Mahmud Jauhari Ali *
Mungkin bisa jadi, dengan terbitnya buku Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra, yang berjudul Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, Buku Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia; Orang-orang juga memiliki gambaran atau bayangan bahwa penulisnya yang bernama Nurel Javissyarqi ini membongkar sebuah mitos besar dalam dunia susastra Indonesia, dengan menggunakan alat-alat khusus. Entah berupa apa wujudnya. Tapi, sungguhkah seorang Nurel benar-benar membongkar mitos itu?
Saya tidak mau tergesa-gesa menjawab pertanyaan tersebut. Sebab, kalau saya jawab langsung, itu artinya saya tanya sendiri, saya jawab sendiri. Sangat tidak asyik, ‘kan? Terlebih buku ini ketebalannya terdiri atas xii + 570 halaman (cetakan kedua yang saya pegang). Meski begitu, saya beri sedikit bocoran; dengar-dengar isinya menarik, mulai dari perkara linguistik, agama, sejarah, sampai filsafat. Karena itulah, agaknya lebih ideal jika saya mengajak saudara sekalian (khusus yang belum membacanya) berkenan membaca sendiri buku ini. Syukur-syukur akan ada banyak diskusi antar pembacanya, seperti membahas perkara dekonstruktivisme dan sebagainya.
Kesan Awal
Pertama kali melihat buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (MMKI), saya langsung pesimis. Begitu pula saat melihat-lihat secara selintas bagian dalamnya, pun masih merasakan hal yang sama. Betapa tidak? Selain bukan bacaan pop yang banyak digandrungi masyarakat baca, buku ini berupa kumpulan esai sastra. Lantas, berapa banyak yang akan membacanya? Itulah pertanyaan yang sangat sering muncul di kepala saya. Terlebih jika dikaitkan pasar, dengan kenyataan itu, juga jumlah halamannya yang lumayan tebal, sehingga harganya tentu tidaklah murah, maka muncul pertanyaan lainnya; seberapa banyak orang yang akan membeli buku ini? Mungkin, seandainya buku ini berisi hal seputar teoritis sastra, contoh buku “Prinsip-Prinsip Kritik Sastra” karya Rachmat Djoko Pradopo, kemungkinan akan banyak diburu oleh kalangan kampus sastra. Setidak-tidaknya sebagai bahan kerangka teori, bagi mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah berupa kerja kritik sastra.
Agak lama saya berpikir, dan satu hal terbesit di benak saya; “Nurel cukup ‘gila’ juga di dunia ini (dunia sastra maksud saya).” Kegilaan di sini tentu bukan gila yang sebenarnya, melainkan dalam makna positif seperti gila kerja dan lainnya. Jujur saja, saya memang selalu menghargai sikap orang-orang idealis seperti itu. Mereka berlelah-lelah dalam menulis, tapi hasilnya minim. Bahkan, bisa dibilang tidak ada yang didapatkan secara materi, atau malah ‘nombok’ biasanya.
Masih ada kisah-kisah gila lainnya dalam dunia sastra. Untuk melengkapi perihal ini, saya sebutkan lagi. Siapa? Konon, ada seorang sastrawan senior yang rela menjual tanahnya, hanya demi menerbitkan buku-buku puisinya secara indie. Yang lebih gilanya, dia membagikan buku-buku karyanya itu secara cuma-cuma dalam lingkup nasional. Orang tersebut bernama Arsyad Indradi, yang bergelar Sang ‘Penyair Gila.’ Dan yang bersangkutan bangga atas gelar tersebut.
Orang-orang seperti mereka tidak peduli apakah akan menerima penghargaan sastra atau tidak, tepuk tangan riuh atau sebaliknya, pun segala tetek-bengek lainnya. Terpenting, berkarya terus berkarya demi memartabatkan dan mengagungkan Tuhan. Demikian itulah kesan pertama saya terhadap buku MMKI beserta penulisnya.
Apa yang Saya Cari?
Beranjak dari sana, mulailah muncul pertanyaan yang lebih spesifik, sebenarnya ini buku apa? Rasa penasaran itu sejurus dengan metode SQ3R yang dianjurkan Prof. Francis P. Robinson di tahun 1941 silam. Jadi begini, sepanjang yang saya tahu, dalam teori membaca sebenarnya ada sebuah metode bernama SQ3R, selain metode-metode membaca lainnya. Menurut beliau, yang merupakan seorang guru besar psikologi dari Ohio State University, bahwa menerapkan metode ini dalam membaca, dimulai dengan survei, bertanya (quetion), barulah baca (read), lantas recite atau mengutarakan kembali, kemudian yang terakhir review.
Maka, ibarat sedang ingin mengelilingi sebuah gedung, saya pun idealnya menyiapkan sejumlah pertanyaan tentang gedung. Misalkan, berapa jumlah pepintu yang ada, apakah semua jendelanya dalam keadaan baik, dan sebagainya. Jika saya sekadar berkeliling tanpa bawa bekal pertanyaan, tentu setelah selesai putaran pertama, hanya mendapatkan rasa lelah, serta ketidaktahuan belaka. Itulah sebabnya, juga bertanya-tanya seputar buku ini, agar tidak mendapatkan kebingungan terutama saat membaca. Jadi, membacanya (setelah bertanya-tanya) ialah mencari jawaban-jawabannya.
Kemudian memperhatikan judul dan melihat ketebalannya, buku ini tampaknya mengandung isi berupa hasil analisis tentang hal-hal susastra. Maka, beranjak dari situ saya pun bertanya, semua hal itu, sastrakah? Atau hanya sebagiannya? Dan data yang Nurel analisis tersebut, berupa apa?
Menjawab Pertanyaan
Dalam buku MMKI dari awal hingga akhir, Nurel mengupas paragraf awal sampai paragraf keenam esai karya Dr. Ignas Kleden. Agaknya, Nurel begitu terobsesi terhadap esai tersebut. Inilah yang kemudian memunculkan tanda tanya tersendiri.
Idealnya, saya pun harus baca esai tersebut terlebih dahulu, sebelum masuk ke tahap selanjutnya. “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” adalah judul esai yang dibahas Nurel. Membacanya, terkhusus pada kata “dekonstruksi,” ingatan saya langsung mendarat ke sebuah nama besar Derrida. Siapakah dia?
Jacques Derrida, dikenal sebagai filsuf yang mengusung tema dekonstruksi dalam filsafat postmodern. Hal yang paling saya ingat dari Derrida dalam dunia bahasa, ialah kritiknya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme. Bagi Derrida sendiri, dekonstruksi merupakan suatu peristiwa yang tak menunggu pertimbangan, kesadaran, organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas.
Itulah sebabnya, dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Lantas dekonstruksi seperti apa yang dimaksud oleh Ignas Kleden di dalam esainya itu, dan siapa pelakunya? Dua jawaban dari satu kalimat tanya itulah yang menurut saya inti daripada buku ini. Setelah membaca esai tersebut, ternyata Nurel menganalisis atau setidak-tidaknya membahas tentang kata dan tata bahasa, yang berkaitan dengan kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri (SCB). Sedang data-data analisisnya berupa esai Ignas Kleden, Kredo Puisi SCB, Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000 oleh SCB, dan Sambutan SCB pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera.
Menyelami Perihal Kata dan Tata Bahasa yang Menjadi Bahan Kajian Nurel dalam MMKI
Dalam Kredo Puisi-nya, SCB terang-terangan menyatakan bahwa kata adalah pengertian itu sendiri. Menurut SCB, “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea.” Sebagai wujud dekonstruksi bahasa dalam hal kata dan tata bahasa, perihal itu terkesan biasa-biasa saja. Artinya, tidak menimbulkan kehebohan luar biasa di dalam masyarakat Indonesia. Terbukti, masyakarat luas di negara ini, tidak gaduh membicarakan kredonya SCB. Bahkan, kalau kita mau bertamasya keluar dari hiruk-pikuk dunia sastra untuk berada di tempat umum, banyak orang yang tidak mengetahui kredo puisi itu. Jangankan tahu tentang kredonya, SCB saja belum tentu diketahui, apalagi dikenal luas oleh penduduk Indonesia. Dan jika ditanya, siapakah yang mengenal atau setidaknya tahu SCB, maka jawabannya yang paling banyak, ya orang-orang di dunia sastra itu sendiri. Jika orang di luar dunia sastra ada yang tahu SCB, jumlahnya tidaklah seberapa. Ceritanya sangat berbeda, jika SCB seterkenal Rocky Gerung yang merupakan sarjana sastra dari universitas terkemuka di negara ini. Sosok Rocky begitu familiar di jagat Indonesia. Kata-katanya banyak dikutip masyarakat. Nah, lalu mengapa seorang Nurel membahas Kredo Puisi-nya SCB di buku MMKI? Ini pertanyaan baru, yang juga perlu kita pahami alasannya.
Semakin mencermati pembahasan Nurel dalam MMKI, masalah yang dipersoalkan sebenarnya tidak sekadar perkara pembebasan kata dari penjajahan pengertian itu saja. Begitu pula soal tata bahasa. Akan tetapi, lebih kepada SCB yang mengaitkan kredonya tersebut dengan Surah Yasin ayat 82, yakni khusus terhadap terjemahan “Kun Fayakun” ala-SCB. Presiden Penyair Indonesia tersebut di dalam pidatonya pada acara Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau Tahun 2000 juga menyatakan; “Pada Mulanya Sang Maha Penyair berucap, ‘Jadi, maka Jadilah!’ Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah jadi itu sendiri...”
SCB menerjemahkan “Kun Fayakun” dengan “Jadi maka jadilah!” Terjemahan ini digunakan, demi memperkuat kredonya, bahwa kata ‘jadi’ ya ‘jadi itu sendiri.’ Seperti kata ‘kursi’ ya ‘kursi’ itu sendiri. Nurel sangat keberatan dengan hal ini. Dari keberatan itulah, saya menangkap sebuah pemahaman, bahwa Nurel akan berusaha memperlakukan secara spesial, memulai pembacaan, kajian, juga kritik terhadap teks-teks yang sejalan dengan pernyataan Sutardji Calzoum Bachri itu. Salah satu teks yang mendapat perlakuan spesial itu, esainya Dr. Ignas Kleden, yang enam paragrafnya dibahas dalam buku MMKI.
Memahami Keberatan Nurel
Dalam hal ini, saya juga idealnya mencoba atau katakanlah berusaha memahami keberatan Nurel di atas. Setidaknya ada tiga sudut penglihatan yang saya pergunakan:
Pertama, dari sudut pandang teologi. Setiap orang Islam yang sejati pasti meyakini al-Qur’an sebagai Kitab Suci. Yakni Kitab Suci yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril. Kitab ini terjaga kemurniannya. Sebagai salah satu yang wajib diimani, sekaligus menjadi pedoman hidup yang sempurna bagi setiap muslim. Artinya, tidak perlulah penambahan ataupun pengurangan dalam ayat-ayat-Nya. Segala yang termaktub di dalamnya secara otomatis diikuti oleh perkembangan ilmu pengetahuan hingga akhir zaman. Atau pada perkembangan zamanlah, yang membuktikan kebesaran dan kebenaran kitab suci umat Islam.
Bahkan, untuk dapat menafsirkan ayat-ayatnya (sebelum mengamalkannya dalam kehidupan), tidak bisa sembarangan. Perlu adanya pendekatan serta metode yang tepat, seperti metode tafsir oleh para ahli tafsir al-Qur’an sejak dulu. Seandainya ada yang menggunakan metode lain yang tidak tepat, tentu malah mengacaukan penafsirannya. Sebut saja metode hermeneutika, yang bisa dikatakan tidak cocok untuk menerjemahkan dan menafsirkan setiap ayat-ayat al-Qur’an. Dalam metode yang sebelumnya digunakan menafsirkan Bibel ini, semua teks diperlakukan dengan cara sama, sehingga jika dipaksakan akan mendekonstruksi hukum-hukum dalam Islam. Padahal teks-teks di dalam al-Qur’an adalah kalam Ilahi yang suci, termasuk penghujung ayat 82 Surah Yasin, yakni “...Kun Fayakun.”
Dan sebagaimana yang dipahami bersama, “Kun Fayakun” mengandung dua hal yang seirama. Hal yang satu berlanjut pada perihal kedua. Kata “Jadilah” merupakan kata perintah dari Allah swt atas segala sesuatu. Selanjutnya, “maka Jadilah sesuatu itu,” merupakan proses yang semula belum jadi, wujud atau ada. Dalam hal ini bisa kita pahami sejatinya “Jadilah,” bukanlah ‘jadi itu sendiri.’ Melainkan sejalan dari perintah “Jadilah,” yang selanjutnya menjadikan ada atau wujud. Beranjak dari sini, saya dapat memahami mengapa Nurel begitu keberatan terhadap pernyataan SCB bahwa Jadi adalah Jadi itu sendiri.
Saya pikir bukan hanya Nurel yang keberatan seperti itu. Jikalau hal ini diketahui masyarakat luas, tidak menutup kemungkinan akan berpotensi ada banyak kaum muslim yang keberatan terhadap terjemahan SCB tersebut. Terlebih, digunakan untuk menguatkan kredo puisinya.
Kedua, dari sudut pandang linguistik. Dalam hal ini saya tidak bermaksud membuat karya sastra termasuk puisi menjadi “pretel,” dengan melucutinya lewat analisis linguistik. Melainkan hanya berusaha untuk dapat memahami keberatan Nurel dalam bukunya.
Suka atau tidak, sebagai manusia tentu kita tidak pernah bisa lepas dari bahasa, baik bahasa verbal, maupun nonverbal. Bahkan dalam mimpi pun ada bahasa. Lalu semisal ditanya, apakah sebenarnya bahasa; mungkin sebagian orang akan menjawab, bahwa bahasa itu alat komunikasi. Dengan bahasa, kita dapat berkomunikasi antar sesama manusia. Misalnya saya dan saudara atau saudara dengan orang lain, secara lisan atau tulisan. Tanpa bahasa, sudah dipastikan akan susah menjalin hubungan apapun, termasuk perihal kelangsungan hidup manusia. Maka, tak ada yang salah dengan jawaban bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Akan tetapi, pertanyaan tadi ialah apakah bahasa, dan bukan apa fungsi bahasa. Pertanyaan itu menuntut jawaban berupa pengertian yang hakiki dari bahasa, ‘kan? Atau katakanlah berupa hakikat bahasa itu sendiri. Sedangkan alat komunikasi hanyalah salah satu fungsi dari bahasa.
Kalau kita cermati secara seksama, bahasa ‘dalam hal ini adalah verbal,’ tersusun dari bunyi-bunyi. Maka, bunyi-bunyi itu ada yang membedakan makna kata, atau dalam istilah fonologi disebut fonem, dan ada juga yang tidak; dinamakan alafon (variasi bunyi saja). Perhatikan kata “paku” dan “baku.” Kata pertama memiliki susunan fonem /p/, /a/, /k/, dan /u/. Lantas susunan fonem dalam kata kedua berupa /b/, /a/, /k/, dan /u/. Adakah terlihat perbedaan keduanya? Ada, yakni dalam hal bunyi /p/ dan /b/, juga dalam hal makna. Perbedaan dua fonem atau bunyi itulah yang menyebabkan perbedaan makna kedua kata tersebut.
Dari dua contoh di atas, kita sudah tahu bahwa bahasa itu berupa susunan yang bersistem atau beraturan. Kata “paku” misalnya, memiliki susunan fonem yang beraturan. Bayangkan kalau tidak beraturan, seperti “kupa” atau “kapu,” apakah memiliki makna dan fungsi? Jawabannya tidak. Begitu pun dalam tataran sintaksis, semisal kalimat “Budi memakan pisang.” Kalimat itu bersistem. Mulai dari “Budi, memakan,” lalu disusul kata “pisang.” Coba jika tidak bersistem; “Memakan Budi pisang” atau “Pisang memakan Budi,” tentu akan menimbulkan kekacauan makna gramatikal.
Lantas bagaimana bunyi-bunyi yang bersistem itu muncul? Bahkan, ada banyak ragam bahasa di dunia. Pertanyaan ini berkaitan dengan benda-benda atau acuan lainnya. Sebut kata “topi.” Kata itu muncul sebagai simbol dari benda yang dilambangkannya. Sebelum ada benda acuannya, kata tersebut belum ada. Artinya, ada yang melambangkan dan ada yang dilambangkan, yakni bahasa sebagai lambang atau simbol dari benda-benda dan acuan lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat seorang filsuf Jerman pada akhir abad ke-19, bernama Meinong. Lebih kurang dia mengatakan, bahwa setiap tutur yang bermakna di dalam kalimat tentulah mempunyai referen (acuan). Kalau tidak, maka tutur itu tidak akan bermakna, sehingga tentulah istilah itu ada benda acuannya. Beranjak dari sana, kita paham bahwa ada kata, tentu ada acuannya (referennya). Dan kita bisa bertanya-tanya; apa hubungan antar keduanya? Apakah hubungan secara langsung atau sebaliknya?
Menjawabnya, kita kembali ke kata “topi.” Kata tersebut sama sekali tidak memiliki hubungan langsung dengan acuannya. Untuk membuktikannnya, marilah kita pikirkan, apakah acuannya berbunyi, semisal “topi” atau setidaknya mirip dengan bunyi itu? Atau mungkin ada hal lainnya yang menyerupai bunyi “topi?” sama sekali tidak ada. Maka, kata “topi” diberikan sebagai nama acuannya itu bersifat mana suka (arbitrer), serta konvensional oleh masyakarat. Hubungan antar keduanya tersebut tidak secara langsung, yakni dihubungkan oleh makna. Apa maknanya? Topi bermakna “tudung kepala,” yang acuannya benda sesuai maknanya. Tanpa adanya makna, tidak akan terhubung antara kata dan acuannya.
Dengan memperhatian uraian di atas, kita dapat mengetahui maknawi hakikat bahasa, yakni sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer dan konvensional. Melalui hakikat itu, maka dapat memahami keberatan Nurel terhadap Kredo Puisi SCB. Nurel keberatan bahwa kata adalah kata itu sendiri.
Ketiga, dari sudut padang sosial. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer juga konvensional. Maka, dengan sistem itulah manusia dapat saling berkomunikasi satu sama lainnya. Tentu, selama masyarakat yang bersangkutan memiliki kesatuan ide yang disepakati. Masyarakat Indonesia misalnya, mereka dapat berkomunikasi satu sama lain, dengan menggunakan bahasa yang telah disepakati bersama, yakni bahasa Indonesia. Artinya, masyakarat di negara ini menyepakati setiap kata beserta makna dan rujukannya masing-masing. Sebut saja kata “topi” pada contoh di atas, merupakan kesepakatan umum masyakarat Indonesia.
Konsekuensi logis dari realitas tersebut sangat jelas, bahwa satu kata dalam bahasa Indonesia yang saya dan saudara gunakan, akan dipahami oleh semua masyarakat bahasa di negara ini. Itulah sebabnya, kita tidak bisa melepaskan kata dari maknanya. Kalau pun SCB menyatakan bahwa “kata” harus dibebaskan dari beban makna, hal itu hanya berlaku bagi dirinya sendiri. Mengapa? Dikarena, setiap kata sudah dipahami maknanya oleh seluruh masyarakat bahasa Indonesia. Jadi, saya pikir kesia-siaan belakalah SCB dalam usahanya pembebasan kata dari makna.
Kemudian, meski pun dalam hal puisi dikenal ada istilah “licentia poetica,” idealnya juga tidak serta-merta membebaskan kata dari maknanya. Mengapa? Sebab disadari atau tidak, dampaknya bisa fatal. Mungkin bagian ini terkesan ‘lebay,’ tapi bagaimana jadinya, jika kata-kata tabu yang dibebaskan dari maknanya, lalu digunakan sesuka hati. Apa efeknya? Orang-orang yang sudah memahami maknanya tentu akan merasa jijik, malu, atau malah bisa saja marah. Bahkan dalam hukum kausalitas, ada kemungkinan jadi penyebab orang mengkhayalkan sesuatu yang tidak pantas. Terlebih lagi, ini mengkhawatirkan sekali, jika yang membaca itu anak-anak di bawah umur. Sangat disayangkan isi pesan yang bagus, tetapi disampaikan dengan diksi yang makna denotasinya kurang pas. Sedang dari realitas empiris, masyakarat bahasa pada umumnya lebih mengedepankan unsur objektivitas daripada konvensi bahasa itu sendiri. Misalnya kata “paku” dimaknai secara objektif, sesuai makna denotasinya dalam tataran semantik.
Itulah sebabnya, jangan heran jika puisi yang banyak mengandung metafora, personifikasi, atau majas lainnya, akan susah, bahkan tidak dapat dipahami sebagian masyarakat luas. Dalam hal ini dapat kita mengerti, masyarakat akan bingung dengan ketidaksesuaian antara kata tertentu (yang didasarkan pada makna denotasinya), dan kata-kata lainnya. Akibat lainnya, mereka tidak dapat menikmati puisi dari segi maknanya. Lantas, bagi masyarakat yang mempertimbangkan adanya makna konotasi yang berkaitan dengan nilai budaya serta lainnya dibalik makna denotasinya itu, sehingga didapatlah interpretasi dari puisi yang mereka baca, hal terakhir ini pun menunjukkan bahwa kata tidak dapat dibebaskan dari maknanya. Ada makna baru yang merupakan hasil dari interpretasi mereka. Dengan ungkapan lain, dari sisi semiologi, ada penafsiran yang melahirkan makna-makna lain dari simbol bahasa. Sampai di sini, saya pun bisa memahami keberatan Nurel dalam bukunya, terhadap Kredo Puisi-nya SCB.
Sebenarnya, masih bisa kita pergunakan sudut-sudut pandang lain untuk dapat memahami keberatan Nurel. Karena, Kredo Puisi SCB terkait perihal bahasa; semisal kata, makna, dan rujukannya. Sedangkan bahasa pada dasarnya terkait dalam segala hal, termasuk juga ilmu-ilmu yang mempelajari hal-hal tersebut. Dapat kita katakan pula, secara keilmuan ada interdisipliner antara linguistik dan ilmu lainnya. Ada neurolinguistik, ekolinguistik, dan banyak lagi. Bahkan, dalam penghitungan dialektometri untuk mengetahui sejauh mana perbedaan bahasa satu dan lainnya, juga memperhatikan kaitan kata, makna, serta rujukannya. Begitu pula penghitungan leksikostatistik untuk mengetahui presentase persamaan bahasa-bahasa yang diperbandingkan juga memperhatikan ketiganya itu.
Apa yang Saya Dapatkan?
Kalau ditanya demikian, jawaban saya lebih daripada satu. Ya, memang ada hal-hal yang saya dapatkan dari MMKI ini. Hal yang paling kentara ialah perkara “kata” yang dipersoalkan Nurel dalam esainya Ignas Kleden. Sebut saja kata “menerobos” yang dinilai oleh Nurel tidaklah tepat digunakan di dalam esai tersebut. Bagi Nurel, penggunaan kata itu merupakan upaya Ignas untuk meyakinkan pembaca, bahwa kata “membebaskan” (dari Kredo Puisi-nya SCB) sama dengan kata “menerobos.” Di lihat dari sisi mana pun, kita akan membenarkan bahwa kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Contah, dapat kita perhatikan perbedaan makna keduanya di atas mengganti kata “menerobos” dengan kata “membebaskan,” sebagai konstituen di dalam kalimat berikut ini:
Seekor burung menerobos sangkarnya.
Seekor burung membebaskan sangkarnya.
Dari dua contoh kalimat di atas, jelas perbedaan makna kedua “kata” tersebut. Kalimat pertama dapat dimaknai, bahwa ada seekor burung mendobrak atau menembus sangkarnya. Sedangkan kalimat kedua, bisa dimaknai adanya seekor burung yang melepaskan sangkarnya dari suatu kungkungan (mungkin lepas dari ruangan yang pengap). Dengan perbedaan makna itu, kata “menerobos” tidak bisa digunakan untuk mewakili atau menggantikan kata “membebaskan.” Jadi, substitusi tidak berlaku dalam hal ini.
Kemudian perihal alibi. Nurel secara panjang lebar mengulas kata “alibi.” Kata itu terdapat di dalam kalimat SCB “Puisi adalah alibi kata-kata.” yang dikutip Ignas Kleden dalam paragraf kedua esainya. Lagi-lagi Nurel Javissyarqi tidak sependapat dengan Sutardji Calzoum Bachri mengenai hal itu. Jikalau puisi adalah alibi kata-kata, berarti ketika kata-kata sudah ada dalam puisi, bebaslah dari beban makna. Maka, penyair pun bebas dari tanggung jawab atas diksi yang digunakan dalam puisinya. Dengan demikian, akan menjadi masalah di masyarakat, seandainya segala kata yang termasuk kata-kata tabu digunakan penyair sebebas-bebasnya.
Selanjutnya, saya juga mendapatkan pengetahuan dari Nurel melalui bukunya. Khusus tentang ini terlalu panjang jika saya kisahkan ulang. Sebab, Nurel kadang juga bercerita dalam bukunya, atau dari kekisah itulah ada pengetahuan yang dia tuliskan. Selebihnya, saya mendapati semangat menulis esai ini, meski hasilnya tentu jauh dari yang diharapkan. MMKI seperti saya sebutkan di bagian awal, merupakan buku yang bisa dikatakan proyek idealis. Artinya, ini buku secara jujur saya katakan ada kemungkinan susah lakunya di pasaran. Dan semangat Nurel menuliskannya, menjadikan motivasi tersendiri bagi saya dalam menuliskan esai ini.
Simpulan
MMKI merupakan sebuah buku yang berisi kumpulan esai karya Nurel Javissyarqi. Esai-esainya berisi kajian terhadap enam paragraf awal dari esai Dr. Ignas Kleden tentang Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri. Yang setiap paragraf dari esai Ignas itu dikaji secara mendalam olehnya. Dan inti dari kajian tersebut mengenai perihal SCB yang membebaskan kata dari makna.
Dalam kajiannya, Nurel melengkapi dengan hal lainnya, semisal fakta sejarah, agama, sampai filsafat. Khusus dalam persoalan agama, dia melengkapinya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Sebuah keyakinan bagi orang-orang Islam yang tidak agnostik. Itulah sebabnya, membaca buku MMKI perlu tenaga lebih untuk dapat bersabar, sehingga tidak terburu-buru meninggalkannya. Dengan kata lain, perlu waktu-waktu yang cukup dalam pembacanya.
Akhirnya saya pun berharap, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, MMKI menjadi salah satu buku yang layak untuk dibaca sekaligus didiskusikan oleh masyarakat Indonesia. Entah dia praktisi susastra, akademisi sastra, linguis, atau lainnya. Semoga, apa yang telah saya tuliskan ini menggenapi manfaat, amin. Wassalam…
Banjarmasin 18/8/2018
*) Mahmud Jauhari Ali (MJA) lahir di Banjarmasin, 15 Januari 1982. Tulisan-tulisanya pernah dimuat surat kabar harian, majalah, tabloid, jurnal ilmiah, dan beberapa laman kebahasaan juga kesastraan. Laman pribadinya www.mahmud-bahasasastra.blogspot.com Laman itu pula yang mengantarnya jadi Juara II Tingkat Nasional dalam Lomba Blog Kebahasaan dan Kesastraan, yang diselenggarkan Pusat Bahasa (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), Jakarta dan Balai Bahasa Bandung tahun 2009. Buku-buku karangan tunggalnya yang telah terbit adalah; Lingkar Kata, Kupu-Kupu Kuning, Demi Pernikahan Adik, Menanti Tamu Lebaran, Bulan di Padang Lalang, Imanku Tertelungkup di Kakinya, Lelaki Lebah, Selia, Cinta di Tepi Geumho, Kudekap Hatinya di Bawah Langit Seoul, Galaupolitan, Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo, My Love Is A White Hacker, Cinta di Tepi Gaza, The Sweetest Heart, A True Love in Baghdad, The Miracle of Love, My Restaurant, My Love, and My Future, Pahari, Dear Coboy Junior: Wait Me in Your Concert, Dear Coboy Junior (2): I Will Always Support You, Teror Tengah Malam, Ganteng-Ganteng Setan, Pacar ke-13, 13 Kisah Horor di Asrama, dan 13 Kisah Horor Malam Jumat Kliwon. Pernah juga sebagai editor dalam kumpulan cerpen “Senja di Teluk Wondama,” yang memuat 11 cerpen pilihan bertema bahasa dari seluruh Indonesia.
Salah satu hasil kerjanya sejak 2006 bersama para pakar leksikostatistik dan dialektometri telah dijadikan sebuah Peta Bahasa resmi di Indonesia tahun 2008. Karya-karyanya dimuat dalam beberapa antologi bersama: Di Merah Fajar Esok Pagi (Komunitas Sastra Indonesia Cab. Kertak Hanyar), Risalah Penyair Gila (antologi esai bersama Ahmadun Yosi Herfanda, dkk), Doa Pelangi di Tahun Emas (antologi puisi Aruh Sastra 2009 bersama Arsyad Indradi, dkk), Menyampir Bumi Leluhur (antologi puisi Aruh Sastra 2010), Menjaring Cakrawala (antologi puisi bersama Isbedy Stiawan ZS, dkk), Kalimantan dalam Puisi Indonesia (antologi puisi Dialog Sastra Se-Borneo -Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam bersama Korrie Layun Rampan), Akulah Musi (antologi puisi Pertemuan Penyair Nusantara V 2011 -Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand), Seloka Bisu Batu Benawa (antologi puisi Aruh Sastra 2011), Beranda Rumah Cinta (antologi puisi bersama Dimas Arika Mihardja, dkk), Tuah Tara No Ate (antologi sastra Temu Sastrawan Indonesia IV, Ternate 2011), Suara 5 Negara (antologi puisi bersama perwakilan penyair lima negara di Asia Tenggara), Sungai Kenangan (antologi puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2012), dan Sauk Seloko (antologi puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI 2012 -Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand).
Makalahnya berjudul “Bahasa Indonesia, Film Nasional, dan Generasi Bangsa” dimuat di majalah Nawala, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta 2008. Pada tanggal 16-18 Mei 2008, menjadi pemakalah dalam Seminar Bahasa Nasional di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia diundang oleh pihak Universiti Malaysia Sarawak untuk menjadi pembentang / pemakalah dalam Konferensi Antar universiti Se-Borneo IV, tahun 2008 (makalahnya bertitel “Peranan Mamanda terhadap Eksistensi Bahasa Banjar”). Dan dalam Kongres Bahasa tahun 2008, makalahnya berjudul “Mantra Banjar: Bukti Orang Banjar Mahir Bersastra Sejak Dahulu.” Makalah itu juga diterima dalam Persidangan Seni Kebangsaan tahun 2009 di Universiti Malaysia Sabah, kemudian dimuat dalam Jurnal Meta Sastra, Bandung.
Sebagian karyanya dijadikan bahan penelitian dan skripsi: Konsistensi Keimanan Tokoh Utama pada Novel Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali dengan Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy, Suatu Kajian Bandingan (Beta Puspa Sari, FKIP, Universitas Bengkulu), Religiusitas Tokoh Utama dalam Novel Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Psikologi Agama (Ireb Intan Putri, Hasnul Fikri, dan Dainur Putri, Jurnal FKIP, Universitas Bung Hatta), Konsep The 7 Islamic Daily Habits dalam Novel Pahari Karya Mahmud Jauhari Ali (Nailiya Nikmah, Jurnal FKIP, Universitas Negeri Borneo, Tarakan), Analisis Kajian Semiotik dalam Novel Sebait Cinta Di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali (Mawaddah Warohmah Azhari, FKIP, Universitas Islam Riau), Analisis Psikologis Tokoh dalam Novel Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali (Hendra Jayadi, STKIP PGRI Banjarmasin), Kajian Etnografi Terhadap Novel Sepasang Matahari Karya Mahmud Jauhari Ali (Rahmayana, STKIP PGRI Banjarmasin), Kritik Sastra Feminis dalam Novel Cinta di Tepi Gaza Karya Mahmud Jauhari Ali (Jonika, STKIP PGRI Banjarmasin), Nilai-nilai Moral pada Novel Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali (Izzatul Yazidah, STKIP PGRI Banjarmasin), Warna Lokal Kalimantan dalam Novel Lelaki Lebah Karya Mahmud Jauhari Ali (Julia Ellysa, STKIP PGRI Banjarmasin), Nilai Moral dalam Kumpulan Cerpen Imanku Tertelungkup di Kakinya Karya Mahmud Jauhari Ali (Yuli Annisa, STKIP PGRI Banjarmasin), Analisis Konflik Tokoh dalam Novel Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo Karya Mahmud Jauhari Ali (Rina Wulandari, FKIP, Universitas Islam Riau), dll…
http://pustakapujangga.com/2018/08/memahami-keberatan-nurel-dalam-bukunya-mmki/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar