Senin, 26 Desember 2011

Dampak Pengakuan Keislaman Cheng Ho

AM Adhy Trisnanto
http://www.suaramerdeka.com/

Islam tidak akan berkurang derajatnya, meskipun ada peran orang-orang China di dalamnya. Di sini orang lupa bahwa keislaman China lebih tua ketimbang Jawa. Orang-orang China telah mengenal Islam di saat masyarakat Jawa hidup dalam dunia berhala dan klenik. (Soemanto Al Qurtuby dalam Seminar Membincang Kontribusi Tionghoa dalam Proses Islamisasi di Indonesia, 19 Maret 2005).

MAJALAH sekelas National Geographic dengan tegas menyatakan Cheng Ho adalah seorang Tionghoa muslim. Tentu saja pernyataan tadi berangkat dari dukungan data, bukan sekadar legenda.

National Geographic Society memiliki reputasi sebagai organisasi ilmiah dan nirlaba yang terlibat dalam lebih dari 8.000 eksplorasi dan penelitian sejak 1888. Namun, di Indonesia, keislaman Cheng Ho masih saja jadi kontroversi, baik di komunitas Tionghoa maupun Islam. Keislaman Cheng Ho seakan diterima dengan setengah hati.

Lihat saja, tak seorang pun Tionghoa Muslim diajak duduk dalam Panitia 600 Tahun Cheng Ho. Juga dari sekian banyak acara yang dirancang, yang bernuansa Islam cuma lomba nasyid dan salah satu seminar. Sama sekali tidak menonjol dibanding acara-aara tersebut, cuma sekadarnya saja, semacam tempelan. Yang lebih dahsyat, sepucuk surat pembaca menceriterakan tentang penggusuran makam-makam tua Tionghoa muslim (Liem Wa Tiong, Oei Kiem Liang, Ang Tjin Kien, Tan Dinar Nio, Henry Tan, dan lain-lain).

Semula makam-makam itu ada di bagian belakang Sam Po Kong. Surat pembaca itu juga mengeluhkan diturunkannya papan kaligrafi ”Me Zheng Lan Yin” (terjemahan bebasnya: Merenungkan dan mengamalkan ajaran Alquran). Papan itu diturunkan setelah kunjungan Imam Besar Masjid Beijing ke Sam Po Kong. Dalam kunjungan tersebut, sang ulama China menyatakan bahwa kaligrafi tersebut menegaskan keislaman Cheng Ho.

Dua Kutub

Bagaimana pula dengan masyarakat Islam Indonesia? Sampai saat ini tidak pernah jelas diakui peran Tionghoa Muslim dalam proses masuknya Islam ke Nusantara. Sejak dulu yang diajarkan dalam buku-buku sejarah sekolah adalah teori Arab dan India/Gujarat. Buku yang mengangkat peran Tionghoa dalam Islamisasi Nusantara bahkan dilarang beredar dengan alasan potensial mengganggu stabilitas nasional. Akibatnya, jangankan diakui berperan dalam Islamisasi Nusantara, bahkan kehadiran Tionghoa Muslim dalam shalat Jumat sampai saat ini pun masih ada yang menganggap aneh. Islam dan Tionghoa dianggap dua kutub yang berseberangan.

Tentu saja gambaran tadi adalah gambaran hitam-putih. Bersyukurlah kita masih ada wilayah abu-abu. Lie Pek Tho, Ketua Yayasan Kelenteng Thay Kak Sie yang juga Ketua Panitia 600 tahun Cheng Ho, dalam sebuah wawancara tanpa basa-basi mengatakan: “Beliau (Cheng Ho -Red) orang Islam. Pengikutnya juga sebagian besar Islam. Maka beliau juga menyebarkan agama Islam”.

Demikian pula di pihak Islam, Habib Luthfi bin Ali Yahya, Ketua MUI Jawa Tengah, tidak saja menyebut Cheng Ho. Beliau bahkan bisa menyebutkan nama-nama ulama Tionghoa (banyak di antaranya yang menggunakan nama muslim) yang dikatakannya mempunyai andil dalam perkembangan Islam di Nusantara. Karena kekaburan (atau pengaburan) sejarah, bahkan di antara Tionghoa muslim sendiri nama-nama dan peran mereka terasa asing.

Mazhab Hanafi

Tionghoa masuk ke Indonesia secara bergelombang. Sebelum Cheng Ho, sisa-sisa laskar Mongol Kubilai Khan (Dinasti Yuan) yang kalah melawan Raden Wijaya sudah menetap di wilayah Majapahit (1293). Mereka ikut mendukung kejayaan Majapahit melalui alih pengetahuan tentang mesiu, maritim, dan perdagangan.

Dalam buku kumpulan surat kepada putrinya, Indira Gandhi, Glimpses of World History, Jawaharlal Nehru mengatakan, “Sesungguhnya ekspedisi Tiongkok akhirnya menjadikan kemaharajaan Majapahit di Jawa lebih kuat. Ini disebabkan karena orang Tionghoa mendatangkan senjata api ke Jawa. Dan agaknya dengan senjata api inilah datang kemenangan berturut-turut bagi Majapahit.” Laskar Mongol direkrut dari berbagai daerah: Hokkian, Kiangsi dan Hukuang.

Sekitar seratus tahun kemudian, armada Laksamana Cheng Ho yang diutus oleh Kaisar Yong Le (Dinasti Ming) singgah di berbagai tempat di Nusantara. Di kota-kota pantai ini Cheng Ho membentuk komunitas Islam pertama di Nusantara, antara lain Palembang, Sambas dan Jawa. Artinya, pada awal abad XV, Tionghoa muslim yang bermazhab Hanafi sudah ada di Nusantara. Mereka kebanyakan orang Yunnan yang hijrah ke Nusantara pada akhir abad XIV, dan sisa-sisa laskar Mongol yang menghuni wilayah Majapahit.

Sebuah teori mengatakan, akibat perubahan kebijakan luar negeri Dinasti Ming, hubungan antara pusat Hanafi di Campa dengan Nusantara akhirnya terputus. Banyak Tionghoa muslim yang berpindah kepercayaan. Masjid-masjid Tionghoa selanjutnya banyak yang berubah menjadi kelenteng. Kemudian Sunan Ampel (Bong Swie Ho) mengambil prakarsa melakukan proses Jawanisasi. Dia meninggalkan komunitas Tionghoa muslim di Bangil dan hijrah ke Ampel bersama orang-orang Jawa yang baru diislamkannya. Dengan kepemimpinannya yang sangat kuat, Bong Swie Ho membentuk masyarakat Islam Jawa di pesisir utara Jawa dan pulau Madura. Inilah cikal bakal masyarakat Islam di Jawa.

Kekalahan Sunan Prawoto (Muk Ming) dari Demak dalam perebutan pengaruh dengan Arya Penangsang dari Jipang berakibat kepada hancurnya seluruh kota dan keraton Demak. Sisa-sisa pasukan Demak yang melarikan diri ke Semarang dihancurkan. Demikian pula galangan kapal Semarang dan banyak orang-orang Tionghoa non Islam di Semarang. Peristiwa ini menjadikan sebagian besar masyarakat Tionghoa di Semarang marah dan tidak bersimpati kepada pasukan Jipang. Inilah awal dari surutnya masyarakat Tionghoa muslim di Semarang. Mereka akhirnya berangsur-angsur kembali kepada agama dan kepercayaan Konghucu dan Tao.

Gelombang-gelombang imigran China yang masuk ke Nusantara kemudian tidak lagi didominasi orang-orang Tionghoa muslim. Mereka datang, misalnya karena kebutuhan penjajah Belanda untuk menambang timah di Bangka. Ditambah dengan politik devide et impera penjajah Belanda, semuanya tadi menimbulkan kesan terbentangnya jarak antara Islam dan China. Orang-orang Tionghoa makin dianggap asing di Nusantara lengkap dengan segala stereotype negatifnya. Peran Tionghoa muslim dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, sebagaimana dibuktikan dari cerita-cerita rakyat, berbagai dokumen maupun peninggalan sejarah, termasuk ke dalamnya makam-makam kuno Tionghoa muslim, kemudian menjadi buram.

Lebih-lebih setelah Orde Baru memerintah dengan kebijakan pembaurannya yang mendua. Sepanjang berlabel Tionghoa, tempatnya adalah di sudut-sudut gelap dalam kehidupan bangsa. Tetapi di lain pihak, beberapa orang Tionghoa yang pengusaha besar dilimpahi dengan berbagai fasilitas.

Balanced Society

Bersyukurlah kita ketika tiba era reformasi dengan segala iklim keterbukaannya. Tidak ada lagi suasana represif. Kekuasaan pemerintah diimbangi dengan peran pengusaha swasta serta kontrol sosial masyarakat. Tiga unsur yang dibutuhkan dalam konsep masyarakat modern yang seimbang. Walaupun lagi-lagi harus menjadi tumbal dalam kerusuhan Mei 1998, masyarakat Tionghoa mengalami imbas akibat iklim keterbukaan era reformasi. Hak-hak sipilnya dipulihkan, bebas mengekspresikan adat-istiadatnya kembali.

Dalam suasana demikian, merayakan 600 tahun pelayaran Cheng Ho menjadi sangat mungkin. Sam Po Kong, petilasan Cheng Ho, dipugar dalam skala megah. Diselenggarakan berbagai acara selama seminggu. Dan jauh sebelumnya, lampion merah bertengger di jalan-jalan utama kota Semarang. Sebuah hal yang mimpi pun tak akan terjadi di era semua yang berlabel Tionghoa adalah tabu.

Pertanyaannya: sudah memadaikah semuanya itu? Rasanya belum. Nilai Cheng Ho jauh melewati sekadar petilasannya yang jadi objek wisata, dan peringatannya masuk dalam kalender wisata. Menyedot tamu dari dalam dan luar negeri, serta menyedot isi kocek mereka. Bila sekadar demikian, berarti menghapus peran Cheng Ho, yang telah memicu kota-kota bandar di Nusantara menjadi metropolis. Juga bermakna mengabaikan sifat dan sikap yang dimiliknya: entrepreneurship, risk taker, inovatif, leadership, toleran, universal, loyal kepada atasan, namun sekaligus dalam kebesaran kekuasaannya mampu mengakui kekerdilannya di hadapan Allah SWT. Mencintai Allah, dan karenanya menyebarkan imannya kepada semua orang. Tidak berlebihan bila dikatakan, Cheng Ho adalah manusia yang seimbang dunia dan akhirat.

Trust

Menerima dan mengakui Cheng Ho seutuhnya bermakna mengakui keislamannya. mengakui peran para ulama Tionghoa dalam proses masuknya Islam ke Nusantara. Dan ini akan memberi sumbangan luar biasa dalam bingkai keindonesiaan yang baru. Menjungkirbalikkan teori Arab dan lndia/Gujarat tentang proses masuknya Islam ke Nusantara. Mendekatkan orang Tionghoa dengan saudara-saudaranya sebangsa. Mengurangi kesenjangan psikologis yang selama ini ada.

Menerima dan menghayati nilai-nilai Cheng Ho seutuhnya akan menyumbang pemupukan modal sosial masyarakat. Bahkan pengakuan yang berangkat dari kejujuran dan keterbukaan akan meningkatkan kepercayaan dunia internasional. Peningkatan trust akan memicu kerja sama, networking, dan kemajuan bagi dunia usaha kita.

Masyarakat yang cenderung trusted akan lebih mudah mendatangkan modal dan investasi karena pembeli dan investor terlindung dari dampak kecurangan yang dilakukan pihak lawan. Selain itu, masyarakat yang trusted mendorong keyakinan dan kepastian berusaha, serta kemudahan merekrut tenaga-tenaga profesional.

Memperingati 600 tahun pelayaran Cheng Ho bisa saja sekadar hura-hura sejenak, dengan gaung hitungan minggu kemudian lenyap. Tetapi bisa juga menjadi titik balik untuk sesuatu yang jauh lebih strategis. Pilihannya ada pada kita semua.

*) AM Adhy Trisnanto, Tionghoa muslim, praktisi komunikasi pemasaran. /02 Agustus 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez