: Membaca Buku ‘Sekumpulan Sajak Pesantren’ bertitel “Jadzab”
Nurel Javissyarqi **
http://sastra-indonesia.com/
Dua tahun lalu pertengahan Ramadhan saya ke sini, tepatnya mengikuti
kawan-kawan Kutub (para santrinya almarhum Gus Zainal Arifin Thoha);
Muhammadun AS, Salman Rusydie Anwar, A. Yusrianto Elga, di antaranya
agak lupa siapa saja pengisi pelatihan kepenulisan di Lirboyo, setelah
itu ziarah ke makam Gus Zainal. Mungkin sepuluh tahun lampau saya di
sini sekadar ngopi, seperti ke pesantren lain menikmati alam damainya. Ini
mengingatkan saya masuk Pon-Pes. Darussalam, Watucongol, Muntilan,
Magelang, dua belas tahun lewat, kala menghadap Mbah Mad (Kiai Ahmad
Abdul Haq) disaat beliau masih sugeng. Ditanyalah, ‘Kenapa ke
pesantren?’ ‘Ingin merasai hawa pesantren,’ ; jawab saya. Dan tiga
minggu lalu, ke sana kembali untuk meresapi ketenangan tersebut.
Kini saya dihadapan saudara, khususnya para penulis buku Jadzab.
Ibarat pohon jati usia muda, perlu banyak keringat memeras daya dalam
kemarau panjang, serta mewaspadahi banjir terlena. Saya kira keilmuan
lahir-batin saudara menapaki tangga kepastian, umpama tentara abadi siap
kurbankan apa saja demi cita-cita. Hanya kelemahan bibit pohon jati
kerap mengganggu batang asalnya, kecuali di lepas hijrah. Maka perlulah
ditanam di ladang-ladang kembara berkesiapan membaja; sedari alunan
kitab-kitab terbaca, susunan mutiara hikmah di kedalamannya, restu para
guru, ketawadhuan, dialog badan kasar-halus pula jenjang kesadaran
setiap muwajahah kepada-Nya, itu alam maha kaya dibandingkan
keterpukauan saudara ke dunia luar.
Agar membo-membo ini di jalur keselamatan atau menghindari
persamaan Iblis selanjutnya. Marilah baca Surah Pembuka kepada para
nabi, para rasul, para sahabat nabi, para wali, para tentara di Perang
Badar, para imam, para ‘ulama, para guru, pula para orang tua, dan
seluruh umat Islam dari jaman Nabi Adam sampai tamatnya dunia,
Al-Fatihah…
***
Suatu hari terkisahkan; Iblis yang biasa berbohong, berdusta serta
perihal buruk lain, berkata jujur lantaran terpaksa. Cerita ini
diriwayatkan Mu’adz bin Jabal ra., dari Ibnu Abbas ra., dan peristiwa
itu disaksikan sahabat Nabi saw., yakni Umar bin Khattab ra. Hadits
tersebut banyak ditulis para ulama, sedangkan yang saya cuplik sebagian
nanti dari Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya “Hikayat Iblis,” untuk membongkar
antologi Jadzab, di mana saya membo-membo (berpura-pura) jadi Iblisnya.
Dikala memperkuat argumentasi, Iblis menunjukkan ayat-ayat di dalam
al-Qur’an, misalnya mengabarkan firman Allah swt; Q.s. al-Hasyr: 16, Q.s
al-Isra’ :64, Q.s. al-Isra’: 27. Olehnya, saya membawa ayat-ayat kitab
suci demi mendalami kupasan semestinya yang terjadi, Innalillahiwainnailaihirojiun.
Ia datang sambil memberi salam, “Assalamu’alaika ya Muhammad, Assalamu’alaikum ya jamaa’atal-muslimin,” kata iblis. Nabi saw. menjawab, “Assalamu lillah ya la’iin (Keselamatan hanya milik Allah wahai makhluk yang terkutuk).
Saya mendengar engkau punya keperluan kepada kami. Apa keperluan
tersebut wahai iblis?” “Wahai Muhammad, saya datang ke sini bukan karena
kemauanku sendiri, tapi saya datang ke sini karena terpaksa,” tutur iblis. “Apa yang membuatmu terpaksa harus datang ke sini wahai makhluk terkutuk?” tanya Rasulullah.
Iblis menjawab, “Telah datang kepadaku seorang malaikat yang
diutus oleh Tuhan Yang Mahaagung, dimana utusan itu berkata kepadaku,
‘Sesungguhnya Allah swt. memerintahmu untuk datang kepada Muhammad saw.
sementara engkau adalah makhluk yang rendah dan hina. Engkau harus
memberi tahu kepadanya, bagaimana engkau menggoda dan merekayasa
anak-cucuk Adam, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Lalu
engkau harus menjawab segala apa yang ditanyakan Muhammad dengan jujur.
Maka dengan Kebesaran dan Keagungan Allah, jika engkau menjawabnya
dengan bohong, sekalipun hanya sekali, sungguh engkau akan Allah jadikan
debu yang bakal dihempaskan oleh angin kencang, dan musuh-musuhmu akan
merasa senang.’ Wahai Muhammad, maka sekarang saya datang kepadamu
sebagaimana yang diperintahkan kepadaku. Maka tanyakan apa saja yang
engkau inginkan. Kalau sampai saya tidak menjawabnya dengan jujur, maka
musuh-musuhku akan merasa senang atas musibah yang bakal saya terima.
Sementara tidak ada beban yang lebih berat bagiku daripada bersenangnya
musuh-musuhku atas musibah yang menimpa diriku.”
Lalu Rasulullah saw. melemparkan pertanyaan-pertanyaan ke Iblis. Di
sini saya enggan melanjutkan hadits tersebut, saudara dapat mencarinya
jikalau termasuk ahli ilmu, dan yang tak sekadar menanti-nanti datangnya
laduny. Posisi saya kini, tidak lebih mengimbangi dalam membaca
kemungkinan adanya terlepas atau mengurangi datangnya kecelakaan pihak
pinafsir yang berangkat sedari pandangan sepihak, berkepentingan di luar
kondisi ‘Jadzab.’
Endosemen di buku itu saya sukai dari Ning Qurr; “Sebagian dari
mutiara-mutiara dunia yang akan menyinari dunia dengan pantulan
sinarnya, menembus cakrawala dengan keindahan kata dan keindahan pribadi
nyata. Puisi ini adalah jeritan dan gambaran hati. Dan Allah-lah yang
maha Tahu. Wallahu A’lam bishshowab.” (Ibu Nyai Lilik Qurrotul Ishaqiyah – Pengasuh Pon-Pes. Langitan). “Wallahu a’lam bish-shawab” menggetarkan saya!
Ada larik kata-kata membuat saya canggung membaca pengantarnya, “Membaca Ayat-Ayat Lepas” oleh Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. tepatnya; “Menyelami puisi memang seperti membaca ayat suci.”
Saya yang sekadar lulusan MAN Denanyar, Jombang, terganggu ujaran
melangit itu. Olehnya akan mengupas terlebih dulu, sebelum memasuki
kumpulan puisi yang tentu secukupnya, agar tidak memakan banyak halaman.
Secara ilmu mantiq, kata-kata Suwardi sangat meyakinkan sebagai awalan,
namun agak bahaya bagi insan di luar lingkaran, yang bisa mendatangkan
kedholiman. Lebih parah jika ada pengutip tak mengetahui atau sengaja
tak ingin tahu jauh, sehingga keluar dari kedudukan yang semestinya.
Membaca seluruh paragraf awal muqaddimah Suwardi, sepertinya tiada masalah, tampak elok bersahaja di bidang yang digeluti; “Menyelami
puisi memang seperti membaca ayat suci. Puisi yang diantologikan ini,
semula adalah ayat-ayat lepas, namun dirangkai dalam sebuah ‘wadah
emas’. Ayat-ayat itu akan mengingatkan detak hidup manusia yang
kadang-kadang serakah, kosong, zina, dan bercanda tanpa makna.
Puisi-puisi antologi ini mungkin akan menjadi seberkas jawaban ketika
kita ragu mengarungi bentangan hidup.”
Umpama mengguna asas universal pada fakultas hakikat, yang di
kolong-kolong angkasa, lembah-lembah hayati, semua suci sedebur ombak
lautan. Pun yang bertebaran di keseluruhan tujuh sab langit, segerak
galaksi diteliti para ahli falak. Pula sebatang pohon; akar, serat, dan
kulitnya, menanjaki batang berdahan, bercabang, meranting, membentuk
daun berbuah, meski melewati penyangkokan awalnya ialah ayat suci. Tapi
ketika sebuah jalur pengetahuan (puisi) mengerucutkan diri sebagai ayat
suci, seolah menutup kesucian di belahan berbeda. Sejenis mengkultuskan
sesuatu dengan abai perihal lain, sedangkan puisi turun di wilayah teks,
yang wujudnya dapat dibaca serupa ayat-ayat suci firman-Nya.
Kemiripan wujud teks bisa saja menggelincirkan, mengira sama berkadar
tingkatan terrendah atau turunan, yang memicu watak berbangga, terlepas
dari kodratnya. Oleh sebabnya, Rasulullah saw. menggaritkan pembatas; “Sesungguhnya
sebagian dari perkataan yang fasih itu ada sesuatu yang mempesona
laksana sihir. Dan sesungguhnya sebagian dari sya’ir itu terdapat
hikmah.” ini pantas didedah, agak tak lewar dari kesadarannya?
Saya petik kelanjutan hadits mengenai Iblis, “… Apabila (umat muslim) membaca al-Qur’an, maka saya akan meleleh (mencair) seperti timah yang dipanaskan dengan api. …” ungkapan jujur Iblis kepada Nabi saw.
Lalu bandingkan dengan puisi yang bisa jadi menulisnya berkeadaan
hadats besar / kecil. Mencangkok dahan pohon dengan nafsu menumpuk
kekayaan demi kesenangan diri sendiri. Sedangkan kaum muslim sebelum
memegang mushaf kitab suci membaca firman-Nya, diwajibkan berwudhu atau
lepas dari hadats besar-kecil, pula adab mengagungkannya secara lain.
Memang Dr. Suwardi tidak menyebut kata-kata ‘firman-Nya,’ tapi puisi
serta sebagian perilaku penyair muslim, kerap memanfaatkan ayat-ayat
mutasyabihat di dalam menopang gagasannya, yang sering abai asbabun
nuzul-nya. Seperti terurai di buku saya; “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” mengenai Surat Asy Syu’ara ayat 225-227. Pula temuan saya di atas melencengkan makna “Kun Fayakun” ke artian “Jadi, lantas jadilah! dan Jadi maka jadilah!” oleh SCB, yang sedang saya susun di dalam membaca salah satu esainya Ignas Kleden.
Bisa jadi para intelektual yang kurang pahami tradisi pesantren
ajaran Islam, menganggap kata-kata ‘ayat suci’ seperti firman-Nya di
larik itu. Sehingga jaraknya berlawanan dari ayat-ayat suci-Nya;
“(Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini) dalam hal kefasihan dan ketinggian paramasastranya (niscaya
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”) saling
bantu-membantu. Ayat ini diturunkan sebagai sanggahan terhadap perkataan
mereka, sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya (QS 8 al Anfal, 31): Kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini (al-Qur’an). [Qs. al-Isra' (17): 88]
“(Dan Kami tidak mengajarkan kepadanya) yakni kepada Nabi saw. (tentang syair)
ayat ini diturunkan sebagai sanggahan terhadap perkataan orang-orang
kafir, karena mereka telah mengatakan, bahwa sesungguhnya al-Qur’an yang
didatangkan olehnya adalah syair (dan bersyair itu tidak layak) tidak mudah, ada yang menyebut tidak pantas (baginya). (Al-Qur’an itu tiada lain) apa yang diturunkan kepadanya, tiada lain (hanyalah pelajaran) nasehat -peringatan- (dan Kitab yang memberi penerangan) yang menjelaskan tentang hukum-hukum dan lain-lainnya.” [Qs. Ya'sin [36]: 69).
Kritik ini, lantaran dua kata ‘memang’ dan ‘seperti’ dalam perkataan “Menyelami puisi memang seperti membaca ayat suci,” memberi dorongan kuat memaknainya sebanding ayat suci firman Allah swt. Demikian membo-membo saya sebagai Abu Murrah (julukan Iblis). Kini, ke kumpulan sajak.
***
Agar sedikit adil pun persingkat waktu, saya telaah satu-persatu
karya awal dari susunan tiap penulis puisi; pertama Usman Arrumy
berjudul Titik, yang lain Bersama Hujan, Aku Mencintaimu,
Untuk Robi’ah Adawiyah, Al-hallaj, Jumat, Gua Hira, Kembang, Jadzab,
Karena Aku Wayang dan Kau Dalang, serta Pijar. Usman lahir
6 Februari 1990 di Demak. Sejak kecil dididik di lingkungan pesantren
ayahnya (Pon-Pes Miftahul Ulum). Lalu mengembara di Pesantren Al-Ma’ruf
Bandungsari, Grobogan, di Pesantren Fadhlul Wahid Ngangkruk, Grobogan,
di Pesantren Al-fadlu, Kaliwungu, Kendal. Puisinya dimuat di beberapa
majalah, dan sudah memiliki tiga antologi puisi tunggal.
Yang ditempa hidup nyantri dari pesantren satu ke satunya, mungkin
sampai tua suka kembara, menuntut berkah para guru yang keilmuannya
bersilsilah. Tidak sekadar di bangku madrasah, menghafal kitab,
mendendangkan syair dalam kitab-kitab klasik karangan ‘ulama. Juga
bertekun tirakat, membaca wengi, malam melarut di gelas kehidupan, suara
bergegas hendak sholat, bercengkerama di makam-makam orang utama. Di
antara memaknai kitab kuning berbahasa Jawa, membuat syair demi merekam
tapak jejak hayatnya.
Sajak “Titik” saya suka kandungannya, bayangan Usman seakan
disematkan ke kisah para ulama’ pula nabi-nabi nan tertuang di dalamnya.
Hanya kurang bersabar pemilihan kata, nada, penulisan huruf, yang itu
bisa meningkatkan wibawa suatu karya. Mungkin perihal itu terikat
jenjang usia, yang semoga nanti menemukan muara kebeningan didamba,
kesantunan rahasia dengan pengudaran mewah. Di titik-titik persinggahan
pribadi mengenal dunia, dilakoni merambahi detakan jantung memompa
nafas, hingga seluruh kelenjar tubuh bekerja. Namun ada perih saya
menyimaknya di sini:
Maka akulah kembara yang mengelana mengendarai titik
Dibawah huruf ba’ menuju tuju pintu surga
Akulah yang mendamba kasroh menjadi perahu nuh
Yang kelak akan bersauh
Dan kepada miim aku melabuh
Akulah musafir yang hijrah
dari entah lalu mendiam dipasrah
Kala membaca sajak Titik, ada lelompatan mengasyikkan, sedebur ombak
bersantapan cahaya, tetapi garam perasan peristiwa belum memutiara, ada
yang terbang begitu saja. Dalam prosesi saya berkarya, tak malu merevisi
jika dirasa perlu pun lebih sesuai meski sudah diterbitkan sebelumnya.
Toh sebuah karya pantas atau berpeluang langgeng daripada usia
pengguratnya, pula dipertanggungjawabkan di masa lama.
Karena perangainya melompat-lompat saya menduga; di larik terjumput
itu kehendaknya melukis huruf-huruf Basmalah. Sayangnya, cepat
dituntaskan sampai terasai perih dibuatnya; huruf ba’ merupakan awal
merendah ‘andap ashor,’ kebalikan dari huruf nun dapat dimaknai
keangkuhan. Jika dilukiskan antara dipangku titik, dan memangku titik.
Ba’ pengertiannya ke Bismillah, sedangkan kebalikannya huruf nun
dilesatkan ke nar artinya api atau neraka.
Jika Usman bertabah mengudar huruf sin, diletakkan misalnya
mensucikan Nama Allah; Subhanallah, sebentuk huruf aslinya seperti orang
bermunajad, tentu kehadirannya lapang sebelum memasuki miim-nya
Muhammad untuk menemui la-nya Lillahi ta’ala, sampai kepada miim-muakhir
sang Nabi saw. Saat dibaca ulang, kembali ke huruf ba’ sebagai
pergumulan kasih sayang antara hamba dengan Sang Penciptannya; kasih-Nya
pada seluruh makhluk, sayang-Nya ke segenap umat Muslim sampai akhir
jaman. Miim kehadiran Rasulullah saw. dan miim pemberi syafaat bagi iman
yang meski sebutir zarah. Rahmat ini bisa diudar menerus, sejumlah
tingkatan pamahaman dalam jenjang diikhtiarkan, tentu atas kemurahan-Nya
pengertian yang ditaburkan kepada golongan orang-orang di jalur mukhlis
(laku murni).
Kedua; Devie Sarah Khan, nama pena dari Devi Maisarah. Lahir 23 Juni
1991 di Pesantren Buntet, Cirebon. Mahasiswi Fakultas Tarbiyah di IAIN
Syekh Nurjati. Mulai menulis sejak di bangku Tsanawiyah. Tak hanya puisi
buah penanya, beberapa cerpen dituangkannya. Salah satu redaksi kampus,
dan dalam bidang kesenian banyak menuai prestasi. Sajak-sajaknya; Dunia
“Akan”, Engkau Wahai Aku, Sedetik yang Beberapa Hari, Sekelebat
Sesalan, Gulma Membunga, Sarkasme terhalus, Senja di Penghujung Oktober,
Nyanyian Lampu Merah, dan Agama, Bukan Tanpa Cinta.
Dalam sajak “Dunia ‘Akan’,” saya menemukan corak abai, meski bangunan
nalarnya bisa dikata lumayan. Terlihat kurangnya pembacaan ulang,
hingga bentuk ‘keluguan’ penciptaan pertama tampak terang. Mungkin
Devie, ingin menunjukkan keotentikan kilatan inspirasi awalnya dan
menganggap sayang jika dirombak, atau terlalu percaya diri? Ataukah
mengira suci pertemuan di alam puitik? Sampai tiada keberanian
menempanya lagi sebangunan imbang kadarnya, yang secara fitri kelak
mendapati peningkatan nilai -seyogyanya.
Bagi pekerja menanjaki wilayah sastra, harus rela menyingkap
kandungan misteri kehadiran karya sampai sekedudukan nasibnya, seperti
bersedekah tanpa pamrih di waktu tepat, atau menundukkan ego, demi
kelanggengan ciptaan di alun-alun semestinya. Ketidakberanian memangkas,
meringkus daya ciptaan, serupa batu berharga belum dibentuk, kala
cahaya pembacaan tak memantul seterang kodratnya. Atau bebatuan mutiara
lebih berharga jika dipahat berbilang sudut pandang oleh sang ahli
bertekun siang-malam, meski kelak yang dikenal karyanya. Setidaknya
pembuat untaian mutiara bahagia, menyaksikan kalung ciptaanya melingkari
leher jenjang putri raja misalkan.
Ketiga; Amna Milladiyah, nama penanya Aam Amna. Lahir di Sidoarjo 3
September 1993. Menempuh pendidikan SD TPI, MTs Islamiyah, desa Inggir.
Tamatan SMA NU Malang, yang kini belajar di PPSQ Asy-Syadzili.
Kegemarannya menulis sejak sekolah dasar. Sajak-sajaknya; Dzikir
Abadi, Sentuhan Kasih, Bahasa, Pemilik Rindu, Jejak-Jejak Sujud, Konser
Musik, Aku dan Cahaya, Pelabuhan Rindu, Pusaran Bapak, dan sajak Ibu.
Komentar saya pada sajak “Dzikir Abadi;” terkadang bacaan meluas,
serta pengalaman spiritual meresap, belum tentu mampu menuangkan dengan
ketepatan bahasanya. Lebih parah cara membacanya keliru, tak paham yang
sedang dibaca, atau tak mau bersuntuk-suntuk menggali makna yang terbaca
lewat lelaku. Di sini saya kutip kata-kata pembuka dalam “Kitab Adab Al-Muridin,” karya Abu Al Najib Al Suhrawardi:
“…Setiap orang yang mencari sesuatu harus mengetahui esensi dan
watak sejati apa yang dicarinya, sehingga keinginannya akan hal itu
dapat terpenuhi. Tak seorang pun dapat mengetahui jalan para Sufi secara
memadai hingga ia mengetahui keyakinan-keyakinan fundamental mereka,
aturan-aturan tindakan mereka (adab), dan istilah-istilah teknis mereka.
Karena besarnya jumlah pemalsu yang berpura-pura, keadaan Sufi sejati
telah diabaikan. Namun, penyelewengan itu semestinya tidak meniadakan
yang sejati.”
Saya tambahkan untuk Amna; bersunyi-sunyi sangat penting, berdiam
diri itu baik. Dengan kesendirian teramat hening, seluruh bacaan
meresapi kalbu menuntun ke jalan dirindu.
Keempat; Sekar Aisha Nahdhia, lahir 2 Desember 1994, Cirebon. Ia
dikenalkan dunia buku oleh bibinya. Alam pesantren melekati dirinya,
membentuk religius unik. Ia terinspirasi gaya kepenulisan Leo Tolstoy,
Vladimir Nabokov, begitu biografinya. Sajak-sajaknya; Secangkir Teh Kehidupan, Puisi kakak, Senja & Sehelai Padi, Dogma Petang & Sebutir Tomat, Satria, Padang Imajinasi.
Pada sajak “Secangkir Teh Kehidupan,” kesan saya; pengulangan kadang
membosan, dan kata-kata mengumbar, meluncur tanpa penggendalian diri
setiap kesadaran kata, melemahkan peristiwanya. Andai keadaan meminum
teh diulang-ulang, lantas tiap pengulangan dicatat berkadar seksama,
maka penumpukan catatan terjadi kian matang. Seperti berulangkali jatuh
cedera, rasa berperbedaan tipis menentukan lelipatan menuju pengertian
lembut. Mengangkat kebeningan tangkapan panca indera ke alam puitik,
laksana lamur pepagi menghadiahi bulir embun di lengan, dedaun,
pegunungan.
Hawa ketinggian, uap mengepul, aroma meyakinkan menyerapi persendian,
kala pengulangan ditempatkan ke alur pembacaan. Maka selain percaya
diri, pengoreksian wajib bagi berjiwa maju, misalkan sebuah sajak
disuntuki satu bulan lebih, di bulan selanjutkan diperiksa lagi. Sebab
bertemunya formulasi terbaik berangkat dari ketekunan menyimak selain
produktivitas, sekiranya hasil dapat terketahui jauh kemudian, kalau
benar bersuntuk mempelajari kehidupan. Pula kudu dilayarkan, lantaran
kesaksian selalu meningkatkan nilai; barangkali saksi pertama, kedua,
masih terselimuti warna melenakan.
Kelima; Mawar Merah nama penanya. Ia sebutir debu diberi kesempatan
hinggap, di indah matamu. Kapan saja bisa kau sibak, kau hilangkan dari
pandangan. Atau ada angin memaksaku enyah darimu, tapi… kesempatan untuk
mampir di alismu, dan merasakan sejuknya terbasahi linangan air matamu
ialah anugrah terhormat sedari sebuah debu. Pecinta kopi sejati, belajar
hidup dari pahitnya, pengagum senja dan malam. Itu- biografinya, sangat
percaya diri tak menyebut nama asli, samarannya pun tersamarkan.
Mungkin ini gejala kembalinya jaman lampau, tersematnya istilah anonim,
atau bisa dikatakan kebebasan pengarang, disaat memasuki masa kekinian.
Nama sajak-sajaknya; Rintik Rindu di Kota Sayu, Menunggu Langit Bicara?, Takbir Subuh, Senja di Ujung Malam, dan Aku Rindu Kopimu.
Komentar singkat saya pada sajak “Rintik Rindu di Kota Sayu;”
lumayan, tapi saya belum berminat mendalaminya. Jikalau karyanya sekelas
penyair tanpa nama pada link berikut ini, mungkin saya agak tertarik
http://sastra-indonesia.com/2010/03/penyair-tak-dikenal-dari-yugoslavia/
Keenam; Cahaya Langit, nama pena dari Nur Ilmiyah, kelahiran 27 Juli
1991. Pendidikan di MI NU Maudlu’ul Ulum, MTsN 2, MAN 1 Malang, yang
kini di STAIN Bengkulu. Berharap karyanya sekarang bukan karya pertama
sekaligus terakhir, tetapi lainnya segera menyusul. Judul
sajak-sajaknya; Abu Perjalananku, Candu Ampunan, Senandung Retak
Hamba, Lekat Mengingatmu dalam Hayat, Kabut Hitam Kehidupan, Telah Gelap
Rinduku, dan Mengembara Makna.
Nama pena penulis ini serupa anonim, namun mendingan menghargai tapak
hayatnya. Semoga dirinya memikirkan lebih matang sebuah nama atas karya
selanjutnya. Atau takdir bakal terjadi di masa datang, oleh pilihan
sekarang.
Pada sajak “Abu Perjalananku”, saya tak memberi kupasan apa-apa,
hanya jika boleh berpesan; perbanyaklah baca, tidak hanya membaca diri
sendiri, tidak hanya merasai hembusan angin hayati, namun jua tarikan
nafas dunia kata-kata. Mungkin sesekali perlu mabuk baca berhari-hari,
hingga berjam-jam dikemudian hari dalam sinahu lebih terang pandangan
kala penyimakan. Juga menahan kantuk, membuang malas mengamati karya
orang lain, sebab betapa tidakkan tahu tingkat kemajuan belajar tanpa
berkaca kepada mereka.
Itu berulang-ulang ditingkatkan, ialah kesuntukan setahun bisa lebihi
yang lehan-leha sepuluh tahun, senada makolah ini; “Istiqomah lebih
mulia dari seribu karomah.” Hidup hanya sebentar, tanpa kesungguhan
maksimal kan menyesal, sia-sia untuk beberapa masa tidak terhitung
jumlah kerugiannya!
Ketujuh; Nurul Farida Wajdi, lahir 12 Mei 1992, Sleman, Yogyakarta.
Menempuh pendidikan di ndalem Bapak Muh. Dawami 1997-1999. Pada tahun
1999 hingga kini di Masjid Ash-Sholihin, dan sejak 2007 di Ma’had
Islamiy Sunan Kalijaga, serta dimulai 2011 di Darus-Shalihin. Semenjak
kecil suka menulis, buku teenlitnya “Say No To Pacaran” (2009),
naskah komik Pahlawan Nasional ‘K.H. Zainul Arifin’ dan ‘Sultan
Hasanuddin’, kerjasama dengan G.Wu (2011). Mahasiswa Prodi Pendidikan
Bahasa Jawa di UNY. Sajak-sajaknya; Eling Sliramu (Teringat Dirimu), Nalikaning Pajar (Ketika Fajar), Ibu (Ibu), Mungguh Wuyung (Tentang Rindu), Rama (Ayah), Ku Menerka, Aku Sadar, Marilah, Gadis Kecil, dan Si Mungil.
Membaca gurit “Eling Sliramu,” mengingatkan saya dimasa belajar
kepada almarhum KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo, di bawah pohon sawo
kecik, Nagan Lor 21 Yogyakarta. Geguritan Farida lumayan memikat, namun
perlu pilihan kata lebih lembut. Dalam penuturannya bisa dibilang rapi,
tapi daya kesastrawiannya masih patut digali. Agar bencahnya menyubur
merambahi khasana guritnya kian sumarah, sumekar laksana kuntum kembang
melati mewangi, di sanding sendang hangat tirta dari pegunungan asri.
Atau saya lihat ketegasan sang putri menapaki tangga Ilahi, semoga nan
sumambrah dari ketinggian hakiki. Dan kelembutan bahasa sajaknya
“Teringat Dirimu” sepantulan guritnya. Farida boleh memasukkan kosa kata
bahasa Jawa ke sajak berbahasa Indonesia, kiranya menambahi bobot
nuansa serupa kata ‘kemerlip’ di sana.
Delapan; Hasan ben Aly, asal Parengan, Lamongan 15 Oktober 1995.
Sejak kecil tinggal di Pon-Pes. Nuur Al Anwar. Awal pendidikan di TK
Muslimat, di Ibtida’iyah ketika pagi, siangnya di TPQ Manbauddalalah.
Lulusan SMP Wahid Hasjim Parengan, lantas menekuni pelajaran pesantren.
Menyukai dunia tulis saat baca puisi karangan K.H. Musthofa Bisri di
majalah. Sajak-sajaknya; Semacam Perasaan Rindu Padamu Muh!, Tuhan, Buat Kamu, Suluk Seorang Bodoh, Khidir, dan sajak bertitel Di.
Membaca sajak “Semacam Perasaan Rindu Padamu Muh!,” pun tidak
mendedahnya. Karena Hasan warga Lamongan, maka saya tak segan
melancarkan masukan; cobalah suntuki karya Gus Mus yang kau sukai,
kemana-mana dibawa, disimak berulang-ulang, sambil tubuh dimiringkan,
tegak berdiri, tiduran, dengan posisi berlainan, kondisi berbeda di atas
teks yang sama, tentu mendapati temuan lain dari sebelumnya.
Mencoba menulis sajak dikala hujan rintik, gerimis menderas, sebelum
tidur, bangun malam, pagi buta, pagi kesiangan. Membunuh kantuk dengan
celak, makan buah asam jika perlu, orang-orang terdahulu lebih berani
menaburkan garam lautan di mata. Teruslah berkarya diwaktu bergairah,
saat kemalasan mendera, bosan, buntu, basmi itu semua sampai batas-batas
memungkinkan sadar atau lebih.
Menyimak alam membaca buku, jika ingin mendapatkan tidak percuma atau
sedang saja; itu kesempatan sangat tipis, hanya lewat bersusah payah
serba kekurangan, ilmu pengetahuan terserap dari pelbagai penjuru,
seirama; Q.s 13: 11
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa pada diri mereka.” Pegang Hadits diriwayatkan at-Tirmidzi dan Muslim, sedari Amru bin Maimun r.a.; “Rebutlah
peluang lima perkara sebelum datang lima perkara; masa mudamu sebelum
datangnya hari tua, masa sehatmu sebelum dilanda sakit, masa kayamu
sebelum jatuh papa, masa lapangmu sebelum datangnya sibuk, dan waktu
hidupmu sebelum datangnya kematian.”
Satu dua makolah sudah cukup bagi mempercayainya; itulah kelemahan
umat Islam sekarang, tidak menempa keyakinannya sedalam penyelidikan!
Sembilan; Ella Ainayya, nama pena dari Ella Ainayya fz. Tinggal di
Balekambang, Nalumsari, Jepara. Kegemarannya menulis sejak kecil,
bermula dari coretan kata-kata yang dikumpulkan untuk dinikmati sendiri,
dan orang-orang sekelilingnya. Kecintaan terhadap komunitas pesantren
membuatnya ringan menyumbangkan sebagian karyanya di sini.
Sajak-sajaknya; Tak Taunya aku, Simpang Jalan, Kau dan Rasamu,
Pujimu Padaku, Semuamu, Berteman Gelisah dan Gunda, Aku Kamu dan Rasa
Itu, Laki-Laki Soleh Itu, Dalam Maya, dan A Piece of Remember.
Pada sajak “Tak Taunya Aku,” saya belum mendapati apa-apa; kata-kata
puitik, nuansa puitis, pun peristiwa makna puitika nan menggugah. Jika
biografi Ella tercatat menulis sejak kecil; sebelia apakah usianya kini?
Sudahkan membaca puisi-puisi di majalah? Sajak-sajak ditulis pelajar
Tsanawiyah, pula Aliyah? Meski saya telah dan terus baca karya-karya
mendunia, masih suka baca puisi di majalah yang memuat karya anak
Ibtidaiyah, misalkan di majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA). Pesan
saya; kesungguhan ialah salah satu cara menghormati atau menghargai diri
sendiri, sebelum datang yang lainnya!
Sepuluh; Ufi Ishbar Noval. Terlahir 6 Desember dari keluarga
sederhana. Menghabiskan belajar VI tahun di Sekolah Arrisalah Kediri.
Kegemarannya bersajak diawali menulis di Mading. Pernah jadi wartawan,
Pimred majalah di sekolahnya, sejak itu kemampuannya terasah.
Sajak-sajaknya; Aku Masih Manusia, Orang Pesisir, Karena Aku Masih Mencintaimu, Getir-Getir Peluh, dan Demokrasi?
Meski sajak “Aku Masih Manusia” belum mapan, saya suka semangat
pencariannya; upaya mengeduk dasar hening kemanusiaan, mendalami
fitrohnya sebagai insan berpikir. Kesadaran terhadap bulan dan matahari,
gunung pebukitan, sungai-sungai hempasan gelombang badai kemungkinan.
Di atasnya, nalar puitika digerakkan berpijakan realitas, merasai tebal
bayu menderui kencang menampar muka, hujan mencabik-cabik badan
kesakitan.
Lewat resapan panca inderanya, manusia tangguh dimungkinkan hadir
membelah samudra, mengendarai angin, mengebor kekayaan tambang
kehidupan. Menyusupi cela-cela bebatuan terjal ketumpulan; jiwa-jiwa
mandiri tak malu diperolok suara sebrang, terus belajar menggali
kualitas kedirian hingga sumber mata air keluar selaksa pahala tak
terduga. Sedang perasaan puas, merasa berhasil, aman sebagainya ialah
musuh bebuyutan, patut digerus, dikendalikan, didorong memperlus
kesadaran bacaan. Salam dari saya; teruslah berkarya, hidup cuman
sementara, sedangkan karya-karya abadi, dinanti semua bangsa!
Sebelas; Ita Rosyidah Miskiyyah, gemar menulis sejak di bangku
Sekolah Dasar. Menulis cerpen, esai dan puisi. Baginya, hujan selalu
menghadirkan inspirasi, aroma tanah basahnya menyimpan makna. Hobinya
menunggang kuda, menurutnya semua bisa dijadikan tulisan, selagi ada
kemauan di hati. Antologi puisi pertamanya; “Menunggu Hatimu.” Begitu
riwayat awalnya, dan sajak-sajaknya; Asa Membiru, Candu Ilmu, Cinta
Atau Iba?, Kata Kita, Merindu Dalam Bisu, Ruang Hati, Senyummu Melerai
Derai Rindu, Tersangkar Asmara, Tiada Mungkin Tanpamu, dan Bukan Bagai Sosokmu.
Pun pada sajak “Asa Membiru” tidak mengupasnya, namun saya tertarik
temuan dua kata di dalamnya; “punggung jantung.” Saya bayangkan Ita
peroleh kata-kata itu kala mengendarai kuda, jantungnya berdebar di atas
turangga. Di saat tapak langkah kuda berlari kencang, merasakan
hentakan pengalaman puitik, peristiwa termaknai, diwakili bersitan
kata-kata tersebut. Seperti ini patut digali, kesaksian murni menggugah
kesadaran lain, ingatan kepada peristiwa sepadan, dimungkinkan mencipta
kandungan berbeda dari penulis sajak lainnya.
Sajak bukan kumpulan kata puitik saja, tapi perlunya ikatan rasa
penalaran dikandungnya. Misal berbicara senjakala; patut mengeduk warna,
kondisi orang-orang dikala senja, bebayang dedaunan, corak tanahnya,
perasaan pada anginnya, pesona matahari juga yang pantas dihidangkan
bertepatan masa diinginkan.
Penggalian ini butuh kesuntukan, kepekatan indera, merasai
perpindahan perasaan dari lingsirnya surya, detik-detik terekam,
mata-mata menyimpan segenap direngkuhnya peroleh kepastian atas
melesatnya daya penalaran ke jenjang penerimaan semua insan. Olehnya
patas sebelum menggurat sesuatu, memegang ujung mula bayangan hendak
ditangkap demi keseluruhan. Atau persiapan pemotretan penting, agar
dapati hasil maksimal, bukan tempelan dicari-cari dari kondisi berbeda
sejenis pengeditan berlebihan pada gambar yang sudah dihasilkan
misalnya.
Dua belas; Nabila Munsyarihah, lahir di Jombang 27 Mei 1991, besar di
Pon-Pes. Tambakberas, Jombang, dengan curahan kasih sayang dari Ibu Hj.
Umdatul Choirot, Ayah H. Ach. Hasan. Tengah menempuh studi di Jurusan
Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, dan nyantri di Pon-Pes. Ali Maksum,
Krapyak, Jogja. Titel sajak-sajaknya; Tanpa Sengaja Berdosa, A Voice, Peringatan Kesakitan Ibu, Sajak Untuk Mbah, Rupa-Rupa Cinta, Tutur Ketiadaan, dan Musikalisasi Puisi.
Di sajak “Tanpa Sengaja Berdosa,” untuk kekurangannya saya abaikan
dulu, mengenai bentuk tulisan dan dinaya lebih bisa dilahirkan dari
sana. Suaranya protes terhadap tradisi dibalut alur ‘balada,’
teriakannya mengingatkan saya pada sosok Nawal El Saadawi, pula R.A.
Kartini yang dikagumi Nabila; ia selantang keberadaan buku “Sebilik
Mihrab” karya Lilik Qurrotul Ishaqiyah.
Serupa sajak protes lainnya yang dikejar tak hanya kata puitik, tapi
peristiwa makna. Saya harap perkembangannya menanjak, membongkar
kedirian, ke soal dihadapi, ditantang dengan pelbagai bacaan yang
dikuasai; menyimak bersegenap penalaran, kepekaan rasa oleh menanggung
harkat kamanusiaan -kaumnya.
Suatu makolah mengatakan, wanita adalah tiang negara. Jika
perempuannya kokoh, tangguhlah tatanan pemerintah, sebaliknya lembek,
bisa dibayangkan ambruk sebelum masanya. Dari mereka anak-anak bangsa
dilahirkan, sejauh perhatian pada pendidikan, memperkuat penggalian di
ladang kemakmuran. Namun fatal terjadi merongrong hati demi kepentingan
sesaat; kalbu ibarat pemimpin condong penggeraknya, ialah kayu bakar
kaum hawa, sanggup matangkan air, ataukah membakar seluruh kekayaan
rumah tangga negara.
Tiga belas; Violet Angel, nama pena dari Laily Dzatinnuha, lahir di
Surabaya, 31 Oktober 1986. Menjalani hidup di Pon-Pes. Langitan 12
tahun. Di dunia puisi diperkenalkan sang ibu, dan adik keduanya
mendeklamasikan diberbagai even di pesantren. Mulai menulis kelas 2 MTsN
Bahrul ‘Ulum, Tambak Beras, Jombang. Terlibat diberbagai media di
Bahrul ‘Ulum, pada Pon-Pes. Manba’ussholihin, Suci, Manyar, Gresik, di
komunitas kepenulisan saat di Kairo; SAMAS, SaPi, FLP Mesir, dan FLP
Depok. Sajak-sajaknya; Hari dan Waktu, Pasang Gendang, Tuan!, Rasa
dan Karsa, Mimpiku di Antara Kuasa-Mu, Curhatku Padamu, Di Suatu Malam,
Inikah Malam?, dan Simfoni Lautan Pasir.
Membaca “Hari dan Waktu” saya menikmatinya:
// Hari yang menjauh / Kini bersiap-siap melabuh / Lalu kembali ke pangkuan ibu // ;
sajak ini tekun menyimak masa, sejauh misteri perputaran ke muasal
penyebabnya. Ada olahan pikir di baris kesadaran sejarah, waktu kerap
membentuk pelbagai rupa dan Violet Angel menemukan di antaranya.
// Waktu pun menyuram / Menunggu ketakpastian / Kapankah hari
untuk pulang? / Bedug bertabuh / Bisik peluh memutar kelu / Lalu hari
menyapa dengan senyum bisu // ; sajak soal waktu tak lepas
kebisuan, kesuraman, penantian, pertanyaan, ngambang, menggantung, tanda
hadirnya sesuatu masih terselubung. Waktu nan bisa lonjong, panjang,
bulat, abstrak, kadang pelahan sealiran sungai, pula dihempaskan badai,
sedaun-daun menguning malas. Pada angin pembawa waktu menentukan
jatuhnya takdir, seranting patah ditelan arus, berlayar memunculkan
hitungan matematis, filosofir, kimiawi, biologis, dan lain-lain
se-Sunnatullah mengatur seluruh alam.
// Buku lima basah terbuka / Sambut tunduk sembah luka / Waktu menengadah cipta asa // ;
catatan peristiwa, ingatan kehilafan, pantun hidup kemendadakan,
ketidaksabaran mendatangi kecewa. Hari dibangkitkannya jiwa dari
kemalasan, keras menghimpun tenaga demi menutupi kekurangan, dan doa-doa
menaikan drajad insani ke gugusan kemilau. Lalu diperolehnya waktu
semakin larut,
// Hari mulai menjauh / Sembunyi harap waktu menyendu / Usik karsa waktu ingin tahu //
; sekiranya kegaiban takdir atas tumpukan masa, ikatan usia
merenggang-lepas, benang teramat halus digenggam jemari berhadap tidak
luput sangkaan, praduka terhadap keilmuan.
// Pagi bagi waktu ia senja / Tanpa lambai tanpa sapa / Hari berlalu tanpa kata //
; semisal datang-pergi sama, kelahiran-kematian atau pagi dan senja;
kelupaan menemui muara, kesadaran dapati muasalnya. Tiada siapa-siapa,
sendiri dalam kebisuan nyata, beku dalam arus paling rahasia.
Empat belas; Nada Haroen, nama pena dari Qotrun Nada Haroen,
kelahiran Temanggung 6 Juli 1992. Pernah di Pon-Pes Raudhatut Thulab,
Tempuran, dan pelajar SMAN 1 Magelang. Selain menulis, semasa SMP
menjuarai baca puisi tingkat propinsi dalam Pekan Seni Ma’arif Jawa
Tengah, 2004. Kala dibangku SMA, cerpennya berjudul “Saat-saat Itu”,
juara I Lomba Penulisan Cerpen tingkat Nasional, diselenggerakan majalah
KaWanku, 2009. Mahasiswi Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. Kini berdomisili di Surabaya. Sajak-sajaknya; Gedung, Rumah dan Gubuk, Namun Kamu, Dusta, Kunang-Kunang Kau Ku Kenang, dan Percakapan Dua Manusia Lewat Saya.
Sajak “Gedung Rumah dan Gubuk,” menyuarakan kesenjangan sosial,
kritik halus seperti memukul bertenaga dalam, dengan kesederhanaan kata.
Sayang belum mengaduk soal-soal melingkupi kedalamannya, tetapi dari
sketsanya bisa dimasuki berpenelusuran lebih, oleh kehalusannya
merambahi alam nalar ke dunia puitika. Sisi lain, mengajak merenungi
diri, serta kedirian mereka yang berada di gedung perkotaan. Sepilihan
hidup sunyi di dalam menata masa depan, antara keramian langkah di kota;
bait ketiga / terakhir.
Sedang bait kedua menampakkan kekuatan pamor metropolis menelanjangi
para insan haus berharap, juga watak konsumtif mengeruk isi nurani
hingga kosong haus kembali. Di bait awal, Nada Haroen mengudarkan alam
nalar dengan perasaan, bentuknya terdapat pada pilihan kata ‘gedung’ dan
‘kotak’ menuju kata ‘kota’ serupa kata ‘gedung’ dan ‘bulat’ pada kata
‘bulat-bulat.’ Ini lumayan beresiko, tapi saya menyukai keberaniannya
menentukan kata-kata.
Lima belas; Lizam Kafie, nama pena dari H. Izam Kafie, Mc. Kelahiran
Grobogan, 21 Agustus 1982. Pernah nyantri di berbagai pesantren, kini
pengajar di Pon-Pes. Salafiyah Al Marom Menduran, Purwodadi, Grobogan,
Jawa tengah. Aktif ikuti seminar, halaqoh diniyyah, dan beberapa kali
jadi juri musabaqoh seni, terutama kaligrafi anak-anak tk.Asia di
Jeddah, KSA. Sajak-sajaknya; Kosong, Jati Diri, Pengantin, Kelana, Sendiri, Kedewasaan, Sahabat Angin, Muhasabah, Hikmah, dan sajak yang bertitel Cinta.
Pada sajak “Kosong”, saya membaca Lizam masih dalam pencarian bentuk,
atau belum pahami penuh alam puitika dengan capaian puitik.
Penalarannya sebatas hitungan kasar, umpama tumpukan bebatuan bata
durung dipoles sedinding keindahan rumah. Belum tampak wewarna
terobosan, siratan cahaya, ada keterputusan di beberapa tempat. Namun
saya yakin, jikalau berlatih keras menemukan kekhasan di kemudian hari,
dalam menimbang ikhwal makna di sebalik kata antara kata, serta perasan
materi-materi yang diunggahnya.
Enam belas; Azzqie Adawiyah, nama pena dari Azkiyah Nur Adawiyah,
kelahiran Miji, Mojokerto 16 Juli 1989. Awal kegemarannya menulis dari
memimpin redaksi di Asrama al-khodijiyyah Pon-Pes. Darul Ulum, Rejoso,
Jombang. Beberapa kali menerbitkan buku, serta mengisi kolom sastra di
majalah sekolah dan pesantren. Sajak-sajaknya; Menggores Bayang Tetes, Seper Sembilan Puluh Sembilan, Suasana Duka Gerhana, Rindu Meruang, dan Yang Maha Sajak.
Di sajak “Menggores Bayang Tetes,” kehendaknya mengungkap misteri
hayati; apakah dambaannya kelak seperti orang tuanya? Dengan bahasa
lembut mengaburkan aku lirik, serta kisah kekasihnya kurang menonjol
serupa monolog prosais. Tapi di balik itu saya temukan bibit unggul yang
nantinya merambahi dunia esai, cerpen, novel, pula puisi panjang.
Sejenis bersimpan dinaya melimpah, gairah berkesungguhan meluas, atau
berbakat. Tentu wajib berlatih keseimbangan, menyimpan energi demi nafas
ke depan, lewat tekun sinahu; ada wujud tak kurang dari impiannya.
Maka, rawatlah kesangsian mengintriki jiwa, keraguan menderai rasa,
waswas menggerogoti sukma, dan selalu meyakinkan perolehan dalam
kesaksian di jalan kembara.
Tujuh belas; Awy’ A. Qolawun, nama pena Alawy Aly Imran. Menghabiskan
waktu dengan membaca-menulis; sekitar 30 buku (14 berbahasa Arab),
beberapa di antaranya terbit secara nasional. Ratusan artikelnya di
berbagai media, di samping kerap sebagai endorser. Kelahiran 16 Agustus
1983, berasal dari Pon-Pes. Nurul Anwar, Parengan Lamongan. Koordinator
staff FLP wilayah Saudi Arabia. Mengambil studi di Masyru’ Al-Maliky
Lid Dirosah al-Ulya, Makkah. Begitu biografinya, dan sajak-sajaknya; Bisu dalam Deru, Ruang Suara Belulang, Tak Perlu Takut, Teriakan Bisu, Senyum Soreku.
Membaca sajak “Bisu dalam Deru,” komentar saya; sering bacaan meluas,
referensi melimpah, serta keahlian merakit kata, kerap menganggap
enteng kala menulisnya. Ini bisa fatal saat memasuki alam puisi, di mana
kehadiran puitik sejati terpendam di dalamnya, kurang mengental
semestinya. Kegiatan bersajak beda dengan menulis esai, cerpen, pun
lainnya.
Dalam berpuisi, nan dituntut kepekaan ruhani menangkap peristiwa
puitika, bukannya peristiwa dipuitikkan, atau diucapkan lewat kata-kata
puitik yang bertumpuk-tumpuk. Namun peristiwa puisi muncul, dikala
penulisnya total menerima keadaan, memasrahkan segenap kediriannya, dan
atas lelaku itu diharapkan muncul bulir-bulir mata air kesadaran.
Seperti tetesan air mata terhadap dosa-dosa, sesenggukan dalam kamar
sempit mengisyafi keegoan.
Tepatnya alam puisi itu kesadaran jernih melewati saringan pikir
perasaan dengan pertimbangan halus, selepas menggenggam soal atau
masalah yang diungkap tinggal intisarinya.
***
Akhirnya, nggap buku ini pula buku-buku sebelum dan selanjutnya,
sebagai kurban proses kreatif guna jenjang terbaik; hitung kerugian
waktu, keluguan konyol, rasa malu di jalanan nantinya. Tiadalah faedah
merawat bangga jika tergelincir lena, maka tingkatkan kesuntukan ribuan
kali lipat daripada yang sudah. Karena memalukan jika tak sampai ke
drajad dialog para imam, para ‘ulama tempo dulu, sang peletak dasar
keilmuan dari al Kindi sampai Muhammad Iqbal misalnya. Tengok Ibnu Rusyd
sangat rajin belajar, semenjak kecil hingga usianya tua, tiada waktu
lowong membaca dan menyelidiki, kecuali dua malam saja; malam meninggal
ayahnya, lalu malam pertama perkawinannya.
Wewaktu bertumpuk-tumpuk, padat penelitian, rapat merenung ulang,
membaca tanda perubahan, menyimak nafas hayati, kepalan tekat atas
kurban dilayarkan. Mengurangi istirah, memaksakan diri mencebur ke kawah
candradimuka; pergumulan oleh paham-paham berbeda, bergulat berkecamuk
pencarian, hingga tiba malaikat pencabut nyawa. Janganlah terlena
kelebihan, tetapi manfaatkan sebagai tumbal di dalam kehidupan.
Ialah sedap maut demi pencarian ilmu; berilah ruangan itu darah
setimpal, air mata sepadan, keringat mendidih bercucuran. Congkellah
pepintu mata, benturkan kepala dari kemalasan, kepada kitab-kitab purna
kedudukannya. Pesan singkat saya; jika tidak sungguh-sungguh, berhenti
saja secepatnya!
Lamongan-Jombang-Lamongan,
Malam Jum’at Wage, 20 April 2012
*) Bahan bedah kumpulan sajak lintas pesantren “Jadzab”, terbitan Arias,
tanggal 21 April 2012, di Gedung Aula Pasca Sarjana Institut Agama
Islam Tribakti, Kediri.
**) Pernah nyantri di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Di antara karyanya “Balada-balada Takdir Terlalu Dini,” “Kitab Para Malaikat,” &ll.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar