Nova Burhanuddin
http://lakpesdam.numesir.com/
Siapa yang mendaku tahu bahwa Allah-lah Sang Penciptanya, tanpa merasa bingung, maka itulah bukti kebodohannya.
(Ibn ‘Arabi dalam al-Futûhât al-Makkiyyah)
I
Landasan awal yang bisa kita pijak dalam kaitan antara dekonstruksi dan teosofi adalah bahwa teks adalah tajalli (“penampakan”, representasi) dari Tuhan. Para teosof berkesimpulan bahwa ada kaitan yang erat antara makhluk dengan Sang Khalik. Kaitan erat ini termanifestasi dalam konsep bahwa alam semesta, beserta seluruh isinya dan apa saja yang berkaitan dengannya, tak lain adalah tajalli dari Allah. Kesimpulan semacam ini tak hanya dihasilkan dari sudut pandang teosofis.
Namun sebenarnya bisa dilacak dari seluruh teolog dan pemikir muslim–bahkan dalam tingkatan tertentu mencakup juga seluruh manusia yang berpikir, muslim maupun kafir. Seperti al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib–buku tafsir yang begitu kental aura teologi asy’ariyah sekaligus aura filsafat abad tengah dan aura sains–pada awal jilid pertama menyebutkan bahwa tiap detil dari penciptaan di dunia ini dan di akhirat nanti hakikatnya menunjuk bahwa semuanya adalah ciptaan Allah Yang Maha Esa. Pembedaan antara istilah tajalli ala para teosof dan istilah menunjuk Sang Esa ala para teolog dan filosof klasik, tak lain akibat pengaruh relativitas maqâm, titik tolak, dan subjek-objek sasaran masing-masing pemikir. Karena kita tahu, maqâm, titik tolak, dan subjek-objek sasaran para teosof, sebenarnya adalah ihsân, ma’rifatullâh, dan ahli ihsân. Sementara maqâm, titik tolak, dan subjek-objek sasaran para teolog dan filosof adalah wilayah manusia berpikir secara umum. Dan perlu diingat, pembagian wilayah ini secara relatif dilihat dari sudut pandang derajat kemampuan subjek-objek sasaran dalam menemukan dan membuktikan pendapat-pendapat tersebut secara non-taklidi.
Ada baiknya kita terangkan disini maksud dari relativitas maqâm. Pemahaman ini mungkin terinspirasi dari kritikan balik Syaikh Mahmud al-Ghurab terhadap Ibn Taimiyyah dalam Syarh al-Kalimât al-Shûfiyyah. Menurutnya, Ibn Taimiyyah bisa menyalahkan Ibn ‘Arabi karena hanya berangkat dari apa yang ia pahami dari tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi, bukan dari pemahamannya terhadap Ibn ‘Arabi itu sendiri–meski secara global saja, tak menembus kejiwaan Ibn ‘Arabi secara paripurna. “Orang yang memahami perkataan belum tentu memahami yang berkata. Tapi orang yang memahami yang berkata sudah tentu memahami perkataan,” tutur Syaikh Mahmud al-Ghurab. Artinya, kritikan sangat pedas itu didorong oleh ketakmengertiannya akan Ibn ‘Arabi sebagai seorang sufi yang berbicara atas nama ahli ma’rifat. Pantas saja Ibn Taimiyyah begitu tega mengatai Ibn ‘Arabi sebagai memiliki jiwa setan, kafir, musyrik, meghancurkan bangunan syari’at. Ini menunjukkan adanya perselisihan maqâm yang menyebabkan ketidakobjektivan dalam krtikan ini.
Bukti lain yang menunjuk kesesuaian dua istilah antara para teosof dan para teolog-filosof tersebut adalah kesamaan hasil untuk menunjuk adanya Sang Pencipta Yang Esa, baik itu diteropong lewat istilah tajalli maupun istilah menunjuk Sang Esa. Bahkan pun dalam teologi Kristen yang mempercayai konsep Trinitas, teologi Budha dan Hindu yang mempercayai konsep banyak tuhan, masih tersisa benih-benih keEsaan–meskipun dalam bentuknya yang masih keruh.
Kesimpulannya–berdasar ajaran Ibn ‘Arabi ketika menafsirkan ayat Wa qadlâ rabbuka allâ ta’budû illâ iyyâhu–adalah bahwa semua manusia, bahkan semua makhluk, ditakdirkan untuk pasti menyembahNya, mengEsakanNya, dalam bentuk, derajat, tingkatan, dan kekeruhan yang bervariasi. Senada dengan ini ‘Abdul Karim al-Jili dalam Al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifati al-Awâkhir wa al-Awâil pada jilid dua, bab terakhir.
Itu dikuatkan oleh Quran yang tak membatasi pengecapan istilah musyrik (antonim kata mukmin, yang mengEsakanNya) hanya kepada non-muslim, tapi juga berpotensi mencakup muslim. Lain syakartum laazidannakum wa lain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd. Bahkan pun dalam kompetisi menghampiriNya, para sufi masih juga bersikeras untuk selalu mengEsakanNya–meskipun sudah tentu mereka muslim–supaya sekali-kali tak terjatuh pada jurang kesyirikan dalam beragam bentuk dan esensinya.
Tajalli Tuhan yang semacam ini sebenarnya bukan hanya diketahui oleh para ahli makrifat, namun juga oleh semua orang yang berpikir. Tentu saja apa yang dimengerti oleh mereka berbeda secara detil dengan apa yang dimengerti khalayak ramai. Yang bisa dimengerti para awam hanyalah jejak, atsar dari tajalli tersebut. Itu bisa diidentifikasi dari kenyataan bahwa kita memiliki kesan yang berbeda-beda terhadap satu objek. Mungkin ada yang beranggapan perbedaan kesan itu muncul semata-mata dari pandangan subjektif kita terhadap objek. Tapi saya kira itu separuh benar, karena subjek dan objek selalu berkait-kelindan dan tak pernah benar-benar terpisahkan. Itu juga terbukti dari temuan-temuan mutakhir dalam dunia fisika–diantaranya Teori Ketakteraturan Heisenberg–yang menyebutkan bahwa tiap detil elektron dari atom mengalami pergerakan “abadi” yang tak teratur. Inilah mungkin yang digambarkan oleh Ibn ‘Arabi dalam Al-Futûhat al-Makkiyyah dan sebenarnya “disepakati” secara umum oleh para teosof Islam bahwa penciptaan Tuhan itu abadi, alam mengalami penciptaan terus menerus, tiap saat penciptaan bagaikan aliran sungai yang tak bisa terulang lagi.
Jejak penciptaan “abadi” ala para teosof tersebut juga bisa dilacak kemiripannya dalam kerja Derrida. Dalam salah satu wawancaranya bersama televisi Amerika, yang termuat dalam film dokumenter Derrida, ia berkata bahwa tiap teks memiliki jejak yang samar dan tersembunyi, yang berpotensi mendekonstruksi bangunan utuh teks itu sendiri. Itu bisa diperjelas dari logika “ketidak-mungkinan” penulisan yang dikemukakan Derrida, sebagai konsekuensi logis logika sederhana dalam filsafat klasik Yunani dan Islam. Yakni, bahwa satu (Arab: Wâhid, bukan Ahad) tak pernah ada bila tak ada dua. Bahwa konsep ide tak mungkin sepenuhnya dapat tertuangkan dalam bentuknya yang asal dan sempurna ke dalam teks. Selalu saja ada pereduksian ide awal dalam teks jadi. Artinya, ada kemungkinan kesan yang berbeda-beda dari tahap ide menuju tahap teks. Kesan yang diterima ketika mendapat ide berbeda denga ketika telah terwujud dalam teks.
II
Landasan bahwa teks adalah salah satu representasi Tuhan bisa mengantarkan kita pada keniscayaan harmonisasi antara dua pertentangan (al-taufîq li al-dliddain). bn ‘Arabi berpandangan, ketika menafsirkan ayat laisa kamistlihi syaiun: bermakna tanzîh; wa huwa al-samî’u al-bashîr: bermakna tasybîh. Yakni, Allah merangkum sifat tanzîh dan tasybîh. Al-Jili dalam al-Insân al-Kâmil berpandangan bahwa tak bisa dikatakan ayat Wamâ khalaqtu al-jinna wa al-insa illâ liya’budûn yang meniscayakan semua manusia dan jin pasti menyembahNya, bertentangan dengan adanya pembedaan antara mukmin dan kafir, karena hakikat ibadah terkadang juga meliputi mukhâlafah (Jawa: nulayani; Indo: menentang) dan maksiat. Pandangan terakhir ini mungkin bisa lebih tak “membingungkan” bila diharmoniskan dengan pandangan Ibn ‘Athaillah al-Sakandari dalam al-Hikam: maksiat yang menyebabkan kehinaan dan rasa membutuhkanNya, lebih baik dari ketaatan yang menyebabkan rasa luhur dan rasa sombong.
Pandangan bahwa Allah merangkum sifat tanzîh dan tasybîh sebenarnya bisa dibilang revolusioner. Kesimpulan semacam itu bisa dipahami bila kita mengikuti sejarah pergolakan pemikiran teologis antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah, juga antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd, dan juga antara al-Razi dan Ibn Taimiyah. Namun bagi penulis, pertentangan itu tak akan selesai dengan sendirinya bila masing-masing masih bersikukuh akan kebenaran mutlak pendapatnya dan mendaku bahwa pihak lawan tak ada sisi kebenarannya sama sekali. Nah, posisi betubrukan ini coba diselesaikan oleh para teosof dengan menyatakan bahwa Allah disamping sifat tanzîh, juga memiliki sifat tasybîh. Ini mungkin semacam legitimasi teosofis terhadap fenomena alam dan fenomena sosial yang nampaknya selalu bertubrukan dan tumpang tindih, namun dibalik semuanya itu menyimpan keharmonisan penciptaan yang luar biasa. Artinya, keharmonisan tak meniscayakan keselarasan melulu, tapi juga mengandung ketakselarasan dalam dirinya sendiri. Harmonis adalah gabungan antara yang selaras dan yang tak selaras dalam satu tubuh dengan komposisi yang ketelitian kadarnya tak terhingga.
Michael Foucault, pengarang The Archeology of Knowledge, pernah menyarankan untuk tak tertipu dengan rasionalitas, pun irasionalitas. Karena dalam diri seseorang atau teks yang dikatakan rasional, tersimpan jejak-jejak irasionalitas. Begitupun sebaliknya. Jacques Derrida, pelopor filsafat Dekonstruksi, penulis Of Grammatology, berhasil menguak jejak-jejak kehancuran, ketidak-harmonisan, keterputusan dalam setiap teks yang terlihat padu dan harmonis. Dekonstruksi itu terjadi karena adanya shackles of rational/metaphysical thought (belenggu rasional/pemikiran metafisik) yang menyebabkan proses penulisan, sekaligus juga pemahaman akan hasil tulisan dari sudut sang pembaca, menjadi tak terkontrol–sehingga terlupakanlah sebagian detil yang sebenarnya berpengaruh besar dalam terwujudnya makna yang relatif komprehensif. Tentu saja makna metafisik disini tak sama dengan “metafisik” ala para teosof muslim: yang pertama berdasar ilusi rasional, sementara yang kedua berdasar kasyf.
III
Titik lain yang menjadi pertemuan antara dekonstruksi sebagai aliran filsafat dan ajaran teosofis sebagai kearifan ilahiah adalah al-hairah/confusion/perplexed/bewilderment (kebingungan). Ian Almond dalam Sufism and Deconstruction ~ A Comparative Study of Derrida and Ibn ‘Arabi berpandangan bahwa confusion (kebingungan) dalam wilayah filosofis dan sufistik terjadi ketika sejumlah rasionalitas kita tak cukup untuk memahami apa yang sedang terjadi. Seolah volume gelas dalam pikiran kita tak cukup menampung dahsyatnya curahan volume air laut yang begitu bergelombang. Kebingungan ini menahan logika bahasa kita untuk bicara. Kita terdiam heran, seraya tak paham.
Dalam tradisi filsafat timur dan barat secara umum, kebingungan teridentifikasi sebagai problem yang harus segera dipecahkan. Kebingungan adalah keraguan antara ya dan tidak. Keraguan tak lain merupakan tahap pertama seseorang dikatakan berfilsafat. Apa yang mendorong al-Ghazali bergonta-ganti “pegangan” dalam menggapai ilmu yang meyakinkan, seperti terbaca dalam al-Munqidz min al-Dlalâl, tak lain adalah keraguan. Dalam tradisi filsafat timur juga, kebingungan dianggap sebagai ketidakmampuan mengerti kehendak Tuhan yang termanifestasikan dalam setiap fenomena alam dan sosial yang seringkali acak, saling tumpang tindih, dan seakan saling bertubrukan tiada henti. Selain itu juga masih dianggap sebagai keadaan mental atau spiritual yang mundur dan butuh pemulihan. Sementara itu, filsafat pembangkit renaissance barat ala Descartes, sebagaimana dalam The Discourse on the Method, ialah proyek mengatasi keraguan demi menggapai standar keilmuan yang meyakinkan.
Namun tak selamanya identifikasi harus segera dipecahkan itu benar. Dalam salah satu pengajian umum, penulis mendengar KH. Asrory al-Ishaqi ra, salah seorang master sufi di Surabaya, pernah dawuh, “Ma’rifatullâh itu memiliki awal dan akhir. Awalnya adalah berpikir dan akhirnya adalah bingung.” “Bukankah keyakinan itu menenangkan hati, Yai?” lanjut sang Kyai, mengutip pertanyaan salah satu muridnya. “Ya, namun siapa sih yang tak bingung-cemas, bila meyakini bahwa semua takdir baik dan buruk pada akhir hayat manusia itu semata-mata di tangan Allah?” Sementara itu, salah satu dampak “ledakan horizon semantik” dalam filsafat Dekonstruksi adalah kemungkinan menjadikan kebingungan bagian integral dalam konsep kebenaran yang lebih luas. Kebingungan bukan lagi problem, ia hasil akhir. Dengan menerima kebingungan sebagai salah satu elemen penting dalam konsep kebenaran yang lebih luas, sebenarnya kita telah membobol belenggu rasional dan metafisik hingga kita bisa mengerti “situasi yang sebenarnya”.
Antara Derrida dan para teosof Islam, dalam masalah kebingungan, saya kira memiliki persamaan. Kedua pihak saling disalahartikan lantaran mengungkapkan pendapat yang cukup membingungkan. Masing-masing dari kedua pihak, membelah orang lain dalam kelompok yang mengaguminya dan kelompok yang membencinya. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai Sulthân al-‘Ârifîn, sebagaimana Abu Yazid al-Busthami. Karyanya sampai sekarang dianggap sebagai ensiklopedia sufistik terlengkap, yakni Al-Futûhât al-Makkiyyah. Namun disisi lain, ia dianggap sebagian ulama, terutama Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah sebagai seorang kafir, musyrik, ateis… Karya-karya di-black list oleh Al-Subki, juga al-Suyuthi. Adapun al-Suhrawardi al-Maqtul diangap sebagai master illuminasi dalam Islam (Syaikh Isyrâq) dan dikenal sebagai orang pertama yang berhasil mengkritik logika arstotelian dalam kerangka yang cukup matang secara sufistik dan menggantikannya dengan logika illumniasi (Manthiq al-Isyrâq). Masterpiecenya dalam hal ini adalah Hikmah al-Isyrâq. Namun ia pada akhirnya harus mati dalam pembunuhan penguasa lantaran mengajarkan tasawuf yang bertentangan dengan ajaran tasawu sunni. Adapun Ibn Sab’in dianggap tokoh yang berhasil meneruskan dan mengembang ide-ide Ibn ‘Arabi tentang wahdah al-wujud dengan menggulirkan ide al-wahdah al-muthlaq. Namun sayangnya juga banyak dikecam lantaran terlalu berani mengkritik banyak filosof Islam dan mengajukan teori al-wahdah al-muthlaq, sebagai kepanjangan teori wahdah al-wujud.
Sementara itu, Derrida begitu sering dikecam oleh banyak sekali pemikiran filosof. Ada yang mengatainya sebagai seorang filosof yang hanya bermain-main pada permukaan logika sehingga menghasilkan kesimpulan yang selalu membingungkan. Ada yang menyimpulkan dekonstruksi tak memberikan kemajuan apa-apa, karena tak berusaha menguak sedalam mungkin logika yang terkandung dalam sebuah teks. Tapi kritikan iu semua tak berarti apa-apa bila kita tak mempertimbangkan banyak pihak yang juga menerima baik aliran dekonstruksi ini. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa perselisihan dekonstruksi terjadi akibat tak memahami bahwa dekonstruksi bukanlah menhancurkan logika teks itu sendiri, melainkan menemukan dekonstruksi (ketakharmonisan, kehancuran) logika dalam tubuh teks itu sendiri. Ada pula yang menyimpulkan bahwa dekosntruksi berjasa besar dalam menemukan kemungkinan lain dalam pembacaan sebuah teks. Ini juga bermanfaat sebagai kritik keabsolutan komprehensifan sebuah teks. Juga mengandung kemungkinan perluasan makna komprehensif menjadi lebih luas, lepas dari segala pembacaan linear dan doktrinasi ideologi.
***
Tulisan diatas hanya sekelumit usaha untuk mengkomparasikan nalar teosof Islam dengan aliran dekonstruksi Derrida yang sangat populer dalam kajian teks dan sastra. Usaha diatas bukanlah usaha untuk menyamakan kedua kecenderungan tersebut. Juga tak bisa melegitimasi bahwa filsafat dekonstruksi adalah islami. Tulisan diatas jauh untuk dibuat sebagai salah satu proyek islamisasi pengetahuan, dengan cara islamisasi filsafat. Sama sekali tidak. Namun tulisan diatas hanya berusaha sesederhana mungkin untuk menunjukkan sekelumit kesamaan logika teosof Islam dengan logika dekonstruksi ala Derrida. Ini juga merupakan salah satu penguat banyak kesimpulan sebagian peneliti bahwa ajaran teosofi Islam–terutama teosofi Ibn ‘Arabi–merupakan ajaran yang paling mendekati filsafat modern dan posmodern sekaligus. Landasan historis untuk berkesimpulan demikian tak hanya ditunjukkan oleh kesamaan sebagan logika antara keduanya, tapi juga secara historis. Lebih tepatnya adalah pengaruh ajaran teosof Islam, terutama Ibn ‘Arabi, kepada dunia filsafat barat secara umum dengan tokoh-tokohnya seperti Pseudo-Dionysius pada abad ke-5-6 Masehi, Dante Alighieri (1265-1321), dan Meister Eckhart (1260–1327). Bahkan tokoh yang disebut terakhir adalah diantara tokoh yang begitu mempengaruhi Derrida dalam pandangan teologi “negatif”nya. Itu terlihat dalam analisis Derrida Revue de Métaphysique et de Morale yang muncul pada tahun 1964.[]
11 Desember 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar