Djoko Saryono *
Hari ini, 23 tahun lalu, salah seorang guru dan pembimbing disertasi saya tutup usia. Tuhan mencukupkan usia Pak Hazim Amir, putra Kota Gede Yogyakarta, yang saya idolakan pada 20 Mei 1997. Untuk menandai haulnya kutuliskan esai berikut.
/1/
Lelaki gagah, besar, dan langsat bernama Hazim Amir dilahirkan di Yogyakarta, 3 Agustus 1937 dan menutup usia di Malang pada 20 Mei 1997 yang sepanjang usia berumah di Perumahan IKIP Malang, Jalan Muntilan 4 Malang (sekarang sudah menjadi sisi barat Graha Rektorat Universitas Negeri Malang). Mendiang Hazim Amir merupakan manusia unik multi-talenta, lintas sektoral, dan berdaya jelajah intelektual luas yang dimiliki oleh Universitas Negeri Malang, bahkan Kota Malang dan Provinsi Jawa Timur. Dia mewakafkan atau menghabiskan hidupnya untuk menjelajahi bentangan aktivitas kehidupan yang demikian luas. Sebagai pribadi yang bernasab kyai terkemuka, dia menguasai bidang keagamaan meskipun jarang ditonjolkannya. Dia tampak lebih terpesona, menyukai, dan menjelajahi spiritualitas atau religiositas daripada formalisme agama. Sebagai pribadi yang secara intensif melibatkan diri sepanjang hidup dalam bidang kesenian dan kebudayaan, dia pemikir sekaligus pekerja budaya dan seniman yang tangguh dan terpandang.
Dia menempuh jalan kesenian dan kebudayaan secara kafah dan bahagia tanpa terganggu oleh persepsi dan pandangan masyarakat yang kurang nyaman. Para pekerja budaya, pemikir seni, dan seniman Indonesia, misalnya Emha Ainun Najib, Suprapto Suryodarmo, dan Umar Kayam, menaruh hormat kepadanya. Sebagai pribadi yang menggumuli seni khususnya seni pertunjukan dan susastra, dia seorang pengayom kesenian, sutradara, dan penerjemah karya sastra yang tergolong ulung. Dia mendirikan dan mengelola kelompok Teater Melarat, ikut mendirikan Dewan Kesenian Surabaya dan Dewan Kesenian Malang di samping mengayomi berbagai kelompok kesenian rakyat/tradisional dan modern. Demikian juga garapan-garapan teaternya yang khas enak dinikmati dengan pilihan lakon-lakon yang bernas, sedang terjemahan- terjemahan karya sastranya sangat enak dibaca.
Sebagai pribadi yang sadar mencemplungkan diri ke dalam dunia kesenian, dia juga seorang kolektor benda- benda seni dan benda-benda tradisi, misalnya lukisan, gentong, cikar, gebyog, dan guci-guci antik. Sebagai pribadi yang sangat menjunjung tinggi manusia, dia memiliki empati, simpati, dan pemihakan kepada kaum terpinggirkan, tertindas, dan termiskinkan secara sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya. Tak heran, dia mencintai bakul-bakul kecil dengan cara membeli dagangan mereka memihak para pelacur dengan cara memberikan advokasi mereka dan melindungi seniman- seniman tradisi dengan cara mendampingi dan mengunjungi mereka.
Sebagai pribadi yang mencintai pemikiran, pengetahuan, dan keilmuan, dia akademisi cum intelektual organik yang selalu melibatkan diri di tengah persoalan masyarakatnya, membaca buku-buku dengan tekun sekaligus memutakhirkan ilmu dengan mengoleksi buku yang demikian beragam dan banyak, dan intensif memproduksi pemikiran yang kemudian disiarkan berbagai media, pertemuan ilmiah, dan penerbitan. Sebagai pribadi yang mengabdikan diri di dunia pendidikan, dia salah seorang pendidik profilik yang dimiliki oleh Universitas Negeri Malang, cara mengajarnya begitu dialogis, egaliter, dan humanis serta amat unik pada masanya tanpa kehilangan objektivitas kepada para mahasiswanya. Tak pelak, Hazim Amir merupakan manusia generalis yang memiliki daya jelajah perhatian, pemikiran, keilmuan, dan kiprah yang demikian luas.
Penjelajahan perhatian, pemikiran, keilmuan, dan kiprah Hazim Amir yang demikian luas tersebut berhulu pada manusia pada satu sisi dan pada sisi lain terbuhul pada kemanusiaan. Manusia dan kemanusiaan menjadi sumbu-utama perhatian, pemikiran, dan tindakan Hazim Amir. Dalam karya puncaknya berupa disertasi bertajuk Nilai-nilai Etis dalam Wayang dan Pendidikan Watak Guru (1984) yang visioner dan otentik tergambar gamblang keyakinan Hazim Amir akan arti penting manusia dan kemanusiaan dalam kehidupan dunia. Demikian juga dalam percakapan pribadi, dialog perkuliahan, dan tulisan-tulisan lepas (berupa artikel dan makalah) terpancar kuat keyakinan Hazim Amir bahwa manusia merupakan makhluk luhur, mulia, dan agung karena menjadi khalifah Tuhan sekaligus hamba Tuhan di muka bumi selain memiliki otoritas sebagai individu yang merdeka di bumi. Di sinilah kemanusiaan menjadi amat fundamental dan sentral dalam derap kehidupan manusia. Kemanusiaan harus menjadi batu penjuru dan titik-tuju perhatian, pemikiran, dan tindakan manusia dalam ranah-ranah kehidupan yang semakin beraneka ragam dan kompleks.
Oleh karena itu, kemanusiaan perlu selalu dipantau dan diperiksa kondisinya pada satu sisi dan pada sisi lain perlu selalu dijaga dan dilindungi keberadaan, kedudukan, fungsi, dan perannya dalam berbagai ranah kehidupan manusia. Pelecehan, penistaan, dan lebih-lebih penindasan manusia dan kemanusiaan membuatnya geram, misalnya hal ini tampak pada makalah bertajuk Kesenian Rakyat: Dalam Kondisi Kemanusiaan yang Brengsek Ini Bagaimana Ia Harus Hidup? yang dibentangkan dalam Sarasehan Kesenian Rakyat, Parade Seni W.R. Soepratman (Mei 1995) dan Sasakku Sayang, Sasakku Malang yang dibentangkan dalam Seminar Nasional Masa Depan Pariwisata Lombok di Mataram (April 1994). Lakon-lakon yang disutradarai dan dipentaskannya, antara lain Dalam Bayangan Tuhan (Arifin C. Noor), Aduh (Putu Wijaya), dan Kisah Kebun Binatang (Edward Albee), mencerminkan kegalauannya akan kondisi kemanusiaan dan masa depan kemanusiaan yang berada di bawah bayang-bayang ancaman.
Sikap, tindakan, dan perilaku sehari-harinya di dunia pendidikan, kesenian, kebudayaan, masyarakat umum, dan lain-lain secara tegas memancarkan penghormatan, pemuliaan, dan pengagungan kepada manusia dan kemanusiaan. Sebagai contoh, di tengah kegiatan rutinnya berjalan kaki pagi hari, pada suatu pagi dia singgah ke rumah saya dengan menenteng pisang ranum yang katanya baru dibeli dari seorang penjaja buah-buahan yang sudah tua dan memikul dagangannya. Dengan kata lain, dia membeli pisang karena berempati kepada lelaki tua penjual buah-buahan, bukan karena membutuhkan pisang! Oleh karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Hazim Amir merupakan seorang humanis tulen/par excellence yang memiliki cadangan energi kemanusiaan melimpah pada satu sisi dan pada sisi lain stamina perjuangan kemanusiaan yang tangguh.
Perhatian, pemikiran, dan tindakan kemanusiaan Hazim Amir diartikulasikan secara reflektif, puitis, dan persuasif. Tulisan-tulisan Hazim Amir yang merekam perhatian dan pemikiran kemanusiaannya cenderung reflektif dan puitis yang otentik dan visioner, tidak argumentatif dan konvensional. Dalam disertasi Nilai-nilai Etis dalam Wayang dan Pendidikan Watak Guru dia menulis:
Hari ini, subuh 1 Oktober 1984, saya mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah membangkitkan saya dari kejatuhan saya yang menuntun sukma, jiwa, dan raga saya untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan sebaik- baiknya. (hlm. Iv)
Pada bagian lain disertasinya dia menulis:
Pendidikan watak memegang peranan penting dalam hidup manusia oleh karena ia berfungsi sebagai wahana pembentukan kepribadian etis manusia dan ia berfungsi sebagai wahana pembentukan kepribadian etis bangsa (hlm. 259).
Dalam makalah berjudul Kesenian Rakyat: Dalam Kondisi Kemanusiaan yang Brengsek Ini Bagaimana Ia Bisa Hidup?, dengan meminjam ekspresi-ekspresi naskah drama, puisi, dan petikan fiksi, dia menulis begitu reflektif dan puitis:
Hidup kita yang panjang, kata Arifin, ternyata tidak membuat kita makin memahami arti hidup, tidak memahami kehendak Tuhan atas hidup ini:
Beratus-ratus tahun sudah Kita tak pernah istirah
Betapa panjang ini perjalanan Betapa panjang bayangan Tuhan Betapa menyilaukan cahaya Tuhan Kadang membutakan
Kadang membutakan
(Arfin C. Noer, Dalam Bayangan Tuhan)
Hidup kita yang panjang, menurut Surachman, tidak membuat kita bertambah dewasa:
Jauh nian perjalananmu…
Tapi tidak juga kau tambah dewasa
(Surachman R.M., Suatu Hari di Musim Dingin)
Hidup kita yang panjang, kata Pablo Neruda, membuat kita makin lama makin bodoh. “Kita tak pernah lagi membuat pertanyaan-pertanyaan.” Kita menjadi bodoh, kata Emha, karena kita hanya mengulangi hal yang sama selama ini, mengulangi kesalahan yang sama (Ambang).
Demikian juga tindakan-tindakan Hazim Amir yang menggambarkan kiprah dan perjuangan kemanusiaannya diartikulasikan secara reflektif dan etis dengan keindahan laku yang diyakininya manusiawi. Hal ini tampak pada kebiasaannya beranjangsana atau bersilaturahmi kepada para seniman, sahabat, dan kawan-kawan diskusinya. Demikian juga terlihat dalam sambutan dan penerimaannya kepada sahabat-sahabatnya. Pada masanya, kegalauan hidup Emha Ainun Najib beserta keluarga diberi empati dan simpati yang mengesankan. Sahabat- sahabatnya seperti Suprapto Suryodarmo, Halim HD, Fadjar Suharno, dan lain-lain diterima di rumahnya dan dijamu dengan kehangatan sebagai keluarga, tanpa berhitung soal waktu dan makanan. D. Zawawi Imron, sahabatnya yang kyai dan penyair terkemuka, selalu dijamu setiap bertandang ke Malang; tak jarang mereka berdua berapresiasi puisi semalam suntuk: Zawawi membaca puisi-puisi kesayangannya dan Hazim Amir mengulas beralaskan pandangan kemanusiaannya.
Menurut Hazim Amir, mereka semua adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia, diperlakukan setara sebagai sesama manusia, akademisi cum intelektual tidak boleh jumawa dengan ilmu dan posisi sosialnya, dan yang merasa manusia biasa tidak boleh merunduk-runduk menghamba kepada manusia yang merasa lebih tinggi. Hal tersebut harus dikerjakan oleh setiap manusia yang menjunjung kemanusiaan meskipun harus melalui jalan berkelok dan memutar. Berkata Hazim Amir dalam disertasinya, “Untuk sampai kepada sesuatu tujuan, terkadang kita perlu menempuh jalan memutar, demikian kata Albee dalam dramanya yang amat terkenal Kisah Kebun Binatang (The Zoo Story)…. Untuk sampai pada tujuan akhir studi saya, yakni pengkajian tentang nilai-nilai etis dalam wayang dan pendidikan watak guru, saya harus menempuh jalan memutar yang panjang.” (hlm. vi). Hazim Amir memang tidak memuja linieritas dan kelugasan dalam mengartikulasikan pemikiran dan tindakan kemanusiaannya. Yang penting di sini pemikiran dan tindakan kemanusiaan dapat diartikulasikan secara efektif dan etis dengan penuh penghormatan kepada manusia dan kemanusiaan.
/2/
Pemikiran besar tentang manusia dan kemanusiaan yang melahirkan mazhab pemikiran dan gerakan humanisme dapat diusut muasalnya sejak zaman kuno di berbagai gugusan kebudayaan dan peradaban. Namun, kesadaran manusia tentang fundamental dan sentralnya manusia dalam kehidupan di dunia pada satu sisi dan pada sisi lain kesadaran manusia yang menempatkan manusia sebagai subjek kehidupan baru berkembang pada abad-abad masehi. Tumbuh berkembangnya kesadaran tersebut tidak serta-merta menumbuhkembangkan dan menyuburkan penghormatan, pengagungan dan pelindungan terhadap manusia dan kemanusiaan.
Nasib dan kondisi manusia dan kemanusiaan sebagai subjek kehidupan mendayung di antara berbagai karang halangan yang tampak pada berbagai petaka dan nestapa yang silih berganti menimpa manusia dan kemanusiaan. Berbagai bentuk dan tipe pengingkaran, penistaan, dan penindasan terhadap manusia dan kemanusiaan terus- menerus terjadi sekalipun gerakan kemanusiaan atau gerakan humanisme terus- menerus digelorakan. Oleh karena itu, perjuangan menegakkan, menghormati, mengagungkan, dan melindungi manusia dan kemanusiaan memang tidak mudah dilakukan. Di sinilah Hazim Amir menyadari betapa berat dan berkelok-keloknya perjuangan menempatkan manusia sebagai subjek kehidupan sehingga dia memilih jalan menikung, bahkan memutar dalam merealisasikan tindakan berkemanusiaan. Bagi Hazim Amir, banyak pegiat gerakan kemanusiaan terserang oleh miopia dan fatamorgana seolah-olah jalan lurus, mulus, dan lugas telah terbentang untuk menempatkan manusia sebagai subjek kehidupan dan kemanusiaan sebagai entitas kehidupan manusia di dunia.
Pada masa belum tumbuh berkembangnya kesadaran tentang manusia sebagai subjek dan kemanusiaan sebagai entitas kehidupan manusia, keberadaan dan kedudukan manusia tergulung oleh mitologisme dan religiosisme. Dalam kebudayaan dan peradaban mitis, manusia tidak memiliki otonomi dan otoritas, tidak mempunyai kemerdekaan dan kedaulatan, sehingga tidak berposisi sebagai subjek dalam dunia. Individuasi tidak terjadi sehingga manusia tenggelam dalam tatanan kosmologis yang serba mitis. Di sini kemanusiaan tidak berarti yang berakibat manusia berada di dalam ketidakberdayaan, kebodohan, dan kekolektifan pasif di samping kehilangan tindakan bertujuan dan mengalami kehampaan makna. Pendek kata, manusia mengalami dehumanisasi secara sistemis dan kultural.
Akan tetapi, ketika telah tumbuh dan berkembang kesadaran tentang manusia sebagai subjek dalam dunia dan kemanusiaan sebagai entitas kehidupan di dalam dunia, dehumanisasi tetap terus-menerus terjadi. Sejak fajar abad modern atau abad pencerahan sampai sekarang pada Abad XXI ancaman terhadap manusia dan kemanusiaan semakin bertubi-tubi dan menjadi-jadi sehingga kelangsungan hidup manusia, bukan hanya kebebasan manusia, berada dalam ancaman serius. Ancaman serius ini bukan hanya berasal dari pihak-pihak yang memang tidak setuju atau menolak otonomi dan otoritas manusia di dunia, yang menempatkan manusia sebagai subjek dalam dunia, dan mengagungkan kemanusiaan dalam kehidupan dunia, tetapi juga dari pihak-pihak yang justru menjadi elemen penting gerakan kemanusiaan atau gerakan humanisme. Dengan semangat hendak membebaskan manusia dari kungkungan dogmatis agama [yang begitu traumatis bagi orang-orang Eropa], kaum pergerakan kemanusiaan atau humanisme justru terperosok ke dalam pemikiran dan tindakan menghilangkan Tuhan dalam kemanusiaan sehingga muncul fenomena kemanusiaan tanpa Tuhan. Di sinilah berkembang humanisme sekular dan humanisme ateistis yang menceraikan kemanusiaan dari ketuhanan pada satu sisi dan pada sisi lain meniadakan ketuhanan di dalam kemanusiaan. Di samping itu, dengan semangat menegakkan, menjunjung, dan mensentralkan kemanusiaan dalam kehidupan, kaum pergerakan kemanusiaan atau humanisme justru terjerumus ke dalam tindakan-tindakan tidak berkemanusiaan.
Niat-niat, metode-metode dan strategi-strategi gerakan humanisme untuk menegakkan dan melindungi manusia dan kemanusiaan justru terjerumus ke dalam niat, metode, dan strategi tidak berkemanusiaan. Sebagai contoh, niat, metode, dan strategi membudayakan dan memberadabkan manusia dan menyebarkan kemanusiaan di dunia Timur atau Selatan (baca: non-Eropa) oleh orang-orang Eropa justru melahirkan kolonialisme yang notabene mencampakkan harkat dan martabat manusia. Niat, metode, dan strategi membela dan melindungi manusia dan kemanusiaan dari hegemoni atau dominasi multidimensional oleh kelompok tertentu justru menumbuhsuburkan terorisme, yang notabene menggilas manusia. Demikian juga fasisme, totaliterisme, diktatorialisme, dan anti-humanisme justru muncul akibat semangat berlebihan mendesakkan kemanusiaan dengan metode dan strategi yang tidak menghargai harkat dan martabat manusia.
Di situlah muncul fenomena kemanusiaan tanpa manusia. Baik kemanusiaan tanpa manusia maupun kemanusiaan tanpa Tuhan merupakan lubang hitam gerakan kemanusiaan atau humanisme yang bertitup di berbagai belahan dunia. Dalam keadaan seperti ini terjadilah krisis kemanusiaan; manusia justru mengalami dehumanisasi bahkan kemanusiaan mengalami kematian, kata F. Budi Hardiman dalam buku Humanisme dan Sesudahnya (Kanisius, 2012). Bagi Hazim Amir, hal tersebut merupakan bukti bahwa kondisi kemanusiaan begitu brengsek, seperti terlihat dari judul tulisan Kesenian Rakyat: Dalam Kondisi Kemanusiaan yang Brengsek Ini Bagaimana Ia Bisa Hidup? (1995).
Hazim Amir berpandangan, dengan beracuan spiritualitas atau religositas Islam yang diyakininya, gerakan kemanusiaan atau humanisme pertama-tama harus menempatkan manusia sebagai khalifah Tuhan di dunia pada satu sisi dan pada sisi lain manusia sebagai hamba Tuhan di dunia dan di seberang dunia. Otonomi dan otoritas manusia di dunia tidak boleh hanya disekularasi atau ditambatkan pada dunia semata, tetapi juga harus ditransendensi atau ditinggikan menerobos batas-batas dunia mencapai Tuhan. Di sinilah Hazim Amir meletakkan kemanusiaan dengan kehadiran Tuhan dan manusia sekaligus. Saya ingin menyebut pemikiran Hazim Amir ini dengan istilah humanisme transendental, sebuah humanisme yang meletakkan kemanusiaan dengan kehadiran Tuhan dan manusia secara serentak karena posisi manusia di bumi sebagai wakil Tuhan sebagai pemelihara bumi sekaligus makhluk Tuhan yang selalu merindukan pulang kepada Tuhan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa humanisme transendental ala Hazim Amir berbeda dengan humanisme ateistis, humanisme sekular, dan humanisme religius serta humanisme universal yang justru telah menimbulkan dehumanisasi, merendahkan harkat dan martabat manusia, dan bahkan mencerabut manusia sebagai subjek di dunia. Humanisme transendetal ala Hazim Amir menempatkan manusia sebagai subjek di dunia yang memiliki otonomi dan otoritas di dunia. Sebagai subjek di dunia yang otonom dan otoritatif urusan dunia, manusia memiliki batu-penjuru kemanusiaan dan titik-tuju ketuhanan. Dalam posisi dan kewenangan seperti ini, manusia memiliki kemampuan mengembangkan potensi-potensi dan bakat-bakatnya sebagai manusia selama hidup di dunia sekaligus mempunyai tugas dan kewajiban memelihara kelangsungan semesta selama hidup di dunia.
Untuk menyebut hal ini, Hazim Amir sering menggunakan ungkapan budaya Jawa mamayu hayuning bebrayan dan mamayu hayuning bawana (memperindah keindahan kehidupan bersama manusia dan memperindah keindahan semesta). Dengan demikian, dalam humanisme transendental ala Hazim Amir, manusia bertugas meningkatkan secara berkelanjutan keindahan kebersamaan hidup manusia sekaligus keindahan semesta karena dalam kondisi demikian potensi dan bakat manusia dapat berkembang untuk kelangsungan hidupnya, kemanusiaan dapat dihormati dan diagungkan, dan kehidupan manusia dapat dijalankan secara berkemanusiaan.
Menurut Hazim Amir, masalah-masalah kehidupan manusia di dunia yang mengancam dan menghilangkan kemanusiaan pada umumnya bersumbu pada masalah-masalah etis sehingga kemanusiaan berentitas etika dan moralitas pada satu sisi dan pada sisi lain manusia berkemanusiaan bermakna menjadi manusia etis dan bermoral. Dalam pandangan Hazim Amir, berbeda dengan pandangan umum yang berkembang di Eropa, etika dan moralitas berjalinan erat dengan religi, filsafat, dan estetika; tidak ada etika dan moralitas tanpa religi, filsafat, dan estetika (lihat Nilai- nilai Etis dalam Wayang dan Pendidikan Watak Guru, 1985, 35). Di sinilah dapat diperluas paham kemanusiaan Hazim Amir: kemanusiaan berentitas etika-moralitas, religi, filsafat, dan estetika sehingga menusia berkemanusiaan bermakna menjadi manusia etis, manusia religius/spiritual, manusia filosofis, dan manusia estetis.
Manusia etis adalah manusia yang senantiasa menempatkan setara sesama manusia; manusia spiritual adalah manusia yang senantiasa memiliki kesadaran melampaui batas-batas material atau duniawi; manusia filosofis adalah manusia yang senantiasa sanggup merenung secara mendalam dan menampilkan keutamaan, tidak memuja- muja kedangkalan dan materialitas; dan manusia estetis adalah manusia yang senantiasa sanggup menyuguhkan dan menampilkan keindahan dalam perasaan, pemikiran, dan tindakan. Menurut hemat saya, inilah substansi manusia transendental, kemanusiaan transendental, dan humanisme transendental yang dipikirkan dan dipraktikkan oleh Hazim Amir.
Untuk menjadi manusia transendental yang menumbuhsuburkan kemanusiaan transendental, manusia harus memiliki persepsi sejati yang akan membuahkan realitas sejati. Dikemukakan dalam Nilai-nilai Etis dalam Wayang dan Pendidikan Watak Guru, realitas sejati yang diolah oleh intelegensi sejati akan membuahkan pengetahuan sejati; pengetahuan sejati diolah oleh rasa sejati akan membuahkan kesadaran sejati; kesadaran sejati yang diolah oleh sukma sejati akan menghasilkan keadilan sejati dan kesucian sejati; kesucian sejati dan keadilan sejati akan mampu membuahkan kebenaran sejati; kebenaran sejati akan menjadi landasan tumbuhnya keyakinan sejati, watak sejati, sikap sejati, kebijaksanaan sejati, dan tindakan sejati untuk melangsungkan hidup, mempertahankan hidup, dan mengembangkan hidup bersama di alam semesta.
Lebih lanjut, hal tersebut dapat menjadi sumber menyempurnakan hidup. Hidup yang sempurna adalah hidup sejati dalam arti berada dalam keagungan sejati, kabahagiaan sejati, kemerdekaan sejati, keindahan sejati, dan keabadian sejati. Menurut Hazim Amir, manusia transendental adalah manusia yang sudah menjadi hidup sejati sudah mengalami keagungan sejati, kebahagiaan sejati, kemerdekaan sejati, keindahan sejati, dan keabadian sejati. Di sinilah dapat dikatakan bahwa kemanusiaan transendental adalah kemanusiaan yang mampu merayakan hidup sejati; kemanusiaan yang mengagungkan, membahagiakan, memerdekakan, memperindah, dan menjadikan abadi manusia. Bila pemikiran dan tindakan manusia justru menegasikan hal-hal tersebut, maka pemikiran dan tindakan tersebut melanggar prinsip dasar kemanusiaan transendental pada satu sisi dan pada sisi lain melecehkan manusia transendental.
Sayang, menurut pengamatan Hazim Amir, zaman sekarang justru mengemuka krisis kemanusiaan transendental, kondisi kemanusiaan transendental demikian brengsek dan busuk. Apakah Anda ingin meneruskan dan mengembangkan warisan pemikiran dan tindakan Hazim Amir ini dalam rangka menegakkan humanisme transendental, merayakan kemanusiaan transendental, dan mewujudkan manusia transendental di tengah kondisi pasca-humanisme (post-huamnism) di mana manusia sebagai subjek sudah berubah menjadi objek semata?
[Catatan: Esai ini merupakan penghayatan dan pemahaman saya selama bergaul dan berdiskusi bersama Hazim Amir, penyerapan dan penyimpulan perbincangan Hazim Amir dalam berbagai kesempatan yang saya dengarkan, dan pemahaman atas tulisan-tulisan Hazim Amir yang dapat saya jangkau]
_____________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/05/hazim-amir-sang-humanis-transendental/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar