Sabrank Suparno
Mendadak jadi moderator dalam diskusi buku “Membongkar
Mitos Kesusastraan Indonesia” Karya Nurel Javissyarqi pada hari Selasa 30
Januari 2018 di Kedai Boenga Ketjil miliknya Cak Andhi Setyo Wibowo. Kalau saya
mondar-mandir dalam diskusi itu, bukan meniru Karni Ilyas pada acara ILC, sebab
ILC baru berdiri beberapa tahun lalu saja, dibanding saya memoderatori di
berbagai acara. Jika saya tiba-tiba mendebat pembicara, meminta ketegasan
ulang, menghentikan pendapat, mengulas, dll, juga bukan meniru Rosiana Silalahi
yang endel produktif itu. Itu semata hanya teori menghidupkan ruang diskusi.
Buku setebal 500 halaman yang baru terbit 9 Januari 2018,
merupakan ‘kajian panjang’ dari buku setebal 100 halaman sebelumnya yang
berjudul “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri.” Buku
“Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” ini bagai penyempurna keris Empu
Gandring menjadi tujuh lekuk (luk pitu) dari buku sebelumnya untuk menghunjam
kepenyairan SCB. Persis satu gelombang sejarah dengan hunusan Ken Arok pada
Tunggul Ametung, setelah Ken Arok suatu hari kesemsem dengan betisnya Ken Dedes
yang busananya tersingkap angin di Alun-alun Ibu Kota Tumapel. Betis yang
bersinar itulah, diyakini Ken Arok sebagai garis wanita yang bakal menurunkan
raja-raja besar di Nusantara.
Kajian buku ini bertumpu seputar memblejeti kelemahan
penyair-penyair lawas yang namanya dibesarkan hanya karena mitos. SCB salah
satunya, hanya dibesarkan oleh Dami N Toda dan Prof. Umar Junus pada awalnya.
Dua Ilmuwan yang membesarkan SCB justru dengan mitos. Bukan dibesarkan secara
logos. Itulah sebabnya, Nurel Javissyarqi mendudukkan kecacatan mitos tersebut
dengan berbagai analisa data logosnya. Sementara, generasi seangkatan SCB
hingga kini terkesan diam dengan keadaan tersebut.
Namun demikian, buku ini juga membongkar berbagai mitos-mitos
lain yang berkenaan dengan julukan menjadi sastrawan besar. Kritik pe-mitos-an.
Membesarkan tokoh hanya dengan cara memitoskan-jare jare-kitab Fatkul Jare-Jarene
wong kae, -Jarene wong iko. Tradisi kritik-otokritik inilah yang mahal
harganya. Kritik yang meluruskan wacana publik yang sekian lama didiamkan.
Kajian kritik inilah yang saya sebut sebagai Hadirnya Nabi Akhir Jaman. Bukan
Isa Al Masih yang turun sebagai person. Satu orang yang disubyekkan untuk
mengatasi berbagai kebodohan. Nabi Akhir Jaman ialah bangkitnya kecerdasan
untuk menyimpulkan permasalahan. Dan kesadaran bersama demi nilai yang lebih
tinggi, inilah sang Juru Selamat itu.
Buku kritik pemitosan semacam ini adalah upaya penulisnya
meluruskan wacana publik dengan data ilmiah dengan harapan nantinya publik
mampu menyikapi seputar gagasan pemitosan. Perang adu keris seputar gagasan.
Bukan persoalan pribadi, sebab persoalan pribadi haruslah selesai. Dikritik
kayak apapun, dimarahi bagaimanapun, ia sebagai pribadi tidak akan berubah,
karena ia (pribadi) hidup, dan makan dari situ (profesionalismenya). Maka harus
dibikin wacana publik. Dengan kata lain, “gak ono hubungane walau yang dikritik
nantinya mungguh, besar kepala atau makin tenar, yang penting publik
memahaminya.”
Menurut senior sastra Robin Al Kautsar dalam diskusi buku
“Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” malam itu, menyatakan bahwa ciri
tokoh besar itu mempunyai epigon, yakni meninggalkan lahan yang luas dan bisa
diolah oleh generasinya berbagai bentuk karya. Sutardji Calzoum Bachri tidak
memiliki epigon tersebut kecuali Hamid Jabbar (almarhum). Itupun tidak banyak
dibicarakan orang, karena namanya segera lenyap ke dalam SCB. Beda halnya
dengan WS. Rendra yang melahirkan berbagai pengikut dengan pelbagai konsep,
namun tidak hilang ke dalam Rendra.
Menyoal maraknya tradisi pemitosan yang dilakukan senior
pada yunior di tahun 1970-1980-an, Robin Al Kautsar sepakat dengan yang dianalisa
Emha Ainun Nadjib (mungkin yang dimaksud buku; “Terus Mencoba Budaya Tanding”)
bahwa setelah pemitosan SCB ini, akan hadirnya Sastra Bisu. Terbukti apa yang
diprediksi Cak Nun seputar lontaran Sastra Bisu, sebab hingga saat ini belum
ada dentuman sastra seperti zaman dahulu. Belakangan memang marak istilah Puisi
Gelap. Namun, yang (kalimat ini sak karepku dewe) Puisi Gelap ini belum
dipastikan kebenarannya. Sebab Puisi Gelap bisa ditelisik gelap atau terangnya
melalui persamaan kalimat dari sebaris puisi gelap tersebut. Jika makna
persamaan kalimat ternyata terang, maka tidak bisa disebut puisi gelap.
2 Januari 2018, Jombang, Jawa Timur.
Warung Boenga Ketjil d/a Parimono V / 40 Plandi (belakang
POM bensin Parimono), Jombang.
http://sastra-indonesia.com/2018/02/mendadak-jadi-moderator/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar