Akhiriyati Sundari
http://sastra-indonesia.com/
Membincang ibu sebagai seorang sosok, bak mengurai satu-satu sulur dunia. Nyaris tak ada titik henti, sekaligus karena sosok ibu ibarat titik asal mula kemunculan nama-nama. Sehingga, mencatat sesosok ibu dalam sebuah tulisan serasa hampir mustahil selesai karena ibu adalah puspa indah taman hati, sumber cinta sepanjang masa.
Kehendak untuk “mencatat ibu” dalam ingatan saya kemudian kerap menjebak saya untuk berkubang dengan perihal romantisme. Ya, karena bagi saya sosok ibu adalah romantisme itu sendiri. Seperti ingatan saya yang melayang ke sosok Ibu Kartini yang pernah merajuk kepada ibundanya dengan sangat romantis; “Ibu, kulo nyuwun sekar melati ingkang mekar ing panjering ati…” [Ibu, kupinta setangkai melati yang mekar di pusat hati…]
Bukan berarti romantisme yang saya maksud itu minor, melainkan jika kebablasan, bisa melenakan diri dengan memandang cukup berhenti di aras itu, tanpa sikap kritis membaca realitas sesungguhnya. Bagaimana entitas ibu, khususnya di negeri ini bergelut dengan realitas hidup sehari-hari yang konyol sekali. [atau jangan-jangan apa pun realitas yang mereka alami, justru telah dianggap menjadi bagian dari romantisme itu sendiri? Na’udzubillah…]
Mustahil membincang ibu tanpa melekatkannya pada sosok perempuan. Ya, sosok ibu di tulisan saya ini sengaja saya batasi pada sosok perempuan [meskipun saya memandang bahwa “ibu” pun bisa muncul pula pada sesosok laki-laki biseksual misalnya, atau laki-laki single parent yang mengasuh sendiri anak-anaknya]. Dan, membincang tentang perempuan di negeri yang gerusan patriarkinya masih hebat ini, menjadi pembuka untuk melihat realitas yang masih memprihatinkan hingga detik ketika saya menuliskan ini.
“Jika ingin melihat kemiskinan dan kebodohan, lihatlah pada wajah perempuan…”, begitu ujaran jurnalis harian Kompas, Maria Hartiningsih, yang masih menancap kuat di ingatan saya. Penisbatan itu tak berlebihan, mengingat kemiskinan dan kebodohan secara massif masih melekat di diri perempuan negeri ini. Berbagai unsur boleh dituduh sebagai biangnya; sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan wacana keagamaan yang bias gender, mendaulat perempuan menjadi kaum mustadh’afin [yang lemah dan dilemahkan] dalam makna sesungguhnya. Dalam prosentase yang banyak, perempuan juga masih menempati posisi subordinat, bahkan subaltern.
Realitas ini seakan berbanding terjungkir balik dengan romantisme seperti yang saya singgung di atas. Perempuan tanpa reserve seolah telah dinobatkan menjadi penanggung jawab utama sebagai juru rawat kehidupan; sendirian. Sebuah gelar yang lagi-lagi romantis, namun tak jarang menjerembabkan. Seperti juga salah satu hasil rekomendasi Kongres Perempuan Indonesia tahun 1938 di Bandung yang akhirnya menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu, bahwa “Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”. Wow, hebat sekali… “Ibu Bangsa” gitu loh?
Duh, Ibu Bangsa. Bagaimana itu bisa terwujud jika setiap waktu masih saja ada kekerasan demi kekerasan yang dialami perempuan? [kekerasan, apa pun bentuknya, adalah hal yang kontraproduktif dari upaya menjadi “Ibu Bangsa”]. Bahkan, anehnya, dari tahun ke tahun kian meningkat. Tengok saja media-media yang menyuguhkan laporan-laporan itu. Saya juga kerap niteni, nyaris di setiap waktu mendekati atau menyambut hari-hari yang berhubungan dengan perayaan perempuan [8 Maret; Hari Perempuan Internasional, 21 April; Hari Kartini, 22 Desember; Hari Ibu, Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Hari Lahir Fatayat, Hari Lahir Muslimat, dll.], media massa kerap menurunkan laporan mutakhir tentang tingkat kekerasan dus penderitaan perempuan yang meningkat. Sungguh, terasa membosankan berputar di arus lingkaran setan, dengan membaca suguhan berita macam itu. Saya tidak menafikan bahwa ada juga capaian menggembirakan seperti laporan media massa tentang daerah-daerah di Indonesia yang dalam geliat pembangunannya menjadi “juara” dalam hal PUG [Pengarusutamaan Gender]. Akan tetapi, realitas ternyata lebih canggih dan jujur dalam mewartakan hal sesungguhnya.
Perempuan, dalam keseluruhan hidupnya tak bisa mengelak dari tak terbilangnya persoalan yang maha luas, seluas hidup ini; sebagai konsekuensi logis menjadi manusia yang terlahir di dunia. Tetapi, hidup dalam kehidupan yang tidak ramah, bukanlah konsekuensi logis. Karena sesungguhnya kehidupan yang tak ramah itu adalah hasil create manusia, hasil rekayasa entah disengaja entah tidak. Di titik inilah yang membuat saya gusar. Jan-jane piye to?
Sejenak saya teringat dengan Hari Raya Idul Adha yang belum lama kita lewati ini. Nyaris di setiap khutbah sembahyang massal itu, sosok Nabi Ibrahim AS dan puteranya Ismail yang disebut-sebut sebagai contoh filosofi pengorbanan atau berkurban. Meskipun realitas sejarah yang “sangat laki-laki” itu tentunya saya imani sebagai bagian dari kemusliman saya, rasanya saya juga sangat menyayangkan mengapa khutbah itu sepi dari memaknai atau berfilosofi tentang perempuan Islam dalam sejarah yang nilainya sebanding dengan pengorbanan dua Nabi AS itu. Apakah karena pengkhutbah itu laki-laki hingga “alergi” berkisah tentang kehebatan perempuan dalam berkurban?
Sebut saja Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail, yang mbabat alas, mengais hidup sekaligus meniupkan kehidupan di Makkah nan gersang [senajan Makkah ora ono alas, Dab!], demi sang buah hati dengan mengesampingkan perasaan pribadinya sebagai “yang disingkirkan” bersebab ia istri yang dipoligami. Sebut juga perempuan Maryam yang sebagai manusia biasa ia pun bisa “shock” ketika memiliki pengalaman “supra” dari ranah teologisnya yang sangat pribadi itu, hingga caci maki nyaris membuatnya putus asa menuntun hidup. Catat pula Siti Masyitoh, Si Tukang Sisir keluarga Raja Fir’aun, yang karena keteguhannya mengantarkan mata, kepala, dan hatinya musti menyaksikan satu per satu belahan jiwanya dimasukkan ke dalam tungku yang mendidih, demi sebuah keimanan! Lihat pula perempuan Asiyah, bagaimana ia pun musti bergulat sebagai permaisuri Fir’aun, suaminya yang adalah “rival” Tuhannya. Belum lagi jika kita menyimak sosok Khadijah yang aduhai cintanya yang elok untuk Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Semuanya bermuara pada satu filosofi pengorbanan yang hebat.
Boleh lah jika ada yang mengatakan bahwa contoh sejarah itu “jauh sekali” dari Indonesia. Baiklah, kita memiliki jutaan ibu dan perempuan Aceh, Maluku, Papua, Poso, Sambas, Kedungombo, Porong Sidoarjo, Alas Tlogo Pasuruan, dll. yang seluruh usia hidupnya nyaris adalah usia derita dan pengorbanan. Kita memiliki Marsinah, Suciwati, Marsiyem, ibu-ibu korban ’65, juga ribuan perempuan pekerja migran yang tewas sia-sia. Kita juga memiliki Prita juga Nenek Minah yang tersaruk-saruk menghadapi pengadilan yang asing dari keadilan yang didambanya. Ah, kelewat banyak untuk dikisahkan. Kelewat hebat pula untuk segera menjadi amnesia sosial.
Lalu? Yang tersisa adalah perempuan-perempuan dalam perangkap hiburan dan budaya instan. Sebagai pemilik mata yang melotot jika sedang marah dan menjadi pelaku tindak kekerasan itu sendiri di sinetron-sinetron murahan. Sebagai yang kurang kerjaan karena hanya termehek-mehek sibuk mengintai [dengan bantuan kamera televisi lagi], lalu adu jotos urusan pacar dan pasangan yang direbut orang, tanpa malu sama sekali di lihat orang se-Indonesia. Mungkin perempuan-perempuan itu acapkali lupa, bahwa di dalam tubuhnya terdapat anugerah tak ternilai, yakni rahim! Rahim itu tanpa disadari ia bawa ke mana-mana sepanjang napas dikandung badan. Namun rasanya sepi dari makna, sepi dari penghayatan. Betapa rahim adalah filosofi dari rumah kasih sayang maha sempurna yang hanya dimiliki perempuan. Ruah kasih yang mustinya dimiliki dan senantiasa ditebarkan ke alam semesta. Menjadikan perempuan wajah teduh bagi kehidupan. Ah, embuh lah, taring jahat itu ada di mana-mana dan meringkus mereka…
Ya. Itulah realitas kita. Realitas Indonesia di tanggal 22 Desember yang dirayakan ini. Saya kemudian tak bisa berkata-kata untuk merayakan Hari Ibu yang jatuh hari ini, apalagi tahu musti berbuat apa. Kecuali mungkin saya diam-diam berharap, akan ada pembacaan segar lagi, bahwa Tuhan itu menciptakan makhluk bukan bernama laki-laki dan perempuan, tetapi menciptakan makhluk bernama MANUSIA.
Hmm, lalu saya hanya bisa mencoba kembali ke hal sederhana yang membuat saya bahagia sebagai perempuan [juga sebagai calon ibu, kelak]. Membaca kembali buku-buku yang ada di kamar saya atau menulis-nulis apa pun dengan segelas kopi panas menyanding, sembari menikmati lagu “IBU” dari Iwan Fals. Atau mendengarkan ibu saya mendaras Al-Qur’an usai sembahyang dengan kepala saya rebahkan di pangkuannya. Atau seperti kemarin, sepulang perjalanan jauh yang membuat saya terpisah beberapa hari dari rumah, saya berkisah kepada ibu saya tentang apa yang saya temui dan terjadi di perjalanan itu. Tanpa saya duga, mendengar cerita saya itu, ibu saya spontan tertawa terkekeh-kekeh, selanjutnya beliau malah berkisah tentang romantisme masa mudanya dulu ketika bertemu dengan bapak saya. Ceileeeeee..ceilatun..ceilaani..ceiluuunaa..!
[Duh, saya bahagia sekali…]
SELAMAT BERHARI IBU….. Salam hangat buat semua perempuan!
Ngestiharjo, 22 Desember ’09, 04:01’
[terima kasih buat Mbak Entis, yang telah menginspirasi saya untuk menulis ini. Meski sekadar kata-kata yang terlepas-lepas]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 23 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar