Kamis, 08 Juli 2021

Puisi itu…! Menerjang Pecundang

Sabrank Suparno
 
Detik detik penutupan serangkaian acara Gebyar Pesta Seni Rakyat Jombang yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) beserta lembaga terkait di gedung PSBR, dipungkasi dengan pertunjukan Teatrikalisasi-Puisi-Musik persembahan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang angkatan 2009. Pementasan sesi pertama digelar pukul 15:30 dan pementasan ulang pukul 19:00, dengan 4 judul puisi sekaligus: Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra, Menghisap Kelembak Menyan karya Emha Ainun Nadjib, dan terakhir MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesi karya Taufik Ismail).
 
Seperti ada serabut di tempurung kepala penonton. Kalau pun tidak, pasti ada gumpalan di rongga dada yang pada saatnya akan meledak. Seminggu, semenjak acara berlangsung, saya kerap klitar kilter hingga larut menyaksikan seluruh pementasan di gedung itu. Dan ketika sekitar jam 2:00 siang, seluruh mahasiswa tampak melakukan persiapan di pelataran masjid dan area parkir, dengan memoles diri, memoles temannya sesuai peran masing-masing. Saya jadi ingat sebilik tobongan yang dipakai berias para pemain ludruk sebelum tampil. Sebilik ruang sederhana yang kerap saya masuki ketika meliput ludruk bersama rekan Fahrudin Nasrulloh. Itupun hanya di kerumuni hanya sekitar 60 awak seniman. Tetapi mahasiswa STKIP angkatan 2009 yang berjumlah sekitar 250 berjubel menyesaki pelataran PSBR.
 
Ada catatan tersendiri di sana. Canda canda kecil, wajah belepotan, over menor, menyiapkan alat adegan dll. Meski belum menyamai pementasan Sumpah Gajah Mada yang ditulis Sri Murtono pada tahun 1952 di depan musium Sonobudoyo (Keraton Yogyakarta) yang melibatkan 350 aktor termasuk 125 diantaranya aktris, 8 ekor kuda, sepuluh kereta yang ditarik 20 ekor sapi, di seluas panggung berukuran 50 kali 135 meter.*
 
Ah, ini buakan zaman perang. Sungguh. Pagi setelah malam penutupan itu, seperti desingan peluru berhamburan memberondong. Ledakan kanon, thank, pistol, bedil, bayonet, martil, koka, granat masih membekas di pendengaran saya. Seperti ada pertempuran semalam.
 
Macapat Sasana Gebyar Seni
 
Acara dibuka dengan penampilan Sasana Gebyar Seni pimpinan Bapak Suhartono yang berpadepokan di Perumahan Jombang Indah. Komunitas ini menampilkan paduan lantunan macapat dengan teatrikal dalang. Dimana salah satu anggota mereka berperan memegang kelir, bertempur dengan kelir itu, yang dalam pementasan wayang kulit dikenal dengan istilah ‘nyirep goro goro’menyingkirkan prahara.
 
Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta
 
Seiring pergantian musik setelah goro goro menyingkir, barulah keluar ratusan para pelacur. Orasi pembacaan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta pun berselang seling menyelinap diantara kerumunan para pelacur. Saya, sempat lupa kalau para pelacur itu hanyalah penampakan puisinya Rendra. Hingga saya sempat bertanya pada rekan Jabbar Abdulloh selaku networker yang sedang meliput, “ Jabbar, tarife pelacur iki piroan?” sambil tersenyum Jabbar menjawab “selawe nggeblak dewe”, haha.
 
Demikianlah ketika puisi diteatrikalisasikan. Adalah misi yang digagas seniman dengan harapan agar maksud isi puisi yang ditulis sastrawan efektif membekas di hati dan kesadaran penonton. Proses kerja teatrikalisasi itu sendiri mencoba menerjemahkan keterbatasan bahasa dalam menggambarkan sesuatu (visual). Jalan ini juga ditempuh Afrizal Malna dengan gagasan Puisi Art: Penyampaian puisi yang didesain dengan vidio. Untuk menggambarkan kilat misalnya, atau kecepatan pesawat super sonik, tak cukup hanya mengandalkan bahasa. Tetapi akan lebih paham jika ditampakkan ilustrasi visual.
 
Dalam proses teatrikalisasi puisi atau puisi musik, diperlukan garapan yang seimbang antar civitas: Penonton, pemain, penulis naskah, kritikus, bahkan peliput. Terutama hal yang menyangkut konseptual, termasuk memahami kondisi ruang. Sebab, pada kadar intonasi yang tidak reflektif terhadap ruang bisa menenggelamkan puisi itu sendiri. Disinilah letak kegagalan pementasan.
 
Pada pementasan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta, sutradara seperti kurang memahami konsep ‘kesamaan derajat’ yang ditawarkan Rendra. Bukan kesamaan gaya, kostum, cara, bahkan predikat kesejatian pelacur itu sendiri. Nyaris tidak ditemukan pelacur yang bergaya-berpakaian kantoran, anak kuliah, bahkan cabutan usia SMA. Sehingga tidak sertamerta mewakili realitas yang ada. Pelacur disitu hanya dipahami sabagai PSK kelas rendahan yang dijajahkan di pinggir jalan. Kalaupun agak elit, taruhlah tempat tempat prostitusi seperti Padang Galak, Ketewel (Denpasar), Padyang Ulan (Banyuwangi), Tretes (Pasuruan), Gang Dolly dan Kremil (Surabaya), Balong Cangkring/BC (Mojokerto), Tunggorono, Klubuk (Jombang), Guyangan (Nganjuk), Lembah UGM (Yogyakarta), Jurang Songgoriti (Malang) dll.
 
Namun kekurangan akting itu dalam batas kewajaran. Seperti dikatakan Henri Nurcahyo Esais Surabaya saat diskusi teater di gedung PSBR tanggal 6 Januari 2011 pagi, bahwa dunia teater adalah dunia seolah-olah. Maka tak heran jika para pelacur di panggung PSBR adalah pelacur yang diragukan kepelacurannya. Artinya, meski pun mereka bergaya dan berpenampilan ala pelacur, tapi tidak sungguh sungguh berprofesi sebagai pelacur. Andai pun ada yang terlanjur (maaf), sehina hinanya pelacur yang dicolok Rendra dalam puisi ini, ialah orang yang sembodo, ksatria dalam hidupnya. Sebab mereka nyata dalam transaksi menjual dirinya secara total. Sementara para penguasa malah menjadi pelacur ter-hina yang menjual rakyat (tubuh lain) demi eksistensinya.
 
Balada Terbunuhnya Atmo Karpo
 
Kejanggalan pada pementasan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo dapat kita lihat dari penuangan momentum sejarah. Apakah sesuai tahun terbunuhnya Atmo Karpo dengan interpretasi gaya konflik yang dibangun diatas panggung? Memang, dalam naskah itu, atas nama dendam kesumat, Joko Pandan menelikung kematian Atmo Karpo dari 4 penjuru mata angin. Armo Karpo terjungkal setelah bahu kirinya tertembus anak panah. Sepertinya zaman nomaden. Lantas, kenapa 4 wanita pemanahnya tidak memakai BeHa koteka sekalian?
 
Keadaan demikian akan menyulitkan format para penonton. Hendak dikemanakan konsep format yang demikian? Kesannya, tragedi itu hanya terjadi di masa lampau. Padahal sesungguhnya bahaya selalu mengancam siapa pun dalam berbagai bentuk. Termasuk kekejaman tekhnologi cyber yang lebih bahaya bagai busur angin.
 
Menghisap Kelembak Menyan
 
Pengemasan Edy Haryoso selaku sutradara tidak jauh melebar dari teks format aslinya ketika dibacakan Emha Ainun Nadjib sendiri bersama teater Dynasti. Seting backround pementasan Menghisap Kelembak Menyan formatnya tidak berubah. Naskah ini tergolong sublim. Perebutan eksistensi digambarkan dalam perang dialog antar dua teori yang bertabrakan akibat kondisi kekinian yang dialami generasi penerus bangsa. Orang tua dan kaum feodal menjadikan pitutur kuno sebagai bius demokratisasi, sedang kaum intelektual muda menemui kenyataan berbalik 180 derajat.
 
Benturan dua teori di atas diharapkan menjadi serbuk /glepung yang disebut ‘irama pembusukan’. Berawal dari teori medok, mogol, tanggung, entah gak entah-mateng gak mateng. Setelah mati, busuk, barulah muncul kehidupan baru, file file baru yang lebih tertata.
 
Karena pakem dengan format aslinya, menjadikan pementasan Menghisap Kelembak Menyan kurang menghenyak penonton. Meskipun dari alur teks penonton terpukau. Kentaranya, sutradara hanya menguasai intensitas teks, tetapi lemah intensitas ruang. Dengan hanya berdiri monoton di pojok, penonton yang paling belakang tidak terdengar. Apalagi para penonton yang belum pernah dikursus menjadi penonton yang baik, bisik kegaduhannya acapkali menenggelamkan suara orator. Saya sekedar membayangkan seandainya pembaca puisinya sambil berjalan menguasai panggung, mengacung-acungkan teks, mengibaskan atau bahkan membanting teks ke lantai. Dan sah juga sambil menghampiri kerumunan penonton. Setahu saya, Emha sering mengatakan “kalau anda meniru saya, Emhais, nyakNun, artinya aku gagal membangun kemandirian kalian. Anggaplah aku garam bagimu yang kau ramu untuk sekedar ngepyuri bumbu masakan sosial”*
 
MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia)
 
Ada kreativitas ide pada pementasan MAJOI. Yaitu penuangan panggung yang bersifat elastis. Hanya dengan alat sederhana, sesi peralihan adegan yang bernuansa kehidupan modern efektif seperti menonton layar kaca. Sayangnya si tokoh yang pemalu (penyebab), yang kemudian bersedih (akibat malu) gagal mewakili kesedihan Taufik Ismail yang didera oleh kabar tentang keburukan negerinya yang disimbolkan dua orang samar (media). Tokoh tidak menggambarkan ekspresi wajah kesedihan yang sesekali mengernyitkan dahi. Bahkan tidak berani bertatapan mata dengan penonton. Seperti ada rasa kekurangan akting dalam dirinya. Si tokoh seperti orang yang tidak pernah putus cinta, yang mengajarkan hidup meratap-ratap serasa mati dalam kehidupan.
 
Disinilah pentingnya mencari aktor yang digali berdasarkan kondisi keseharian seseorang. Seperti dikatakan R. Giryadi (Ketua DKJT) saat nyambangi diskusi teater dan penutupan pentas seni tanggal 6 Januari di Jombang perihal konsep detail mengenal ruang. Ia mencontohkan soal latihan mengenal alam, tidak harus dilakukan di gunung, pantai, hutan seperti teori lawas. Bagi warga kota lebih baik di mall, dsb yang dekat dengan kesehariannya.
 
Awal pertempuran terbuka dalam pementasan Teatrikalisasi-Puisi-Musik oleh angkatan 2009 lalu dimulai keberaniannya memilih puisi ber-alur pemberontakan atas ketimpangan sosial. Selanjutnya gencar memberondong bertubi-tubi tembakan bait kata kata ke penonton. Kata Matori A Elwa:
 
Setiap pertempuran pasti ada yang terluka
Satu meninggal dunia
Dua luka parah
Selebihnya dirawat di rumah sendiri sendiri.
 
***
http://sastra-indonesia.com/2011/01/puisi-itu%e2%80%a6-menerjang-pecundang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez