Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Di perantauan mana pun, yang penting bagi seseorang ialah sopan, jujur, dan tahudiri. Itu kunci. Bagaimana menempatkan diri sebagai perantau! Siapa tuan rumah? Siapa pendatang? Jika itu dilakukan, saudara dan orang tua dengan mudah terjalin di mana saja.
Awalnya aku mengenal I Ketut Sunyahne, Balinese tulen yang tak begitu cakap berbahsa Indonesia, tapi dia malah mengerti kalau aku berbahasa Jawa kuno. Barulah aku yakin pada sejarah, bahwa ras penduduk Bali, bernenek moyang Jawa yang lari jaman Majapahit dulu.
Pak Ketut yang sudah keriput, menempati gubuk di pekarangan luas pinggiran kota, sebuah tempat sederhana, namun terawat rapih dan bersih. Di belakang gubuk ada empat petak kolam ikan, bunga warna-warni nan asri. Tiap singgah di tempat itu, aku merasakan suatu hal, bahwa bagi Pak Ketut, “hunianku adalah tempat rekreasiku.”
Zero bersama anak cucunya terkenal galak, kawanan anjing piaraan Pak Ketut yang kini berjumlah tujuh ekor. Pertama datang, sebelum kenal, anjing-anjing itu menyalak dengan sengitnya. Sehari-dua hari kemudian, anjing-anjing itu melunak. Pak Ketut selalu menyergak tiap anjingnya menyalak. Ia menjelaskan pada anjing-anjing itu kalau aku adalah temannya. Tentu saja aku mengerti bahasa anjing, sebab omongan Pak Ketut pada anjing itu memakai bahasa manusia. Sejak itulah anjing-anjing Pak Ketut menyetarakan aku dengan majikannya. Cuma bedanya, anjing-anjing itu tak pernah menjilat kakiku, sebab Pak Ketut pernah mengatakan kepada mereka kalau aku ini muslim.
Sejak itu aku memahami dunia anjing, bahwa sekali anjing mengenal seseorang, seumur hidup ia tak akan lupa, walau sepuluh tahun tidak bertemu, ingatannya masih tajam terhadap orang yang pernah dikenal.
Berbulan-bulan di tempat Pak Ketut, aku merasa ada yang aneh. Awalnya cuma setengah percaya, namun setelah memasuki bulan puasa, barulah aku yakin. Bulan di mana penduduk muslim Jawa mulai ramai genderang malam: tedur bajidor, sekawanan anak muda yang berkelonteng menabuh alat seadanya untuk membangunkan pepuasa menjalani makan sahur. “Dur, tek-tek blung. Dur,tek-tek blung. Sahur! Sahur!” Sambil berteriak.
Itu jika aku di Jawa. Tetapi di Bali, tidak mungkin ada kebiasaan ‘Tedur’, kecuali di kampung Jawa, hunian perantau yang rata-rata muslim.
Namun musik Tedur pernah dimainkan secara rancak oleh para muda Bali ketika memperingati Hari Sampah Sedunia. Dengan panggung mega, di pantai Kuta, musisi seniman Bali ini memerankan alat musik dari rongsokan: botol, kaleng, galon, kempyeng dll. Antusiasme penonton pun membludak. Ternyata hal yang sepeleh sekelas rongsokan, tak mengalahkan alat musik modern jika benar-benar diaransemen.
Ketika menjalankan ibadah puasa, hanya dua hal pokok yang menjadi perhatian penting, yaitu batas waktu sahur dan buka: imsyak dan tepat waktu magrib. Apalagi ketika matahari condong ke barat, bola merah tersebut seperti enggan tenggelam, terapung dan terserimpung pepohonan serta terganjal bebukitan. Lamban. Sementara dahaga dan lapar seharian, sudah tak sabar menunggu pesta pembebasan. Magrib seperti algojo. Keperkasaannya segera memenggal borgol rantai yang melilit sekujur badan. Atau seperti sipir tahanan yang membisikkan bahwa masa terkurung di bilik pengap jeruji besi sudah berakhir. Dan selanjutnya terdakwah dipersilahkan keluar menghirup udara bebas, melintasi alam luas.
Berpuasa di negeri rantau yang berpenduduk non- muslim, sedikit mengenaskan, sebab tidak terdengar suara adzan. Untuk memastikan bahwa magrib tiba, aku harus mondar-mandir menjenguk jam dinding. Mulanya aku mengira ada orang melintas atau tamu datang ke tempat kami. Sebab, setiap tepat detak jam magrib, bersama itu juga anjing piaraan Pak Ketut serempak menggonggong. Serempak. Selalu bersamaan dengan waktu magrib. Sehari-dua hari kuamati, ternyata anjing piaraan Pak Ketut tak hanya melolong waktu magrib saja, tetapi melolong serempak setiap waktu sholat tiba. Selalu. Tak luput sekali waktu pun, entah isyak, subuh, duhur asyar.
“Apa Pak Ketut mengerti keunikan anjing-anjing ini?”
“Tentu saja, saya kan pemiliknya!” Jawab Pak Ketut ringan. Sepertinya ia sudah menyiapkan bahwa suatu ketika pasti aku menanyakan keunikan ini.
“Apa bapak yang mengajari?”
“Tidak!”
Sejenak aku terdiam, menerka penjelasan Pak Ketut selanjutnya. Melihat ekspresi ringan yang tergurat pada wajah Pak Ketut, aku merasa ia menyimpan jawaban lengkap mengenai pertanyaanku. Bahkan, mungkin tidak sekali ini menjawab pertanyaan yang sama, dari orang sebelumku perihal anjing-anjing ini. Atau bisa jadi, pada orang-orang tertentu, Pak Ketut perlu menceritakan keunikan anjingnya.
“Saya pernah melihat dakwah Islam di televisi. Konon ada cerita anjing yang berbakti menemani pejuang dan tertidur di dalam goa hingga 300 tahun. Mungkin anjingku ini jelmaan anjing dalam goa tersebut.” Aku mengerti, bahwa yang dimaksut Pak Ketut adalah kisah ashabulkahfi.
Seketika ingatanku terlempar jauh ke beberapa bulan lalu, di mana ketika temanku si Budi mengajak berwisata ke kawasan hutan kera di Sangai. Sebuah hutan kecil yang dihuni ribuan kera. Kawasan yang sudah tidak aneh, sebab di Jawa, Kediri dan Gunung Kawi di Malang, juga ada hutan kecil, bahkan beberapa pohon rindang yang dihuni ribuan kera dalam satu komunitas bersama keturunannya.
Kami tertegun saat dihutan Sangai. Dua turis yang sedang bersamaku, satunya pengunjung lokal. Tiba-tiba seekor kera menyabet handycam turis bule dan dibawa ke atas pohon. Begitu juga seekor lagi menyahut dompet si turis lokal. Si kera yang membawa handycam segera mengembalikan ke pemiliknya dengan sopan, nyaris tanpa kerusakan. Tetapi na’as bagi turis lokal. Dompetnya diudal-udal, uang dan seluruh isinya ditebar-tebarkan. “Apa mungkin kera-kera ini kaum Yahudi yang dahulu dikutuk nabi Musa menjadi kera?” Benakku penasaran. Seolah ia mengerti bahwa bule Eropa adalah keturunan Yahudi, yang artinya sekaum. Hingga sedemikian hormatnya. Perjumpaan mereka di Sangai, di Asia, ibarat mengunjungi nenek moyangnya. Sedang kera bersikap acuh dengan dompet orang pribumi yang ia rasa uangnya diraup dengan cara tak jauh beda dengan profesonalisme dirinya: profesionalisme kera.
Suasana puasa jaman di kampung halaman, seringkali menjadi aliran deras yang menggerus keberadaan. Tadarus, tarawih, buka dan sahur bersama, aneka hidangan, kuat menyeret bayanganku ke masa lampau. Ada rindu yang teramat tebal, termasuk makanan khas masakan ibu, adonan khas rasa bawang, cabe, merica, kencur dll. Ketagihan teramat sangat. Ketagihan yang pernah dialami nabi Musa beserta kaumnya ketika merantau di lautan kutub. Saking ketagihannya, hingga kaum Musa menuntut setengah paksa, ”wahai Musa, jika kau benar-benar nabi, mintalah kepada Tuhanmu makanan cabe, bawang, merica.” Seperti diriku rasanya kaum Musa itu, yakni ketagihan masakan tanah kelahiran. Atau bahkan mungkin, Musa beserta kaumnya dahulu adalah tetanggaku, sebab di dataran Arab tidak mungkin ditemukan tanaman rempah. Dan tidak mungkin kaum di perantauan, rindu pada kampung halaman orang lain, kecuali kelahirannya.
***
“Ohm, santi, santi, santi. Ohm switsu, omi, kami. ” Terdengar lirih mimik bibir Pak Ketut tiap kali lantunkan do’a sembahyang. Air suci dipercikkan ke bumi bersama saputan sekuntum bunga. Selanjutnya telapak tangan menyabda alam agar berdamai, rajuk ketenangan yang dihembuskan dengan segenap hati dan kesadaran. Rutin, tiap pagi dan petang seraya berbusana adat khas Bali bersabuk selendang.
Demikian rupanya, tak ada sisi kehidupan yang dilepaskan dari campur tangan Tuhan, di mana manusia dengan alam bersahaja, mengabdi.
Pemandangan di sekitarku tiba-tiba berubah kabut tebal, putih dan dingin tertiup angin menerpa tubuhku. Seketika kulitku lembab, pucat memutih. Rasa anyap merasuk ke sumsum tulang, segeralah lumpuh dalam gigil sendiri. Betapa tidak! Di tanah rantau dengan mudah aku menyepelehkan sholat yang mulanya kuanggap wajar. Padahal, Pak Ketut yang usianya lanjut, tetap ajeg bermesrahan dengan Tuhan. Ternyata tidak cuma itu, pohon-pohon juga mengabdi dengan lancung jalarnya ke atas. Apalagi kawanan anjing piaraan Pak Ketut ini, hanyalah hewan, tetapi selalu mengumandangkan adzan tiap waktu. Hal yang sama juga aku saksikan di televisi, di mana jutaan burung di kutub pada musim tertentu berhamburan melintasi pulau-pulau dan benua. Mereka berhijrah mencari makanan, beralih ke tempat yang lebih menjanjikan. Ternyata alam adalah guru jika manusia jeli membacanya.
***
Setahun kemudian, dibangun masjid besar berjarak tujuh kilometer dari tempat Pak Ketut, masjid megah yang berartistik ukiran still Bali. Empat corongnya pun bergemontang ke empat penjuru mata angin. Sayup-sayup suara adzan dari masjid, selalu berselang beberapa detik setelah anjing piaraan Pak Ketut melolong serempak. Selalu.
*) Penulis lahir di Jombang 24 Maret 1975. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Team pengelola: sastra-indonesia.com, forumsastrajombang.blogspot.com
http://sastra-indonesia.com/
Di perantauan mana pun, yang penting bagi seseorang ialah sopan, jujur, dan tahudiri. Itu kunci. Bagaimana menempatkan diri sebagai perantau! Siapa tuan rumah? Siapa pendatang? Jika itu dilakukan, saudara dan orang tua dengan mudah terjalin di mana saja.
Awalnya aku mengenal I Ketut Sunyahne, Balinese tulen yang tak begitu cakap berbahsa Indonesia, tapi dia malah mengerti kalau aku berbahasa Jawa kuno. Barulah aku yakin pada sejarah, bahwa ras penduduk Bali, bernenek moyang Jawa yang lari jaman Majapahit dulu.
Pak Ketut yang sudah keriput, menempati gubuk di pekarangan luas pinggiran kota, sebuah tempat sederhana, namun terawat rapih dan bersih. Di belakang gubuk ada empat petak kolam ikan, bunga warna-warni nan asri. Tiap singgah di tempat itu, aku merasakan suatu hal, bahwa bagi Pak Ketut, “hunianku adalah tempat rekreasiku.”
Zero bersama anak cucunya terkenal galak, kawanan anjing piaraan Pak Ketut yang kini berjumlah tujuh ekor. Pertama datang, sebelum kenal, anjing-anjing itu menyalak dengan sengitnya. Sehari-dua hari kemudian, anjing-anjing itu melunak. Pak Ketut selalu menyergak tiap anjingnya menyalak. Ia menjelaskan pada anjing-anjing itu kalau aku adalah temannya. Tentu saja aku mengerti bahasa anjing, sebab omongan Pak Ketut pada anjing itu memakai bahasa manusia. Sejak itulah anjing-anjing Pak Ketut menyetarakan aku dengan majikannya. Cuma bedanya, anjing-anjing itu tak pernah menjilat kakiku, sebab Pak Ketut pernah mengatakan kepada mereka kalau aku ini muslim.
Sejak itu aku memahami dunia anjing, bahwa sekali anjing mengenal seseorang, seumur hidup ia tak akan lupa, walau sepuluh tahun tidak bertemu, ingatannya masih tajam terhadap orang yang pernah dikenal.
Berbulan-bulan di tempat Pak Ketut, aku merasa ada yang aneh. Awalnya cuma setengah percaya, namun setelah memasuki bulan puasa, barulah aku yakin. Bulan di mana penduduk muslim Jawa mulai ramai genderang malam: tedur bajidor, sekawanan anak muda yang berkelonteng menabuh alat seadanya untuk membangunkan pepuasa menjalani makan sahur. “Dur, tek-tek blung. Dur,tek-tek blung. Sahur! Sahur!” Sambil berteriak.
Itu jika aku di Jawa. Tetapi di Bali, tidak mungkin ada kebiasaan ‘Tedur’, kecuali di kampung Jawa, hunian perantau yang rata-rata muslim.
Namun musik Tedur pernah dimainkan secara rancak oleh para muda Bali ketika memperingati Hari Sampah Sedunia. Dengan panggung mega, di pantai Kuta, musisi seniman Bali ini memerankan alat musik dari rongsokan: botol, kaleng, galon, kempyeng dll. Antusiasme penonton pun membludak. Ternyata hal yang sepeleh sekelas rongsokan, tak mengalahkan alat musik modern jika benar-benar diaransemen.
Ketika menjalankan ibadah puasa, hanya dua hal pokok yang menjadi perhatian penting, yaitu batas waktu sahur dan buka: imsyak dan tepat waktu magrib. Apalagi ketika matahari condong ke barat, bola merah tersebut seperti enggan tenggelam, terapung dan terserimpung pepohonan serta terganjal bebukitan. Lamban. Sementara dahaga dan lapar seharian, sudah tak sabar menunggu pesta pembebasan. Magrib seperti algojo. Keperkasaannya segera memenggal borgol rantai yang melilit sekujur badan. Atau seperti sipir tahanan yang membisikkan bahwa masa terkurung di bilik pengap jeruji besi sudah berakhir. Dan selanjutnya terdakwah dipersilahkan keluar menghirup udara bebas, melintasi alam luas.
Berpuasa di negeri rantau yang berpenduduk non- muslim, sedikit mengenaskan, sebab tidak terdengar suara adzan. Untuk memastikan bahwa magrib tiba, aku harus mondar-mandir menjenguk jam dinding. Mulanya aku mengira ada orang melintas atau tamu datang ke tempat kami. Sebab, setiap tepat detak jam magrib, bersama itu juga anjing piaraan Pak Ketut serempak menggonggong. Serempak. Selalu bersamaan dengan waktu magrib. Sehari-dua hari kuamati, ternyata anjing piaraan Pak Ketut tak hanya melolong waktu magrib saja, tetapi melolong serempak setiap waktu sholat tiba. Selalu. Tak luput sekali waktu pun, entah isyak, subuh, duhur asyar.
“Apa Pak Ketut mengerti keunikan anjing-anjing ini?”
“Tentu saja, saya kan pemiliknya!” Jawab Pak Ketut ringan. Sepertinya ia sudah menyiapkan bahwa suatu ketika pasti aku menanyakan keunikan ini.
“Apa bapak yang mengajari?”
“Tidak!”
Sejenak aku terdiam, menerka penjelasan Pak Ketut selanjutnya. Melihat ekspresi ringan yang tergurat pada wajah Pak Ketut, aku merasa ia menyimpan jawaban lengkap mengenai pertanyaanku. Bahkan, mungkin tidak sekali ini menjawab pertanyaan yang sama, dari orang sebelumku perihal anjing-anjing ini. Atau bisa jadi, pada orang-orang tertentu, Pak Ketut perlu menceritakan keunikan anjingnya.
“Saya pernah melihat dakwah Islam di televisi. Konon ada cerita anjing yang berbakti menemani pejuang dan tertidur di dalam goa hingga 300 tahun. Mungkin anjingku ini jelmaan anjing dalam goa tersebut.” Aku mengerti, bahwa yang dimaksut Pak Ketut adalah kisah ashabulkahfi.
Seketika ingatanku terlempar jauh ke beberapa bulan lalu, di mana ketika temanku si Budi mengajak berwisata ke kawasan hutan kera di Sangai. Sebuah hutan kecil yang dihuni ribuan kera. Kawasan yang sudah tidak aneh, sebab di Jawa, Kediri dan Gunung Kawi di Malang, juga ada hutan kecil, bahkan beberapa pohon rindang yang dihuni ribuan kera dalam satu komunitas bersama keturunannya.
Kami tertegun saat dihutan Sangai. Dua turis yang sedang bersamaku, satunya pengunjung lokal. Tiba-tiba seekor kera menyabet handycam turis bule dan dibawa ke atas pohon. Begitu juga seekor lagi menyahut dompet si turis lokal. Si kera yang membawa handycam segera mengembalikan ke pemiliknya dengan sopan, nyaris tanpa kerusakan. Tetapi na’as bagi turis lokal. Dompetnya diudal-udal, uang dan seluruh isinya ditebar-tebarkan. “Apa mungkin kera-kera ini kaum Yahudi yang dahulu dikutuk nabi Musa menjadi kera?” Benakku penasaran. Seolah ia mengerti bahwa bule Eropa adalah keturunan Yahudi, yang artinya sekaum. Hingga sedemikian hormatnya. Perjumpaan mereka di Sangai, di Asia, ibarat mengunjungi nenek moyangnya. Sedang kera bersikap acuh dengan dompet orang pribumi yang ia rasa uangnya diraup dengan cara tak jauh beda dengan profesonalisme dirinya: profesionalisme kera.
Suasana puasa jaman di kampung halaman, seringkali menjadi aliran deras yang menggerus keberadaan. Tadarus, tarawih, buka dan sahur bersama, aneka hidangan, kuat menyeret bayanganku ke masa lampau. Ada rindu yang teramat tebal, termasuk makanan khas masakan ibu, adonan khas rasa bawang, cabe, merica, kencur dll. Ketagihan teramat sangat. Ketagihan yang pernah dialami nabi Musa beserta kaumnya ketika merantau di lautan kutub. Saking ketagihannya, hingga kaum Musa menuntut setengah paksa, ”wahai Musa, jika kau benar-benar nabi, mintalah kepada Tuhanmu makanan cabe, bawang, merica.” Seperti diriku rasanya kaum Musa itu, yakni ketagihan masakan tanah kelahiran. Atau bahkan mungkin, Musa beserta kaumnya dahulu adalah tetanggaku, sebab di dataran Arab tidak mungkin ditemukan tanaman rempah. Dan tidak mungkin kaum di perantauan, rindu pada kampung halaman orang lain, kecuali kelahirannya.
***
“Ohm, santi, santi, santi. Ohm switsu, omi, kami. ” Terdengar lirih mimik bibir Pak Ketut tiap kali lantunkan do’a sembahyang. Air suci dipercikkan ke bumi bersama saputan sekuntum bunga. Selanjutnya telapak tangan menyabda alam agar berdamai, rajuk ketenangan yang dihembuskan dengan segenap hati dan kesadaran. Rutin, tiap pagi dan petang seraya berbusana adat khas Bali bersabuk selendang.
Demikian rupanya, tak ada sisi kehidupan yang dilepaskan dari campur tangan Tuhan, di mana manusia dengan alam bersahaja, mengabdi.
Pemandangan di sekitarku tiba-tiba berubah kabut tebal, putih dan dingin tertiup angin menerpa tubuhku. Seketika kulitku lembab, pucat memutih. Rasa anyap merasuk ke sumsum tulang, segeralah lumpuh dalam gigil sendiri. Betapa tidak! Di tanah rantau dengan mudah aku menyepelehkan sholat yang mulanya kuanggap wajar. Padahal, Pak Ketut yang usianya lanjut, tetap ajeg bermesrahan dengan Tuhan. Ternyata tidak cuma itu, pohon-pohon juga mengabdi dengan lancung jalarnya ke atas. Apalagi kawanan anjing piaraan Pak Ketut ini, hanyalah hewan, tetapi selalu mengumandangkan adzan tiap waktu. Hal yang sama juga aku saksikan di televisi, di mana jutaan burung di kutub pada musim tertentu berhamburan melintasi pulau-pulau dan benua. Mereka berhijrah mencari makanan, beralih ke tempat yang lebih menjanjikan. Ternyata alam adalah guru jika manusia jeli membacanya.
***
Setahun kemudian, dibangun masjid besar berjarak tujuh kilometer dari tempat Pak Ketut, masjid megah yang berartistik ukiran still Bali. Empat corongnya pun bergemontang ke empat penjuru mata angin. Sayup-sayup suara adzan dari masjid, selalu berselang beberapa detik setelah anjing piaraan Pak Ketut melolong serempak. Selalu.
*) Penulis lahir di Jombang 24 Maret 1975. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Team pengelola: sastra-indonesia.com, forumsastrajombang.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar