Dwi Pranoto **
“Ayat suci dapat menjadi berhala tatkala ayat suci digunakan sarana memuja diri sendiri, menindas, dan merusak kehidupan”. (Taufiq Wr. Hidayat, “Berhala”, Kitab Iblis).
Manusia dan kemanusiaan adalah dua hal yang berbeda. Paling tidak ada dua akar kata untuk istilah “manusia”; latin “mens” dan Sansekerta “manu”. Kedua akar kata dari istilah ‘manusia’ itu mempunyai arti yang sama, merupakan elemen dari orang yang memampukannya menyadari dunia dan pengalamannya, merasakan dan berpikir. Dalam mitologi Romawi “mens” juga dikenal sebagai “Bona Mens” yang mempunyai pikiran lurus, bajik. Sedangan Tacitus dalam karya sejarah dan etnografis Jerman, On the Origin and Situation of Germans (98 M), “Mannus” adalah nama ilahiah yang menjadi nenek moyang ras manusia (tiga suku utama Jerman) – bandingkan dengan sosok “Manu” dalam mitologi purana Hindu. Sebenarnya akan masih melimpah lagi literatur-literatur kuno yang dapat dispekulasikan menjadi akar kata “manusia”, namun demikian hampir seluruhnya, jika bukan total seluruhnya, menunjuk pada kualitas kebajikan. Di samping sebagai kualitas-kualitas, kata benda asbtrak yang tidak dapat diindera, “manusia” sekaligus juga kata benda konkret yang dapat diindera, fisik. Manusia adalah juga tubuh, daging, di mana hasrat-hasrat dan kebutuhan-kebutuhan tumbuh di dalamnya. Pada sisi lain, Kemanusiaan adalah representasi dari kualitas-kualitas terbaik dari manusia, suatu perangkat norma di mana manusia diharapkan dapat menyandarkan sikap dan perilakunya. Dengan demikian kemanusiaan adalah eksternalisasi kualitas-kualitas terbaik dalam diri manusia.
Sebagai makhluk fana yang mempunyai beragam kebutuhan, manusia memerlukan manusia lain dan alam untuk membantu memenuhi keutuhannya tersebut. Karenanya manusia selalu hidup dalam ruang dan waktu tertentu (terbatas) yang di dalamnya manusia menjalin hubungan timbal-balik dengan manusia lain dan lingkungan alam. Dengan kata lain, manusia hidup dalam ruang dan waktu tertentu yang di dalamnya manusia menjalin hubungan timbal-balik dengan kebutuhan-kebutuhan manusia lain dan kebutuhan-kebutuhan lingkungan alamnya. Guna menjaga keselarasan hubungan, manusia membutuhkan perangkat norma dan nilai sosial untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan dengan lingkungan alamnya. Norma dan nilai sosial tersebut tak lain adalah refleksi dari Kemanusiaan manusia. Norma dan nilai sosial bukan Kemanusiaan, tapi refleksi dari Kemanusiaan. Jika kita anggap Kemanusiaan adalah universal, maka norma sosial adalah partikular. Norma dan nilai sosial terikat pada ruang dan waktu tertentu di mana manusia wadag/fisik yang mempunyai kekuatan/kekuasaan yang berbeda-beda menyelenggarakan hubungan-hubungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannyan. Oleh karenanya norma dan nilai sosial tidak hanya merefleksikan Kemanusiaan, tapi sekaligus merefleksikan perbedaan-perbedaan kekuataan/kekuasaan manusia yang menjadi sumber dari struktur sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
Kesenjangan antara Kemanusiaan dengan refleksinya, yakni norma dan nilai sosial, dalam salah satu judul pada Kitab Setan, “Sunyi Bunyi, Kata” mungkin, dengan derajat yang berbeda, dapat diparalelkan dengan apa yang disebut sebagai “kalamullah” dengan “kitabullah”. “Kalamullah” adalah yang tak terjamah makhluk, universal, sedangankan “kitabullah” adalah buah tafsir yang berada dalam sejarah dan kebudayaan manusia, partikular.
Kitab Iblis, melalui cerita-cerita, terutama, yang dikisahkan dalam karya sastra, film, syair lagu, teks sejarah, dan pengalaman pribadi menjadi pintu masuk untuk melakukan permenungan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Walaupun dalam hal judul, barangkali, lebih dekat dengan Kitab Setan, nama lain dari sebuah manuskrip raksasa abad 13 yang ditemukan di Bohemia – sekarang Rep, Ceko – Codex Gigas, namun Kitab Iblis lebih mengingatkan pada novel karya Salman Rushdie paling kontrovesial, Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Dibuka dengan menceritakan kembali kisah jenaka yang ditulis oleh sastrawan Mesir, Taufiq el-Hakim, tentang iblis yang hendak bertobat, tulisan-tulisan upaya dalam Kitab Iblis bergelut dengan masalah-masalah manusia melalui dialog polemis intertekstualitas yang eksplisit antara karya-karya seni naratif dengan norma dan nilai sosial yang bersumber dari (teks-teks) agama. Tulisan-tulisan upaya Taufiq Wr. Hidayat menggedor narasi-narasi kegamaan yang melandasi norma dan nilai yang melandasi perilaku dan asumsi sosio-kultural manusia.
Dalam salah satu esai yang dimuat dalam Sejumlah Esei Sastra, “Moral dalam Sastra”, Budi Darma (1984) menulis demikian: “ . . . sastra, filsafat dan agama dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa ‘humanitat’, yaitu jiwa yang halus, manusiawi dan berbudaya”. Namun demikian, tugas moral agama dan sastra secara praktik berbeda. Secara tersirat Budi Darma menyatakan bahwa teks agama dalam menjalankan tugas menegakkan moral adalah menyeru pada apa yang secara moral seharusnya terjadi, sementara sastra lebih mengungkapkan kenyataan yang tidak sesuai dengan moral. Kebobrokan realitas yang disingkapkan dalam sastra merupakan suatu rangsang bagi pembaca untuk mencapai pembersihan diri, katarsis.
Alih-alih memaparkan pembaca pada narasi-narasi bobrok amoral untuk mendampakan kemuakan sebagai jalan untuk menacapai katarsis, teks-teks upaya Kitab Iblis justru menantang moral itu sendiri. Tidak seperti katarsis yang sesungguhnya berfungsi agar seorang individu berlaku konform terhadap moralitas atau norma dan nilai sosial. Penentangan terhadap moralitas menyingkapkan bagaimana norma dan nilai sosial berfungsi untuk menertibkan masyarakat, memelihara status quo guna menopang pelestarian kekuasaan tertentu. Teks-teks upaya Kitab Iblis mempertanyakan secara kritis, menganggagu dan bahkan membongkar maksud laten yang terkubur dalam maksud manifes dari norma dan nilai sosial yang bertujuan memelihara keselarasan sosial.
Karya-karya seni, film dan sastra, berfungsi untuk menghubungkan antara Kemanusaian yang universal dengan norma dan nilai sosial yang partikular dengan cara membenturkannya. Agama dalam bentuk institusionalnya dilucuti kesakralannya dan dihamparkan pada ruang dan waktu tertentu; pada kesejarahan, kebudayaan, dan kemasyarakatan yang temporer; di mana kepentingan-kepentingan manusia bersarang di dalamnya dan membuatnya menjadi keras. Peran Iblis dalam cerita Taufiq el-Hakim tampaknya benar-benar menjadi jantung dari Kitab Iblis. Lembaga agama sebagai suatu sistem yang keberfungsiannya bergantung pada hubungan timbal balik antar peran dan fungsi subsistem-subsistem di dalamnya tiba-tiba terganggu keseimbangan sistemiknya ketika salah satu subsistem di dalamnya, iblis, terancam tidak berperan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Iblis yang berperan sebagai pendosa dan berfungsi menjatuhkan manusia ke dalam dosa tanpa diduga-duga berniat hendak pensiun dengan cara bertobat. Perang kebaikan dan kejahatan yang menjadi semacam mekanisme manajerial sistem agama terancam macet dan akan mengakibatkan runtuhnya lembaga agama beserta segala stratifikasi struktural di dalamnya. Demi menjaga dan melindungi fungsi kelembagaan agama, agama harus mengingkari watak welas asihnya sendiri, dengan kata lain agama harus memangsa dirinya sendiri untuk menjaga dirinya tetap hidup. Pengingkaran terhadap watak welas asih membuat lembaga agama tetap berdiri tegak bersama dengan stratifikasi struktural di dalamnya, namun agama tak lagi berfungsi memproduksi kebajikan, tapi memproduksi kejahatan. Agama semacam ini adalah agama yang tertuju untuk agama sendiri, mengeras di dalam dirinya sendiri, tak mampu mendinamisir dan mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan masyarakat yang terus berubah, menutup rapat pintu dialog antara “kitabullah” dengan “kalamullah”, seperti manusia yang membuang kemanusiaannya, membuang “mens” atau “manu” dan memilih kewadagannya. Pada akhirnya agama yang dipenuhi oleh hasrat-hasrat rendah tersebut adalah sumber kejahatan itu sendiri, sumber konflik. Dalam “Agama Tanpa Jalan Keluar”, melalui Yahya Cholil Staquf yang menyatakannya kembali, Gus Dur mengatakan, “ . . . jika agama menghalangi terciptanya kedamaian, kasih-sayang, atau rasa kemanusiaan sesama manusia, lebih baik tinggalkan saja agama itu!”
Tentu saja lembaga agama tidak melakukan perbuatan, yang melakukan perbuatan adalah manusia. Sebagai norma dan nilai sosial, agama tidak ada dalam diri manusia begitu saja. Agama didapatkan oleh manusia melalui proses sosialisasi dan internalisasi. Dengan demikian agama menjadi berada di dalam sejarah dan kebudayaan, menjadi “membumi”. Seperti asal kata “man” (manusia) dalam bahasa Ibrani “Adam” yang secara literal berarti “menjadi merah” yang merujuk pada warna kemerah-merahan kulit manusia, lalu, melalui narasi penciptaan Adam yang diciptakan dari tanah menjadi “adamah” yang berarti “bumi”. Agama yang diturunkan dari “langit” ke bumi menjadi bermakna bila agama membumi, seperti Adam – makhluk surga yang jatuh ke bumi – dan milyaran zuriahnya yang hanya bermakna bila membumi dengan mengolah hubungannya dengan alam dan manusia lainnya. Agama menjadi bermakna bila bermanfaat bagi alam dan manusia. Namun demikian ada dua manfaat agama di bumi, apakah menjadi belenggu bagi manusia dan alam atau menjadi pembebas manusia dan alam. Dalam teks-teks upaya Kitab Iblis, fungsi agama yang paradoks tersebut membayangi kehidupan umat manusia.
Tak hanya alam awal dan alam akhir, juga sejarah umat manusia dibawa ke kehidupan hari ini oleh narasi-narasi (teks-teks) agama. Yahudi, Kristen, dan Islam berbagi kisah tentang hukuman Tuhan terhadap Firaun yang lalim, hukuman Tuhan pada Sodom-Gomorah yang melampaui batas, hukuman pada kaum nabi Nuh yang ingkar. Pada kisah-kisah tersebut Tuhan hadir menggenapi janji-Nya untuk menghukum yang berdosa. Namun pada hari ini perbuatan-perbuatan yang lalim, melampaui batas, dan ingkar merajalela. Penindasan terhadap orang-orang lemah seperti rakyat Palestina dan kaum Rohingya, pengrusakan alam menghancurkan lingkungan dan masyarakat yang bergantung padanya, saat ini alih-alih menjadi surut, malah menjadi-jadi. Kesengsaraan yang dialami oleh sebagian manusia yang berlarut-larut pada satu sisi, dan pembiaran para penindas juga orang-orang serakah pada sisi lain, seperti menegaskan ketidakhadiran Tuhan pada hari ini. Janji Tuhan untuk memuliakan orang baik, atau paling tidak menghukum yang berdosa, seperti narasi-narasi agama di atas tidak terbukti. Orang-orang yang sengsara hari ini seperti halnya Isa yang memanggil-manggil Tuhan di tiang salib atau Nabi Ayub yang protes pada Tuhan karena ditinggalkan dalam kemeranaan. Inilah problem sesungguhnya dari kehidupan agama. Sebagian kelompok masyarakat, dengan bermodalkan ayat-ayat, kemudian merasa terpanggil menjadi tangan Tuhan, atau bahkan berperan sebagai Tuhan, untuk menghukum para pendosa dan bahkan berniat mendirikan kerajaan Tuhan di bumi. Namun Taufiq Wr. Hidayat seperti ditulisnya dalam “Wujud Agama”, “Sosok Tuhan yang dipahami belaka transendental, pun perlu dimengerti sebagai yang imanen dalam sejarah. Agama tak perlu memusuhi perubahan dan rasionalitas manusia”, lebih memilih tetap menjadi manusia “keturunan” manu/mens/Adam yang berakal dan berperasaan; manusia yang berpikir, bersimpati, dan berempati; manusia yang manusiawi; manusia yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
______________
*) Disampaikan pada Bedah Buku Kitab Iblis, STAIN Jember, 5 Mei 2019.
**) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah. Tinggal di Jember, Jawa Timur.
http://sastra-indonesia.com/2019/09/kitab-iblis-kilatan-kilatan-permenungan-tentang-manusia-dan-kemanusiaan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar