Afrizal Qosim *
Matahari belum nampak. Hanya seberkas mega kuning yang terpancar dari ufuk timur membelakangi Masjid, tatkala Pak Kyai mengakhiri riwayat dzikir Shubuhnya. Seperti biasa, sebagai penutup dzikir, dua ayat akhir dari Surat at-Taubah menjadi lantunan yang tak bisa tidak dilafadkan oleh Pak Kyai. Selalu itu. Istiqomah.Para jamaah, yang terdiri dari santri dan masyarakat sekitar, masih setia menunggu sampai Pak Kyai selesai berdzikir.
Sikap menunggu itu, dilakukan hanya untuk ber-mushofahah, mengharap berkah dan barokah. Yang menarik dari moment menunggu itu adalah, tidak sedikit jamaah yang masih terkantuk-kantuk. Meski ada dua macam makmum dari dua golongan yang berbeda, yang mendominasi tetaplah para Santri.
Santri yang kebanyakan masih akan beranjak dewasa, pada moment itu, nampak mengelipkan berkali-kali kedua matanya, sebab kantuk Shubuh yang demikian kuat menggelayut di kelopak matanya. Tak jarang, kondisi seperti itu, mengundang tawa orang yang melihat kepala jatuh-bangun tertimpa beban kantuk yang membabi-buta.
Sementara Pak Kyai sudah mengakhirkan riwayat dizikirnya, mendapati suasana pesantren dari bilik ke bilik yang lain, masih nampak senggang. Sepi. Sebab masih banyak yang tertidur pulas. Bersamaan dengan hal itu, kumandang pujian-pujian berwujud sya’ir bersahut-sahutan, dari satu komplek ke satu komplek yang lain, pujian itu diwakil-bacakan oleh satu orang santri yang ditugasi, atau bahkan santri yang ingin suaranya didengar.
Tidak jarang muncul kekaguman jika suaranya bagus dan sindiran jika kacau itu suara. Meski hanya satu qori’, pujian itu terdengar saling berkejaran, bersahut-sahutan. Seolah-olah anda mendengarkan alunan musik Blues-nya Jhon Mayall. Umpama taman burung, suara itu sedemikian jernih terdengar oleh telinga orang yang dengan sengaja mendengarnya, pun dengan yang tidak sengaja mendengarnya. Bahkan segerombolan burung akan rela menghentikan kicaunya selama empat menit, demi menghormati lantunan pujian-pujian tersebut.
Syahdan, Sya’ir yang rutin didaras oleh para Santri ba’da Shubuh merupakan Sya’ir hasil karya para sesepuh Pesantren, ada sya’ir ya rabbana binabiyyina KH. Moehammad Moenawwir bin Abdullah Rosyad dan sya’ir asma’ul husnaa karya KH. Ali Maksum. Yang demikian ini, terjadi di kala Shubuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Demikian itu tradisi yang dihidupkan oleh beberapa Pesantren Nusantara. Pesantren Al-Munawwir, salah satunya.
Sastra dalam Pesantren
Sebagai khazanah pesantren yang masih bersahaja dan lestari, membaca bait-bait puisi (Nadzam), Puisi (Sya’ir), seolah menjadi langganan bagi lidah para Santri. Dengan lanyah mereka mengumandangkannya. Tidak sedikit dari mereka telah begitu hafal di luar kepala.
Setiap hari, secara berjamaah, Pujian-Pujian, Sya’ir, Mandhumah hampir pasti akan terdengar di bilik-bilik Pesantren. Beberapa bentuk itu, terdengar seperti prosa dengan tanda nada yang berima a-b-a-b, mayoritas sya’ir Pesantren (berbahasa Arab) hampir sama. Misal, akhir kalimat dari satu bait dibaca jer (kasrah), maka kalimat setelahnya pasti dibaca jer (kasrah) pula. Akhir kalimat dari satu bait dibaca nashob (fathah), maka kalimat setelahnya pasti dibaca nashob (fathah) pula, dan begitu seterusnya.
Ada juga yang diperalati dengan iringan musik tradisional, misal di Pondok Pesantren Kewagean, Kediri. Pesantren yang diasuh oleh KH. Abdul Hannan itu, menerapkan model menghafal nadzam alfiyyah ibnu malik dengan iringan alat musik seperti gendang, ketipung, kencreng dan rebana.
Kombinasi dari alat-alat tersebut, dimainkan dengan nada datar mengikuti nada yang dibawakan oleh para qori’ nadzam. Demikian itu, menjadi rutinitas bagi para santri di setiap hari. Mereka mencari tempat longgar terlebih dahulu sebelum memulai ritual membaca nadzam. Demi menjaga kemaslahatan lingkungan pesantren.
Maksudnya, mereka mencoba menjaga ketentraman pesantren, dengan tidak mengganggu ketentraman hati para santri lain yang, tentunya memiliki kegiatan masing-masing. Sikap toleransi itu, langgeng mereka amalkan. Sebab lain, melagukan nadzam itu, adalah nanti, akan ada waktu di mana hafalan itu akan diuji.
Mungkin ini, wajah sastra pesantren dalam derajat Sudra. Derajat yang paling sederhana. Sebab mereka hanya melagukan, menyanyikan, mendendangkan, beberapa nadzam, sya’ir karya ulama salafiyyah maupun khalafiyyah. Juga mencakup pula hikayat-hikayat Arab dan Persia. Belum sampai pada tingkatan selanjutnya. Tapi, itu tidak bisa tidak lebih lanjut akan diupayakan oleh beberapa aktor dari civitas pesantren.
Mengenai hal ini, saya bersepakat dengan Jamal D. Rahman,[i] ia berpendapat ihwal “Sastra Pesantren”—yang masih menjadi perdebatan panjang sampai sekarang, banyak tokoh yang berlainan pendapat dengan istilah itu. Tidak sedikit pula yang menyatakan ketidak-sepahamannya, seperti Taufik Ismail dan Radar Panca Dahana.
Jamal, Salah satu penyunting buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang menuai berjibun kontroversi itu, menyebutkan beberapa ciri atau karakteristik dari Sastra Pesantren.
Pertama, sastra yang hidup di Pesantren—seperti yang telah penulis narasikan di paragraf pendahuluan. Kedua, sastra yang ditulis oleh orang-orang Pesantren (Kyai, Santri, Alumni). Ketiga, sastra yang bertemakan pesantren, seperti Ummi Kultsum, AA. Navis, Prof. DR. Hamka, Aguk Irawan MN, Djamil Suherman, Abidah El-Khalieqy, Mushtofa Bisri. Pensyarahan yang seperti itu, khazanah sastra pesantren mengalami perluasan dan pengayaan, baik dalam bentuk, isi, maupun lingkungan pergaulannya.
Dalam tiga point itu, yang benar-benar menjadi pioner “Sastra Pesantren” adalah point nomor dua. Untuk kedua point lain, yakni point pertama, kita tahu, hanya tergolong Sastra Pesantren berderajat Sudra. Meski Sudra, tapi jangan ragukan kontribusinya. Sementara point ketiga, sastra bertemakan pesantren yaitu menjadikan pesantren sebagai objek sastra, seperti mengamini judul esai Abdurrahman Wahid dalam karya Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren.
Judul yang diamini oleh kategorisasi terhadap point kedua adalah Pesantren Dalam Kesusastraan Indonesia,[ii] dalam cakupan judul tersebut, Gus Dur memulai dengan beberapa tokoh yang telah dengan suka dan rela menarasikan dunia pesantren. Ada Hamka dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah, Robohnya Surau Kami oleh A.A. Navis, Guruku Orang-orang dari Pesantren sebagai otobiografi KH. Syaifuddin Zuhri, ia menceritakan secara detail fenomena tradisi yang dialaminya di kampung, pesantren, rumah tinggal, bahkan kolonialisasi.
Mulai dari mengenal Bahasa Arab, kitab turats, sampai pada ideologi nasionalisme. Karya ini menjadi untaian yang indah dan begitu menarik. Sedemikian menariknya, buku itu menjadi referensi wajib bagi akademisi yang konsen pada dunia pesantren. Tidak jauh berbeda dari karya Syaifuddin Zuhri, ada Semasa Kecil di Kampung sebagai otobiografi Mohammad Radjab yang sedikit banyak menggambarkan tradisi hidup bersarung di kampung.
Selain itu, tidak ada lagi yang disebutkan oleh Gus Dur. Kemiskinan karya sastra yang, menjadikan pesantren sebagai subjeknya, oleh Gus Dur, disebutkan beberapa faktor penghambatnya. Pertama, taraf terminologis yang tinggi adalah persoalan dramatis dalam pesantren. Determinasi (al Jabru), free destination (irodah), intensitas ketundukan kepada Tuhan, habituasi yang stagnan, begitu sukar dinarasikan dalam bentuk karya fiktif.
Kedua, adalah sebab kekakuan paradigma beragama masyarakat kita. Semestinya, untuk tempo dekat ini, persoalan itu bisi diobati. Sebab tuntutan zaman supaya saling keterbukaan untuk menghindari kebohongan dan distorsi. Sehingga sastra yang menjadikan pesantren sebagai subjeknya, tidaklah menjadi barang yang tabu. Perlu upaya Desakralisasi Agama, kata Nurcholish Madjid.
Sementara dalam point kedua, adalah point yang demikian dhohir relevansinya terhadap pesantren. Civitas pesantren, mulai dari Santri, Kyai serta Alumni, memiliki kontribusi nyata terhadap khazanah “Sastra Pesantren”.
Wujud dari kontribusi itu adalah membuminya beberapa karya sastra yang berunsur pesantren. Entah itu dalam bahasa Arab, Jawa, Indonesia dst., dsb. Unsur pesantren yang dibawa pun, tidaklah hal yang biasa. Penguasaan dalam keilmuan bahasa dan pesantren fardhu dipegang. Ilmu badi’/ilmu balaghoh, ilmu ardul, ilmu nahwu-shorof . Pegangan kuat, serta penguasaan yang mantap adakalanya akan menjadi kunci keberhasilan membuat karya “Sastra Pesantren”.
Selain itu, yang tak boleh diabaikan adalah intrepetasi dari nilai-nilai Qur’ani. Sebagai karya sastra terakbar di dunia, al-Qur’an, dalam bahasa KH. Sahal Mahfudz,[iii] tidak hanya menyimpan redaksi kata yang analitik, melainkan nilai estetik juga tersimpan dibelahan paling dalamnya. Dalam takaran ini, Tuhan sendiri mengakui bahwa dia menyintai keindahan (estetika).
“Innallaha jamiilun yuhibbul jamaal” (sesungguhnya Tuhan itu Indah dan mencintai keindahan). Yakni mencintai alam semesta, kehidupan selain bangsa Anak Adam disertai men-tadabburi fenomena sosial yang terjadi, hingga kita mengetahui adanya dinamika yang indah dari banyak segi dalam kehidupan. Multidimensional adalah paradigma yang fardhu diperhatikan sebelum bisa menghasilkan karya sastra yang gemilang. Lalu, apalagi yang diragukan dari intrepetasi nilai-nilai al-Qur’an dalam babakan “Sastra Pesantren”? Nikmat pesantren apalagi yang akan kau dustakan?. Peringatan ini supaya kita bersama-sama merenung dan berpikir.
Ala kulli hal, manifestasi atas artikulasi makna yang tersimpan dalam al-Qur’an, lalu dibedah dengan beberapa alat/ilmu pembedah—balaghoh, arudl, nahwu-shorof. Maka tidak mungkin tidak, kita akan mendapati karya sastra yang memukau. Melalui proses itu pula, KH. Moenawwir (Krapyak), KH. Ali Maksum (Krapyak), KH. Bisri Musthofa (Leteh, Rembang) dengan beberapa gubahan sya’irnya, misal yang termasyhur adalah “Tombo Ati”, KH. Ali Ahmad (Cukir, Jombang) yang dengan santun menyanjung bulan Ramadan dalam sya’irnya “Ya Ramadhan”, KHR. Asnawi (Kudus) dengan “Sholawat Asnawiyyah” yang masyhur sebagai sholawat nasionalis, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, menurut Gus Mus, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Hamid Pasuruan pun mempunyai diwan atau antologi puisi. Dengan menjadi-menjadi, Gus Mus pun mengutarakan urgensi bersastra atau berpuisi bagi civitas pesantren. Ungkapan itu muncul tatkala banyak sindiran yang tertuju kepadanya sebab dia bersastra, berpuisi, aktif nulis karya sastra di koran, padahal posisinya saat itu dianggap sebagai Kyai.
Wa ba’du, mucul ungkapan “Kyai kok berpuisi !”. Gus Mus lalu meresponnya, “justru kyai-kyai yang tidak berpuisi itu aneh. Karena mulai Kanjeng Nabi sampai Kyai Hasyim Asy’ari itu berpuisi semua. Tiap hari jum’at, orang pesantren membaca puisi semua. Tapi puisinya Jakfar al-Barzanji, puisinya al-Bhusiri, puisinya ad-Diba’i, terus kenapa saya tidak bikin sendiri? Hahaha.”[iv] Bahwa sesungguhnya, Sastra di Pesantren bukanlah hal yang tabu!. Wallahu A’lam.
*) Santri eMHa Satu PP. Al-Munawwir
Endnote:
[i] Jamal D. Rahman, 2008, Sastra Pesantren dan Radikalisme Islam. Dalam https://jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/25/sastra-pesantren-dan-radikalisme-islam/. Diakses pada 10 Juni 2016. 1.37 Wib.
[ii] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Lkis; Yogyakarta;2001), Hlm. 44.
[iii] K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta; Lkis; 2011), Hlm. 144-146.
[iv] Majalah Hayamwuruk, Gus Mus: Kyai Tak Buat Puisi Itu Aneh. Edisi No. 1/Tahun XVIII/2008.
http://www.almunawwir.com/pesantren-berpuisi-dan-wajah-sastra-pesantren-nusantara/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar