Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Puisi pada dasarnya mengandung doa. Bahkan ada puisi doa. Jika kita bersua dengan puisi sejenis doa, maka jangan pernah menganggapnya remeh. Tak hanya puisi mantra yang baik, tapi puisi doa pun bisa sangat baik. Tapi soalnya adalah: tak banyak sajak doa yang baik di Indonesia. Padahal sajak berisi doa bisa digunakan untuk dipakai berdoa kepada Tuhan ketimbang doa-doa syariat yang selama ini sudah akrab digunakan.
Sajak doa punya kelebihan sebagaimana sajak mantra: ia bisa menjadi ujian apakah seorang penyair mampu menghadirkan pengalaman yang otentik atau tidak. Bahkan ia bisa menjadi tantangan apakah seorang penyair bisa menulis puisi dengan baik atau buruk. Dalam bahasanya Ignas Kleden, sebuah sajak yang berisikan doa bisa menjadi tes yang kuat tentang otentisitas bahasa penyair, yaitu apakah hasrat yang diucapkan sang penyair cukup mencerminkan pergolakan yang berlangsung dalam perasaan dan dalam jiwa, dan entah terjemahan perasaan tersebut mencapai suatu tahapan sofistifikasi afektif yang sedemikian rupa, sehingga dapat menjadi representasi perasaan banyak orang lain yang tak sanggup mereka ucapkan sendiri secara memadai.
Dengan pengucapan lain, sajak doa adalah tantangan bagi si penyair dalam rangka menghadirkan dan mengolah sublimasi makna sebuah sajak. Kalau tidak maka sajak yang muncul bisa terasa banal atau terkesan dipaksakan untuk jadi doa. Sebagai contoh, mari kita bandingkan pengalaman sajak-sajak doa Tardji dengan sajak-sajak doa lain. Tardji pernah menulis dua buah sajak berjudul doa, yaitu sajak Doa (1977) dan sajak Doa (2005).
Sajak Doa (1977) cukup pendek dan sepertinya menyimpang dari imaji doa dan dekat dekat mantra. ”O Bapak Kapak/beri aku leherleher panjang/biar kutetak/biar mengalir darah resah/ke sanggup laut/Mampus! Sementara sajak Doa (2005) dimulai dengan bertanya: ”sanggupkah Nuh melaut/digejolak samudera perih ini/apa tongkat Musa mampu/menyibak lautan bencana ini/bukan domba bukan ternak/ini sungguh para ismail bayi ismail renta/ismail kanak ismail pemuda/dibantai/ya Tuhankuatkan selamatkan bangsakudari derita beberapa Nabi”.
Sangat jelas pergeseran sajak Sutardji. Puisi doa-diam dan doa-bahana di atas mengekspresikan suatu dunia dengan kedalaman kemaknaan yang disampaikan dengan bahasa yang terang. Jika dahulu Sutardji sangat buncah dan membahana lewat pengucapan mantera, kini lebih banyak menampilkan doa-bahana yang berisi sejumlah kesaksian. Menarik membandingkan kedua sajak doa Tardji itu dengan sejumlah sajak penyair lain untuk menguak otentisitasnya lebih jauh.
Perhatian otentisitas pengalaman Muhammad Iqbal lewat fragmen sajak Doa yang mirip elegi dari terjemahan Abdul Hadi WM ini:”Kau yang menyerupai roh semesta ini/Adalah jiwa kami, namun Kau senantiasa lari dari kami/Melalui seruling kehidupan Kau tiupkan lagu/Hidup ini akan iri pada mati jika mati demi Kau/Sekali lahi hibur hati kami yang sedih ini/Tinggallah dalam hati kami sekali lagi/ Dengar seruan-Mu melalui jiwa kami/Teguhkan cinta kami yang lemah ini/Terlalu sering kami ini menangisi Takdir/Kau Maha Mulia sedang kami begitu hina/Dari tangan hampa ini jangan sembunyikan wajah-Mu/Beri kami karunia Cinta Salman dan Bilal/Beri kami lagi kefitrian air yang cerlang/Jadikan kembali kami pemikul ayat-ayat-Mu/Agar musuh dapat kami kalahkan seperti dulu”.
Sajak di atas sebenarnya cukup panjang, bahkan sangat panjang. Namun dari fragmen itu, tampak bahwa Iqbal memiliki pertalian dengan ghazal-ghazal Persia. Bahkan dalam salah satu puisinya, Iqbal sendiri pernah berujar: ”Walau bahasa Hindia semanis madu/Bahasa Parsi lebih nikmat bagi lidahku/Jiwaku tertawan oleh keindahan lagunya/Penaku jadi ranting semak terbakar di dalamnya/Karena cita sajakku luhur tak terkira/Bahasa Parsi lebih cocok menyatakannya/Pembaca!/Jika pahit jangan salahkan cawannya/Namun periksalah rasa anggurnya” (sajak Masnawi).
Sementara sajak tentang doa yang ditulis Tardji tahun 1977 dengan sajak doa 2005 keduanya punya kedekatan dengan sajak Iqbal. Sajak 1977 membahana dan tak segan-segan menampilkan kata mampus dalam doa. Sementara sajak Doa (2005) melantunkan amanat-amanat yang membuai menghanyutkan, yang berbeda dengan sajak Doa 1977 yang pelit makna. Namun lantunan itu bukan dengan suara, malah dengan kebisuan.
Kedua sajak itu selalu menggoda saya untuk membandingkannya dengan sajak Doa Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Sajak doa-diam tersebut mengungkai pencarian ketuhanan dengan sunyi diri, yang bermula dengan pertanyaan yang mengandung keraguan. Namun makin dalam rasa hayatan luka eksistensial dihadirkan, pada akhirnya Tardji tampak menunjukkan keberingasan yang membahana dengan kata-kata yang hemat saya tak terlampau mengejutkan.
Munculnya kata ”Mampus!” dalam sajak di atas justru merusak kehening-beningan dalam sebuah pencarian. Namun dalam sajak doa sesudahnya, kata-kata yang digunakan justru menarik karena penuh takzim dengan kejutan yang tak lagi terasa beringas melainkan doa yang hening: ”ya Tuhan/kuatkan selamatkan bangsaku/dari derita beberapa Nabi”.
Sajak Tardji ini menarik disandingkan dengan sajak Doa Chairil Anwar. Kedua penyair ini memang sangat arogan namun sangat religius. Chairil berusaha menampilkan keintiman dengan hayatan yang dalam dengan tidak menjadikan sajaknya sebagai doa dalam arti sesunggungnya. Kedua sajak doa dari dua penyair memiliki kedekatan rasa hayatan yang perih melalui penggalian kedalaman doa hingga tak lagi tampak sebagai doa syariat. Sanusi Pane dan Chairil Anwar mendulang kerinduan mistik yang begitu kuat, mesra dan intim dengan memanggil-manggil Kekasih hingga kata-katanya terasa bergaung dan mengalunkan gema eksistensialis yang bergelora.
Perhatikan untaian sajak doa Amir Hamzah ini: ”Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?/dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,/setelah menghalaukan panas terik,/angin malam mengembus lemah, menyejuk/ badan , melambung rasa,/menayang fikir, membawa angan ke bawah kursimu./Hatiku terang menerima katamu, bagai memasang lilinnya./Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak./Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu,/Penuhi dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!“.
Bandingkan dengan sajak Doa Sanusi Pane ini: O, Kekasihku,/turunkan cintamu memeluk daku/Sudah bertahun aku menanti,/sudah bertahun aku mencari/O, Kekasihku,/turunkan rahmatmu kedalam taman hatiku/Bunga kupelihara dalam musim berganti/bunga kupelihara dengan cinta berahi”. Lalu bandingkan juga dengan keintiman sajak Doa Chairil yang terkenal ini: ”Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut namaMu/Biar susah sungguh/Mengingat Kau penuh seluruh/cayaMu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/Tuhanku/aku mengembara di negeri asing/Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling”.
Ketiga sajak doa itu begitu intim, karib, tapi Chairil teasa lebih otentik sampai-sampai ”aku tidak bisa berpaling”. Bahasa Indonesia di tangan ketiga penyair besar itu terasa liris, syahdu, dan bernyanyi. Jelas ada perbedaan antara sajak-sajak Sutardji dengan sajak Amir Hamzah, Sanusi Pane dan Chairil dalam hal kedalaman makna dan keotentikan pengalaman. Tapi semuanya termasuk sajak kuat yang otentik. Sajak yang jelas-jelas bakal lulus dalam hal tes otentisitas.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar