M Thobroni *
KH Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus, selain kiai, adalah seniman, pengarang, dan aktif di berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Juga, pernah menjadi anggota dewan. Beragam kegiatan ini memberi implikasi unik dalam ziarah kreatifnya. Ia bertegur sapa dengan realitas sosiologis dan psikologis tertentu. Maka, menarik menilik bagaimana warna puisi Gus Mus terkait momentum Pemilu 2009 kini. Dibandingkan Taufik Ismail, puisi politik Gus Mus memiliki corak khas berlatar pesantren dan tradisi pesisir.
Gus Mus telah muncul ke publik sastra Indonesia sejak era 1980-an ketika pulang dari Mesir melalui Kumpulan Puisi Balsem Ohoi. Kini, telah banyak karya dilahirkan, fiksi ataupun nonfiksi. Seperti Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem, Tadarus, dan Negeri Daging, Lukisan Kaligrafi, dan sebagainya. Ba gai mana Gus Mus bicara politik, khususnya pemilu dan kampanye? Tentu, puisi bagi Gus Mus tak sekadar hiburan, tetapi juga taushiyah sekaligus medan advokasi bagi umat. Bagi Gus Mus, barangkali, kritik terhadap penguasa, rakyat, atau dirinya sendiri ialah tanda cinta, bukan kebencian. Simak kritik Gus Mus tentang kampanye politik dalam “Jangan Berpidato”: Jangan berpidato! Kata-katamu yang paling bijak/ Hanyalah bedak murah yang tak sanggup lagi/ Menutupi korengborok- kurap-kudis-panu-mu.Gus Mus mengecam perilaku pejabat yang suka kampanye untuk menutup kebobrokan. Ada kamuflase di balik retorika. Elite gemar memanipulasi rakyat dan melakukan penyimpangan. Gema cinta Gus Mus terpasang di puisi pamflet, seperti demonstran yang meng gemakan suara cinta untuk seluruh bangsa.
Cara bicara pejabat sering terdengar indah memukau. Penuh retorika dan bunga baha sa. Justru itu dapat mengecoh kesadaran rakyat. Bertahun-tahun rakyat ditipu, lalu diabaikan. Gus Mus seperti ingin menyapa cinta kepada penguasa. Gus Mus cinta rakyat dan juga penguasa. Karena itu, penguasa harus diluruskan agar tidak terjerumus penyimpangan dan agar penguasa berbuat baik, menjaga moral, menegakkan hukum, dan seterusnya. Gus Mus geram ketika cinta telah di khianati. Penguasa yang seharusnya mencintai rakyat justru berkhianat dan meninggal kan kepentingan rakyat.
Nada geram itu, misalnya, juga terdengar dari puisi “Anonim”, Siapa yang bersedia menyerahkan lubang telinga/ Untuk kau jejali rongsokan huruf dan kata-kata?/ Siapa?/ Kenapa kau tak menoleh sekejap saja?.
Melalui puisi, Gus Mus menyorot hobi penguasa yang banyak bicara dibandingkan bekerja. Penguasa lebih suka ngomongdaripada realisasi janji. Ucapan dan tindakan yang tak sinkron itu membuat rakyat muak. Lewat puisi, Gus Mus berteriak: “siapa yang bersedia menyerahkan lubang telinga”. Itulah lukisan kegeraman rakyat. Rakyat kian cuek kepada penguasa. Tak salah bila muncul fenomena golput. Penguasa perlu merenung kan kondisi rakyat yang dilanda kesulitan. Tidak seharusnya hanya menuntut rakyat. Justru, penguasa harus peduli rakyat dengan merumuskan dan menjalankan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Itulah bukti cinta penguasa kepada rakyat. Pada puisi “Mantan Rakyat”, Gus Mus menyindir perilaku calon legislatif atau anggota legislatif, Mantan rakyat bertemu rakyat/ Berbicara atas nama rakyat demi rakyat/ Dan rakyat pun saling bertanya/ Apakah dia pernah jadi rakyat?
Puisi Gus Mus mengirim kritik pedas ke pa da mereka yang hobi memanipulasi rakyat. Se mua kebijakan dikatakan demi rakyat, padahal untuk kepentingan golongan dan diri sendiri. Mereka menjual rakyat. Penguasa bilang cinta rakyat, tetapi justru menindasnya. Yang dilakukan bukannya membuktikan rasa cinta, tetapi justru menebar kebencian dan dendam di hati rakyat. Rakyat hanya dikirim penderitaan dan kesengsaraan.
Puisi Gus Mus menjadi penyambung lidah rakyat. Inilah suara rakyat. Suara rakyat adalah suara tuhan. Suara rakyat tulus penuh cinta. Mereka merasakan langsung dampak perilaku penguasa. Saat pemilu, rakyat dibutuhkan, diiming-imingi ‘mawar merah’. Calon penguasa datang dengan senyum merekah, membawa buah tangan, dan segenap janji gombal. Setelah jadi penguasa, mereka abai dan berkhianat. Maka, lewat puisi, Gus Mus menggugat: apakah para penguasa itu pernah menjadi rakyat? Kok, mereka mengaku atas nama dan demi rakyat? Bila pernah jadi rakyat, mengapa kebijakan dan perilakunya jauh dari mencintai rakyat?
Keprihatinan memuncak terlihat dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Maka, puisi Gus Mus berjudul “Keadilan” cukup bicara pendek: hampir tertangkap mimpi.
Panggung hukum dan peradilan belum menjadi ruang penegakan keadilan. Hukum masih berpihak kepada yang kuat dan kuasa. Rakyat kecil sering menjadi korban, kambing hitam, dan martir politik. “Hampir tertangkap mimpi,” itulah ungkapan pendek puisi Gus Mus.. Ada nada pesimis, sekaligus skeptis. Namun, menyimpan makna mendalam. Sindiran menyentil dan pendek, namun menggugah. Menegakan hukum itu tidak perlu banyak bicara, tetapi praktik nyata dan bukan hanya retorika.
Kita menyaksikan, diskriminasi terjadi dalam penegakan hukum. Seorang pencuri ayam dihajar massa hingga mati. Sementara itu, koruptor uang negara yang miliaran, bahkan triliunan rupiah lolos jerat hukum. Tragisnya, di penjara diberi fasilitas megah dan mewah.
Kritik keras Gus Mus lewat puisi menunjukkan karakter kepenyairan Gus Mus. Selain pesantren, landas tumpu ziarah kreatif Gus Mus adalah masyarakat. Ketika menjadi kiai, budayawan, pegiat sosial, dan sebagainya, ia bertegur sapa secara langsung dengan rakyat kecil. Menyerap unek-unek dan keluh kesah. Puisi seakan menjadi jembatan bagi Gus Mus untuk bertegur sapa dengan masyarakat. Atau, justru puisi itu sendiri adalah suara rakyat, detak jantung umat yang terdalam, yang tersumbat dalam ruang batin wong cilik. Lantas, Gus Mus menyuarakannya. Banyak tema-tema kerakyatan, nasib wong cilik, ketidakberdayaan, menyindir perilaku pengua sayang tidak adil, dan sebagainya sa ngat dominan dalam warna puisi Gus Mus.
Ini seakan mengungkap bahwa penyair tidak dapat lepas dari kehidupan rakyat. Ia lahir dan tumbuh berkembang di tengah rakyat. Ia bagian dari takdir kesejarahan peradaban dunia. Ia tak mungkin melepas diri, lepas tangan, atau cuek dari beragam persoalan manusia. Penyair harus terlibat aktif lewat wacana sekaligus merumuskan tata kehidupan masyarakat.
*) M Thobroni, penulis buku dan peneliti karya-karya KH A Mustofa Bisri.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/03/04/35418-gus-mus-puisi-dan-politik.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar