Suci Ayu Latifah *
surabaya.uri.co.id
100 Peserta literasi dari Ponorogo dan sekitarnya, mengikuti program Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo, Minggu (25/2/2017) dengan narasumber Suyoto Atim, dosen Kanda University of International Studies Jepang.
Mengawali materinya, Suyoto Atim berkisah, masyarakat Jepang itu lucu. Contohnya, mereka pernah ke Bali, tapi tidak tahu jika Bali ada di Indonesia. Itupun tidak satu atau dua orang, melainkan sekitar 30 persen wisatawan Jepang yang pernah berkunjung ke pulau dewata Bali, mengaku tak tahu jika Bali itu ada di Indonesia.
Kesal dengan hal itu, membuat pria lelaki berkumis tebal itu mengabdi di Jepang menjadi dosen Bahasa dan Sastra Indonesia selama 16 tahun.
“Selain menjadi guru, saya mencoba mengenalkan Indonesia mulai dari baju adat, alat musik, lagu-lagu Jawa, cerita rakyat, dan lainnya,” kisah Suyoto Atim.
Ia juga membangun rumah Indonesia sebagai pusat budaya praktik bahasa Indonesia dilengkapi budaya tradisional di seluruh Indonesia. Salah satunya tari Jatil dari Ponorogo.
Pemberdayaan bahasa Indonesia di Jepang, mendapat dukungan luar biasa. Hal ini terbukti, pertama, setiap tahun mengadakan lomba pidato bahasa Indonesia yang sudah berlangsung sejak tahun 2007. Dalam lomba tersebut, juara pertama akan mendapat uang saku, menginap tiga malam di hotel, dan pulang-pergi gratis dengan pesawat Garuda Indonesia.
Kedua, mengorientasikan mahasiswa mulai angkatan pertama hingga 16 dengan memberikan mereka nama-nama menggunakan bahasa Indonesia, seperti Ana, Laili, Rumini, Haryuningsih, dan lainnya. Perjuangan pemberian nama ini, tidak semerta-merta sekadar menyebut. Kerena Suyoto berusaha tidak ada nama yang sama setiap angkatan.
Ketiga, mengadakan acara-acara tertentu yang berkaitan mengenalkan Indonesia, seperti peringata Hari Kartini, 21 April. Mahasiswa Jepang diminta mengenakan kebaya atau batik Indonesia.
“Di sana saya juga membuka Kantin Asia dengan fasilias menu makanan halal dan tempat salat lengkap dengan tempat wudhu,” tambah lelaki yang dinobatkan sebagai Bapak Rumah di Rumah Indonesia itu.
Alumnus Universitas Negeri Malang 1990 itu, juga bercerita mahasiswa di sana sangat antusias ketika belajar bahasa Indonesia. “Sebagian mahasiswa ada yang sudah lancar berbahasa Indonesia meski masih tersendat-sendat,” terangnya. (uri/osua/enu/fwika/YYA)
*) Panitia Sekolah Literasi STKIP PGRI Ponorogo
https://surabaya.uri.co.id/read/9292/2017/03/karena-kesal-suyoto-atim-ke-jepang-mengenalkan-indonesia
surabaya.uri.co.id
100 Peserta literasi dari Ponorogo dan sekitarnya, mengikuti program Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo, Minggu (25/2/2017) dengan narasumber Suyoto Atim, dosen Kanda University of International Studies Jepang.
Mengawali materinya, Suyoto Atim berkisah, masyarakat Jepang itu lucu. Contohnya, mereka pernah ke Bali, tapi tidak tahu jika Bali ada di Indonesia. Itupun tidak satu atau dua orang, melainkan sekitar 30 persen wisatawan Jepang yang pernah berkunjung ke pulau dewata Bali, mengaku tak tahu jika Bali itu ada di Indonesia.
Kesal dengan hal itu, membuat pria lelaki berkumis tebal itu mengabdi di Jepang menjadi dosen Bahasa dan Sastra Indonesia selama 16 tahun.
“Selain menjadi guru, saya mencoba mengenalkan Indonesia mulai dari baju adat, alat musik, lagu-lagu Jawa, cerita rakyat, dan lainnya,” kisah Suyoto Atim.
Ia juga membangun rumah Indonesia sebagai pusat budaya praktik bahasa Indonesia dilengkapi budaya tradisional di seluruh Indonesia. Salah satunya tari Jatil dari Ponorogo.
Pemberdayaan bahasa Indonesia di Jepang, mendapat dukungan luar biasa. Hal ini terbukti, pertama, setiap tahun mengadakan lomba pidato bahasa Indonesia yang sudah berlangsung sejak tahun 2007. Dalam lomba tersebut, juara pertama akan mendapat uang saku, menginap tiga malam di hotel, dan pulang-pergi gratis dengan pesawat Garuda Indonesia.
Kedua, mengorientasikan mahasiswa mulai angkatan pertama hingga 16 dengan memberikan mereka nama-nama menggunakan bahasa Indonesia, seperti Ana, Laili, Rumini, Haryuningsih, dan lainnya. Perjuangan pemberian nama ini, tidak semerta-merta sekadar menyebut. Kerena Suyoto berusaha tidak ada nama yang sama setiap angkatan.
Ketiga, mengadakan acara-acara tertentu yang berkaitan mengenalkan Indonesia, seperti peringata Hari Kartini, 21 April. Mahasiswa Jepang diminta mengenakan kebaya atau batik Indonesia.
“Di sana saya juga membuka Kantin Asia dengan fasilias menu makanan halal dan tempat salat lengkap dengan tempat wudhu,” tambah lelaki yang dinobatkan sebagai Bapak Rumah di Rumah Indonesia itu.
Alumnus Universitas Negeri Malang 1990 itu, juga bercerita mahasiswa di sana sangat antusias ketika belajar bahasa Indonesia. “Sebagian mahasiswa ada yang sudah lancar berbahasa Indonesia meski masih tersendat-sendat,” terangnya. (uri/osua/enu/fwika/YYA)
*) Panitia Sekolah Literasi STKIP PGRI Ponorogo
https://surabaya.uri.co.id/read/9292/2017/03/karena-kesal-suyoto-atim-ke-jepang-mengenalkan-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar