Ahmad Hadidul Fahmi
http://lakpesdam.numesir.com/
Theodor Nôldeke dalam bukunya Min Tarikh wa Naqd al-Syi’r al-Qadîm berujar, bahwa menentukan ‘batas akhir’ (nihâyah) sastra pra-Islam lebih mudah dari menentukan awal kemunculannya (bidâyah). Benarlah apa kata Nôldeke, menelusuri akar genealogis sastra pra-Islam merupakan permasalahan yang memunculkan perdebatan sengit diantara peminat kajian sastra. Ia disebut-sebut tak ditemukan akar kemunculannya. Faktornya pun beragam. Sebut saja, penelusuran terhadap transmisi sastra pra-Islam hanya berujung pada riwayâh syafawiyyah (dari mulut ke mulut), dan tak didasarkan pada kualifikasi yang jelas. Satu sampel, kodifikasi sastra pra-Islam berbeda sepenuhnya dengan kodifikasi hadis.
Untuk mendaku validitas sebuah hadis harus melalui seleksi secara ketat. Berbeda dengan sastra pra-Islam; setelah periwayat hilang satu demi satu, syair-syair tersebut segera dikumpulkan sebanyak-banyaknya, baru kemudian diseleksi (al-jam’ tsumma al-tamhîsh). Padahal, signifikansi syair pra-Islam tak bisa dipandang sebelah mata, khususnya ketika berbicara bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an. Sebut saja sya’ir pra-Islam dipergunakan untuk menafsirkan lafadz al-Qur’an yang ambigu. Ia pun dijadikan standar bahasa Arab yang sah dan orisinil (fushâ).
Atas dasar riwayat dari mulut ke mulut tersebut, dan tidak jelasnya kualifikasi terhadap penyampai riwayat, konsekuensinya, nalar kritis yang tidak terikat oleh doktrin lampau akan meragukan eksistensi syair pra-Islam. Nampaknya ‘keraguan’ terhadap eksistensi syair pra-Islam sendiri sudah muncul semenjak abad ke-II H, dan semakin merebak saat babakan sejarah memasuki abad ke III dan IV. Namun baru dimunculkan lagi oleh Thaha Husein dengan fî syi’ir al-jâhilî-nya. Cacatnya transmisi sastra ini pun disinggung oleh Musthafa Shadiq Rafi’i. Walaupun kajian tersebut baru tenar belakangan, namun analisa ini sejatinya sudah dimunculkan oleh sarjana Islam klasik, Muhammad bin Salam al-Jamhi dalam thabaqât al-syu’arâ-nya, walaupun konklusi yang dihasilkan berbeda sepenuhnya. Begitu pula dari Orientalis Jerman, Theodor Noldeke yang bahkan telah 65 tahun mendahului Thaha mengkaji sastra pra-Islam dan menemukan konklusi serupa, tepatnya tahun 1891 M. Abdurrahman Badawi mengumpulkan kajian Orientalis terhadap sastra pra-Islam dalam arâ’ al-musytasyriqîn hawla al-syi’r al-jâhili.
Ilusi Sastra Pra-Islam
Mengencani lembaran buku-buku yang mengupas sastra, semisal al-Aghânî buah tangan al-Isfahani atau al-Mughnî buah karya Suyuthi serta al-Hammâsah karangan Abu Tamam, pastinya akan menemukan fakta menarik. Bahwa terkadang satu syair dinisbatkan kepada penyair yang berbeda. Hal tersebut wajar saja, karena kala itu penggunaan peralatan tulis-menulis sebagai sarana kodifikasi masih sangat minim. Dan jarak antara penyair dan era kodifikasi sendiri berkisar 150 tahun. ‘Kekacauan’ tersebut tampak kentara saat ditemukan satu sya’ir mempunyai penutup, namun pada saat yang sama, dari sumber lain tidak ditemukan penutup (khâtimah), atau susunan suatu syair berbeda satu dengan yang lain, padahal keduanya disuarakan oleh satu penyair. Wilhelm Ahlwardt, Orientalis Jerman, menuturkan, kekacauan penisbatan serta susunan pada syai’r terdahulu bisa dikembalikan pada analisa terhadap sejarah pengumpulannya. Perbincangan sejarah pengumpulan syair Jahili sendiri mengharuskan membincang dua tokoh penggerak pengumpulan ini. Mereka adalah Hammad bin Salamah bin Dinar (w. 167 H) dan Khalaf al-Ahmar (w. 180 H).
Nama pertama, Hammad bin Salamah, tutur Ibnu Salam, adalah orang pertama yang mengumpulkan syair pra Islam. Suyuthi dalam Thabaqât al-Nuhât menegaskan, Hammad bin Salamah adalah orang yang bisa menyanyikan 3000 ribu syi’ir jahili di luar kepala. Namun ia, hemat Wilhelm Ahlwardt, tidak terpercaya. Karena ada beberapa data yang menyebutkan bahwa Hammad bin Salamah tidak tahu sama sekali saat beberapa pertanyaan seputar syair pra-Islam dialamatkan padanya. Lebih jauh, pemuka madrasah Bashrah, salahsatu sekolah bahasa kala itu, telah melabeli Hammad dengan ‘pemalsu’. Nama kedua adalah Khalaf al-Ahmar. Ia, tutur Ibnu Qutaibah dalam al-Syi’r wa al-Syu’arâ’, adalah orang yang mempunyai kapasitas mencengangkan dalam sastra. Ia mampu mendendangkan beribu bait syair pra-Islam dengan dialek yang sama persis dengan mereka. Ia pula yang menisbatkan banyak syair terhadap Imru’ al-Qais, ‘Untarah, dll. Namun Khalaf mengalami permasalahan serupa dengan Hammad. Sampai di sini, Ahlwardt mencium ada konspirasi dari sarjana Islam terkait transmisisi syair pra-Islam yang sampai pada kita sekarang.
Menguatkan tesis Ahldwardt di atas, Thaha Husein dalam Fî Syi’r al-Jâhilînya mengungkapkan hal senada. Bahwa ada sederetan nama penyair pra-Islam, beserta syair-syairnya yang ditransfer dan ‘dipersembahkan’ oleh para sarjana Islam hingga sampai pada kita sekarang, namun data-data yang ada tidak valid. Deretan nama penyair beserta syairnya kian ‘sakral’ tatkala muncul era kodifikasi (‘ahsr al-tadwîn), yang kemudian terekam dalam sebuah tumpukan buku-buku sejarah. Bahwa ada nama Imru’ al-Qais, ‘Amru bin Kultsum, atau klasifikasi kaum Arab pada ‘âribah (Arab asli) dan musta’rabah (ter-arabkan), serta perkataan bangsa Arab yang mencakup natsar dan syi’ir, dan lain sebagainya, adalah konsumsi publik yang kian ‘membumi’. Ketetapan-sakral-sastrawi ini menghasilkan kubu kontra yang mengawali studinya dengan metode ‘skeptisisme’ ala Descartes terhadap konsensus sarjana Islam pada masa awal. Mereka akan mengkaji ulang –catatan yang dianggap oleh manusia—sebagai sejarah, bukan sebagai sejarah, atau bahkan akan merubah sejarah itu sendiri. Bahwa syair-syair yang selama ini disematkan pada penyair-penyair pra Islam; Imru’ al-Qais, ‘Untarah, Ibn Kultsum, Zuheir, dan lain sebagainya, ternyata –melalui aspek kebahasaan-- tidak mungkin berasal dari nama-nama tersebut. Melainkan sebuah varian dialek, mitos yang berlebihan, serta asumsi dan pemalsuan yang dilakukan oleh para sarjana tafsir, hadis dan kalam yang terlahir dari upaya apologetik. Dan ternyata tidak ada yang dinamakan sastra pra-Islam (syi’ir jâhilî), karena ia hanya produk penyair paska munculnya Islam.
Problematika dari sudut pandang lain adalah mengenai akar genealogis bahasa Arab itu sendiri. Sebab secara genealogis, bangsa Arab pra-Islam terklasifikasi menjadi dua kubu besar; pertama, Qahthaniyyah, kaum yang dinisbatkan pada Ya’rab bin Qahthan; keturunan Nabi Nuh, dan bermukim pertama kali di Yaman;kedua, ‘Adnâniyyah yang bermukim di Hijaz. Para sejarawan sepakat, bahwa Qahthan telah teristimewakan dengan bahasa Arab sebagai bahasa asli. Sedang bahasa kaum ‘Adnan adalah bahasa Ibrani. Interaksi dengan bangsa Arab membuat mereka perlahan mempelajari bahasa Arab. Keseriusan kaum ‘Adnan berbuah pada terhapusnya bahasa pertama; Ibrani. Oleh karena itu, kaum Qahthân disebut al-‘Arab al-‘Âribah, sedang ‘Adnân disebut al-‘Arab al-Musta’rabah. Kaum ‘Adnan inilah yang dikenal sebagai keturunan Isma’il bin Ibrahim. Pada kenyataannya, setelah melalui riset serius, kedua bahasa yang dipergunakan oleh bangsa asli Arab (al-‘âribah), dan yang ter-arabkan (al-musta’rabah) berbeda dari sudut pandang kaidah-kaidah gramatika yang dipergunakan. Perbedaan ini diakui oleh Abu ‘Amru bin al-‘Ala, sembari berujar: “Mâ Lisânu Himyar (al-‘âribah) bi Lisânina, wa lâ Lughatuhum bi Lughâtinâ”. Jika demikian, maka keganjilan ditemukan di sini. Bahwa kaum Qahthan dan ‘Adnan tidak pernah berinteraksi. Atau kemungkinan lain, kaum ‘Adnan membuat bahasa tersendiri yang berbeda dengan yang dipergunakan oleh kaum Qahthan. Konsekuensinya, sekarang ditemukan dua bahasa yang berbeda.
Sedangkan nama-nama penyair yang didaku sebagai penyair pra-Islam berasal dari tanah Yaman; kaum Qahthân. Jika didasarkan pada riwayat Abu ‘Amru bin al-‘Ala --antara Qahthan dan ‘Adnan mempunyai pola bahasa yang berbeda, maka syair pra-Islam yang sampai kepada kita pun harus mempunyai pola bahasa yang berbeda dengan bahasa Arab yang dipergunakan sekarang. Namun kenyataannya tidak demikian; syair pra-Islam yang ada sekarang justru didaku sebagai bahasa orisinil kaum Arab. Oleh karenanya dipergunakan sebagai ‘panduan’ dalam menyibak kerumitan bahasa al-Qur’an, atau bahkan sebagai standar umum jika terdapat pertentangan dalam kaidah-kaidah gramatika. Maka tak salah jika kemudian muncul statement, syair-syair yang dinisbatkan pada kaum Qahthan sejatinya bukan dari mereka. Namun merupakan plagiasi yang dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab karena sebab politik, agama, ataupun persengketaan antar kabilah.
Kritik Pijakan Referensial Ilusi Sastra pra-Islam
Seperti yang sudah penulis singgung di atas, kajian terhadap syair pra-Islam cukup menyita perhatian pemikir, baik Arab-Islam, atau Orientalis, semisal, Theodor Noldeke (w. 1931 M), Wilhelm Ahlwardt (w. 1909 M), D. S. Margoliouth (w. 1940 M). Di kalangan Arab-Islam, kajian progresif terhadap sastra pra-Islam dimunculkan dikembangkan oleh Thaha Husein dalam bukunya yang menuai banyak kontroversi, Fî Syi’r al-Jâhilî. Metode yang dipergunakan untuk mengkritik sastra pra-Islam adalah sama; “skeptisisme”. Di Barat sendiri, Ernest Renan (w. 1892), sang filsuf Perancis, dalam bukunya Histoire générale et système comparé des langues sémitiques, adalah orang pertama yang mempergunakan “metode” ini untuk menganalisa seputar sastra pra-Islam. Ia, misalnya, mengawali sikap skeptisnya dengan pertanyaan, apakah bahasa sastra ini telah mendahului bahasa al-Qur’an? Sedang Thaha Husein, apakah syair pra-Islam memang benar ada? Noldek meragukan turats, transmisi, serta pembawa berita (ruwât); Margoliouth menyoal mukjizat al-Qur’an –dari aspek kebahasaan—jika didahului oleh bahasa serupa. Semuanya kemudian berpusat pada satu konklusi menarik; sastra pra-Islam muncul setelah al-Qur’an diturunkan.
Kritikus sastra pra-Islam di atas mendasarkan tesisnya pada bahasa baku yang dipergunakan oleh kaum Arab sekarang sama persis dengan syair pra-Islam. Sedangkan bahasa Arab sendiri baru dibakukan dengan dialek Quraisy. Jika sastra pra-Islam baru dikodifikasikan pada masa dinasti Umawi, maka hal ini bermuara pada dua kemungkinan; pertama, bahasa baku sastra pra-Islam adalah dialek Quraisy; kedua, sastra pra-Islam yang ada sekarang bukanlah bentukan peradaban pra-Islam. Tampaknya kritikus sastra pra-Islam, dengan beberapa argumen di atas lebih condong pada kemungkinan kedua. Ahmad ‘Ustman dalam bukunya Fî Syi’r al-Jâhilî wa al-Lughahatsar menuturkan, Thaha Husein tidak total mempergunakan metodenya. Dalam arti, jika ada konsistensi dengan metode Descartes, seharusnya ia mempertanyakan dialek Quraisy sebagai bahasa Arab baku. Faktanya, bahasa Arab baku yang dipergunakan semenjak zaman dahulu (abad ke 14 SM) –sebagaimana Homerus, dialek sastrawan Yunani, dan Qibti Mesir-- merupakan bahasa sastra dan tulisan, bukan bahasa lisan. Dan ia mencakup unsur-unsur bahasa dari bermacam dialek yang berbeda-beda, sebagaimana yang terekam dalam ‘Surat Imaranah’ –sebuah surat yang ditulis oleh raja Palestina, Fenisia, dan Suria, walaupun secara resmi penulisannya mempergunakan Akkadia. Nah, bahasa Arab baku yang berkembang sekarang merupakan perpanjangan dari percampuran dialek ini. Tutur Ahmad ‘Utsman, sastra-satra pra-Islam ditulis mempergunakan bahasa ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Khalid al-Tuwaijiri yang menegaskan, dakwa bahwa bahasa Arab yang baku adalah dialek Quraisy tidak sepenuhnya benar. Karena faktanya dalam bahasa Arab yang baku ditemukan bahasa Yunani serta Persia. Hal tersebut wajar saja, karena akar historis bahasa Arab sendiri erat kaitannya dengan perbincangan sejarah Mesir kuno.
Jika terekam dalam catatan sejarah, pemimpin dan raja-raja terdahulu melakukan standarisasi penulisan mempergunakan bahasa Akkadia, maka dalam dunia Arab-Islam, para penyair pra-Islam lah yang melakukan standarisasi bahasa Arab dalam penulisan syair mereka. Standar ini yang seterusnya menjadi bahasa Arab baku. Unsur-unsur yang melingkupi bahasa baku tersebut –sebagaimana disinggung di atas—tersusun dari bermacam dialek yang berbeda. Adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim Ibnu Salam (w.838 M) salah satu pengkaji bahasa Arab yang mengumpulkan dialek-dialek bahasa Arab baku, serta menelusuri akar dialeknya dari berbagai macam suku. Ia mengupas hal ini dalam tiga bukunya yang bertajuk gharîb al-musannaf, gharîb al-qur’an, dan gharîb al-hadîts. Walaupun bahasa Arab baku sekarang tersusun dari bermacam dialek, namun ada satu karakter dominan, yakni dialek Najd, karena fushâ disusun oleh penyair-penyair dari tanah Najd. Sebagai misal, kata “hal”, “kadzalik”, serta “in” hanya dipergunakan di daerah Selatan Najd, walaupun ada pula yang merupakan serapan dari non-Arab, suku Barbar, Utara Afrika; seperti lafadz “ghad”.
Selain itu, penyematan ‘Arab asli’ (‘Aribah) pada kaum Qahthan dan ‘ter-arabkan’ Musta’rabah pada kaum ‘Adnan cukup tak berdasar, sehingga kemudian ada asumsi, bahwa bahasa Arab kaum Qahthan harus mempunyai kesamaan dialek dengan bahasa Arab yang baku sekarang –atas dasar pertimbangan, kaum ‘Adnan pernah ‘belajar’ bahasa Arab Qahthan. Hal itu menimbang, tidak ada data sejarah valid yang menyebut demikian, selain dari mitos-mitos dalam Taurat yang menisbatkan Ibrahim pada negara Kaldani. Dan mitos ini tidak didasarkan pada data historis yang kokoh. Karena rata-rata penulis Taurat pada abad ke-6 SM adalah kaum Yahudi dari Babilonia yang hendak menisbatkan Ibrani pada negara tersebut, atas dasar, di sanalah terbentuk “peradaban” pertama kali. Oleh karena itu muncul opini kemudian, Babilonia merupakan kota pertama yang dibangun oleh manusia. Padahal faktanya, Ibrahim berasal dari Madyana, sebuah suku di Sina’ yang juga merupakan bagian dari Arab. Luthfullah Qari menuturkan, belakangan terungkap, bahasa Arab di Yaman dijumpai telah tertulis menggunakan “khath musnad”, penulisan gaya kaum Himyar. Sedang bahasa Arab di Najran sendiri mempergunakan bahasa Arab sebagaimana yang dikenal selama ini. Najran sendiri –berdasar klasifikasi Musthafa Shadiq Rafi’i dalam Târikh al-Adâb al-‘Arabî—termasuk daerah Yaman pada masa pra-Islam. Artinya adalah, antara beberapa suku Qahthan dan ‘Adnan sejatinya tidak ada perbedaan dialek. Juga ditemukan –mempergunakan “khath” serupa-- bahasa Arab yang sama di Saudi yang berasal dari abad ke II dan ke III SM. Qahthan sendiri –menurut Khudlari Beik dan analis belakangan-- merupakan percampuran dari banyak rumpun. Misalnya saja, Qahthan banyak mengadopsi lafadz-lafadz Finisia yang dipergunakan dalam praktek penulisan mereka. Hingga berlebihan jika mengatakan Qahthan merupakan bahasa Arab baku yang dipergunakan selama ini. Baku dan tidak baku dalam bahasa Arab hanyalah standarisasi yang dilakukan oleh penyair pra-Islam guna menulis syair-syair mereka. Dari sini kita bisa memahami secara lebih jernih perkataan Abu ‘Amru bin al-‘Ala terkait bahasa kaum Himyar yang dikatakan tidak sama dengan bahasa Arab baku yang sekarang.
Namun begitu, penulis sendiri tidak mengingkari ada upaya pemalsuan yang dilakukan oleh beberapa oknum. Namun pemalsuan itu tidak mesti berimbas pada penafian eksistensi syair pra-Islam. Ibnu Salam al-Jamhi, ataupun Muhammad Shadiq Rafi’i, walaupun mengamini indikasi pemalsuan, namun tidak bisa ditarik pada kesimpulan, bahwa Ibnu Salam al-Jamhi misalnya, sebagaimana asumsi Abdurrahman Badawi, menafikan pula eksistensi syair pra-islam. Pemalsuan hadis oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengukuhkan golongannya, sebagai sample, tidak mesti menghilangkan eksistensi hadis Nabi dalam sejarah.
[22 Maret 2010]
Dijumput dari: http://lakpesdam.numesir.com/index.php?option=com_content&view=article&id=23:kritik-atas-kritik-sastra-pra-islam&catid=3:artikel&Itemid=10
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar