Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/
Bila engkau tanyakan tiga tema paling sering muncul dalam khazanah puisi Indonesia, aku menyebutkan tiga hal: kesunyian, religiusitas, dan cinta. Ketiganya bergerak dalam pertautan tiga wilayah kebahasaan, yaitu ketuhanan, alam raya, dan pesona tubuh manusia. Sejarah puisi Indonesia, tidak kurang tidak lebih, dihidupi oleh ketiga tema tersebut.
Bahkan sejak awal sastra hingga sastra terkini, ketiganya senantiasa menggelibati puisi. Lihatlah puisi Kriapur, Acep Zamzam Noor, Arief B. Prasetya, Indra Tjahyadi, Mashuri ataupun Binhad Nurrohmat. Atau lihatlah kejelasan yang dituliskan A. Teeuw tentang masa silam sastra Nusantara. “Jelaslah dalam pendekatan estetik Jawa Kuno ini pun, seperti dalam Melayu, estetik tidak bersifat otonom: Fungsi seni (baca: sastra) diabdikan pada fungsi agama; lewat seni, manusia diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan dan dia akan menghilangkan diri (atau kehilangan diri) dalam keagungan pesona itu (Melayu) atau seniman lewat seni mencoba menjangkau persatuan dengan Dewa yang akhirnya akan membawa kehampaan mutlak dan kehilangan diri rantai eksistensi manusia (Jawa Kuno)”.
Tema kesunyian, religiusitas, dan cinta sering menggerakkan puisi, semoga anggapan saya benar, ini berasal dari kemauan penyair; puisi mesti melampaui dunia keseharian. Puisi mesti berkelebat dalam “keagungan sempurna” atau sekalian “jatuh dalam gairah birahi”. Pertentangan pilihan, bukannya jarang terjadi, puisi mempersandingkan keduanya seakan keduanya sejajar dan tinggal dalam satu aras. Lihatlah puisi Chatedrale de Charthes dari Sitor Situmorang.
Namun di tahun 1962, di Surabaya, ada terjadi interupsi dalam tradisi puisi tanah air. Puisi-puisi tidak menghadirkan keagungan atau kehinaan yang melangit. Para penyair Surabaya lebih tersedot oleh kerumitan, kegelisahan, kesementaraan, dan tragedi dunia kerja. Sebuah dunia yang tidak berlumuran dengan doa dan cinta. Dunia ini penuh dengan tetesan keringat, tawa, dan obsesi keseharian. Kesemuanya termaktub dalam kumpulan puisi Laut Pasang terbitan Surabaya tahun 1962. Sebuah kumpulan puisi yang menarik bukan karena agung atau hina tetapi karena aneh, berbeda, dan kesepian di tengah-tengah kanon tradisi puisi Indonesia.
Sublimasi Puisi atas Kota Surabaya
Adalah wajar dan tidak menarik untuk mengatakan Surabaya, “kota yang sesak dengan kerja”, kota industrial, dan karenanya puisi-puisi yang muncul pun bertemakan kerja. Benar memang, puisi sebagai bayang-bayang realitas. Kerja yang merebak di kota Surabaya tercover dalam puisi para penyair Surabaya. Namun yang lebih penting untuk dicatat dari kumpulan puisi Laut Pasang, puisi sebagai wilayah dalam dari kota Surabaya. Sebuah pencermatan yang berusaha mencari jawab, mengapa Surabaya dijejali oleh orang-orang yang sibuk dengan kerja.
Surabaya. Kota Surabaya menarik oleh sejarah politik dan industrinya. William H. Frederick dalam buku Pemandangan dan Gejolak Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia, Surabaya 1926-1946 (Jakarta, Gramedia, 1986) menggambarkan kondisi menjelang akhir abad kesembilan belas, Surabaya termasuk kota terbesar di Hindia Belanda. Penghuni Surabaya, ketika itu, mirip dengan proporsi penghuni sekarang, penuh dengan orang-orang yang tidak berasal dari Surabaya an sich. Penduduk Surabaya hanya sebagian kecil dibanding luberan pendatang yang singgah dan menetap untuk berdagang, berwiraswasta, atau pun kerja kantoran. Tidak saja pendatang lokal Jawa; di Surabaya berjubelan warga keturunan Cina, Arab, dan India. Tentu saja, ditambah dengan orang-orang Belanda dan Eropa. Jumlah pendatang yang prosentasenya lebih besar dibanding pendatang di kota-kota lain di Indonesia. Surabaya lahir dan besar dengan menanggung beban kosmopolitan. Sebuah kota yang mimpi dengan mata terbuka.
Oleh sifatnya yang plural, dan oleh penduduknya yang bukan asli, orang Surabaya kurang mempunyai hubungan mistis atau sakral dengan tanah dan alam Surabaya. Bila di Yogyakarta, Bali, bahkan Banten, alam dikaitkan dengan ritual-ritual mistis. Orang Surabaya menganggap alam sebagai sahabat karib yang akrab. Alam bukanlah sosok dunia lain, alam ada sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Perendaman di dalam alam tidak terjadi pada masyarakat Surabaya. Alam tidak dipuja-puja atau diagung-agungkan. Keaslian alam bisa sewaktu-waktu diubah, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Potensi alam didaya-gunakan untuk kepentingan umat manusia, dan bukannya untuk kepentingan jin atau genderuwo. Alam sah untuk digali dan diperjual-belikan. Manusia ada di depan alam. Ini mirip dengan gejala antroposentrisme dalam pengertian Nicholas Alexandrovicth Berdyaev, seorang filsuf peletak dasar filsafat eksistensialisme, “manusia adalah pusat alam semesta”. Manusia menentukan bertahan atau terkurasnya nasib alam.
Bermula dari hubungan masyarakat Surabaya dengan alam, puisi-puisi Laut Pasang menemukan spiritualitas yang menggerakkan aktivitas kultural. Surabaya dituntut untuk merubah alam demi bertahan hidup. Sebuah perubahan alam dan aktivitas kultural yang mewujud dalam bentuk kerja. Di sini, mungkin lain dengan di tempat-tempat beda, tindak kerja berubah jadi transendental.
Spiritualitas Kerja
Sama seperti penyair kebanyakan, aku berhasil membaca, pertanyaan yang coba dicari oleh para penyair Surabaya tahun 1962 sebenarnya sederhana dan fundamental. Pertanyaan itu mengenai kondisi-kondisi kejiwaan yang telah memungkinkan adanya perkembangan peradaban manusia. Langkah-langkah tempuhannyalah yang berbeda.
Ada tercetak dalam puisi “Matahari Dikening Kami”: Berkatalah sekarang, berkatalah, kemana kami mesti melangkah, kepertjajaan yang kami dukung ialah milik orang-orang djujur, berkatalah, kerdja apa jang mesti dilembur (Andi Amaruliah Machmud). Aku lirik, tokoh aku pada puisi, mempersandingkan sifat kejujuran dengan keinginan untuk bekerja. Tidak hanya kerja semestinya atau kerja sesuai jadwal, lebih dari itu, aku lirik meminta tambahan waktu melalui jam lembur. Suatu pasangan aneh dalam kenyataan; jujur dan lembur. Seseorang yang ingin menunjukkan kejujuran, sikap etis bermasyarakat, dengan usaha kegilaan dalam jam kerja lembur. Di situ, aku menyangka, kerja menjadi penanda dari tindakan, yang menurut konsepsi aku lirik, bernilai benar!
Keinginan atau kebutuhan dalam kerja begitu besar. Jam-jam berlarian menuju kerja. Effendi M.S. menuliskan puisi “Pelajaran”: Nelajan jang berkatja dibulan pagi, dibenam hatinja dilubuk laut, adalah dendam jang datang setiap saat, membajang ombak dimatanja. Penting diperhatikan kata “dendam” yang dituliskan penyair Effendi. Kata itu mengandaikan obsesi berlebihan, aku rasa nyaris tidak rasional, terhadap hal-hal yang dikenai. Engkau tahu, dendam terhadap seseorang seringkali membikin si pendendam rela melakukan apapun, yang bagi saya melampaui kewajaran, agar keinginan terkabul. Di sini, di puisi Effendi, dendam mengejawantah dalam wujud kerja nelayan. Dengan latar bulan di pagi hari, nelayan melihat laut dengan ombak beriaknya sebagai tugas “penting dan mendesak” untuk disikapi. Pilihan-pilihan lain terabaikan, sang nelayan berangkat kerja dengan langkah tegap, mantap. Mencari ikan adalah pilihan tunggal tak terbantah.
Kekuatan diri pada kerja dalam dua puisi tersebut merupakan isyarat, tindakan kerja bukan tugas yang berasal dari luar diri. Kerja telah inheren, melekat di dalam diri nelayan. Bukan saja tugas kemasyarakatan yang mengarah kepada kepentingan orang banyak, ini kerja ialah obsesi pribadi, bertempat dan meledak di dalam diri. Kerja menjadi tindakan spiritual.
Kerja bertukar tangkap dengan diri pribadi: Tjintanja datang karena kerdja ditangan tua jang gemetar. Dipunggung pungguk anak desa jang matinja kelaparan. Ditindakan jang sarat oleh jawaban untuk zamannja, dalam hati jang selalu berbisik: O, usia berbijih rasa, nikmatnja berumah dan bekerdja (Hadi S, “Usia Penyair”). Kegairahan dalam bekerja memperbesar sangkaan, ia berputar-putar secara irasional pada diri aku lirik. Tindakan yang bukan saja tidak terbantah, resiko ringan atau berat, sedikit saja, tiada melintas dalam pikiran. Kerja dirasakan murni sebagai tugas terakhir dalam diri. Kerja sebagai satu-satunya alasan untuk menjalani hidup dan kehidupan. Dimensi ketuhanan melekat di dalam kerja. Lebih lanjut, inilah yang aku tangkap, di dalam kerja ada terdapat kelengkapan kemanusiaan, estetika, dan pandangan hidup.
Kegilaan terhadap kerja, sebagai manifestasi ketuhanan, sangat menarik diperbandingkan dengan pemahaman umum tentang sembahyang. Konon di kisah-kisah, sembahyang yang berkualitas tinggi ditemui berada dalam orang seorang yang seharian bertafakur, merenung, atau kurang melakukan aktivitas keseharian kecuali berdoa. Pada orang tersebut, semoga pemahaman saya salah, hidup yang hanya dipenuhi dengan kerja dianggap jauh dari nilai religius. Bersandar dari puisi para penyair Surabaya, runutan logika menjadi terbalik. Kehidupan “merenung” bukanlah sama sekali tanpa nilai sebagai sarana pembenaran di hadapan Tuhan, akan tetapi kehidupan itu juga berarti penolakan kewajiban di dunia ini sebagai hasil egoisme diri, dengan tindakan menyingkir dari kewajiban-kewajiban di dunia. Yakni, suatu pernyataan bahwa pemenuhan kewajiban duniawi di dalam segala kondisi merupakan saatu-satunya jalan untuk bisa hidup dan dikehendaki oleh Tuhan, dan karenanya kerja pasti mempunyai manfaat yang sama di dalam pandangan Tuhan.
Adanya dimensi spiritual membuat resiko-resiko dalam dunia kerja sebagai sesuatu yang layak diterima. Kerja dan kepahitan jang djadi satu, betapa pedihpun, dari sini nilai dibangun, betapa indahnja, Mobil mewah dan rumah jang gemerlapan, Lidah jang didjual, harga diri jang digadaikan, atau, Keringat jang dihisap dan darah jang disadap (Hadi S, “Sadjak-sadjak Hitam”). Lihatlah larik-larik puisi tersebut, problem-problem kerja dijadikan sumber nilai. Kemegahan muncul dalam semangat kerja. Keindahan bersumber pada atau dari kerja.
Mengapa tercipta kondisi seaneh ini? Jawabnya tentu bukan jawaban keduniawian. Sangat mungkin, semoga pemahaman saya benar, kerja bukan semata-mata sarana atau alat ekonomi. Kerja adalah tujuan akhir spritual. Transenden. Sikap lemah lesu, iri hati, atau keceriwisan apabila dianggap membahayakan jiwa, maka sikap ini masih lebih baik dibandingkan dengan pilihan hidup tanpa kerja.
Di lain puisi, yaitu di puisi berjudul “Ave Maria” tertulis larik: Diudjungnja aku terbangun, disentak malam disentak dunia, Pergulatan betapa gemuruh sedang kerdja belum selesai (Hadi S, “Ave Maria”). Pengambilan lagu dari kisah “Ave Maria” ini menarik dicermati. Beberapa sastrawan juga mengambil inspirasi dari lagu yang sama dalam mencipta karya. Chairil Anwar menggunakan latar lagu “Ave Maria” untuk memberi lompatan estetik bagi kisah cinta lelaki-perempuan. Idrus, lewat cerita pendek dengan judul sama, “Ave Maria”, memfungsikan lagu tersebut untuk memuntahkan kisah kerinduan yang menyayat. Bahkan, Pramodya Ananta Toer pun pada kumpulan cerpen Cerita dari Blora mengambil latar lagu “Ave Maria” untuk memberi kesan sedih, merintih, senyap. Pada ketiga sastrawan, antara karya dan lagu “Ave Maria” menemukan kesejajaran; tragikal. Pada puisi Hadi S., nuansa tragik dan melankoli justru ditolak. Alasannya jelas, kerja. Dunia kerja membutuhkan suasana penuh semangat dan situasi hiruk pikuk.
Dunia kerja tidak cocok dengan ikon “Ave Maria” yang nglangut, nestapa, dan penuh iba. Dunia kerja tidak cocok juga dengan ikon sunyi, senyap, hijau daun, keangkeran gunung, atau jimat-jimat misteri. Antologi Laut Pasang menerbitkan satu ikon yang lebih sesuai. Inilah yang dituliskan penyair Rumambi tentang ikon: Mentjutjurkan keringat ganggang matahari, tangan-tangan kapalen mengajunkan tjangkul (puisi “Bagi Selembar Tanah”). Ikon “cangkul”, alat para petani untuk mengolah sawah dan tegalan, sangat mewakili dunia yang penuh tetes keringat dari mobilitas kerja. Penyair Amruliah pun menemukan kegembiraan dan cintanya melalui ritmis ayunan cangkul: Ajunan tjangkul jang dalam, adalah harapannja siang dan malam, peluh membanjir ditubuhnja, adalah tjintanja pada kerdja sawah (puisi “Petani Lantjokang”). Penyair Effendi justru menganggap cangkul selayak kekasih: Kemana hatimu kau bawa pergi, dari padang dimana tjangkul dan arit berdentjing, kasih jang tak terlupa, sajang jang tak ‘kan hilang (puisi “Tjangkul”). Pada cangkul, penyair Surabaya menemukan kedirian, panggilan hidup.
Pesona dan tawaran kerja begitu menubuh. Sampai-sampai, penyair Hadi S menggunakan untuk menghibur kekasih, perempuan yang hendak ditinggalkan pergi, dituliskannya larik-larik puisi: Jarak antara kita manis, penaka lagu mengalun, pergi. Diudara ia tiada, namun hatinja jang pasti kita menangkan, samudera lagu, kasih dan sajang (puisi “Perpisahan”). Demi menempuh dunia kerja, sang perempuan rela ditinggalkan. Sentimentil, memang, tetapi kalau kerja sudah inheren pada diri, segala hal bisa dikesampingkan. Pertimbangan-pertimbangan dicari atau dipilih hanya untuk realisasi kerja. Pada kerja diperoleh kemanusiaan.
Seseorang merasa dirinya ada, meyakini ada, karena seseorang tersebut bekerja. Seperti tergambar dalam puisi yang menjadi judul antologi ini “Laut Pasang”: Dia jang lahir dalam kerdja setiap hari, darimana dunia dilahirkan, Dia tahu harga dirinja, tahu dimana harus dimulai (Hadi S, “Laut Pasang”). Oleh sebab itu kerja, semoga pemahaman saya benar, adalah kebenaran diri. Dan oleh sebab estetika adalah hal-hal mengenai kebenaran, kerja adalah estetika itu sendiri.
Epilog Kerja
Kerja, bekerja, mengerjakan alam untuk kepentingan manusia; itulah yang terbaca dari puisi Surabaya tahun 1962. Saya percaya, puisi-puisi Laut Pasang tercipta oleh peleburan dengan dunia dalam dari kultur Surabaya, dulu dan waktu-waktu mendatang. Kultur kerja. Selanjutnya, setelah peleburan, puisi-puisi Laut Pasang melegitimasi kultur kerja, bukan saja sebagai tugas umum, lebih dari segalanya, kerja sebagai tugas spiritual.
Kerja adalah transenden, karena itu, tanpa kerja, orang Surabaya merasa salah dan berdosa. Sekali lagi, kerja, inilah kebenaran. Inilah estetika. Selamat bekerja.
_______Komunitas Epik
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/20/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar