Kamis, 19 Juli 2012

Melampaui Kritik Sastra Baru yang Terbaru

Hasnan Bachtiar *
http://sastra-indonesia.com/

Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam nabi, supaya sejarah menjadi jinak dan mengirim sepasang merpati – Kuntowijoyo –

UPAYA susastra seorang sastrawan, adalah aktivitas sejarah. Betapapun di era kontemporer ini marak dikumandangkan karya sastra yang dianggap otonom, maka penulis sastra tidak pernah terbang dari bumi di mana ia berpijak.

Dari sekian banyak kritikus sastra Indonesia, Nurel Javissyarqi adalah salah satu penulis yang ternaungi oleh berkah buminya. Ia mencoba menimbang syair-syair, puisi, prosa dan kritik sastra yang lahir dan tumbuh dari negerinya sendiri, khususnya penjelasan-penjelasan sastra dan kebudayaan oleh Ignas Kleden.

Dalam konteks ini, tidak ada sastra yang hanya sastra. Yang ada adalah sastra yang ditulis oleh latar belakang sejarah yang jelas dan untuk masa depan sejarah yang jelas pula. Jika seorang sastrawan seorang yang baik, maka kemungkinan besar karyanya tentu baik dan mencerminkan kebaikan.

Hal yang sama diungkapkan oleh Mursal Esten (1988) bahwa kreativitas bukanlah hal yang berdiri sendiri. Di samping merupakan aktivitas seorang seniman, kreativitas adalah suatu proses yang kompleks, menyangkut lingkungan sosiokultural. Subadyo Haryati dalam karyanya yang bertajuk “Seniman dan Seni di Indonesia” (1983) menegaskan bahwa seorang penyair sesungguhnya merupakan unsur masyarakat. Sebagai unsur, ia menghadapi lingkungan dan sejarah yang dihadapi oleh seluruh masyarakatnya.

Dengan kata lain, penulisan esai panjang “Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XX kupasan keenam dari paragraf tiga dan empat)” oleh Nurel, adalah aktivitas yang “penting” dalam sejarah sastra Indonesia. Dikatakan penting, karena memiliki maksud-maksud dan tujuan-tujuan tertentu. Dan harus dimaklumi sejak awal bahwa, karya-karya kritik Nurel bukanlah anak-anak rohani yang terlepas dari konteks di mana ia lahir. Inilah pandangan alternatif di era kontemporer dewasa ini yang menganggap bahwa sastra atau kritik sastra melampaui teks dan permainan teks.

Melampaui Kritik Sastra Baru yang Terbaru

Dewasa ini, “kritik sastra baru” menjadi kiblat kritik sastra di mana pun. Siapa yang keluar dari arus utama, berarti dianggap tidak menganggap penting trend dan pastilah akan tersisih sebagai anggota masyarakat sastra (teralienasi). Harap dimaklumi, dalam pengertian tertentu, salah satu jenis sastra kontemporer ini dapat juga dianggap sebagai gaya hidup.

Kritik sastra baru ini jelas berbeda dari sekedar aturan estetis Aristoteles dalam poetika. Michael Rifaterre secara gamblang menyebut bahwa sastra (puisi) hanyalah permainan belaka (this is an extreme case but exemplary, for it may tell us much about poetry’s being more of a game than anything else) (1984: 13-14). Umberto Eco, novelis dan pakar semiotika mengatakan hal yang sama bahwa sastra adalah kebohongan. Sedangkan teori sastra adalah teori tentang kebohongan. Persoalan ini jelas melebihi kerumitan tentang bahasa dan benda yang dibahasakan.

Dalam ungkapan Rifaterre, sastra adalah konstruksi dari hasil eksperimen senam kata-kata indah (a calisthenics of words), suatu kesibukan menenun kata-kata (a verval stting-up exercise). (Rifaterre, 1984: 13). Pada jalur ini, Roland Barthes merumuskan hakikat sastra dengan mengesampingkan roman-roman yag bercorak realisme, khususnya dari abad XIX di Eropa. Malahan ia menaruh minat pada Finnegans Wake. Ia menganggapnya sebagai hal yang sulit dimengerti dan tidak pernah bermakna pasti. Dari ketidakpastian inilah, kemudian ia menyimpulkan bahwa sastra seharusnya tidak punya kepastian akhir. Selama teks terus dibaca, – dengan demikian pembaca adalah produsen sastra yang baru – maka akan terus menjadi teks yang baru tanpa henti.

Atas nama obyektifitas, Barthes melanjutkan bahwa tidak mungkin memulai sejarah sastra yang baru, tanpa meninggalkan hak istimewa pengarang. Ia berargumen bahwa, “Kita harus memisahkan sastra dari individu.” (Roland Barthes, On Racine, 1963: 162). Sebaliknya, kendati Barthes menitikberatkan pada obyektivitas pembaca, di seberang jalan Rene Wellek mengingatkan agar pembaca pun, tidak perlu hingga melakukan anarki nilai dan akhirnya menuai skeptisisme yang kering. Pembicaraan yang impresionistis dan subyektif hendaknya dihindari. (Rene Wellek, Literary Theory, 1983: 74). H.R. Jauss, Wolfgang Iser, Norman Holland, Harold Bloom dan Stanley Fish mungkin adalah sederet kritikus yang sealiran.

Sementara itu, aliran sastra yang berkomitmen pada ikhtiar penemuan makna dalam benak pengarang ada pada karya E.D. Hirsch, Validity in Interpretation (1976). Dalam tradisi filsafat, mungkin hal ini lebih dekat pada tradisi fenomenologi. Praktik-praktik kritik sastra dalam bingkai fenomenologis bisa disimak pada Georges Poulet dan Jean-Pierre Richard.

Di luar itu semua, berkembang aliran dekonstruksi. Nama-nama yang patut dijadikan sebagai rujukan adalah Jacques Derrida, J. Hillis Miller dan Paul de Man. Inilah aliran yang paling tidak bisa dipahami, nilistik dan selalu berlari dalam kubangan teks yang mengalami pembaruan abadi.

Kendati demikian, di luar hutan rimba aliran kritik sastra yang ada, ada komentar yang sangat masuk akal dari William E. Cain bahwa, kontestasi teoritis sastra telah keluar dari jalurnya. Kritik sastra terlalu lepas menjulang ke langit dalam perdebatan filsafat. (William E. Cain, the Crisis in Criticism, 1987) Ia tidak pernah lagi tahu bagaimana cara menikmati karya sastra dengan penghayatan yang sederhana. Seolah terlupa bahwa di samping teks-teks yang terajut, ada manusia hidup yang mencicipi masakan, berhubungan seksual dan memiliki empati kepada sesamanya, bahkan mereka yang religius bisa merasakan ketenangan batin dari Yang Ilahi.

Penegasan ini mendapatkan pembelaan dari Steven Knapp dan Walter Ben Michaels. Keduanya mengingatkan bahwa perdebatan filsafat menyangkut teori sastra, membuat para kritikus sastra tidak lagi bekerja sebagai seorang kritikus. Dengan kata lain, konstalasi teoritis hanya melalaikan banyak orang dari upaya berkarya. Padahal, perdebatan teoritis itu, hanyalah upaya coba-coba belaka, tidak lebih. (W.J.T. Mitchell, ed., Againts Theory, 1985: 30).

Jika pelbagai rimba teoritis sastra itu dipetakan, maka kritik sastra lawas diwakili oleh aturan estetis Aristoteles. Sementara, kritik sastra baru, hadir sebelum Roland Barthes. Pasca Barthes, muncullah tradisi teori sastra yang “seksi” bernama dekonstruksi. Melampaui itu semua, marilah kita semua kembali pada penghayatan sastra yang paling tradisional, bebas dan terlepas dari jeratan bias-bias teoritis. Dalam konteks inilah kritik sastra Nurel menempati ruangnya.

Kritik sastra Nurel terhadap teks-teks Ignas Kleden, di luar dari substansi filolosofis, teologis, sosio-kultural dan estetika sastra, sebenarnya hanya ingin menunjukkan bahwa, tradisi dekonstruksionis dan relativisme interpretasi Kledenian bukanlah puncak gunung. Karya-karya Kleden, adalah karya yang patut diapresiasi dalam posisi yang sama di hadapan pengetahuan. Dengan kata lain, Nurel hendak menawarkan sedikit nilai etis egalitarianisme.

Ia sangat konsekuen terhadap pendiriannya, imannya. Egalitarianisme membawanya pada aktivitas kreatif yang melampaui upaya-upaya akademik civitas academia. Nurel sebagai kritikus, adalah pekerja keras yang disiplin, tekun dan punya etos intelektual yang sudah sangat jarang ditemui. Kesedarajatan kemanusiaan membawanya pada kesimpulan pentingnya kebebasan intelektual tanpa tendensi gelar akademik apapun. Dengan pelbagai catatan terhadap teks-teks Ignas Kleden, ia membuktikan bahwa, “Semua manusia memiliki derajat yang sama di hadapan pengetahuan. Semua manusia adalah murid di hadapan ilmu.”

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, upaya “melampaui” bukanlah permainan teks belaka oleh Nurel. Kehendak untuk berbicara, berkampanye, mencoba membuat jernih persoalan dengan maksud-maksud dan tujuan yang mulia, keadilan, egalitarianisme dan kemanusiaan, semua itulah yang membuat karya kritik sastra Nurel adalah karya yang sangat penting dan berbobot.

Bukan hanya itu, artikulasi kritik Nurel sangat mudah dipahami jika dibaca secara utuh dan menyeluruh. Dengan bahasa yang manis dan meliuk-liuk, ia seperti para pujangga zaman kuno, pujangga kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Mengambil pesan moralnya, maka akan menemukan betapa kritik sastra ini sangat tinggi nilainya. Tidak sembarang kritikus sastra, – bukan pembuat prosa, novel atau syair – dapat menciptakan ulasan atas teks sastra tanpa meninggalkan kekhasan bahasa yang dimilikinya, bahkan secara berani, ia sengaja memainkan kualitas estetis yang unik.

Secara akademik, dengan sedikit sosiologis, Nurel sebagai kritikus dapat dikatakan sebagai penulis yang turut menuliskan karyanya pada buku harian sejarah. Bahwa pembelaannya dalam mengapresiasi Ignas Kleden – yang menurutnya perlu direvisi dengan kearifan Islam-Jawa – adalah manifestasi teologisnya dalam memahami agama, kebudayaan dan dunia. Singkat kata, kritik sastra Nurel adalah ibadah. []

*) Anggota the Reading Group for Social Transformation, PSIF-UMM. Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/hasnan-bachtiar/melampaui-kritik-sastra-baru-yang-terbaru/10151844182965702?ref=notif&notif_t=note_reply

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez