Jumat, 30 September 2011

Pluralisme dan Nasionalisme: Gus Dur dan Frans Seda

Ignas Kleden
http://majalah.tempointeraktif.com/

LAHIR dan mati adalah peristiwa harian. Tapi kematian dua orang pada akhir 2009 mendapat perhatian khusus karena bertepatan dengan penutupan tahun, dan karena yang wafat adalah dua tokoh seperti Gus Dur dan Frans Seda. Gus Dur wafat pada 30 Desember pukul 18.45, dan Frans Seda menyusul sehari sesudahnya, pukul 05.00. Keduanya berpulang sebagai pribadi yang penting dan menarik, sebagai pemimpin yang meninggalkan jejak, baik pemimpin golongannya maupun pemimpin berkaliber nasional.

Gus Dur tumbuh sebagai tokoh civil society. Bergerak dari Pesantren Tebuireng sebagai pendidik, pemikir, dan penulis yang subur, ide-idenya tentang pesantren, kiai, serta peran Islam kemudian berkembang menjadi gagasan yang melampaui batas komunal ke arah demokrasi, hak-hak asasi, problem mayoritas-minoritas, pentingnya pluralisme, pemerintahan sipil dan kedudukan serta peran agama-agama dalam kehidupan dunia. Sebuah puncak penting kariernya dalam civil society adalah ketika dia berhasil menduduki pucuk pimpinan Nahdlatul Ulama untuk tiga periode selama 15 tahun, dan mencoba meng-embuskan berbagai ide pembaruan ke dalam organisasi ini. Kalau sekarang diributkan perhatian pemimpin na-sional terhadap kebudayaan dan kesenian, Gus Dur adalah pre-siden yang pernah menjadi Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta, 1982-1985.

Pergeserannya ke dunia politik dimulai dengan pembentukan Forum Demokrasi, pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa, pemberian akses dan kesempatan kepada kader-kader muda untuk tampil dalam politik, sebelum akhirnya menjadi Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan relatif singkat, yang kemudian ber-akhir tanpa “happy ending”. Dalam masa demikian singkat dia sanggup memberikan kesempatan kepada kalangan sipil untuk menjadi pemeran utama politik nasional, dengan mendorong secara bertahap mundurnya ABRI dari keter-libatan sosial-politiknya. Perubahan itu, yang sempat dikhawa-tirkan akan membawa pergolakan, telah berlangsung -relatif da-mai, meskipun bukan tanpa persoalan. Gaya hidup dan gaya kepemimpinannya pun sedikit-banyak membuat kekuasaan menjadi sesuatu yang profan dan prosais, ser-ta dirontokkan auranya yang seakan-akan sakral dan -eso-terik.

Sampai tingkat tertentu, dia menunjukkan bahwa politik tidak harus diperlihatkan sebagai sofistikasi yang tidak dipahami orang banyak, dan tidak perlu dilaksanakan dengan gaya penuh citra agung dan mulia. Ucapannya yang menjadi pameo politik, “Gitu aja kok repot”, memperlihatkan keyakinannya bahwa politik melibatkan semua warga negara dan seluruh lapisan masyarakat, dan karena itu harus bisa dipahami oleh sebanyak mungkin orang. Politics for everyone sebaik-baiknya dihayati dan diungkapkan melalui good common sense. Itu sebabnya, humor merupakan bagian yang utuh dari pergaulan sosial dan wacana politiknya, karena humor membuat politik dapat dipahami dengan cara yang jenaka seraya mengandung kecerdasan sekaligus populis.

Dalam sosiologi agama dikenal dua kecenderungan pe-nguasa dunia dan penguasa agama. Penguasa dunia dengan kekuasaan besar cenderung memperluas wilayah kekuasaannya ke bidang agama, dan terjebak dalam caesaropapisme. Sebaliknya, penguasa agama yang dipuja umatnya cenderung memperluas kekuasaannya ke bidang politik, dan jatuh ke dalam hierokrasi yang berpuncak pada teokrasi. Gus Dur adalah pemimpin agama dengan legitimasi tradisional yang kuat dari kakeknya sebagai pendiri NU. Dia kemudian memegang kekuasaan politik tertinggi di republik ini, dan memberikan contoh yang patut diingat, bahwa kekuasaan politik janganlah dicampurbaurkan dengan otoritas keagamaan, meskipun pada suatu saat kedua otoritas itu berada di satu tangan.

Sementara Gus Dur bergerak dari civil society ke politik kenegaraan, Frans Seda menempuh jalur sebaliknya. Perjumpaannya dengan Kasimo seusai studinya di Universitas Tilburg, Belanda, merupakan semacam Wahlverwandtschaft dalam pengertian Max Weber, yaitu bertemunya dua faktor yang saling menunjang, tanpa dapat dipastikan hubungan sebab-akibat relasi itu. Apakah intuisi politiknya menyebabkan Seda memilih Kasimo sebagai mentornya, atau Kasimolah yang memperkenalkan politik sebagai cakrawala dengan tantangan yang menggoda bagi seorang lulusan universitas yang siap bekerja? Seda bergabung dengan Partai Katolik Indonesia pada 1950-an yang dipimpin oleh Kasimo, kemudian menjadi ketuanya, masuk parlemen, kemudian ditunjuk Soekarno sebagai Menteri Perkebunan.

Sejak itu jabatan menteri demi jabatan menteri diembannya, juga setelah pemimpin nasional beralih dari Bung Karno ke Soeharto. Tentu saja hal ihwal negara dan bangsa bukan sesuatu yang baru buat dia, karena Seda telah terlibat dalam perjuangan bersenjata menentang Belanda selagi bersekolah di Muntilan, sebelum meneruskan pendidikan di HBS Surabaya. Lahir dan besar di pulau kecil, Flores, yang masuk buku sejarah karena Soekarno pernah dibuang ke sana, dan menjadi anggota kelompok Katolik yang merupakan minoritas, Seda selalu tampil mewakili kelompoknya dengan mengibarkan bendera Katolik dalam politik Indonesia tanpa bimbang dan tanpa kompleks rendah diri. Dia menghayati dan mewujudkan prinsip moral politik yang diajarkan Mgr. Soegijopranoto, Uskup Semarang, yang dikenal dekat dengan Bung Karno. Seorang Katolik Indonesia haruslah 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia.

Dengan asas itu dia menerobos ketertutupan kelompok-nya, bergaul dan bersahabat dengan tokoh dan umat agama lain. Setelah Soekarno jatuh dan pemerintahan diambil alih oleh Soeharto, umat Katolik harus menentukan orientasi, khususnya terhadap kelompok Islam yang dihadapi sebagai mayoritas. Tanpa ragu Seda mengatakan kepada kelompoknya bahwa umat Islam adalah teman seperjuang-an umat Katolik, sama seperti sikapnya terhadap kelompok agama lain.

Sebagai politikus, dia memberikan perhatian kepada penguatan civil society. Dia melibatkan diri dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, dengan mendirikan Universitas Katolik Atma Jaya pada Juni 1960. Dalam kalangan pendidikan tinggi Katolik, inilah satu-satunya universitas Katolik di Indonesia, dan mungkin salah satu dari sedikit universitas Katolik di dunia, yang didirikan dengan prakarsa yang seluruhnya berasal dari kalangan nonklerus. Universitas ini mencantumkan dengan jelas atribut “Katolik” dalam namanya karena, dalam keyakin-an Seda, sebagai seorang Katolik, I have nothing to lose and I have everything to gain, sebagaimana pernah dikatakannya kepada seorang penulis asing.

Dia juga menjadi perintis dengan peran yang menentukan berdirinya harian Kompas, pada 28 Juni 1965. Beberapa kali dia bercerita dengan jenaka kepada penulis tentang usul untuk mendirikan sebuah surat kabar Katolik yang disampaikannya kepada Jenderal Achmad Yani. Sang jenderal mengatakan akan mempertimbangkannya dengan syarat Seda dapat mengumpulkan 5.000 tanda tangan yang mendukung gagasan itu. Dengan caranya yang praktis, Seda mengerahkan 5.000 tanda tangan yang dikumpulkan dari para guru dan pegawai negeri sipil di Flores, dan di-serahkan ke Jakarta.

Gus Dur dikenal sebagai tokoh pluralis yang gigih membela hak-hak minoritas. Pada pemakamannya, wakil-wakil minoritas itu hadir dan memberikan penghormatan terakhir secara khusyuk. Sebagai pemimpin organisasi massa terbesar, dia bergerak lintas komunal, dan membuat tiap orang, juga dari golongan-golongan kecil, merasa at home di negeri ini. Pluralisme adalah cara seseorang dari kelompok besar menempatkan diri secara wajar di antara saudara-saudara lain dari kelompok kecil. Seda adalah pemimpin minoritas yang yakin bahwa seorang dari kelompok kecil dapat menjadi bagian sah dari bangsa ini karena sumbangan yang diberikan dalam perjuangan nasional. Maka nasionalisme adalah surat jaminan bahwa sebuah minoritas berhak mendapat tempat yang layak di tengah bangsa Indonesia yang besar.

Di tengah industri pencitraan yang berkembang melalui media, juga untuk berbagai kepentingan politik, perilaku dan kepribadian Gus Dur dan Frans Seda memberikan kontras yang tajam. Mereka tampil apa adanya, tidak berusaha memperlihatkan diri lebih unggul daripada yang sebenarnya, tapi dengan sikap percaya diri yang membuat orang lain akhirnya menerima mereka seperti apa adanya. Pada Gus Dur hal itu kadang kala menimbulkan kesulitan protokoler ketika dia menjadi presiden. Pada Seda, seba-gaimana dilukiskan oleh rekannya, Emil Salim, dia tak menyembunyikan diri sebagai anak desa yang berasal dari Flores, dan bahkan memperlihatkan kebanggaan tertentu dengan atribut itu.

Citra dapat menciptakan suatu simulakrum, kata para ahli post-modernis. Identitas seseorang dapat dikonstruksikan melalui berbagai teknik yang menggarap penampil-an, gerak-gerik, dan outfit. Tapi kehadiran dua tokoh itu di tengah kita memberikan pengalaman sebaliknya: bukan citra yang membuat seseorang menjadi pemimpin, tapi pemimpin sejati menciptakan citranya sendiri dan, kalau dapat, juga citra bangsa yang dipimpinnya.

11 Januari 2010
*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Biografi singkat Ignas Kleden dari majalahbasis.com:
Dilahirkan di Waibalun, Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948. Sempat bersekolah di sekolah calon pastor berkat lulus dengan predikat terbaik disekolah dasar. Namun keluar dari sekolah tersebut lantaran tidak bisa berkhotbah dengan baik. Ia Lalu memilih menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi/STFT Ledalero, Maumere, Flores (1972), meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman (1982), dan meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).
Ketika masih di tinggal Flores, ia sudah sering berhubungan dengan majalah Basis di Yogya, Budaya Jaya di Jakarta, dan menulis artikel semipolemik untuk majalah TEMPO. Ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez