Seorang aktivis sastra pesantren asal Sumenep, Madura,
Jatim mengemukakan bahwa pengembangan sastra di komunitas santri akan maksimal
jika ada figur sentral yang memberikan teladan dalam dunia kepenulisan.
"Pengalaman saya selama bertahun-tahun membina santri menunjukkan
seperti itu. Figur sentral itu yang bisa menggerakkan dan memotivasi santri
untuk terus menulis," kata penggerak sastra dari Pesantren An Nuqoyah,
Guluk-guluk, Sumenep, M Faizi Kaelan dalam temu sanggar sastra se Jatim di
Surabaya, Senin.
Pada diskusi dan peluncuran buku antologi puisi penyair
muda Jatim yang diselenggarakan oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur
(DKJT) itu juga menghadirkan pembicara, dosen Unair Dr Putera Maunaba, Helmy
Prasetya dari Bangkalan dan Alang Khoirudin dari Lamongan.
Menurut Faizi, pola pengembangan sastra di pesantren dengan mengedepankan
figur sentral itu tergolong khas karena kemungkinan di komunitas lain tidak
terjadi hal seperti itu. Figur sentral bisa befungsi sebagai pemancing ide yang
bisa dikembangkan oleh santri asuhannya.
"Misalnya suatu ketika saya memberikan tantangan kepada siswa MTs
atau setingkat SMP untuk menulis buku. Mereka tidak ada yang berani. Setelah
saya sodorkan kerangkanya baru mereka mau tapi dikerjakan dua orang. Maka
jadilah sebuah buku," kata pengajar bahasa di pesantren tersebut.
Ia bercerita, suatu ketika, dirinya juga memberikan tantangan kepada siswa
MA atau setingkat SMA untuk menulis novel dan ternyata tantangan itu dijawab
oleh siswa dengan menghasilkan dua novel.
"Konsekuensinya, figur sentral itu harus juga menulis sehingga
kata-katanya ditiru oleh santri. Kalau figur sentral itu menyuruh santri
menulis, tapi dia sendiri tidak pernah menulis, maka tidak akan diikuti,"
katanya.
Menurut dia, kegiatan sastra di Pesantren An Nuqoyah temasuk semarak
bahkan di lingkungan pendidikan tradisional dengan jumlah santri hingga 6.000
orang itu sudah memiliki banyak sanggar yang satu dengan lainnya saling
berkompetisi secara positif.
"Antara sanggar satu dengan lainnya juga berlomba menerbitkan
antologi sastra yang kemudian dibahas atau ada semacam pengadilan sastra setiap
minggunya. Pengadilan sastra itu juga memacu para santri untuk terus
menulis," katanya.
Dikatakannya, saat ini di pesantren itu juga sering menerbitkan
karya-karya sastra yang kadang diketik secara manual kemudian diberi sampul
yang disablon dengan biaya sendiri. Karena saat ini sudah ada komputer, maka
proses pencetakannya sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Untuk merangsang santri lain berkarya, kami sekarang menerbtkan
indeks yang berisi profil para santri senior dan alumni yang menjadi penulis
sastra. Dengan membaca indeks ini diharapkan santri-santri muda juga terpancing
untuk berkarya," ujarnya.
Namun demikian, bukan berarti, perkembangan sastra di An Nuqoyah tidak
mengalami hambatan. Libur panjang selama satu bulan lebih saat bulan Ramadlan
menjadi kendala tersendiri, karena biasanya kekosongan selama libur itu juga
ikut memacetkan karya mereka. "Setelah masuk kembali ke pesantren, kami
harus memacu mereka kembali," katanya.
Sementara Putera Manuaba mengaku terkejut dengan potensi sastra di
lingkungan pesantren maupun sanggar-sangar sastra di Jatim. Menurutnya,
kekayaan sanggar itu adalah potensi yang membuat Jatim tidak akan kalah dengan
daerah lainnya. (ant/san)
http://www.nu.or.id/post/read/9788/pengembangan-sastra-pesantren-butuh-figur-sentral
Tidak ada komentar:
Posting Komentar