Rabu, 02 Maret 2011

D. Zawawi Imron, Dari Madura Menemukan Indonesia

Ilham Khoiri
oase.kompas.com
 
D. Zawawi Imron, penyair asal Madura, Jawa Timur, itu sudah lama mengembangkan puisi modern yang bertolak dari khazanah budaya tradisional Pulau Garam itu. Tak hanya memperkaya ekspresi seni sastra modern Indonesia, karya-karyanya yang memuliakan kemanusiaan juga diapresiasi dunia internasional.
 
Dengan menyelami budaya Madura, saya justru menemukan wajah Indonesia. Bagi saya, Madura itu bukan satu nama pulau, tetapi semangat yang membebaskan saya untuk melihat dunia secara lebih luas,” katanya saat ngobrol di Taman Ismail Marzuki (TIM), akhir Januari.
 
Bagaimana Madura mengantarnya pada kesadaran akan Indonesia? Jawabnya merujuk pada proses kreatifnya yang panjang dalam menggeluti dunia sastra.
 
Lahir di Batang-Batang Laok, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura, sejak kecil Zawawi menyerap alam dan khazanah budaya pulau itu. Saat remaja, dia dibesarkan bersama lagu dolanan (mainan) anak-anak, lagu para nelayan dan petani, karapan sapi, dan musik tradisional. Itu menanamkan kesan mendalam.
 
Pengalaman bersastra lebih konkret dicecapnya saat nyantri di Pondok Pesantren Lambi Cabboi di Sumenep. Kebetulan, sembari mengaji kitab-kitab kuning, para santri banyak menulis puisi-puisi berbahasa Madura. Zawawi muda pun mulai akrab dengan sajak-sajak lokal itu.
 
Selepas dari pesantren, dia banyak membaca puisi-puisi dari para penyair Indonesia tahun 1960-an, seperti WS Rendra atau Ajip Rosidi. Diam-diam dia mulai menulis puisinya sendiri dalam bahasa Indonesia. ”Awalnya ngawur-ngawuran. Bentuknya seenaknya saja,” katanya.
 
Kian lama, Zawawi kian serius mengasah kemampuannya membuat puisi. Dia terus menulis karena itu memberinya sarana untuk mengekspresikan isi batin. ”Puisi itu kejujuran nurani dan estetik,” katanya.
 
Tanpa disadari, puisi-puisi itu diwarnai sentuhan budaya lokal yang digumulinya sejak kecil. Lagu dolanan anak, syair nelayan, lagu petani, pantun, musik karapan sapi, atau seni tradisional lain merasuk dalam bait-bait puisinya. Entah itu sebagai imajinasi, irama, pilihan kata, metafora, atau unsur lain.
 
Simak saja lagu-lagu dolanan (mainan) anak-anak yang tumbuh di Madura ini: Ghai bintang gaggar bulan/ Paghai’na jhanor kuneng/ Kak’ elang sajan jhau/ pajhauna gan lon alon (Menjolok bintang, yang jatuh bulan/ penjoloknya janur kuning/ kakak hilang makin jauh/ jauh (dijumpa) di alun-alun).
 
”Bagi saya, lagu itu sangat surealistik. Ada imajinasi yang meloncat-loncat dari jauh ke dekat. Itu memengaruhi corak puisi saya sejak tahun 1980-an, seperti puisi ’Bulan Tertusuk Ilalang’,” katanya.
 
Zawawi bercerita, puisi yang kemudian diangkat menjadi film oleh sutradara Garin Nugroho itu lahir dari proses unik. Pada suatu dini hari, dia berdiri di tengah alam. Menjelang pagi, bulan yang terbenam di horizon tampak seperti tertusuk ilalang. Dia pun segera menangkap momen itu sebagai bahasa puisinya.
 
Contoh lain, tradisi karapan sapi. Balapan sapi itu biasanya diiringi saronan (tiupan serunai) yang cenderung berulang, ritmis, sekaligus melayang-layang. Irama ini serupa benar dengan zikir yang mentradisi di pesantren. Dua budaya itu juga ikut meresap dalam irama puisinya.
 
Untuk soal metafor, Zawawi juga banyak membangunnya dari khazanah paparegen (pantun) dan lagu Madura yang sangat luwes, bebas, bahkan misterius. Di pulau itu, ada ungkapan terkenal, yaitu abhental omba’ asapo angen/ alako berra’ apello koneng (berbantal ombak, berselimut angin/ bekerja berat, berkeringat kuning). Ungkapan itu kemudian memberi inspirasi bagi lahirnya puisi ”Bantalku Ombak Selimutku Angin”.
 
Celurit
 
Zawawi juga mengambil idiom lokal dengan tafsir baru. Celurit, alat pertanian yang kadang identik sebagai senjata tajam, justru dimanfaatkan untuk membangun idiom yang sama sekali tak terkait dengan citra kekerasan. Dia buat puisi ”Celurit Emas”, yang kemudian melambungkan namanya sebagai ”Si Celurit Emas”.
 
Puisi itu lahir tahun 1980-an ketika pemerintah mau melancarkan operasi memberangus celurit di Madura karena kerap dikaitkan dengan kekerasan. Zawawi gelisah. ”Kenapa begitu? Kekerasan itu lahir dari celurit atau manusianya?”
 
Dia lantas memperoleh gagasan untuk membuat celurit yang lain. Celurit yang diasah dengan lembaran-lembaran kitab suci, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Celurit yang berpegang pada nilai-nilai perdamaian, kebenaran, dan kebudayaan. Itulah ”Celurit Emas”.
 
Puisi-puisi Zawawi yang berhasil mengembangkan kekayaan lokal Madura dianggap memperkaya praktik seni sastra modern di Indonesia. Sejumlah penghargaan pun diraihnya, seperti penghargaan Balai Pustaka untuk buku puisi Celurit Emas (1986), Yayasan Buku Utama Departemen P & K untuk buku puisi Nenek Moyangku Airmata (1985), dan Sastra Majlis Sastra Asia Tenggara dari Kerajaan Malaysia untuk puisi Kelenjar Laut.
 
Apa arti Madura bagi Anda?
 
Madura itu detak jantung dan irama hidup saya. Saya lahir di Madura. Meminum airnya menjadi darah saya. Makan beras dan jagungnya menjadi daging. Menghirup udaranya menjadi napas. Buminya menjadi sajadah dan kalau nanti mati, saya akan dikubur di sana.
 
Tapi, saya inginkan Madura yang tidak membelenggu dan membuat saya terjebak dalam primordialisme. Madura yang membebaskan saya. Saya bisa ke mana-mana untuk menjadi Indonesia.
 
Bagaimana Anda menjadi Indonesia?
 
Setelah saya cek, sebenarnya asal usul saya itu campuran. Nenek moyang saya konon dari Kudus, Jawa Tengah. Waktu di pesantren, kitab kuning berbahasa Arab itu diterjemahkan dengan bahasa Jawa.
 
Saya juga punya darah China. Nenek saya yang kelima itu Tionghoa yang dipanggil ”Kaeng”. Teman-teman saya juga memanggil saya ”Engkong”. Itu panggilan khas China.
 
Saya juga banyak bepergian ke daerah lain di Nusantara. Saya pernah ke Makassar, Sulawesi Selatan, di mana saya menemukan abhental omba’ asapo angen yang lain. Saya juga menikmati lagu atau puisi lama Bugis, bahkan nama-nama di sana terdengar puitis. Ada Sungai Walannai, Gunung Rante Kohpala, atau nama orang seumpama Lantodaeng Basewan. Bugis seperti Tanah Air yang lain bagi saya.
 
Sekarang, kesadaran saya tidak lagi berpusat pada Madura, melainkan berkembang menjadi Indonesia. Saya lahir di Indonesia. Meminum airnya menjadi darah. Makan beras dan buah- buahannya menjadi daging saya. Menghirup udaranya menjadi napas. Saya berpijak pada buminya menjadi sajadah. Bila dipanggil Tuhan, saya mungkin juga akan dikubur di Indonesia.
 
Spirit pesantren
 
Selain identik dengan Madura, Zawawi juga mewakili penyair yang lahir dari pesantren. Dia pernah belajar di pesantren dan kini juga menjadi pengasuh beberapa pesantren di Madura. Lingkungan ini memberi pengaruh besar pada proses kreatifnya.
 
Bagi seniman ini, salah satu kekuatan pesantren adalah keluwesannya dalam menerima budaya luar. Para wali penyebar Islam yang banyak mendirikan pesantren juga mengadaptasi seni lokal untuk mengembangkan dakwah lewat jalur seni yang damai dan indah.
 
Beberapa wali menciptakan tembang-tembang Jawa. Nama Sunan Bonang, misalnya, diambil dari alat musik gamelan, ”bonang”. Para santri melantunkan sifat-sifat Tuhan dalam tembang yang disebut nadzam. Karakter ini juga banyak terserap dalam puisi-puisi Zawawi. Salah satunya, puisi Alif yang mengulang- ulang kata alif seperti zikir.
 
Spirit apa yang Anda ambil dari para wali?
 
Saya berpegang pada nasihat, konon dari Sunan Kalijaga. Katanya: katentremaning bathin gumantung rasa panarima. Sing bejo bisa rumongso. Ojo rumongso biso. Banda kuwi titipan, deni pangkat mung sampiran… Narimo ing pandum, titipane Ilahi (Ketenteraman jiwa bergantung pada rasa menerima. Orang yang beruntung adalah yang bisa merasa. Jangan merasa bisa. Harta itu titipan, sedangkan pangkat hanya sampiran…. Terima pada pembagian, titipan dari Tuhan).
 
Dengan menjadi orang yang bisa merasa, kita akan menyadari bahwa kita ini makhluk sosial. Kita tidak bisa lepas dari peran orang lain karena banyak kebutuhan yang dipenuhi orang lain, seperti komputer, celana, atau alat lain. Meski saya tinggal di Madura, saya menyadari untuk berterima kasih pada seluruh bumi Indonesia.
 
Ini selaras dengan spirit Islam yang bersifat rahmatan lil’alamin. Keislaman saya mesti memberi manfaat bagi manusia lain.
 
Apakah puisi-puisi Anda juga bisa memberi manfaat bagi orang lain?
 
Saya hanya bisa berharap semoga puisi saya masih berguna bagi orang lain. Masih ada orang-orang yang mengundang saya untuk membaca puisi atau berceramah. Paling tidak, lewat puisi saya bisa punya banyak teman dan saudara. (Editor: Jodhi Yudono)
 
***
http://sastra-indonesia.com/2011/02/d-zawawi-imron-dari-madura-menemukan-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez