Rinto Andriono *
Gwan sêmbah niréng hulun, kapurba risang murbèngrat,
yéka kang asung mring wadu, mawèh boga sawêgung, masih ring dêlahan. Gwan
kanang amujwèngwang, ring jêng nataningrat, dutèngrat hutama manggiha nugraha,
tarlèn siswa sagotra kang huwus minulya.
Tembang di atas adalah syair suluk pembuka, yang
dilantunkan oleh Dalang untuk menggambarkan suasana jagat pakeliran. Jagat pakeliran adalah semesta kecil
yang sengaja diciptakan Dalang sebagai latar untuk menjalankan sebuah lakon
wayang. Dalang akan menyanyikan syair ini pada saat pembukaan adegan wayang
kulit, Pathet Enem sebutan untuk babak pembuka ini. Syair ini akan
membersamai irama Gendhing Patalon yang halus mengantar pemirsa pada
suasana bathin yang reflektif.
Aku sudah duduk bersimpuh di jajaran para sinden,
tepat di sebelah kiri kelir pertunjukan wayang. Setiap kali Gendhing
Patalon dilantunkan, aku selalu seolah ikut memohon kepada semesta. Syair suluk
Pathet Enem ini secara gamblang melantunkan kepasrahan mendalam kepada Sang
Akarya Jagat.
“Gwan sêmbah niréng hulun,”
lantun Pak Dalang.
Hatiku seolah menyahut, “Adalah tempat hamba
menyembah hingga sirna segala keakuan.”
“Masih ring dêlahan,” Lanjut Pak
Dalang dengan suara yang sangat dalam.
Sampai disitu, hatiku merasakan hangat, ”Dialah yang
mengasihi hingga akhirat nanti.”
Aku sudah hafal bila akhirnya Pak Dalang akan
memungkasi suluknya dengan syair, “tarlèn siswa sagotra kang huwus
minulya.”
Aku merasakan bahwa takdirku telah ditentukan-Nya,
“Sebagai bagian dari insan terpilih yang sudah mendapatkan kemuliaan.”
Pada saat itu, aku menoleh ke kelir yang
seolah menjadi seperti semesta dalam pertunjukan malam ini, namun sebenarnya
hanyalah kain putih yang direntang hingga menjadi layar yang terkembang, tempat
beradunya adegan demi adegan. Pak Dalang tengah memainkan bayangan dengan Wayang
Gunungan. Wayang Gunungan yang ditatah dengan banyak lubang, telah
meloloskan sebagian cahaya blencong malam ini. Bayangan wayang gunungan
menjadi seperti lukisan indah di kelir yang menggambarkan keagungan
semesta. Di bawahnya hijau pupus batang pisang segar, seolah melambangkan bumi
yang lestari.
“Aku menyukai pekerjaanku sebagai sinden, sayang,”
kataku pada kekasihku waktu itu, “kelir membuatku bisa bermimpi gratis tentang
semesta yang luas dan bumi yang hijau.”
“Tetapi bertahan melek sepanjang malam,
apakah itu juga yang kau inginkan?” sahutnya.
“Aku selalu tidur besok siangnya! Jangan kuatir,
sayang.”
“Aku tidak bicara tentang sekarang, aku bicara kelak
kalau kamu sudah punya anak.”
“Khan ada kamu, kita bisa berbagi tugas, bersalin
peran, seperti wayang.”
“Tapi….” Sepertinya kekasihku belum tuntas dengan
alam bawah sadarnya yang maskulin. Dia masih belum bisa menerima kenyataan
bahwa laki-laki dan perempuan bisa bertukar peran dalam pekerjaan dan tugas
domestik.
****
Gendhing Patalon adalah tembang
yang sangat syarat makna. Gendhing ini membuka pertunjukan wayang dengan
sangat halus dan santun. Asal mula
kata wayang adalah Ma Hyang, yang artinya menuju Tuhan, Roh atau Dewa.
Dalam perkembangannya, wayang mengantongi tambahan makna sebagai bayangan,
karena seni pertunjukan ini memberi kesempatan bagi penontonnya untuk
bercermin. Dahulu, kami, para sinden, akan melipat daun sirih ketika gendhing
ini dinyanyikan. Kami memaknai sebagai perlambang, bahwa kesombongan kami pun
terlipat tak berdaya ketika berhadapan dengan Sang Pencipta.
“Sekarang tidak ada yang membawa sirih ya?” tanya
Tiwi, sinden paling senior, sambil tersenyum.
“Sekarang yang penting bawa paketan, Bu,” kata Mimin
sinden transgender dengan kenes-nya, “buat streaming!”
“Waaah, sinden milenial!” kataku menyindir.
Para Dalang sekarang pun sudah mempersingkat Gendhing
Patalon, gendhing ini hanya sekedar menjadi tanda bahwa pertunjukan
sudah dimulai. Para penonton akan menjadi riuh di depan dan dibelakang kelir.
Mereka berebut tempat, yang tidak kebagian tempat akan menghabiskan paket
data-nya dengan Youtube saat Limbukan dan Gara-Gara nanti.
Dari seluruh rangkaian pertunjukan wayang, hanya dua itu yang mereka nanti.
Saat Pak Dalang dan para sinden menghibur pemirsa dengan tembang dan gurauan
pelepas lara. Sekarang mereka bisa memuaskan lidah di pinggir lapangan. Kopi
panas dan pisang goreng merupakan teman menunggu yang sempurna. Tidak ada yang
menyimak makna Gendhing Patalon. Makna menguar tanpa bekas di udara
malam yang dingin lembab.
Aku menyimak adegan demi adegan, dalam pertunjukan
kolosal ini, setiap adegan disebut jejer. Yang pertama dimainkan adalah jejer
Pathet Enem, lantas jejer Paseban Jaba yang mengisahkan adegan
asal-muasal konflik. Seharusnya jejer ini didahului oleh jejer
Kedhatonan yang dialognya lebih intim dan mendalam. Namun itu sudah
kelamaan bagi penonton sekarang. Pertunjukan akan sepi bila masih
mempertahankan pakem yang dulu, mereka menyebutnya Gagrak Lawasan.
Gagrak Lawasan menjalankan skenario yang lebih halus dan lambat, memang
ini rangkaian adegan yang menyajikan cermin tiga dimensi bagi penonton. Pak
Dalang sekarang sudah banyak mengurangi jejer agar pertunjukannya tetap
digemari penonton, yang ingin segera memperoleh katarsis di adegan Limbukan
dan Gara-Gara.
Aku menjadi teringat masa kami masih pacaran dulu.
Waktu itu aku masih sekolah di SMKI dan kekasihku sudah kuliah di UGM. Kami
berkenalan saat Bienalle di Yogyakarta, aku melantunkan Tembang Mocopat dan dia
bereksperimen dengan instrument digital. Waktu pertunjukan kami saling beradu
punggung, aku baru selesai setelah itu dia mulai. Aku sudah sejak di SMKI
menjadi sinden Pak Dalang. Pak Dalang sangat memperhatikan karakter
pesinden-nya, karena itu bisa menjadi jawaban bagi penonton yang ingin
mendapatkan hiburan. Dia bercita-cita hendak menggegerkan panggung dengan enam
sinden yang berbeda-beda karakter saja. Oleh karena itu, Pak Dalang sudah
mendidik kami sedari dulu, waktu yang tidak sebentar.
Kami memang memiliki karakter yang berbeda-beda. Ibu
Tiwi yang paling senior membawakan karakter lucu dan pragmatis. Mimin sinden
transgender selalu membawakan diri sebagai banci panggung yang serba
hiperbolis. Ada Tanti yang genit dan manja. Ayu yang bersuara emas dengan
jangkauan nada hingga tiga oktaf, Tania yang menguasai dialek dan lagu-lagu
Gendhing Jawa Timuran hingga Madura. Lian yang mahir dengan tembang berdialek
Banyumasan hingga Sunda. Dan aku yang katanya gemulai membawakan fragmen tari
Jawa setiap menyanyi solo sesuai permintaan penonton yang sudah nyawer
atau memberi tips.
“Gerakanmu yang lembut adalah sihir bagi penonton,
kau pertahankan itu!” kata Pak Dalang suatu ketika saat latihan.
“Nggih, Pak.” kataku.
“Kowe adalah senjataku kalau penonton sudah
histeris karena panggung sudah kelewat panas.”
“Ya, Pak.” kataku sebagai murid yang takzim waktu
itu.
“Ben sinden lainnya yang membakar panggung,
tapi penonton membutuhkanmu untuk menemukan sejuk,” ujar Pak Dalang, “aku akan
selalu mengakhiri pertunjukan dengan yang sejuk.”
****
Pak Dalang adalah sutradara pertunjukan yang piawai.
Dia begitu memahami emosi penonton dan bisa memanipulasinya agar penonton betah
berlama-lama menghadap kelir, baik secara off-line di lapangan
pertunjukan atau secara on-line di kanal-kanal Youtube Pak Dalang.
Penggemarnya hingga puluhan ribu penonton. Mereka memijit tanda suka pada kanal
tersebut. Candaan, gurauan dan makian sarkasme kadang terlontar berdampingan
dengan pepatah petitih yang adi luhung. Kontradiksi ini yang paling dinikmati
penonton, mereka sangat senang ketika kata-kata yang satir meluncur dari mulut
Pak Dalang.
Para penonton adalah pejuang-pejuang kehidupan yang
kelelahan. Mereka membutuhkan hiburan. Mereka membutuhkan pelampiasan. Hidup
telah begitu kejam. Hidup telah merampok mereka dengan hasrat konsumsi
berlebihan. Tanah-tanah pusaka warisan leluhur telah berubah menjadi rupiah
demi keinginan anak sulung untuk menunggangi Honda baru, demi hape anak
bungsu tetap terkoneksi setiap hari dan entah demi apa lagi untuk kepuasan
hidup ibu-bapak. Hidup dengan hasrat konsumsi berlebihan telah mengadu sesama
mereka. Pertikaian begitu sinis dan terbuka. Hanya untuk bisa mengkonsumsi
sesuatu yang melambangkan ketinggian posisi sosialnya.
Konsumsi adalah sebuah kekalahan yang mencandu. Konsumsi
menjual masa depan guna membeli kesenangan hari ini. Kekalahan demi kekalahan
ini telah mereka sadari betul, sehingga mereka membutuhkan pelampiasan, mereka
membutuhkan Bagong untuk membenarkan hidup mereka yang pragmatis, mereka
membutuhkan Mimin, si banci panggung untuk sekedar di-bully
beramai-ramai, guna membangkitkan perasaan jumawa dari para pecundang sekaligus
pejuang kehidupan, mereka membutuhkan para sinden untuk dikomentari pantat dan
payudaranya sekaligus dipuji keindahan suaranya, dari umpatan dan ejekan itulah
mereka memperoleh rasa kemenangan sebagai pelipur lara sesaat. Itulah rupa
penonton hari ini. Mereka membutuhkan hiburan dalam pertunjukan wayang untuk
katarsis.
Namun, sebagai pelaku budaya adi luhung, selain Pak
Dalang menyadari kebutuhan penonton agar bisa katarsis, beliau juga menyadari
bahwa mereka harus dihantarkan ke suasana reflektif yang meditatif. Aku yang
mendapatkan tugas berat itu. Tugasku adalah mendinginkan suasana hati penonton
yang sudah mencapai katarsis.
“Kalau sudah sampai disitu, aku akan memberi tanda
dengan kepyak-ku ini, lantas kamu maju untuk nembang gendhing
yang berirama sejuk,” kata Pak Dalang kepadaku, ”lalu menarilah dengan sepenuh
hatimu, ibaratkan dirimu adalah Dewi Shinta yang sedang dibakar Prabu Rama
untuk membuktikan kesuciannya, alih-alih kesakitan Dewi Shinta justru menari
pada saat itu.”
Setelah Dewi Shinta diculik Rahwana, Rama berhasil
membebaskannya. Rama kemudian membunuh Rahwana dengan bantuan Hanoman si Monyet
Putih. Namun setelah penculikan itu, ego kelelakian Rama terusik. Rama ingin
mencobai kesucian cinta Dewi Shinta dengan menyuruh Dewi Shinta membakar diri.
Bila Shinta tidak terbakar maka berarti cinta Shinta masih suci. Cinta Shinta
tidak tergoyahkan oleh rayuan Rahwana. Demikian kisah Shinta Obong.
“Nggih, Pak,” meskipun aku tidak begitu setuju
dengan analoginya tentang Dewi Shinta, “mengapa hanya Shinta yang harus
membuktikan kesucian cintanya pada Prabu Rama? Bukankah mereka sama-sama saling
terpisah dan sama-sama bisa mendua? Lantas untuk apa dia menyelamatkan Shinta,
bila hatinya terhadap Shinta pun masih meragu?”
“Pandanglah penonton dengan hati teguh, menarilah
dari dalam hatimu,” nasihat Pak Dalang, “bila hatimu menari maka tubuhmu akan
mengikutinya.”
Batinku, “Di dalam kelir, cinta pun masih
berpihak kepada lelaki, meskipun aku membenarkan nasihat Pak Dalang, tentang yang
hatiku juga harus ikut menari.”
Di situ aku kembali teringat akan kekasihku. Dua
tahun lalu kami menikah. Dua tahun lamanya, separuhku telah menjadi penuh. Aku
merasakan kesempurnaan dari pernikahan kami. Benar-benar seperti siang bertemu
dengan malamnya secara harafiah. Aku yang bekerja sebagai sinden di malam hari,
menikahi suamiku yang bekerja membuat perangkat lunak pesanan di siang hari.
Kini anak kami baru saja lahir. Kami memberinya nama Lintang Panjer Sore.
Dialah yang akan selalu menyandingkan malam bersama siang pada suatu sore yang
indah. Dialah sore kami.
“Bisakah kau berhenti menembang dan menari?”
tanya kekasihku pada suatu ketika.
“Artinya aku tidak usah menjadi sinden lagi?” aku
ganti bertanya.
“Ya, kau bisa di rumah dan mengasuh Sore.” kami
memanggil anak kami dengan Sore.
“Itu berat, sayang, keluarga kita baru saja mulai,
Sore baru saja lahir, masa depan tidaklah menentu dan itu harus diperjuangkan,”
sergahku, “kita bisa berjuang bersama?”
Alarm di hatiku menyala ketika mendengar itu.
Sepertinya kekasihku mulai terusik ego kepemilikannya. Pria adalah mahluk
teritorial seperti singa jantan yang menandai wilayahnya dengan mengencinginya.
Krisis yang dialaminya adalah krisis teritorial. Dia memahamiku sebagai
miliknya yang berada di dalam wilayahnya sehingga dia harus menjaganya.
“Apakah kau terganggu dengan komentar orang-orang
saat kami live streaming?”
Pertunjukan Pak Dalang memang selalu disandingkan
dengan live streaming-nya. Penontonnya hingga ribuan dari berbagai
pelosok bumi. Sering kali aku mendapatkan saweran dari penonton di
Taiwan dan Hongkong melalui transfer. Para tim live streaming sudah
menyediakan rekening untuk para penyawer. Pertunjukan harus berdamai
dengan internet. Pak Dalang harus melayani penonton sebaik mungkin.
Komentar-komentar penonton saat live streaming rupanya telah mengikis
perasaan kekasihku.
“Eh, ya. Dan itu tidak baik buat Sore!” kilahnya.
“Aku akan cuti sampai Sore tidak lagi melulu minum
ASI.”
“Ya, setelah itu lalu siapa yang mengasuhnya?”
“Kita bisa bergantian mengasuhnya.”
“Tapi aku ayahnya, aku harus bekerja.”
“Sayang, lihatlah semesta harapan kita, masih
panjang dan luas,” kataku, “kau bisa saja lantas sakit dan tidak bisa bekerja
lagi, kita harus siap dengan risiko itu, toh aku bekerja buat kita juga, buat
Sore kita.”
“Tapi dimana-mana, anak diasuh ibunya.”
“Sayang, sekarang anak yang bertumbuh kembang sehat
adalah anak yang diasuh bapak dan ibunya secara seimbang.”
Kekasihku
membisu, aku tahu bathin masa lalunya berkecamuk, beradu dengan keyakinan
barunya, keyakinan yang masih tipis tersusun dari nilai-nilai yang baru saja
dikenalinya.
****
Aku ingat
salah satu lakon yang jarang dimainkan oleh Pak Dalang. Lakon itu mengisahkan
Betari Durga. Betari Durga adalah sosok yang kontroversial. Dia lahir sebagai
bayangan, yang akhirnya bisa mengejawantah dalam tubuh fisik, berkat bantuan Betara
Manikmaya alias Betara Guru. Ketika masih menjadi sosok bayangan, Betari Durga
memiliki kelamin ganda. Setelah berhasil mewujud, jadilah dia bersosok
perempuan yang berjulukan Dewi Uma.
Konon, Sang
Dewi, sebagaimana tergambarkan dalam kisah, sebagai perempuan bertangan banyak,
yang sedang memegang beragam benda. Benda-benda tersebut menggambarkan kualitas
feminin dan maskulin sekaligus. Yang maskulin, misalnya, senjata cakra, cambuk
dan api. Sementara yang feminin, misalnya, air, padi dan kapas. Kualitas itulah
yang sejatinya dimiliki oleh perempuan, sebelum akhirnya dikondisikan oleh
budaya dan kuasa. Itu persis seperti gambaran oleh Dewi Uma saat masih
berbentuk bayangan dan pengkondisian oleh kuasa adalah konstruksi yang
membatasinya setelah ia bertubuh fisik.
“Jadi kau ingin seperti Dewi Uma?” tanya Mimin si
sinden transgender ketika aku berkeluh kesah tentang rasa keberatan kekasihku.
“Iya”
“Kau ingin menjadi Dewi Uma atau Betari Durga?”
“Sama saja,” sahutku, “Dewi Uma dan Betari Durga
adalah sosok yang sama.”
“Ya tidak. Kalau jadi Durga kau tidak akan bisa
menari lagi.” canda Mimin.
“Ahhh…kau becanda melulu, aku serius.”
“Kalau kau sudah bosan, aku mau lho.”
“Dasar Mimin gatal!”
Bagaimana kejadiannya,
sehingga Dewi Uma kemudian menjelma kembali menjadi raseksi Betari Durga juga
unik. Yang pasti, Durga sering diposisikan sebagai pelindung bagi yang
tertindas, yang dilemahkan dan yang terabaikan. Bisa jadi, dia mensimbolkan
keteguhan hati bagi yang berputus asa dan bernestapa. Bukankah itu kualitas
yang sekarang dibutuhkan oleh kaum marginal? Menjaga bara secara spartan! Konon,
Dewi Uma adalah satu-satunya sosok perempuan yang bisa menandingi keperkasaan
Batara Guru di Kayangan. Kuatnya kualitas Dewi Uma ini justru membuat Batara
Guru berhasrat!
“Kau ingat
bagaimana kisah asmara Dewi Uma?” Tanya Mimin kali ini mimiknya serius.
“Dalam
senja Swargaloka yang indah, Dewi Uma dan Batara Guru berpesiar menggunakan Lembu
Andhini,” begitu yang aku tahu.
“Senja yang
merah kesumba membakar hasrat Batara Guru,” lanjut Mimin genit, “dia ereksi,
ahhh, nggak tahan.”
“Namun itu
ditolak oleh Dewi Uma,” kataku.
“Ya, tidaklah
baik membiarkan hasrat bersimaharaja di atas diri,” sahut Mimin.
“Ini yang
aku sukai, kualitas hasrat melawan kualitas pengendalian diri mereka berdua
kemudian sama-sama menjelma menjadi sosok rasaksa dan raseksi,” aku begitu
menyukai bagian kisah yang ini, karena kekuatan budi Dewi Uma pun bisa berubah
menjadi raseksi untuk mengimbangi hasrat Betara Guru.
“Sperma
rasaksa perwujudan hasrat Batara Guru kemudian tertumpah ke laut, dan berubah
menjadi Batara Kala, si biang keladi gerhana matahari dan bulan,” sahut Mimin,
“andai saat itu aku sudah lahir pasti tak akan kubiarkan tumpah!”
“Hahaha,
kau porno sejak dalam pikiran!”
“Sperma
Batara Guru, Booo, khan sayang, itu bibit unggul lho.”
“Aku selalu
ingin Dewi Uma mengejawantah di dalam diriku,” pungkasku, “aku selalu rindu
kualitas Dewi Uma.”
“Ya, kau
sekarang menjadi dia,” kata Mimin serius, “kau berada pada situasi dimana kau
harus mulai seteguh Dewi Uma.”
Mimin
menggenggam tanganku sebagai sesama perempuan. Kami saling menguatkan.
****
Limbukan adalah adegan
yang paling ditunggu oleh pemirsa. Adegan ini dimainkan oleh dua sosok wayang
perempuan bernama Limbuk dan Cangik. Mereka adalah dua sahabat karib para putri
dengan kesetiaan tanpa batas. Bila jejer kedhatonan masih ada, maka
Limbuk dan Cangik akan hadir di situ sebagai sahabat terdekat para putri, namun
karena tuntutan penonton, saat ini tanpa jejer kedhatonan tiba-tiba
Limbuk dan Cangik hadir begitu saja di kelir. Penonton mungkin sudah
lupa atau jarang yang tahu, siapakah sebenarnya Limbuk dan Cangik itu. Mereka
sebenarnya adalah sosok Ponokawan bagi para putri kerajaan. Bila Ponokawan
Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah abdi para ksatria, maka Limbuk dan
Cangik adalah abdi para putri.
Namun telah terjadi pergeseran makna pada Limbukan
sekarang. Limbukan dimaknai sebagai main-main saja. Di sini, penonton
akan bersenang-senang dengan menikmati kepiawaian para sinden. Di sini penonton
juga bisa mentertawakan Pak Dalang. Jika pada adegan sebelumnya, Pak Dalang sebelumnya
berperan sebagai pemapar sabda maka saat Limbukan, beliau berperan
sebagai Joker yang akan mengumpan lawakan dan candaan kepada sinden, penabuh
gamelan dan penonton. Pada bagian ini, para sinden akan melantunkan tembang
sesuai permintaan para penonton. Kadang, Pak Dalang pun akan mengajak penonton
ke panggung atau penonton tertentu dengan kepiawaian menari Kuda Lumping dan
mental tahan malu, akan ikut mengiringi para sinden menari bersama.
Empat sinden akan membuka adegan Limbukan dengan
berdiri menari dan menyanyi bersama.
“Pang-pung pang-pung pang-pung pang-pung.”
“Ketipung naruntung rebana mbarung.”
“Tali temali angering lari.”
“Cikat-cikut gumregut trangginas trampil.”
“Suling njempling angliling trus sumanding.”
“Nyoto dadi srono bareng lan wiromo.”
“Pang-pang pung pang-pang pung ketipung naruntung.”*
Mereka menari dengan kenesnya. Seolah kompak dengan
hasrat para penonton untuk segera beriang-riang. Senyum gadis-gadis sinden itu
terpulas di bibir. Mereka mengundang senyum yang sama dari para penonton. Malam
menjelang tengah malam yang gelap dan dingin mendadak benderang. Siang riang
hangat mendadak datang. Hati siapa pun berbunga-bunga, meski besok pagi kembali
bekerja dengan kantuk yang dibawa serta. Hanya semalam ini siapa pun merasa
kaya meskipun cicilan belum ada yang lunas. Penagih hutang masih mengintai di
balik kelokan siap menyita motor yang sudah telat dicicil tiga bulan.
“Kita hadir dimana ini, Mbok?” tanya Limbuk.
“Kita hadir di Pedukuhan Kwagon, pedukuhan budaya
yang sebentar lagi hendak menjadi tuan rumah Ngayogjazz 2019.” terang Cangik.
“Itu, Panjenengane Bapa Djaduk Ferianto
juga hadir, beliau yang mau bikin Ngayogjazz.”
“Wah, bungah sing tanpo upama ya, Mbok!”
“Iyo.”
Pada adegan Limbukan, Pak Dalang bebas
menyapa siapa saja. Termasuk beliau mengucapkan terimakasih kepada pihak
pengundang pertunjukan. Dalam pertunjukan kolosal ini, semua pihak terlibat
secara spiritual dalam pementasan. Penanggap wayang melambangkan Sang Hyang
Maha Widhi. Pak Dalang mengusung lambang sebagai Trimurti. Para wayang
melambangkan titah manusia di bumi persada. Gedebog pisang tempat
menancapkan wayang melambangkan bumi atau bantala. Blencong lampu
minyak tanah di belakang dalang adalah matahari. Gamelan, para penabuh, sinden
dan perangkat pertunjukkan lainnya membawa lambang sebagai segala rupa
kebutuhan manusia untuk hidup sementara di bumi.
Seperti bertumbuhnya kebutuhan hidup kita juga,
perangkat pertunjukan semakin lama semakin banyak, bahkan terlalu banyak untuk
sekedar hidup atas nama kenyamanan yang membuat lena.
“Wayang sekarang berbeda.” kata Tiwi, sinden yang
sudah empat dasawarsa menyanyi.
“Kenapa, Bu?” tanya Lian yang dari barat.
“Wayang menjadi tergantung paketan, penontonnya
perlu paket data buat nonton sementara pertunjukannya juga perlu paket data
agar bisa ditonton, sekarang semua butuh eksis.” ujar Tiwi.
“Ini khan bagian dari perlambang, Bu, bahwa
kebutuhan kita sekarang sudah semakin banyak.” sahutku.
Setelah berucap demikian, pikiranku menjadi teralih
pada Sore anakku. Aku risau dengan nasib pencukupan kebutuhannya kelak. Aku
tidak lagi memperhatikan Limbukan. Malam ini dia tidak lagi tidur bersama bapaknya.
Sore tidur bersama ibuku sejak kekasihku mengajukan gugatan cerai. Baru dua
tahun, penuhku akan segera kembali menjadi separuh. Suamiku sudah tiga bulan
ini tidak pulang dengan satu tuntutan.
“Akalku menerimamu bekerja jadi sinden tetapi hatiku
tidak bisa menerima pekerjaanmu, aku tidak tahan dengan sapaan genit penonton.”
kata suamiku.
Aku mahfum, para penonton sebagian besar adalah
laki-laki, mereka memiliki kebebasan keluyuran di malam hari mencari hiburan.
Beberapa penonton on-line adalah perempuan namun di belahan bumi yang
lain, yang saat pertunjukan berlangsung masih bisa menikmati Matahari.
“Tapi itu dua wilayah yang berbeda, sayang, penonton
itu di wilayah pekerjaan, sementara di wilayah pribadi, hanya ada aku dan
kamu.”
“Aku tidak tahan dipanggil Pak Hana.”
“Aku pun dipanggil Bu Tejo, apa bedanya?”
Aku bernama Hana dan suamiku bernama Tejo. Di dunia
yang patriarki ini sebutan “Pak” dan “Bu” otomatis diikuti dengan nama suami.
Itu adalah kelaziman dan suamiku terusik ketika kelazimannya terganggu, karena
kelaziman itu melambangkan penguasaannya atas aku.
“Bagimu itu tidak masalah, tapi bagiku itu masalah!”
bentak suamiku.
****
Adegan demi adegan berlalu tanpa perasaan. Giliranku
datang, aku menembang Caping Gunung. Pak Dalang melirikku tajam, beliau
tahu hatiku tidak ikut menari. Aku tidak berani menatapnya. Aku tahu aku salah,
tidak sepenuh hati aku menari. Tetapi hatiku sedang menangis. Dia bergeming
waktu kuajak menari. Dia sedang menuntaskan dukanya. Dia sedang kuatir dengan
masa depan anaknya. Dia sedang menyesalkan suaminya, yang masih terganggu
egonya ketika simbol-simbol kelaziman dipertanyakan.
Aku menyanyi seperti memutar rekaman tanpa penjiwaan
sama sekali. Aku sedang terlarut di dalam pertanyaan tentang nasibku. Tanpa aku
sadari waktu sudah lewat tengah malam. Jejer Pathet Sanga baru saja
dimulai. Pathet Sanga dibuka dengan adegan Gara-Gara. Dunia
digambarkan sedang sekarat. Para pandhita tidak mampu mengucap mantra.
Sang raja tidak berdaya hanya memohon kepada Dewa. Namun Dewa sedang bersedih
karena terkena pageblug juga. Keadaan pakeliran persis seperti hatiku, Gara-Gara.
“Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelip.”
demikian suluk Pak Dalang.
“Seperti itu juga gejolak hatiku.”
“Katon lir kincanging alis risang maweh gandrung.” seru
Pak Dalang.
“Tampak seperti gerak alis saat kasmaran, ah itu
dulu.”
“Sabarang kadulu wukir moyag-mayig.”
papar Pak Dalang.
“Gunung-gunung tak lagi berpijak seperti hatiku.”
“Saking tyas baliwur lumaris anggandrung.”
suara Pak Dalang serak.
“Mungkin dulu, kami memutuskan menikah dari hati
yang kacau.”
“Dhuh Sang Ri Sumitra, tanlyan paran reh kabeh
sining wana, nangsaya maringsun.” pungkas Pak Dalang.
“Iya, itulah lakon hidupku, segala rupa warna isi
kehidupan sekarang tidak lagi berpihak padaku.” aku tertunduk.
Sudah kehendak Sang Pencipta, Gara-Gara perlahan
mereda. Seperti janjinya bahwa Dia akan mengasihi hingga akhirat. Muncullah
Semar, sosok Dewa yang memanusia. Dia bagai sinar menembus kegelapan. Dia yang
selalu berpesan sama di setiap kesempatan, kala hati sedang lara. Pesan itu
adalah pesan pelipur bagi hatiku.
“Mbegegeg.” kata Semar.
“Daripada diam bersedih, anakku.”
“Ugeg-ugeg.” ujarnya.
“Bergeraklah jiwa dan badanmu.”
“Mel-mel sak dulito.” dia hendak meyakinkan.
“Berupayalah walau sedikit.”
“Langgeng.” pungkasnya.
“Lakumu itu akan abadi.”
Mantra ini seperti manjur bagi hatiku. Dia pun
bergerak. Dia ikut menari dengan irama gendhing. Dia memandang teguh
penonton. Aku Hana, sekarang menjanda karena keyakinanku.
***
Glosarium:
Jagat pakeliran: penggambaran dunia kecil dalam
wayang.
Pathet Enem: babak pembukaan pada pertunjukan
wayang.
Gendhing Patalon: iringan gamelan pembuka.
Kelir: layar dalam pertunjukan.
Suluk Pathet Enem: lagu pembuka.
Sang Akarya Jagat: sang Pencipta.
Suluk: tembang jawa.
Wayang Gunungan: wayang berbentuk gunung dan hutan.
Blencong: lampu minyak untuk memproyeksikan
bayangan, sekarang diganti lampu sorot yang lebih terang.
Ma Hyang: asal mula kata wayang, artinya menuju
Tuhan.
Kenes: genit.
live streaming/Streaming: siaran langsung di
internet.
Limbukan: salah satu babak dimana banyak improvisasi
hiburan.
Gara-gara: salah satu babak dengan pertunjukan
hiburan yang dimainkan oleh para Ponokawan.
Jejer Paseban Jaba: adegan untuk menggambarkan asal
muasal konflik.
Jejer Kedhatonan: adegan di sisi terdalam dengan
dialog intim dan mendalam.
Pakem: pedoman.
Gagrak Lawasan: gaya pertunjukan jaman dahulu.
Nyawer: memberi tips.
Kowe: kamu
Ben: biar
off-line: di luar jaringan.
On-line: di dalam jaringan.
Hape: handphone.
Bully: pelecehan.
Kepyak: bunyi-bunyian tanda dari dalang.
Nembang gendhing: menyanyi tembang jawa
Swargaloka:
surga
Panjenengane Bapa: Yang
terhormat Bapak
Bungah sing tanpo upama: sangat bahagia
Sang Hyang Maha Widhi: Tuhan.
Trimurti: 3 dewa Hindu.
Bantala: bumi.
Gedebog: batang pisang.
Caping Gunung: judul tembang jawa.
Jejer Pathet Sanga: adegan saat krisis memuncak.
Pathet Sanga: situasi saat krisis memuncak.
Pandhita: Pemuka agama dan kepercayaan.
Tembang Limbukan:
“Pang-pung pang-pung pang-pung pang-pung.”
“Ketipung naruntung rebana mbarung.”
“Tali temali angering lari”
“Cikat-cikut gumregut trangginas trampil.”
“Suling njempling angliling trus sumanding.”
“Nyoto dadi srono bareng lan wiromo.”
“Pang-pang pung pang-pang pung ketipung naruntung.”
Terjemahan:
“Pang-pung pang-pung pang-pung pang-pung.”
“Suara ketipung runtut dan suara rebana bergema. ”
“Tali temali mengikuti.”
“Bergegas rajin sigap terampil.”
“Seruling melengking melihat kesamping.”
“Nyata menjadi wahana Bersama yang serasi.”
“Pang-pang pung pang-pang pung suara ketipung
runtut.”
*) Rinto Andriono adalah seorang konsultan UNDP untuk Indonesia, dulu ia adalah seorang aktivis anti korupsi yang militan di GeRAK Indonesia. Pasca terserang stroke, ia kemudian mengambil keputusan untuk belajar menulis sastra di Akademi Menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar