Imam
Nawawi *
Tanggal
28 Juli 2018, Kiai Penyair Muhammad Faizi, Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah
Sumenep, membacakan “Puisi Doa” di hadapan para wartawan dan jajaran birokrat
Sumenep. Berikut ini lantunan bait-bait sajaknya:
“...
Ya Allah, aku berlindung dari silap geli penyair, yang melihat sembilu laksana
belati, karena pandangannya adalah seperti. Aku berlindung dari sajak penyair,
yang mabuk mandam sajak-sajaknya, mengatakan separuh puisi, menyembunyikannya
separuh lagi. Ya Allah, aku berlindung dari khayal penyair, yang menyepuh hak
kepada batil, karena kesamaran yang disamarkan, karena kebenaran yang
diserupakan, pada majaz menipu tafsir.
Aku
berlindung kepadamu, Ya Allah, yang melaungkan jalan pulang, bagi puisi di
rimba bahasa, menulis esok untuk yang lusa, menulis yang fana untuk yang baqa. Jika
hidupnya sebatas usia, tentu dia bukan penyair, karena kata di dalam sajak,
akan selalu habis di ujung baris bait terakhir.
Ya
Allah, ridhailah kami, jiwa kami, para wartawan ini, para penulis ini, semua
yang ada di tempat ini, untuk berjihad dengan cara menulis. Niatkanlah kami
tulus dan hati mukhlis. Berilah kami keteguhan, ketika uang dan tahta hendak
merapuhkannya. Berilah kami ketekunan ketika harga dan penghargaan hendak
melemahkannya. Berilah kami kebenaran ketika kekuasaan hendak mengancamnya...”
Hamsa
Michael Stainton (2013), dengan mengkaji puisi-puisi doa dalam aliran Siwaisme,
melihat bagaimana sebuah puisi mampu mengintegrasikan tradisi, teologi, ibadah
dan pengabdian pada Dewa Siwa. Sehingga Stainton tiba pada kesimpulan bahwa
puisi doa di Asia Selatan ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara puisi
dan doa. Muhammad Faizi (M. Faizi), melalui bait-bait Puisi Doa di atas, tidak
saja bicara soal tradisi, teologi, dan ibadah, melainkan juga nilai-nilai
kebangsaannya sangat kental sekali.
Pada
bait “Ya Allah, aku berlindung dari silap geli penyair, yang melihat sembilu
laksana belati, karena pandangannya adalah seperti,” M. Faizi hendak bicara tentang perkara
epistemologis nalar para penyair. Nalar yang sering jatuh ke jurang terdalam
nalar analogi. Sembilu dianggap belati, padahal belati dan sembilu, dua perkara
berbeda, sekali pun pada atribut tertentu memiliki keserupaan. Dari sanalah,
seorang penyair bagi M. Faizi memilik pandangan yang selalu analogis, atau
“seperti”. Nalar analogis merupakan sebuah kesilapan yang menggelikan dan lucu.
Dalam
tradisi filsafat Barat, diskursus nalar analogis (analogical reasoning)
ini menjadi tema sentral. Bapak Analogi itu Aristoteles yang memperkenalkan
istilah “Analogia”. Dari istilah ini ada yang disebut “Paradeigma”, yakni
hal-hal yang dijadikan percontohan. Dalam puisi M. Faizi, Paradeigma ini bisa
berupa diksi “sembilu” dan “belati”. Selain itu, ada yang disebut “Homoiotes”,
yaitu aspek kesamaan dari hal-hal yang dijadikan percontohan. Aspek kesamaan
antara “sembilu dan belati” bagi Aristoteles disebut “Homoiotes”. Seiring
perkembangan sejarah filsafat Barat, tema nalar analogi berkembang pesat,
membentuk satu tradisi berfilsafat tersendiri.
Dalam
dunia Islam, filsafat analogi juga tidak kalah pesat. Tradisi bernalar analogis
ini disebut Qiyas. Bahkan, Qiyas (analogical reasoning) ini menjadi salah satu
pilar utama disiplin ilmu Ushul Fiqih, yakni dasar-dasar filsafat hukum Islam
(Fiqih). Posisi Qiyas berada pada hirarti ke-4 menurut mazhab Sunni setelah
Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Sementara mazhab Syi’ah menganggap, Qiyas
(analogical reasoning) ini bermasalah. Bukan hanya Syi’ah, mazhab Mu’tazilah
dan Dhahiriah pun menganggap Qiyas itu sebuah masalah besar dalam hukum Islam.
Dalam
tradisi sastra, M. Faizi juga menganggap “pendangan penyair yang seperti”
sebagai sebuah “kesilapan” penyair. Silap, berarti “suatu kesalahan dalam
penglihatan atau perasaan, karena apa yang dilihat dan dirasa berlainan dengan
keadaan sebenarnya,” (KBBI Daring, 2020). Ada banyak faktor sosiologis yang
mendorong M. Faizi memohon perlindungan kepada Allah swt, dari kesilapan
penyair akibat nalar analogis atau Qiyasi ini. Pertama, “mabuk mandam sajak-sajaknya.”
Semua karya penyair separuh untuk publik, separuh lagi untuk dirinya
sendiri.
Dalam
situasi dan kondisi dimana pembaca hanya mungkin menangkap separuh bagian dan
kehilangan separuhnya lagi, maka para filsuf bekerja keras untuk menciptakan
terowongan, terobosan, agar mampu meraih sisa yang tidak terungkap tersebut.
Hermeneutika menjadi angin segar dan oase di tengah padang pasir. Tradisi dan
praktik hermeneutis ini lahir sejak era Yunani kuno. Namun, teks buku perihal sistematis
yang memperkenalkan hermeneutika secara umum pada karya Johann Conrad Dannhauer
(1630), yang mempertajam Organon (karya-karya logika dari Aristoteles). Tujuan
sang teolog, J.C. Dannhauer, ialah mencari makna yang benar dalam dan
membedakannya dari yang palsu.
Di
mata sastrawan M. Faizi, kepalsuan makna itu datang dari “khayal penyair,
yang menyepuh hak kepada batil, karena kesamaran yang disamarkan, karena
kebenaran yang diserupakan, pada majaz menipu tafsir”. Untuk itulah,
upayanya sebagai Kiai dan Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah dalam mencari
kebenaran, tidak melulu menggunakan hermeneutika, melainkan lewat doa-doanya kepada
Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui.
Setelah
memberikan argumentasi filosofis tentang kekhawatiran-kekhawatirannya atas
nalar analogis berikut dampak-dampaknya, M. Faizi meninggalkan diskusi filsafat
dan mendaki menuju diskursus keimanan serta teologis. Ia mengatakan, “Aku
berlindung kepadamu, Ya Allah, yang melaungkan jalan pulang, bagi puisi di
rimba bahasa.” Sang penyair memiliki keimanan kuat, bahwa Allah memiliki
kuasa untuk mengajak pulang puisi dari rimba bahasa, yang rimbun oleh
semak-semak belukar kepalsuan. Puisi yang berhasil pulang dan keluar dari rimba
kepalsuan, akan “menulis esok untuk yang lusa, menulis yang fana untuk yang
baqa.” Allah swt Maha Mampu melahirkan puisi sejenis itu dari tangan
kreatif para penyair.
Begitu
juga, ciri-ciri penyair yang sudah keluar dari rimba bahasa dan pulang ke jalan
Allah swt, maka karya-karyanya akan abadi. Kata M. Faizi, “jika hidupnya
sebatas usia, tentu dia bukan penyair, karena kata di dalam sajak, akan selalu
habis di ujung baris bait terakhir.” Secara sosiologis, ini fenomena
alamiah; betapa banyak puisi diciptakan dan dilupakan, lalu pada saat bersamaan
banyak juga puisi yang abadi, bahkan hidup ribuan tahun setelah penyairnya
meninggal. Kita tidak perlu menyebut satu persatu puisi-puisi para sufi, yang
tidak saja dibaca oleh pengikutnya, melainkan juga ampuh untuk memenuhi
kebutuhan spiritual-material sehari-hari mereka.
Dengan
begitu, tidak berlebihan apabila Philip C. McGuire (1974) menyebutkan nama-nama penyair doa dari Ingris,
seperti Jonson, Donne, dan Herbert, di mana karya-karya mereka menginspirasi
lahirkan renaissance Eropa. Juga tidak berlebihan Jana Juhasova (2014) mengatakan
bahwa para penyair doa di Slovakia mampu mengubah masyarakatnya dari semua
totaliterianis menjadi lebih liberal dan demokratis. Semua berkat tenaga
dahsyat yang terkandung dalam bait demi bait puisi doa mereka.
Dan,
sebagaimana Jana Juhasova berpandangan, bahwa puisi doa menggambarkan realitas
sosial, M. Faizi pun demikian. Ia melihat kejatuhan para penyair dalam
kesilapan menggelikan, dan keterpurukan puisi ke dalam rimba bahasa yang jauh
dari Tuhan, sebagai akibat lansung dari fenomena sosial yang eksternal. Hal itu
tercermin dalam bait:
“...
Berilah kami keteguhan, ketika uang dan tahta hendak merapuhkannya. Berilah
kami ketekunan, ketika harga dan penghargaan hendak melemahkannya. Berilah kami
kebenaran, ketika kekuasaan hendak mengancamnya...” Faktor-faktor
eksternal ini tidak memiliki hubungannya dengan puisi per se. Sebaliknya,
semua itu godaan-godaan eksternal, yang dibawa masuk oleh setan ke dalam hati para
penyair, sehingga kemampuan menulis dan berkarya menjadi komoditas untuk
diperjual-belikan demi kebutuhan pragmatis berjangka pendek.
Terakhir
sebagai menutup tulisan ini, saya ingin mengutip komentar Kiai M. Faizi atas
tulisan saya sebelumnya, yang berjudul “Covid-19, Momentum Kebangkitan Puisi
Doa”. M. Faizi menulis, “Susunan doa-doa itu memang cenderung puisi. Bikin doa
bisa. Tirakatnya yang agak berat!” Saya akan jawab komentar itu dengan begini,
“Jika para penyair harus melakukan tirakat yang berat untuk menciptakan
sepenggal puisi, apa bedanya dengan seorang wali?”
*)
Imam Nawawi, santri-humanis Madura.
http://sastra-indonesia.com/2020/06/puisi-doa-kiai-muhammad-faizi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar