, dan nilai baru yang dibawa (terkandung) Islam. Kedua, mereka memberontak dan menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Di dalam literatur kesusastraan Arab dijelaskan, sebagaimana yang direkam oleh Syauqi Dlaif dalam pengantar bukunya “Tarikh al-Adab al-Arabi” (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), atau pengantar tulisan Toha Husain “Fi Syi’ir al-Jahili” (Kairo, Haiatul Masry, 1967) Nabi dan para Khalifanya terus mendorong para penyair Jahili itu terus menulis puisi (hal ini dilakukan setelah mengetahui Penyair Labid bin Rabiah melakukan aksi mogok nulis), asal mereka masih berpegang pada pendirian yang pertama, tetapi Nabi dan Khalifahnya tidak segan-segan untuk ‘menegur’ bahkan menghukum para penyair yang berada dalam kecenderungan kedua. Dan di barisan yang kedua ini, muncullah tokoh penyair besar, yang bernama Imri’ al-Qois.
 
Tidak diragukan lagi kepiawaian Al-Qois sebagai penyair Jahiliyah, al-Ashama’i mengatakan, bahwa ia adalah pionir bagi para penyair (Lihat, Al-Ashma’i, Kitab al-Fuhul asy-Syuara, hal 9 dan 18, 19: Beirut, Dar al-Kitab al-Jadid 1971), bahkan Umar bin Khatab mengatakan, bahwa ia adalah penyair garda depan, ia pencipta mata air puisi untuk para penyair (Lihat, Ibnu Qutaibah, asy-Syi’ir wa asy-Syu’ara hal, 68-69: Beirut, Dar ats-Tsaqafah 1969). Meskipun kebesaran namanya tak diragukan dalam kepenyairan, di akhir kehidupan al-Qois sungguh sangat mengenaskan, ia menjadi gelandangan yang terlunta, dan meninggal sebagai orang yang terusir. Ibnu Qutaibah mengatakan sebab terusirnya al-Qois dari rumahnya dikarenakan ia melakukan pencabulan dalam puisi, atau dalam bahasa Mariana Amiruddin, karena ia menulis sastra wangi, lembab, dan melulu hanya seputar selangkangan. Qutaibah meriwayatkan bahwa al-Qois diusir oleh orang tuanya pertama kali sejak menulis puisi ayyuhat ath-thalali al-bali (wahai puing-puing usang). Pengusiran ini menunjukkan di zaman jahiliyah pun moral atau etika merupakan hal yang penting dari sebuah karya sastra (dalam hal ini puisi), sebab berbicara sastra tak bisa lepas dari makna atau nilai-nilai, sebagaimana namanya dalam bahasa arab, ‘adab yang selain berarti sastra, juga etika, atau su-sastra yang berarti pesan-pesan (etika) melalui abjad. Demikianlah Imri’al-Qois menyimpang dari nilai-nilai dominan (moralitas Jahiliyah) juga menyebrang nilai (etika) yang dibawa oleh Islam. Penyimpangan ini dijelaskan al-Marzabani dalam dua poin:
 
Pertama, karena al-Qois menggunakan bahasa tubuh dengan sangat vulgar dan gamblang, sehingga terkesan jorok dan menjijikkan. Al-Marzabani kemudian menyinggung dua bait puisi al-Qois: Aku menyukai orang hamil dan menyusui/bukan anak gadis yang perawan dan ranum/Tiada kupedulikan perut dan anak yang merengek di teteknya/Tatkala Tubuhnya terperangkap di tubuhku.
 
Dua bait di atas, Ibnu Qutaibah mengatakan tentang Imri al-Qois, bahwa ia dicela banyak masyarakat, karena terang-terang mengatakan zina, dan perlahan-lahan merusak kehormatan perempuan. Sebagaimana puisi tersebut ditulis dalam qashidah-nya qifa nabqi yang ditujukan kepada Fathima (al-Marzabani, al-Muwasyyah, hal 41: Kairo, Dar al-Mahdlah 1965)
 
Kedua, karena al-Qois menggunakan bahasa yang tidak umum dalam perpuisian. Misalnya menggunakan bahasa “kuda”, sebagai metafor, yang biasa mempunyai makna simbolis, orang pemberani yang tidak pantang mundur dalam berperang: karena sifatnya kuda adalah bergerak cepat, tanpa menunggu digertak dan terbebas dari rasa lelah. Dan al-Qois dalam menggambarkan kuda menyimpang dari gambaran tipologis itu. Ia justru memakai bahasa “kuda” untuk hal yang negatif, yaitu kejantanan pria untuk menaklukan perempuan dalam hal seksual. Seperti puisinya: Aku naiki kuda dalam peperangan/ bagaikan belalang/Lembut gemulai/Jambulnya tergerai menutupi wajahnya.
 
Bait puisi itu mendapat kritikan, sebab dinilai tidak adanya kesusuain langsung antara “kata” sebagai penanda dengan makna sebagai petanda, atau antara bahasa yang nampak dengan bahasa yang simbolik. Karena ia mengaitkan kata “kuda” dengan “belalang”, dan kuda dengan “lembut”. Bukankah ini merupakan cacat? Karena “Kuda” yang keras itu bertentangan dengan makna “lembut”. Dan dalam perpuisian arab, sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap bait tak boleh ada yang saling bertentangan, tiap kata saling menguatkan, dan menjadi anak kalimat hingga menjadi kesatuan makna yang tak terpisahkan (ia disebut qafiyah). Dan al-Marzabani menunjukkan kecacatan itu. (al-Marzabani, al-Muwasyyah, hal 36: Kairo, Dar al-Mahdlah 1965)
 
Ketiga, karena Imri’ al-Qois dalam menggunakan kata-kata menyimpang dari makna dasarnya. Ia tidak menyelaraskan antara makna dengan makna tipologisnya, demikian pula ia tidak tidak menyelaraskan antara kata dengan makna yang aslinya. Kerana bukankah sebuah karya puisi merupakan ungkapan tentang struktur pemikiran dengan menggunakan kata-kata yang saling mengikat dan memadai dalam kalimat-kalimat yang masing-masih berdiri sendiri untuk menuju makna yang sesungguhnya. Seperti pada puisinya: wahai malam yang panjang, tidaklah engkau mau pergi/Tuk berganti pagi, tapi pagi tidaklah lebih nikmat dari pada kamu, wahai malam!.
 
Nampak dalam bait puisi di atas, hanya dibolak-balikkan dan sekedar diperbandingkankan. Ia membuat makna dari jawaban yang ia putar sendiri. Dan ia memutar makna untuk menjawab keresahannya. Perbandingan antara kata “malam” dan “pagi”, mana yang lebih nikmat? Literar puisi itu sendiri yang menjawabnya.
 
Ketiga kritik diatas itu memang seakan-akan sebagai fakta ilmiah, yang tak terbantahkan dan sudah biasa terjadi dalam dunia perpuisian. tapi justru dari kritik itulah nama al-Qois semakin besar. Sebagaimana al -Ashama’i mengatakan, bahwa kebesaran al-Qois jutsru karena pemberontakan dalam kerangka kepenulisan puisi–dan melakukan penyimpangan dari kebiasaan. Namung sayang kebesaran ini dirusak oleh maknanya yang berbau seks dan selangkangan (al-Ashama’i, Kitab al-Fuhul asy-Syuara, hal 10, ungkapan senada juga dikatakan oleh al-Jumahi dalam kitabnya Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hal 16-17: Beirut Dar al-Nahdlah al-Arabiyah 1968). Dan al-Qois tidak sendiri di sana, di barisannya ada penyair Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa. Dan jika dibandingkan semua sajak-sajak penyair ulung Jahili itu dengan puisi Binhad Nurrohmat akan menemui satu titik temu, yaitu dengan gegap gempita mereka mengekplorasi seks.
***
 
Sekarang justru persoalannya lain, ketika puisi ditangan penyair Binhad Nurrohmat. Ia dalam semua puisinya justru menampakkan makna seks sebanyak-banyaknya, seliar-liarnya, sebebas-bebasnya, dengan (dan) tanpa diikuti oleh pembaharuan kerangka kepenulisan puisi (sebagaimana yang menjadi penyebab kebesaran al-Qois dalam kesusastraan Arab-Timur Tengah). Tetapi kemiripin al-Qois dan Binhad nampak sama dalam segi pemaknaan, lihat saja pada buku kumpulan puisi Binhad yang pertama. Kuda Ranjang. Bukankah yang dimaksud Binhad kata ‘kuda’ adalah lambang kejantanan, sebagaimana al-Qois menggunakannya di atas. Atau lebih jelasnya -meminjam terminologi Marianna Amiruddin (Media Indonesia, 8/8/04), kuda melambangkan ‘otensitas maskulin’. Lalu, dipertautkan dengan kata ‘ranjang’. Bukankah ranjang adalah sebuah medan penaklukan perempuan? Dengan kata lain, bilamana seorang pejantan sudah berhasil merayu perempuan di atas ranjang, maka pejantan dianggap menang, dan perempuan akan tumbang sebagai pecundang. Kepenyairan Binhad yang menjalankan laku ‘tarekat tubuh’ seperti Pejantan disimbolisasikan dengan Kuda (dalam Kuda Ranjang) dan masih sama dalam antologi keduanya, yaitu Singa (dalam Bau Betina) seperti yang termaktub dalam sajak Hidung Belang, Sex After Lunch, Pengakuan Sepasang Girang, Ulang Tahun Tubuhmu, Malam Janda, Homo Eroticus. Kedua antologi ini mempunyai makna yang sama, yaitu menaklukkan perempuan.
 
Kuda Ranjang adalah puisi pertama yang muncul sejak Pengakuan Pariyem Linus Suryadi yang begitu berhasrat mengungkapkan pertualangan syahwat baik para pejantan urban maupun kanca ranjangnya. Harus diakui juga bahwa erotisisme yang ada di dalam syair Berak, Ngintip, dan Foreplay Binhad, berbedaa dengan Linus yang menggambarkan aroma seks dengan “rasa” berbunga-bunga. Binhad begitu nyinyir dan liar mengumbar aroma nafsu, bahkan seperti “kalap”, “bringas”, dan terkesan “sadis”, betapa banyak ia mengantongi kata Zakar, Penis, Bokong, Payudara, Syahwat, Telanjang, Cupang dan Sperma dalam sajak-sajaknya, simak saja misal di dalam Berak, Ngintip, dan Foreplay, dan lain sebagainya. Misal kita penggal sajaknya yang berjudul “Lajang”: hujan binal berduyun ke palung jantung/mengguyur mujur bertubi urung/menggigilkan ingatan/cerita payudara pertama dalam rematan. Apa sebenarnya yang hendak dikatakan Binhad dalam bait ini? Tak lain adalah ingatan akan kebinalan terhadap perempuan. Gejala ini hampir nampak pada semua jenis puisinya, meski terlihat seperti ada yang mencoba ditenggelamkan kepada kritik sosial, seperti “Ajal Begundal”: Setelah empatpuluh hari kematian/seluruh kota bernafas lega/tak ingat lagi coretan dinding penuh ancaman/atau erang perkosaan di belakang bioskop murahan. Bahkan gejala ini nampal sangat blak-blakkan dalam salah satu judul puisinya, “Kisah Seekor Yanuba Merah”:”Ibuku angin betina/berleha di sela paha kawanan domba/yang tiba waktu gatal birahi/merayapi kelaminnya.Bapakku topan jantan/mencekam kasur pengantin remaja. Atau lihatlah pada judul pusinya “Cuci Mata”: Sepasang tungkai di warung tak terhingga langsatnya/melenggang anggun bersama rok sebatas dengkul/dan menggelandang berpasang mata tak berdaya/menahan sumuk deru gurun yang kesepian.
 
Puisi Binhad Nurrohmat adalah pernyataan tubuh laki-laki yang norak, namun percaya diri. Selain ia bersembunyi dibalik makna “kuda”, “Singa” ia juga bersandar di balik makna “domba” Memang tubuh laki-laki tak menjadi “haram” bila dibicarakan dalam konteks kejantanan. Tapi yang terasa membosankan adalah Binhad semakin mengumbar metafora penis dan bokong yang bergelayut dalam bentuk yang buruk. Zakarmu sekuyu gelambir leher jompo/bungkuk dan malu-malu/mengintip puing tahi/terjepit bongkah coklat bokongmu. Kalau al-Qois hanya melihat dunia dengan tubuhnya, sudah mendapatkan “kecaman” dari masyarakatnya yang jahili, sementara Binhad mempertontonkan tubuh dengan telanjang bulat, apakah memang tak pantas kita merenungkannnya?.
 
Agak mengejutkan memang, seorang alumnus pesantren Krapyak (Yogyakarta) seperti Binhad memilih jalan dan mengulang kembali unsur ‘jahiliyah’ dengan menulis sajak-sajak bergelimang syahwat. Apakah ia lantaran sudah terjerembab dalam asyik-masyuk dunia malam kota Jakarta yang memang kerap menyesatkan? Dan ini berpengaruh pada proses kepenyairannya, sehingga benar hepotesa Marshall? Padahal lazimnya sebagai mantan santri, Binhad ‘seharusnya’ menulis puisi sufistik sebagaimana Ahmadun Y Herfanda menulis Sembahyang Rumputan (1996) atau mengikuti jejak kepenyairan Mustofa Bisri, Jamal D. Rahman, Acep Zam-Zam Noor, Ahmad Nurullah, Emha Ainun Nadjib dan lain sebagainya, bukan menulis sajak-sajak yang tidak mencerminkan budaya santri! Dan Apakah memang benar kegeilisahan Marshall, bahwa menulis tentang hal-hal yang benar-benar indah–seperti alis cantik, pipi merah, bibir kayak delima, bunga yang enak wanginya, dan seterusnya–kurang cocok pada zaman yang serba metropolit di negeri ini? Dan kini waktunya, kita dipaksa menulis dan membaca “kejahiliyah-an” kembali, seperti tentang hal-hal yang erotis, banal dan menjijikkan, termasuk berak, brewok, jembut, kelangkangan, zakar sekuyu gelambir leher jompo dan seterusnya?
 
Yogyakarta, 27 Agustus 2007
 
*) Penulis adalah Penyair, dan Pengamat Sastra-Budaya Arab.
http://sastra-indonesia.com/2014/06/binhad-nurrohmat-dan-kembalinya-unsur-sastra-jahiliyah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez