Sutejo
Kemarin saya mengisi Bimtek Komunitas Baca di Nganjuk –yang diselengggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Timur--, ada sejumlah pertanyaan dari peserta workshop begini. Salah satu pertanyaan dari mbak Sofi yang bertanya (i) apa yang melatari cinta literasi, (ii) rintangan apa saja yang dihadapi, (iii) bagaimana menjaga stabilitas komunitas, dan (iv) bagaimana saya melakukan manajemen waktu dalam berkomitmen dan berkomunitas selama ini.
Jika mau jujur, litarasi bagi saya, pada mulanya adalah (i) kemiskinan, (ii) keterhinaan, dan (iii) ketaksengajaan. Karena kemiskinan, karena awalnya ketika remaja (mahasiswa) adalah lelaki minder, pencurahannya banyak dilampiaskan di buku harian. Unik, lelaki penggila buku harian. Keluh kesah tentang keterhinaan, kemiskinan, dan kesengsaraan; buku harian dan tempat lainnya menjadi pelampiasannya. Dulu, taka da istilah literasi, yang ada melek aksara. Pun, saat bersahabat dengan baca-tulis, yang pertama-tama yang dilakukan adalah bergulat, berlatih, dan berdiskusi di tempat kos. Saat kuliah di IKIP Malang. Selebihnya, mengalir sesuai emosi dan mood yang ada, sesuai kebutuhan. Menulis di media massa, awalnya tergerakkan oleh keinginan mendapatkan uang. Mengingat anak kos yang tidak memiliki uang cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Jika ditanya tentang rintangan dalam berkomunitas tentu banyak sekali. Di komunitas, rintangan yang bisa muncul diantaranya: (i) susahnya memadukan visi bersama, (ii) keaktifan yang yang tidak sama, (iii) motivasi yang sering juga tidak sama, (iv) keterbatasan sumber dan ruang ekspresi, (v) tidak memiliki model kegiatan dan penyaluran, (vi) hinaan dari berbagai kalangan, karena dunia baca-tulis belum dipandang profesi, (vii) transparansi kegiatan, (viii) hasil (produk) kegiatan yang tidak merata, baik kuantitas atau pun kualitas, (ix) tidak adanya markas atau tempat komunitas yang memadai dan tetap, dan (x) keterbatasan finansial. Jika kesadaran sudah tumbuh, bersama, rasanya rintangan apapun –sebagaimana disinggung itu—tidak akan berarti apa-apa. Oreantasi komunitas adalah hobi, kesukaan, dan kekaryaan untuk mengekspresikan diri; maka semuanya akan bergerak dan mengalir saja.
Tantangan dan rintangan dalam komunitas bisa dari dalam ataupun luar; dari luar selalu beriringan dengan “penghinaan” dan dipandang sebelah mata oleh yang lain. Tentu, jika kita memiliki mental baja, dan tidak memikirkan “suara luar” komunitas bisa menjadi kawah candradimuka yang menguatkan, mendewasakan, dan memproduksikan. Biarkan, anjing menggonggong kafilah literasi tetap berlari.
Menjaga stabilitas komunitas, tampaknya memang membutuhkan seni tersendiri. Tentu, stabilitas hanya bisa dibangun oleh adanya kesadaran bersama. Stabil dalam kegiatan, berkarya, dan lainnya. Selama semangat dirawat dan keinginan maju ada, stabilitas dapat dijaga. Syaratnya: komunitas positif dan saling menghargai. Hilangkan logika bintang dalam komunitas, hilangkan saling merendahkan, sebaliknya tunjukkan sikap saling menumbuhkan!
Stabilitas komunitas akan terjaga jika ada actor yang mampu menjadi jembatan kegiatan dan komunikasi yang produktif. Menjadi inspirasi bagi yang lain. Hadirnya tokoh misalnya dalam komunitas, tidak ada masalah, selama ia mampu menjadi teladan betul diantara anggota komunitas. Sebaliknya, ikon teladan diharapkan memiliki seperangkat mental dan keterampilan (baca-tulis) memadai, sehingga akan menjadi dynamo bagi komunitasnya. Merawat dengan kegiatan rutin sederhana seperti baca bersama, bedah karya, kopi buku, jus cerpen, dan capilan puisi menarik dijadikan kegiatan pengiring untuk menumbuhkan stabilitas komunitas.
Pertanyaan terakhir dari mbak Sofi, adalah soal manajemen waktu dalam komunitas. Saya pikir, ini sangat tergantung juga pengalaman pengelolaan waktu masing-masing anggotanya. Secara pribadi, baca-tulis saya pikir tidak membutuhkan manajemen khusus. Ketika kita sudah memiliki kehobian dengan membaca, maka ke manapun buku akan menjadi sahabat dan teman yang menyenangkan. Baik saat berkegiatan, dinas, terlebih saat mengganggur. Buku jadikanlah teman dan sahabat, teman profesi yang akan terus memotivasi kita.
Selama membaca sudah menjadi kebiasaan –jika mungkin jadi kebutuhan—maka manajemen waktu, bukanlah masalah berarti. Karena membaca dan menulis dapat dilakukan dengan ngemil dan rileks, maka tentu tidaklah menuntut waktu yang ketat. Ia bersifat situasional, mooding, dan unik dalam pelayanannya. Jangan percaya dengan disiplin waktu, jadwal yang mengikat kaku; sebaliknya menulis dan membaca itu adalah seni, maka keunikan dan kekhasan pengalaman masing-masing akan menjadi pengalaman yang menarik.
Selalu meningkatkan kebiasan membaca dengan durasi waktu yang terus meningkat, dengan sendirinya akan terbangun manajemen secara tidak langsung. Hindari bagaimana mengelola baca-tulis seperti mengelola barang mati. Kegiatan baca-tulis tentu sebuah kegiatan relaksasi pikiran, hati, jiwa, dan rasa, maka dibutuhkanlah pengelolaan yang menyenangkan dan menyentuh jiwa.
Inilah satu refleksi sederhana yang barangkali bisa direnungkan kembali. Tidak saja bagi peserta bimtek komunitas kemarin, tetapi siapapun kita barangkali yang berminat menstabilisasikan komunitas yang semakin bertenaga. Komunitas akan bisa menjadi tempat relaksasi pikiran dan hati. (*)
Pukul, 10.15 Ponorogo
Jika ditanya tentang rintangan dalam berkomunitas tentu banyak sekali. Di komunitas, rintangan yang bisa muncul diantaranya: (i) susahnya memadukan visi bersama, (ii) keaktifan yang yang tidak sama, (iii) motivasi yang sering juga tidak sama, (iv) keterbatasan sumber dan ruang ekspresi, (v) tidak memiliki model kegiatan dan penyaluran, (vi) hinaan dari berbagai kalangan, karena dunia baca-tulis belum dipandang profesi, (vii) transparansi kegiatan, (viii) hasil (produk) kegiatan yang tidak merata, baik kuantitas atau pun kualitas, (ix) tidak adanya markas atau tempat komunitas yang memadai dan tetap, dan (x) keterbatasan finansial. Jika kesadaran sudah tumbuh, bersama, rasanya rintangan apapun –sebagaimana disinggung itu—tidak akan berarti apa-apa. Oreantasi komunitas adalah hobi, kesukaan, dan kekaryaan untuk mengekspresikan diri; maka semuanya akan bergerak dan mengalir saja.
Tantangan dan rintangan dalam komunitas bisa dari dalam ataupun luar; dari luar selalu beriringan dengan “penghinaan” dan dipandang sebelah mata oleh yang lain. Tentu, jika kita memiliki mental baja, dan tidak memikirkan “suara luar” komunitas bisa menjadi kawah candradimuka yang menguatkan, mendewasakan, dan memproduksikan. Biarkan, anjing menggonggong kafilah literasi tetap berlari.
Menjaga stabilitas komunitas, tampaknya memang membutuhkan seni tersendiri. Tentu, stabilitas hanya bisa dibangun oleh adanya kesadaran bersama. Stabil dalam kegiatan, berkarya, dan lainnya. Selama semangat dirawat dan keinginan maju ada, stabilitas dapat dijaga. Syaratnya: komunitas positif dan saling menghargai. Hilangkan logika bintang dalam komunitas, hilangkan saling merendahkan, sebaliknya tunjukkan sikap saling menumbuhkan!
Stabilitas komunitas akan terjaga jika ada actor yang mampu menjadi jembatan kegiatan dan komunikasi yang produktif. Menjadi inspirasi bagi yang lain. Hadirnya tokoh misalnya dalam komunitas, tidak ada masalah, selama ia mampu menjadi teladan betul diantara anggota komunitas. Sebaliknya, ikon teladan diharapkan memiliki seperangkat mental dan keterampilan (baca-tulis) memadai, sehingga akan menjadi dynamo bagi komunitasnya. Merawat dengan kegiatan rutin sederhana seperti baca bersama, bedah karya, kopi buku, jus cerpen, dan capilan puisi menarik dijadikan kegiatan pengiring untuk menumbuhkan stabilitas komunitas.
Pertanyaan terakhir dari mbak Sofi, adalah soal manajemen waktu dalam komunitas. Saya pikir, ini sangat tergantung juga pengalaman pengelolaan waktu masing-masing anggotanya. Secara pribadi, baca-tulis saya pikir tidak membutuhkan manajemen khusus. Ketika kita sudah memiliki kehobian dengan membaca, maka ke manapun buku akan menjadi sahabat dan teman yang menyenangkan. Baik saat berkegiatan, dinas, terlebih saat mengganggur. Buku jadikanlah teman dan sahabat, teman profesi yang akan terus memotivasi kita.
Selama membaca sudah menjadi kebiasaan –jika mungkin jadi kebutuhan—maka manajemen waktu, bukanlah masalah berarti. Karena membaca dan menulis dapat dilakukan dengan ngemil dan rileks, maka tentu tidaklah menuntut waktu yang ketat. Ia bersifat situasional, mooding, dan unik dalam pelayanannya. Jangan percaya dengan disiplin waktu, jadwal yang mengikat kaku; sebaliknya menulis dan membaca itu adalah seni, maka keunikan dan kekhasan pengalaman masing-masing akan menjadi pengalaman yang menarik.
Selalu meningkatkan kebiasan membaca dengan durasi waktu yang terus meningkat, dengan sendirinya akan terbangun manajemen secara tidak langsung. Hindari bagaimana mengelola baca-tulis seperti mengelola barang mati. Kegiatan baca-tulis tentu sebuah kegiatan relaksasi pikiran, hati, jiwa, dan rasa, maka dibutuhkanlah pengelolaan yang menyenangkan dan menyentuh jiwa.
Inilah satu refleksi sederhana yang barangkali bisa direnungkan kembali. Tidak saja bagi peserta bimtek komunitas kemarin, tetapi siapapun kita barangkali yang berminat menstabilisasikan komunitas yang semakin bertenaga. Komunitas akan bisa menjadi tempat relaksasi pikiran dan hati. (*)
Pukul, 10.15 Ponorogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar