Senin, 18 Mei 2020

Wajah Sastra Pesantren Nusantara

Afrizal Qosim *

Matahari belum nampak. Hanya seberkas mega kuning yang terpancar dari ufuk timur membelakangi Masjid, tatkala Pak Kyai mengakhiri riwayat dzikir Shubuhnya. Seperti biasa, sebagai penutup dzikir, dua ayat akhir dari Surat at-Taubah menjadi lantunan yang tak bisa tidak dilafadkan oleh Pak Kyai. Selalu itu. Istiqomah.Para jamaah, yang terdiri dari santri dan masyarakat sekitar, masih setia menunggu sampai Pak Kyai selesai berdzikir.

Sikap menunggu itu, dilakukan hanya untuk ber-mushofahah, mengharap berkah dan barokah. Yang menarik dari moment menunggu itu adalah, tidak sedikit jamaah yang masih terkantuk-kantuk. Meski ada dua macam makmum dari dua golongan yang berbeda, yang mendominasi tetaplah para Santri.

Santri yang kebanyakan masih akan beranjak dewasa, pada moment itu, nampak mengelipkan berkali-kali kedua matanya, sebab kantuk Shubuh yang demikian kuat menggelayut di kelopak matanya. Tak jarang, kondisi seperti itu, mengundang tawa orang yang melihat kepala jatuh-bangun tertimpa beban kantuk yang membabi-buta.

Sementara Pak Kyai sudah mengakhirkan riwayat dizikirnya, mendapati suasana pesantren dari bilik ke bilik yang lain, masih nampak senggang. Sepi. Sebab masih banyak yang tertidur pulas. Bersamaan dengan hal itu, kumandang pujian-pujian berwujud sya’ir bersahut-sahutan, dari satu komplek ke satu komplek yang lain, pujian itu diwakil-bacakan oleh satu orang santri yang ditugasi, atau bahkan santri yang ingin suaranya didengar.

Tidak jarang muncul kekaguman jika suaranya bagus dan sindiran jika kacau itu suara. Meski hanya satu qori’, pujian itu terdengar saling berkejaran, bersahut-sahutan. Seolah-olah anda mendengarkan alunan musik Blues-nya Jhon Mayall. Umpama taman burung, suara itu  sedemikian jernih terdengar oleh telinga orang yang dengan sengaja mendengarnya, pun dengan yang tidak sengaja mendengarnya. Bahkan segerombolan burung akan rela menghentikan kicaunya selama empat menit, demi menghormati lantunan pujian-pujian tersebut.

Syahdan, Sya’ir yang rutin didaras oleh para Santri ba’da Shubuh merupakan Sya’ir hasil karya para sesepuh Pesantren, ada sya’ir ya rabbana binabiyyina KH. Moehammad Moenawwir bin Abdullah Rosyad dan sya’ir asma’ul husnaa karya  KH. Ali Maksum. Yang demikian ini, terjadi di kala Shubuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Demikian itu tradisi yang dihidupkan oleh beberapa Pesantren Nusantara. Pesantren Al-Munawwir, salah satunya.

Sastra dalam Pesantren

Sebagai khazanah pesantren yang masih bersahaja dan lestari,  membaca bait-bait puisi (Nadzam), Puisi (Sya’ir), seolah menjadi langganan bagi lidah para Santri. Dengan lanyah mereka mengumandangkannya. Tidak sedikit dari mereka telah begitu hafal di luar kepala.

Setiap hari, secara berjamaah, Pujian-Pujian, Sya’ir, Mandhumah hampir pasti akan terdengar di bilik-bilik Pesantren. Beberapa bentuk itu, terdengar seperti prosa dengan tanda nada yang berima a-b-a-b, mayoritas sya’ir Pesantren (berbahasa Arab) hampir sama. Misal, akhir kalimat dari satu bait dibaca jer (kasrah), maka kalimat setelahnya pasti dibaca jer (kasrah) pula. Akhir kalimat dari satu bait dibaca nashob (fathah), maka kalimat setelahnya pasti dibaca nashob (fathah) pula, dan begitu seterusnya.

Ada juga yang diperalati dengan iringan musik tradisional, misal di Pondok Pesantren Kewagean, Kediri. Pesantren yang diasuh oleh KH. Abdul Hannan itu, menerapkan model menghafal nadzam alfiyyah ibnu malik dengan iringan alat musik seperti gendang, ketipung, kencreng dan rebana.

Kombinasi dari alat-alat tersebut, dimainkan dengan nada datar mengikuti nada yang dibawakan oleh para qori’ nadzam. Demikian itu, menjadi rutinitas bagi para santri di setiap hari. Mereka mencari tempat longgar terlebih dahulu sebelum memulai ritual membaca nadzam. Demi menjaga kemaslahatan lingkungan pesantren.

Maksudnya, mereka mencoba menjaga ketentraman pesantren, dengan tidak mengganggu ketentraman hati para santri lain yang, tentunya memiliki kegiatan masing-masing. Sikap toleransi itu, langgeng mereka amalkan. Sebab lain, melagukan nadzam itu, adalah nanti, akan ada waktu di mana hafalan itu akan diuji.

Mungkin ini, wajah sastra pesantren dalam derajat Sudra. Derajat yang paling sederhana. Sebab mereka hanya melagukan, menyanyikan, mendendangkan, beberapa nadzam, sya’ir karya ulama salafiyyah maupun khalafiyyah. Juga mencakup pula hikayat-hikayat Arab dan Persia. Belum sampai pada tingkatan selanjutnya. Tapi, itu tidak bisa tidak lebih lanjut akan diupayakan oleh beberapa aktor dari civitas pesantren.

Mengenai hal ini, saya bersepakat dengan Jamal D. Rahman,[i] ia berpendapat ihwal “Sastra Pesantren”—yang masih menjadi perdebatan panjang sampai sekarang, banyak tokoh yang berlainan pendapat dengan istilah itu. Tidak sedikit pula yang menyatakan ketidak-sepahamannya, seperti Taufik Ismail dan Radar Panca Dahana.

Jamal, Salah satu penyunting buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang menuai berjibun kontroversi itu, menyebutkan beberapa ciri atau karakteristik dari Sastra Pesantren.

Pertama, sastra yang hidup di Pesantren—seperti yang telah penulis narasikan di paragraf pendahuluan. Kedua, sastra yang ditulis oleh orang-orang Pesantren (Kyai, Santri, Alumni). Ketiga, sastra yang bertemakan pesantren, seperti Ummi Kultsum, AA. Navis, Prof. DR. Hamka, Aguk Irawan MN, Djamil Suherman, Abidah El-Khalieqy, Mushtofa Bisri. Pensyarahan yang seperti itu,  khazanah sastra pesantren mengalami perluasan dan pengayaan, baik dalam bentuk, isi, maupun lingkungan pergaulannya.

Dalam tiga point itu, yang benar-benar menjadi pioner “Sastra Pesantren” adalah point nomor dua. Untuk kedua point lain, yakni point pertama, kita tahu, hanya tergolong Sastra Pesantren berderajat Sudra. Meski Sudra, tapi jangan ragukan kontribusinya. Sementara point ketiga, sastra bertemakan pesantren yaitu menjadikan pesantren sebagai objek sastra,  seperti mengamini judul esai Abdurrahman Wahid dalam karya Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren.

Judul yang diamini oleh kategorisasi terhadap point kedua adalah Pesantren Dalam Kesusastraan Indonesia,[ii] dalam cakupan judul tersebut, Gus Dur memulai dengan beberapa tokoh yang telah dengan suka dan rela menarasikan dunia pesantren. Ada Hamka dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah, Robohnya Surau Kami oleh A.A. Navis, Guruku Orang-orang dari Pesantren sebagai otobiografi KH. Syaifuddin Zuhri, ia menceritakan secara detail fenomena tradisi yang dialaminya di kampung, pesantren, rumah tinggal, bahkan kolonialisasi.

Mulai dari mengenal Bahasa Arab, kitab turats, sampai pada ideologi nasionalisme. Karya ini menjadi untaian yang indah dan begitu menarik. Sedemikian menariknya, buku itu menjadi referensi wajib bagi akademisi yang konsen pada dunia pesantren. Tidak jauh berbeda dari karya Syaifuddin Zuhri, ada Semasa Kecil di Kampung sebagai otobiografi Mohammad Radjab yang sedikit banyak menggambarkan tradisi hidup bersarung di kampung.

Selain itu, tidak ada lagi yang disebutkan oleh Gus Dur. Kemiskinan karya sastra yang, menjadikan pesantren sebagai subjeknya, oleh Gus Dur, disebutkan beberapa faktor penghambatnya. Pertama, taraf terminologis yang tinggi adalah persoalan dramatis dalam pesantren. Determinasi (al Jabru), free destination (irodah), intensitas ketundukan kepada Tuhan, habituasi yang stagnan, begitu sukar dinarasikan dalam bentuk karya fiktif.

Kedua, adalah sebab kekakuan paradigma beragama masyarakat kita. Semestinya, untuk tempo dekat ini, persoalan itu bisi diobati. Sebab tuntutan zaman supaya saling keterbukaan untuk menghindari kebohongan dan distorsi. Sehingga sastra yang menjadikan pesantren sebagai subjeknya, tidaklah menjadi barang yang tabu. Perlu upaya Desakralisasi Agama, kata Nurcholish Madjid.

Sementara dalam point kedua, adalah point yang demikian dhohir relevansinya terhadap pesantren. Civitas pesantren, mulai dari Santri, Kyai serta Alumni, memiliki kontribusi nyata terhadap khazanah “Sastra Pesantren”.

Wujud dari kontribusi itu adalah membuminya beberapa karya sastra yang berunsur pesantren. Entah itu dalam bahasa Arab, Jawa, Indonesia dst., dsb.  Unsur pesantren yang dibawa pun, tidaklah hal yang biasa. Penguasaan dalam keilmuan bahasa dan pesantren fardhu dipegang. Ilmu badi’/ilmu balaghoh, ilmu ardul, ilmu nahwu-shorof . Pegangan kuat, serta penguasaan yang mantap adakalanya akan menjadi kunci keberhasilan membuat karya “Sastra Pesantren”.

Selain itu, yang tak boleh diabaikan adalah intrepetasi dari nilai-nilai Qur’ani. Sebagai karya sastra terakbar di dunia, al-Qur’an, dalam bahasa KH. Sahal Mahfudz,[iii] tidak hanya menyimpan redaksi kata yang analitik, melainkan nilai estetik juga tersimpan dibelahan paling dalamnya. Dalam takaran ini, Tuhan sendiri mengakui bahwa dia menyintai keindahan (estetika).

“Innallaha jamiilun yuhibbul jamaal” (sesungguhnya Tuhan itu Indah dan mencintai keindahan). Yakni mencintai alam semesta, kehidupan selain bangsa Anak Adam disertai men-tadabburi fenomena sosial yang terjadi, hingga kita mengetahui adanya dinamika yang indah dari banyak segi dalam kehidupan. Multidimensional adalah paradigma yang fardhu diperhatikan sebelum bisa menghasilkan karya sastra yang gemilang. Lalu, apalagi yang diragukan dari intrepetasi nilai-nilai al-Qur’an dalam babakan “Sastra Pesantren”? Nikmat pesantren apalagi yang akan kau dustakan?. Peringatan ini supaya kita bersama-sama merenung dan berpikir.

Ala kulli hal, manifestasi atas artikulasi makna yang tersimpan dalam al-Qur’an, lalu dibedah dengan beberapa alat/ilmu pembedah—balaghoh, arudl, nahwu-shorof. Maka tidak mungkin tidak, kita akan mendapati karya sastra yang memukau. Melalui proses itu pula, KH. Moenawwir (Krapyak), KH. Ali Maksum (Krapyak), KH. Bisri Musthofa (Leteh, Rembang) dengan beberapa gubahan sya’irnya, misal yang termasyhur adalah “Tombo Ati”, KH. Ali Ahmad (Cukir, Jombang) yang dengan santun menyanjung bulan Ramadan dalam sya’irnya “Ya Ramadhan”, KHR. Asnawi (Kudus) dengan “Sholawat Asnawiyyah” yang masyhur sebagai sholawat nasionalis, dan masih banyak lagi.

Sementara itu, menurut Gus Mus, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Hamid Pasuruan pun mempunyai diwan atau antologi puisi. Dengan menjadi-menjadi, Gus Mus pun mengutarakan urgensi bersastra atau berpuisi bagi civitas pesantren. Ungkapan itu muncul tatkala banyak sindiran yang tertuju kepadanya sebab dia bersastra, berpuisi, aktif nulis karya sastra di koran, padahal posisinya saat itu dianggap sebagai Kyai.

Wa ba’du, mucul ungkapan “Kyai kok berpuisi !”. Gus Mus lalu meresponnya, “justru kyai-kyai yang tidak berpuisi itu aneh. Karena mulai Kanjeng Nabi sampai Kyai Hasyim Asy’ari itu berpuisi semua. Tiap hari jum’at, orang pesantren membaca puisi semua. Tapi puisinya Jakfar al-Barzanji, puisinya al-Bhusiri, puisinya ad-Diba’i, terus kenapa saya tidak bikin sendiri? Hahaha.”[iv] Bahwa sesungguhnya, Sastra di Pesantren bukanlah hal yang tabu!. Wallahu A’lam.

*) Santri eMHa Satu PP. Al-Munawwir

Endnote:
[i] Jamal D. Rahman, 2008,  Sastra Pesantren dan Radikalisme Islam. Dalam https://jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/25/sastra-pesantren-dan-radikalisme-islam/. Diakses pada 10 Juni 2016. 1.37 Wib.
[ii] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Lkis; Yogyakarta;2001), Hlm. 44.
[iii] K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta; Lkis; 2011), Hlm. 144-146.
[iv] Majalah Hayamwuruk, Gus Mus: Kyai Tak Buat Puisi Itu Aneh. Edisi No. 1/Tahun XVIII/2008.

http://www.almunawwir.com/pesantren-berpuisi-dan-wajah-sastra-pesantren-nusantara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez