Nurel Javissyarqi *
“Kejam,” satu kata komentar dari guru saya untuk buku MMKI. Ia bukan tukang syair pun tidak ahli bahasa, tetapi seniman lukis tulen (Tarmuzie).
Jauh sebelum Binhad berkomentar dengan kata-kata; “Aku
berhalangan hadir” pada postingan pamflet acara diskusi buku “Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia” yang diunggah Cak Kepik (Andhi Setyo Wibowo 26/1/2018),
jadwalnya diadakan dalam kegiatan rutin SelaSastra bertepatan ke #24, seperti
biasa di Warung Boenga Ketjil beralamat di Parimono V / 40 Plandi, Jombang
(belakang POM bensin Parimono), dengan pembicara Binhad Nurrohmat, 30 Januari
2018. Tengok cover awal MMKI di foto sampul facebook saya 12/12/2017, BN
menanggapi; “Saya memilih mempertahankan mitos itu. Bukan membongkarnya.
Alasannya tentu ada. Dan saya rahasiakan.” Pada waktu lain Cak Kepik tetap ‘ndablek’
memposting ulang paflet lewat gambar berbeda, namun masih menyebut Binhad sebagai
pembandingnya, 29/1/2018.
‘Sedurung’ peristiwa itu, panitia bedah buku MMKI di Magetan,
Dian AV Sasa mengutarakan pendapatnya; keberatan, atau belum sesuai bagi para
penggiat sastra di Kota Telaga Sarangan yang masih muda-muda, perkataannya dikabarkan
melalui pelukis Dwi Kartika Rahayu. Jadi, ketika Binhad menulis di bawah paflet
ke 2 yang diunggah Cak Kepik dengan ungkapan; “Anjrah Lelono Broto akan
mengganti posisi saya sebagai pembahasnya adalah usulan yang baik.” Saya tidak
kaget, dan Anjrah serta lainnya menolak halus, sebab keterbatasan waktu. Perihal
itu menyeret BN hingga berkata-kata; “Marilah duduk-duduk bersama dalam acara
sastra atau turut mencarikan alternatif pembahasnya yang terkendala, Mas Nanda
Sukmana” dan “Usul saya adalah njenengan sebagai ketua DeKaJo (Dewan Kesenian
Jombang), mengerahkan biro sastra untuk berkontribusi dalam acara ini, Mas
Nanda Sukmana.” Di sini saya berterimakasih ke BN yang ‘isih’ mendorong kegiatan
tersebut terus terlaksana, meski dirinya berada dalam situasi ‘terkendala,’ barangkali
keluar kota atau entah.
***
Paragraf-paragraf di muka mempertebal anganan untuk tidak
berharap ‘muluk-muluk’ ke Aguk Irawan MN yang rencananya mengupas buku MMKI
dalam acara yang digelar Apresiasi Sastra di Radio Buku Jogjakarta, 23 April
2018, walau ia dan saya sudah biasa saling-silang membedah buku, seperti di
buku “Pesan al-Quran untuk Sastrawan: Esai-esai budaya dan agama” (Jalasutra,
2013), adanya makalah yang mengurai buku saya MTJK SCB di halaman 117-122,
sedang di MMKI ada tulisan saya mengenai buku Aguk itu di halaman 476-484, pun saya
tetap berharap novelis produktif yang baru peroleh gelar Doktor itu tak
keberatan mengulas karya seorang yang jenak bertitel pengelana. Harapan kepada
Aguk tak kurang serupa pengharapan kepada Binhad, sewaktu ada itikat kesanggupan
kala bertamu di kediamannya, sembari disambut suara tik-ta’k gerimis berangsung
menderas menuju redah. Rasa tersebut sempat saya tuangkan di status fb: “5
Januari ke Jombang, bertemu Agus Sulton, Andhi Setyo Wibowo, meluncur ke Darul
Ulum Rejoso Peterongan, berjumpa Sabrank Suparno dan Binhad Nurrohmat untuk menginap,
siangnya tanggal 6 ke Indigo Art Space, menemui pelukis Dwi Kartika Rahayu yang
tengah persiapkan pembukaan pameran lukis se-Karesidenan Madiun “Cahaya dari
Timur,” sorenya ke Sutejo Spectrum Center, dan malam ini di Darul Hikam,
Joresan, Mlarak, Ponorogo, besok paginya semoga bisa mampir di Denanyar.”
***
Pagi hari 30 Januari 2018, saya berangkat ke Jombang naik
motor. Perjalanan ini selalu saya nanti atau sukai, menikmati alam melintasi
waktu berkendaraan masa menyingkap elusan bayu, ini mengobati mata yang lama
tak keluar jauh, sehingga berasa haus wewarna kegiatan orang-orang mencari
nafkah, kadang hal itu saya rasai saat blusukan ke pasar, dan lawatan antar
kota menjelma lebih, ada rindu tertahan menarik segala pengalaman silam, semisal
awal kali ke kota santri Jombang. Ada impian yang sudah terlaksana, sebagian tetap
berusaha, kadang saya resapi perjalanan hayat ini sekadar dari Lamongan ke
Jombang, Ponorogo, Jogja, Magelang, tapi tentu pembaca pahami saya tak abai hal
terkecil; sedaun berkelebat jatuh menyentuh bumi, debu-debu mengepul, pepohon mempertanyakan
yang terperoleh sedari jalan-jalan, awan bergerak kadang curiga langkah ini itu
saja, tapi rasanya semua bertasbih untuk pengelana sendirian membawa suara keramaian
dalam diamnya lawatan, dan inilah lembaran proses penulisan yang berjalin,
tinggal enak ditulis atau dirahasiakan.
Pengelanaan kali ini laksana terberkati keceriahan; saya
biasa membaca keayuan alam apalagi saat jalan, ketika menuju selatan arah
Jombang, langit melengkuh terang membiru meniupkan angin sepoi, sedang awan tebal
menyebar ke tepi-tepi cakrawala, seperti tengah duduk rapat bergerombol di atas
ubun-ubun Kota Kediri, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Mojokerto, Sidoarjo,
Surabaya, Malang, sementara di ‘uwung-uwung’ perlintasan, gemawan membuka
sayapnya pelahan ke timur, yang luasnya sekitar lima atau tujuh kecamatan di
Jawa seperti memayungi kepala, sehingga pancaran mentari sering meneduhkan.
Sesekali berhenti guna menghisap rokok sebatang sambil mendinginkan mesin, mengamati
mega-mega, menyimak ulang pelajaran ‘lawas;’ masa-masa ‘kejamnya’ musim
mengguyur tubuh menembus kota-kota bersama lebatnya hujan, misalkan perjalanan
Lamongan-Jogjakarta di pertengahan tahun 1996-2000 awal; ini pula menebalkan
keyakinan dari kisaran mencerna gegaris kemungkinan. Contoh tiga hari sebelum
berangkat, mengamati gerak perangai mendung, silsilah rintikan air, sampai
perkiraan hari H dalam keadaan terang atau berlawan.
***
Seng nggelar dasar
Semar, seng dodol Srikandi, seng tuko Poro Widodari. Demikian bibir Sabrank
Suparno terkatub komat-kamit membaca mantra penglaris malam itu sebelum diskusi
dan “Mendadak jadi Moderator” (Judul catatannya, 2/1/2018). Ketika Sabrank
mengucap larik-larik itu, rasanya masih batasan profan, seperti saya menganggap
tak masuk ke wilayah sakral, hanya seungkapan ‘abang-abang lambe,’ tapi dari tetembangannya
saya terseret ke aura nun jauh; simbok-simbok tempo dulu barangkali sampai kini
melantunkan nada-nada itu sedaya mantra puja berkesungguhan sangat dari
keterhimpitan hidup sebagai rakyat jelata, sewaktu menggelar barang dagangannya
pagi-pagi di pasar tradisional. Dan selaksa ampuh, kalau ditengok pengunjung yang
datang, dibanding buku-buku yang terjual; memang selain bedah buku juga
bukalapak di setiap gerilya sastra di beberapa kota nantinya jua, bisa jadi ke Kota
Malang, Surabaya, Trenggalek, Ponorogo, Cirebon, Jakarta, Lampung, dan
entahlah.
Itu malam tenang disapa kelembutan gerimis, BN
benar-benar tak hadir, saya kira di luar kota atau bersikukuh merahasiakan
mitos sastra Indonesia. Jika didengar dari cerita kawan-kawan oleh gairahnya
‘menguri-uri’ panji-panji sastra, yang pernah dikobarkan almarhum Fahrudin
Nasrulloh, misalkan perkenalan BN dengan teman-teman di tanah kelahirannya FN, sempat
menggelar kegiatan di kantor Radar Jombang demi ‘menekan’ koran cabang Jawa Pos
itu mewujudkan rubrik sastra serupa di Radar Mojokerto, dan di tahun 2014,
penyair kelahiran Lampung itu menerbitkan kumpulan puisi “Kwatrin Ringin
Contong” sebagai penanda dirinya telah bercampur ‘lemah’ berpasir yang banyak
melahirkan tokoh Nasional. BN yang namanya berkibar terang sewaktu bermukim di
Ibukota Jakarta, kini seolah turun gunung atau memasuki gua kesunyian demi
menggenapi usianya. Syukurlah atas kedatangan pengamat sastra Robin Al Kautsar,
kritikus yang sangat disegani di Jawa Timur (memiliki sikap netral, jauh sebelum
D. Zawawi Imron hadir sebagai penyair Nasional dan nama Herry Lamongan
dibelantika sastra, ungkap pelukis senior Tarmuzie di tempat lain), dengan
kemurahan hatinya bersedia mengisi tempat kosong yang ditinggalkan BN. Robin
tidak kesulitan menelisik nalar umum MMKI sebagai lanjutan MTJK SCB, dia pun
pernah membedah buku “Kitab Para Malaikat” (PuJa, Desemper 2007) dengan makalahnya
“Syarah Kitab Para Malaikat” 5 November 2009, dan pandangan-pandangannya malam
itu telah direkam dalam jejak catatannya Sabrank.
***
Ketidakmunculan Binhad yang dikabarkannya 5 hari sebelum digelarnya
acara, menandai ada hal mendadak bertepatan tanggal yang telah disepakati. Karena
saya suka mengarang, jadi nalar ini melancong kemana-mana, sebagian penulis
sastra memasukkannya dalam bingkai imajinasi. Barangkali BN, sejalan Marhalim
Zaini yang tidak meneruskan niatnya menyerang balik buku MTJK SCB misalkan,
yang sewaktu menghadiri bedah buku itu di Jogjakarta adanya gelagat menanggapi.
Kalau telisikan ini berkelembutan, mungkin BN dan MZ tidak mau mencederai
persahabatan awal proses kreatif di Yogyakarta, ini agak-agak sentimentil
kurang obyektif seirama ‘tenggang rasa tepo seliro,’ karena buku keduanya ada
yang diterbitkan PUstaka puJAngga, BN dengan himpunan esainya “Sastra Perkelaminan”
(Mei 2007), MZ dengan kumpulan cerpennya “Amuk Tun Teja” (Juli 2007). Namun
pembaca tahulah, para pelaku susastra lebih sangar dari preman Malioboro,
seperti lelangkah pendek tidak menyebut nama seangkatan kecuali ‘dibutuhkan,’ sebaliknya
di sini diecer seukuran bobot karyanya menurut kacamata pembaca seperti saya.
Bisa jadi MZ-BN tidak memiliki kelengkapan data yang saya
kritisi, sehingga repot jika hendak berseberangan, atau tak mau masuk ke
wilayah ayat-ayat kitab suci, dimana lewat jalur itu saya banyak menjegal
data-data para senior yang gegabah memelintir firman-Nya. MZ-BN seakan merasa
bukan urusannya, sebab ‘tidak masuk langsung’ perkara susastra atau mengira
bukan bidang digelutinya, tetapi betapa pun yang dulu melontarkan ayat al-Kitab,
seyogyanya patut mengoreksi kembali, kala ada sangkalan tak sepaham. Pun bisa
terjadi, BN-MZ menganggap remeh tulisan saya atau tak pantas ditanggapi,
apalagi berkerutan dahi, dan angin terus berlalu, masa berjalan, tempo menemui ‘kejuntrungan.’
Alhamdulillah, waktu terperoleh lapang, jadilah kesempatan baik, apalagi tubuh
teks selantunan peribahasa “takkan lari gunung dikejar,” olehnya saya gunakan lelangkah
panjang mengundang ‘kebosanan.’ Sedang kini sekadarnya, kecuali timbul darinya
perangai melawan karakter kekaryaan yang saya hidupi, atau menunggu kedatangannya,
penantian tiada jemu sambil minum jamu rasa malu ataukah merindu?
***
Atau bagaimana merombak tatanan isi kepala, mengecat ruangan
berwarna lain tak sesuai gambaran kerja yang diamini sejarah miring, membongkar
pasang barang-barang di kamar dengan peletakan berbeda, atau sesuatu muncul
barusan? Apakah ini aturan keterlambatan, hukum mewaktu dari mempelajari masa
lampau, tempo silam tertimbun debu-debu serta bebatuan atas kejadian gunung meletus.
Ataukah saya mengunyah bebijian kenyataan, ada waktunya mereka terima ‘keseimbangan.’
Saya pun mengalami hal-hal serupa di masa-masa pencarian data mendapati keadaan
njomplang sangat membahaya banyak jiwa, dan dari hati terdalam, ingin mengungkap
rupa-rupa mengecewakan sambil berpegangan sumber keaslian. Jika dibayangkan dan
kenyataannya, para kritikus sastra berjubel menyuguhkan pelbagai pujian, keseluruhan
itu semisal dibikin tesis pun disertasi bergaya-gaya ilmiah, memboyong (dicekoki)
banyak referensi, dan kalau kutipan mengelu-elu dibukukan, tampaklah menggunung
atau tidak perlu keringat lebih menyusun buku-buku terlepas pengoreksian, atau
seperti apa wajah susastra yang mengedepankan sanjungan disisi abai meletakkan
kritik tajam sekiranya penting, daripada segebok kertas membuat kantuk tak
tertahan, lantaran biusnya dari pabrik-pabrik terkenal, sehingga yakin
meminumnya seperti tak pernah terjadi apa-apa, atau ketampanan mitosnya
melucuti diri para pembaca sampai tak sadar dibuat bugil tanpa terasa.
Di balik itu kalau ditinjau segaris besar, tak perlu
berlama-lama habiskan usia dengan membaca karya yang terang turunan, atau
sebaiknya lebih menyuntuki karya-karya mapan yang telah teruji pergolakan
jaman, meski berasal dari buku-buku terjemahan yang kurang maksimal garapannya.
Atau tak usah bangga menyiar tradisi tanah pertiwi, kalau nyatanya belum bisa
sepadan duduk sejajar di Barat pun Timur sendiri, atau jangan coba-coba
berdialog dengan wacana peradaban, jika belum tahu posisi ‘kedirian’ di atas
kekurangan dan kelebihan ocehan, atau mengatur dulu timbangan yang tidak lepas sejarah
besar dunia, agar yang tertulis tidak menjadikan sakit perut oleh kelucuan
pandang, sementara umur pembacaan terlanjur melampaui batasan senjakala.
***
Akhirnya ingin berkisah wewarna langit kala perjalanan
pulang ke Lamongan, tapi akan saya arsir perihal yang terlewat; sampai di Jombang
menuju Boenga Ketjil, menurunkan beberapa kardus berisi buku-buku sebagian
pesanan Cak Kepik, lalu meluncur ke rumah Sabrank di Dowong, Plosokerep,
tetangga desa almarhum Fahrudin Nasrulloh (dimakamkan di tanah kelahirannya Mojokuripan,
Jogoloyo), keduanya sekecamatan Emha Ainun Nadjib; Sumobito atau pelosok jauh,
sebelah utara beberapa kilo meter dari jembatan layang yang hendak masuk Jombang
dari Kota Pahlawan. Sampailah di depan rumahnya, ibunya bilang baru saja pergi
ke sawah, bergegaslah saya menyusul, dan dengan kesadaran teaterikal
memanggilnya berjarak sekitar 50-70 meter, tiada gema suara di sini, sebab
bukan daerah pebukitan pun tebing-jurang, hanya ladang pesawahan datar; yang
muncul lengkingan panjang, SS mendengar tetapi belum tahu siapa memanggilnya.
Sejarak 30 meteran, dia melambaikan tangan, mendekatlah saya lalu duduk di
bawah rimbunan bambu di pinggir pematang, yang dedaunannya lentik menari-nari
di udara ditiup angin, sambil memandangi penulis itu tekun bertani, menanam bijian
bawang merah di gundukan tanah yang digarapnya seorang diri.
Sabrank, awalnya saya kenal sebagai penulis sekaligus
pembaca Cerkak (cerpen bahasa Jawa) yang memiliki karakter kuat, menyelami
tradisi kepenulisan sastra Indonesia sejak bergabung Maiyah Padhangmbulan di Desa
Menturo kediamannya Cak Nun, lantas mengikuti “Geladak Sastra” FN. Saya tengok GS
paling akhir terekam google #23 (11/10/2014), sedang SelaSastra menembus angka #24,
berarti melampaui serta terusan dari GS yang lebih awal munculnya. SS, petani
yang tak gagap menuangkan gagasan lewat esai, puisi, cerpen, dia lebih berani
di antara guru pun dosen bertitel rangkap, yang sempoyongan terbebani gelar
mentereng hingga gemetar malu atas pangkat yang disandangnya, seolah masuk
paragraf pertama ngos-ngosan menguras butiran keringat dingin keraguan was-was,
hawatir oleh penilaian pembaca sampai terpuruk mandul atau memang dasarnya. Sementara
SS tanpa segan membenamkan diri menajamkan ujung pena, melatih jemarinya berkarya
di lembaran cahaya kehidupan teks yang dulu asing baginya. Keistiqomahannya sejajar
ketekunannya mengolah serta mengakrabi cacing tanah, mencerabut rumput
seperlunya, menanam apa pun kiranya tumbuh di lahannya; cabe, tomat, melon, bawang,
seolah tak ada yang terlewati, sebagian ladang garapan Sabrank kepunyaan Binhad,
jadi secara apa pun SS pula menimba keilmuan ke BN.
***
Coba cerita itu ditimpakan pada pengajar yang kebanyakan
malas membaca, ‘aras-arasen’ mendalami ilmunya, lebih parah sebagian tulisannya
njiplak juga garapan orang lain, karena mental belajarnya habis tergerus di bangku
obrolan basa-basi sia-sibe. Ah, mending berkisah perjalanan balik; Pagi hari setelah
ngopi di emperan rumah Sabrank sambil menghisap rokok beberapa batang, lalu berkendaraan
sepeda motor matic menjauh dari kediaman petani-penulis tersebut, sesekali
melihat langit tertutup mendung memutih bergerak merata menaungi kepala, hawa nan
sejuk menyapa muka serta jemari tangan, melewati Tambakberas, menikung sekilas
memasuki jembatan Ploso, meluncur menembus Gunung Pegat, terus berhenti di
Babat untuk sarapan, kemudian sampailah rumah, tak lama disambut turunnya hujan.
Perjalanan itu, kini tercatatkan dan bagian lain tersimpan bagi tenaga ke depan,
atau tubuh-jiwa atas persaksian hayat mempertebal kesungguhan, melakoni segenap
indra dilayari demi mudahnya tentukan jalan, menjatuhkan pilihan, mempertajam
pandangan, menguatkan unsur dibutuhkan pribadi yang tak lantas mentereng
mengira seperti pernyataan Taufiq Ismail, “Penyair adalah penguasa kata-kata,”
karena saya sadar, harga cabe di pasaran pun sanggup menjelma penguasa
kata-kata.
***
Kemarin saya dari Jogja
seperti biasanya; bermula sedari Lamongan 6/2/18 ke Bojonegoro, Padangan,
Ngawi, Solo, Klaten menuju Kuto Ngayogyokarto, lalu malam-malam mengantar buku
MMKI ke kediamannya Aguk Irawan MN, lantas menginap di kontrakannya penulis Awalludin
Gd Mualif (Ndruwo Art Space), agak siangnya meluncur ke Desa-Kecamatan Nglipar,
Gunung Kidul (padepokannya teman, Indarto), melanjutkan perjalanan lalui
Wonogiri ke SSC Ponorogo sekaligus menginap sambil mengenang masa lalu bersama penulis
Sutejo, dan siangnya balik melalui jalan tembus Nganjuk-Bojonegoro ke Lamongan.
Sebenarnya tulisan ini telah rampung, tapi tentu lawatan tersebut mewarnai,
sekecilnya kala membaca ulang membuka kemungkinan teks yang sudah tertanda,
pula memberi tekanan irama ke benang-benang terjalin setali celana Warok. Atau ketika
menyatukan nafas penyimakan mendekati titik penambahan, semacam baliknya
ingatan dari maksud terlaksana, ini meniupkan bara kian terang bertambah.
Demikian ‘negeni’ atau fokus, meski telah memasuki bentuk-bentuk peristiwa yang
terlewati.
*) Pengelana yang kebetulan suka baca, asal Lamongan.
http://sastra-indonesia.com/2018/02/ke-berhalangan-hadir-nya-binhad-nurrohmat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar