Rabu, 21 September 2011

CAHAYA DI UFUK KEJUANGAN

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Sebelum mengakhiri buku pengembaraan panjangnya di Bali, K’tut Tantri dalam “Revolt in Paradise” (Revolusi di Nusa Damai) menulis sebagai berikut : “Di atas kota, bintang-bintang memancarkan cahayanya yang gemerlapan, dan aku teringat akan sebuah kisah di masa bocah, yang mengatakan : Mereka yang ingin memperoleh ketenangan, haruslah berani meninggalkan kesenangan dan harta dunia, dan pergi berkelana mencari tempat bintang suci.

Kalau pencarian itu berakhir, maka bintang suci itu akan muncul dengan sendirinya di atas kepala. Tetapi yang dapat melihatnya hanyalah mereka yang telah banyak merelakan pengorbanan. Aku telah mengunjungi berbagai negeri untuk mencari bintang suci itu, tetapi tak pernah menemukannya. Bintang-bintang di atas kota New York bersinar dengan sejuk dan tenang. Adakah diantaranya terdapat bintang suci itu? Dan apakah dia akan muncul dengan sendirinya di hadapan mataku? Aku menyelidikinya dengan penuh harapan..”

2.
Cahaya berbinar mengikuti ufuk-induknya. Jikalau manusia mengejar seberkas sinar, dan bukan sekedar bayang-bayang di kesemestaan, sepatutnya dia mengejar juga nilai yang diwedarkan oleh sendratari agung semesta nan rampa-rancak itu. Kita misalnya memulai sebuah episode kehidupan dengan lantunan nurani sendiri—karena memang begitulah fitrahnya. Kesejatian pribadi, ibarat tembang yang bergema di angkasa, mengatasi warna-warna yang berpencaran. Dan di kala kita berusaha untuk merekamnya dalam indera kita yang terbaik, kita sudah mulai dengan langkah lugas. Cahaya bintang yang berada di atas diadem yang terbuat dari logam dan batu mulia, mungkin hanya terjadi, lantaran ada diejawantahkan oleh pengorbanan diri kita sendiri. Kehidupan terasa utuh, karena kita mau “basah kuyup” dan “jungkir balik” untuk menyelamatkan oranglain yang terinjak atau tersungkur.

3.
Kehidupan tak bisa ditakik-takik seperti perca atau karet cair. Namun demikian, manakala kita mengambil pelbagai perumpamaan seputar hidup, maka pertama-tama yang nampak adalah sebagai berikut : pertama, adakah manusia mengenal bentuk kesenggangan yang lain artinya daripada santai biasa, yang antara niat untuk menikmati saat-saat kosong itu bukan untuk sebuah hajat badaniah, melainkan sesuatu yang bermakna bakti. Kedua, tatkala seorang manusia menciptakan andalan-andalan dalam upaya mencapai prestasi gemilang, dia justru membentuk impian khusus yang bersifat dedikatif, bukan ambisi-ambisi kosong. Ketiga, kita memiliki “diri kita sendiri”, sebagai keabsahan nan tak tak terganggu oleh sifat-sifat sementara yang naïf. Manakala pembicaraan tentang martabat ini menjadi serangkum kepribadian, maka kitapun bisa mengaitkannya dengan krida yang lebih langgeng, lebih berkualitas.

4.
Kenalkah pada seseorang seperti Mahatma Gandhi dan Sri Ramakhrisna Paramahamsa yang pernah mewarnai alam pikiran India selama setengah abad berselang, dan membuat tiap mata menatap benua tersebut dengan rasa kagum bercampur khidmat? Pada Gandhi, kita melihagt bagaimana wajah politik sebagai kancah-juang dikawinkan dengan manis pada “olah brata” yang kita kenal di sini sebagai lampah kebatinan ini. Kombinasi yang tepat antara kedua unsur itu ternyata membuahkan kelompok-kelompok pendukung yang merasakan, bahwa Gandhi bukan hanya seorang yang memiliki sikap akurat, melainkan juga seorang yang lugas. Artinya, jikalau dia mencintai manusia, maka sebagai konsekuensi logisnya kudu membenci kebatilan-kedurjanaan, yang merupakan musuh kemanusiaan nomor wahid. Sedangkan pada Sri Ramakhrisna, kita temukan alam pertapaan India—seperti halnya dunia Timur pada zaman penuh kegelisahan—di mana tokoh ini memisahkan pemikiran pandangan, bagaimana kita perlu mempersembahkan kehidupan sama sekali pada Yang Maha Pengasih, tanpa alas pijak politik manapun, kecuali rasa agamawi nan terlembut. Cara begini, boleh jadi cocok dengan abad ke-19 yang lebih meminta kepasrahan sebagai totalitas, tanpa laternatif apapun. Sedangkan Gandhi, kreasi politiknya mengantar manusia pada perjuangan kongkrit, dengan mempergunakan senjata-senjata modern yang dimungkinkan, bahkan kalau perlu dengan kompromi pada system penjajahan. Tetapi, wujud juang Gandhi juga sudah kedaluwarsa.bkarena kita yang berada di abad ini, rupanya lebih suka mengorbankan hal-hal prinsipil, apalagi kemudahan dan kemungkinan hidup yang mengacu pada comforbalitydan enjoyment jadi lidah nan menderi-deru.

5.
Perjalanan gelombang tekad para Pandawa sendiri, tatkala memperebutkan Indra prastha dengan pihak Kurawa, bukan hanya lewat potensi pengerahan sesuatu nan putih belaka, kita lihat bagaimana diperlukan juga strategi juang yang meminta ketangguhan, sikap bijak, dan terkadang disertai sedikit agak keras. Dengan langkah seperti ini diinginkan agar masyarakat menjadi sesuatu yang komplit. Masalahnya, apakah kita perlu menggugat (kalau ada, dan perlu digugat : lembaga yang memiliki wibawa, ataukah sebuah guyub biasa?). atau, kudu menembus kebekuan-kebekuan yang dianggpa jadi perinta ng (kalau pikiran orang sudah sampai pada kegersangan yang membuat kita memandang oranglai sebagai lawan)—dan justru karena itu, tendensi kepahlawanan menjadi teramat lengkap, bahkan menguyupkan diri sendiri.

6.
Sarana yang dikehendaki oleh Abad Pemikiran Sekarang, lebih ditekankan pada sesuatu yang nampak, tergeyong-geyong, kendatipun banyak di antaranya adalah justru batu sanding bagi hidup yang tentram. Salah satu faktor penyebab, kenapa manusia mengalami goncangan, keretakan, dan kebimbangan yang berlebih-lebihan, adalah ini : tiadanya lagi rasa kepemimpinan murni. Boleh jadi, ungkapan begini tak enak untuk didengar. Namun demikian, saya pikir, tiap kelompok yang hadir di tengah gumelarnya kebudayaan, niscaya kepingin menam,pilkan sang pemimpin(dengan kadar yang paling positif menurut wawasan kelompok). Sampai-sampai ada yang dicetuskan sekolah bagi calon pemimpin bangsa (yang sebenarnya susah dirumuskan, apakah hal begini sifatnya yang luar biasa!). tatkala kita mendengar bahwa saran-saran yang tertuju kepada pembangunan watak angkatan muda, harus lebih banyak mendengarkan uluran tangan angkatan tua, terasa sedikit ganjalan (karena angkatan muda lantas hanyasebagai epigon yang tanpa inisiatif dan idealism sendiri)—dan dengan cara ini, kita merasa, betapa impian wangi yang musti diimpikan, juga impian wangi seluruh generasi.

7.
Bincang-bincang tentang mencapai harmoni, adalah ibaratnya bincang-bincang tentang keindahan rembulan di langit, sementara para bocah dolan yang dolanan di pelataran itu hanya menciptakan beberapa gambaran ideal tentang langit, makhluk langit, suasana langit, dan bukan tentang bagaimana menurunkan butir-butir bintang itu ke bumi, supaya hangatnya kulit meteor ruang angkasa itu dapat pula dirasakan oleh warga dunia yang banyak ingin tahu ini. Bincang-bincang tentang mencapai kebahagiaan yang selaras dengan alam yang “lebih tua”, agaknya tidak terbatas kepada siapa pemeluknya, siapa pencetusnya, siapa penggugah senandungnya. Masyarakat adalah produk dari sebuah kurun sejarah yang panjang, di mana di dalamnya terkandung berbagai sentra ketegaran peradaban. Masyarakat adalah sebuah hamparan amat kompleks, di mana satu sama lain anggotanya mencari kesetimbangan dalam geraknya (dan karena itu, rujukan yang tepat senantiasa dicari sepanjang masa)—dan dalam tilikan demikian, tidak dipersoalkan benar-salahnya. Adalah wajar, bahwasanya kembang dari hayat ini adalah tokoh yang mengabstrakkan kuntum falsafah melalui medium-medium yang diyakini. Walaupun beberapa di antaranya seperti pletik-pletik lintang terakhir di kumparan galaxy yang semayup pada nilakandi terjauh!

8.
Primanya kekuatan setiap bangsa adalah bagaimana dia ditelentang-telengkupkan menurut sendi-dasarnya sendiri. Mungkin juga, dalam istilah ini : menurut nada dan Pathet yang dimiliki oleh tiap metrum. Setiap budayawan, yang bukan hanya sibuk menuju bukit pertapaan, melainkan juga sibuk membangun kanal, bendungan, jembatan dan bengkel kerja bagi anak rakyat, barangkali lebih tepat dikatakan bukan hanya sibuk menjual asset bumi warisan ini sebagai atraksi bagi mata dan telinga orang luar, tetapi ikut ngopeni, nyengkuyung, mengayomi dan membela mati-matian khasanah kultural yang diemban negrinya ini, agar lebih awet-sejahtera. Kalau itu yang jadi soal, maka kita bisa dengan sadar mengatakan, bahwa ada saatnya sosok Gandhi yang realistis-fanatik bertemu dengan sosok Sri Ramakhrisna yang altrustik-religius dapat mengembalikan teduhnya suasana pagi-baru, walau tanpa rasa teduh yag panjang.

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez