Nurel Javissyarqi *
http://sastra-indonesia.com
Sudah lama saya tidak menulis, Bismillah…
Tanggal 15 Juli 2012 saya membedah salah satu karyanya penulis ini (Penakluk Badai; novel biografi KH. Hasyim Asy’ari) tanpa makalah (lantaran informasi kepada saya mendadak, dan di hari itu juga mengisi acara di kampus STITAF, Siman, Sekaran, Lamongan, dengan makolah bertitel “Pendidikan; Prospek Pembentuk Karakter Budaya”, untunglah jadwal waktunya tidak bertabrakan; pagi hingga siangnya di Pesantren Sunan Drajad, siangnya sampai sore di kampus).
Dan 14 Mei 2014 kini membedah bukunya yang saya singkat Paus, sebagaimana perpendekan dari judul bukunya, di Pesantren Putri al-Fathimiyah, Banjarwati, Paciran, sebelah baratnya Pesantren Sunan Drajad, Lamongan (tempat bedah novelnya). Ia dapat dibilang produktif, sudah puluhan buku lahir atas jemari tangannya, ia pun putra terbaik Mbah Lamong yang pernah menimba keilmuan di Mesir. Bagi saya, ia penulis yang berjalan di jalur lurus, apapun dirinya kenyam; pengalaman hidup, pembacaan hayat, penafsiran buku-buku yang dipejarinya demi mengukuhkan iman sekaligus bersyiar menegakkan panji-panji kebenaran yang diyakini, pendek kata tidak sastrawan asal-asalan. Ini melayangkan ingatan pada bakal buku saya yang menohok mereka kelak, yang sukanya tanpa penyelidikan dalam penelusuran jauh, bagi jawabannya; Insyaallah akan terbit di tahun ini “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia,” yang mungkin sama satu sisi atas buku dibedah kali ini; membongkar borok nalar jahiliah, kemudian memekarkan harum kembang akidah Islamiyah, bagi para penulis muslim yang kangen memasuki alam sastrawi, amin.
Buku Paus karya penulis ganteng itu menambah perbendaharaan bagi bangunan susastra di Nusantara, setidaknya memberi peringatan agar mereka tidak lepas kendali dengan membaca sejarah; yang mengsle sepatutnya dibetulkan, yang bengkok seyogyanya diluruskan. Berhubung belum membaca atau buku tersebut belum berada di tangan, jadi mengalir saja. Saya peroleh kabar judulnya Paus dari panitia, saat perjalanan hari Jum’at 9 Mei 2014, antara Ponorogo-Lamongan, tepatnya jalan tembus Nganjuk-Ploso, tidak melewati kota Jombang. Laku ini; pembacaan sebelum kejadian, mengingatkan saya kepada santri Gebang Tinatar Tegalsari, Ponorogo, R.Ng. Ronggowarsito yang menjawab surat lawan bicaranya tanpa baca layangnya terlebih dulu, atau menanggapi perkara yang sedang akan terjadi. Sebelum menembus Paus, sekali lagi sudah lama tidak menulis, jadi perlu mengulas balik perjalanan diri, kalau pun ingatan ialah sejarah. Alhamdulillah dari bulan Mulud sampai di dalam Rajab tahun ini, saya sudah rampung mengeditori karya guru saya KH. A. Aziz Masyhuri, yang bertitel “Ensiklopedia Tarekat dalam Tasawuf” yang dipengantari Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Said Aqil Sirad, dan Martin van Bruinessen, atau telah lama tidak merambahi dunia sastrawi dengan ketekunan seajek masa lalu, ini melayangkan rekaman tatkala mengisi acara di kota Malang bulan lalu, syukurlah serpihan ingatan itu layaknya kembali oleh dibantu pembanding saya yang setia mengamati perkembangan sastra, ia juga penulis esai, peneliti kebudayaan, sekaligus penyair yang duduk sebagai dosen di UIN Malang, yakni Misbahus Surur, di kota Apel tersebut pula bertemu sastrawan Denny Mizhar, lantas ingatan-ingatan itu kini kembali segar bugar, maka sepatutnya catatan ini diteruskan.
Mungkin buku Paus semacam penjabaran meluas sedari titik esainya Aguk yang pernah membedah karya saya, jika diri ini keterlaluan, esainya “Menimbang Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dari buku Nurel: Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan” (dibedah di Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda “Karta Pustaka,” Jl. Bintaran Tengah 16 Yogyakarta, 21 Juli 2011) yang embrionya kalau tidak keliru sudah ditulisnya di Koran Republika, sebelum buku saya terbit. Setelah membuka google, data buku Paus berisikan esai-esai budaya dan agama, cetakan I, 2013, x + 434 hlm; 15 cm x 23 cm, penerbit Jalasutra, Yogyakarta. Sepintas laksana betul terbilang pada (kutipan) pengantar bukunya berikut ini: “Buku ini merupakan karya suntingan dengan beragam tajuk yang kami pilih dan kumpulkan. Sebagian besar berbentuk esai-esai ringan yang sudah dipublikasikan di pelbagai koran, baik nasional maupun daerah, serta majalah-majalah dan jurnal. Sebagian lain berbentuk makalah yang kami sampaikan dalam kesempatan seminar dan diskusi di tingkat nasional maupun lokal. Dan sebagian lagi berbentuk makalah ilmiah, sebagai tugas belajar di bangku program Pasca Sarjana selama kuliah di UIN Sunan Kalijaga.”
Kini waktunya saya bercuap-cuap; sejarawan Karen Armstrong yang menulis buku “Muhammad, a Biography of the Prophet” menyebutkan di buku itu “Puisi ialah pusat kehidupan politik Arab” yang sebelumnya mengunggah puisinya Ka’b ibn Asyraf, seorang penyair Yahudi dari klan Nadir yang pergi ke Makkah dan mulai menulis syair menghasut, demi mendesak suku Quraisy merapatkan barisan melawan Muhammad serta membalas dendam, bunyi syairnya: Wahai bumi tatkala nyawa mereka malayang // Telah terbelah dan menelan manusia// Dialah yang menyebarkan kisah yang merasuki // atau hidup ketakutan, buta dan tuli. Syair di masa itu khususnya (di Arab) dan pada umumnya sekarang (di Indonesia), maksud saya yang berbobot memiliki daya pamor tak sekadar nalar juga rasa, pula sejarah yang melingkupinya, tak cuma menggerakkan jiwa pun mampu merasuki ruh-ruh pendengarnya, hingga mental tanggung mudah dilahap rayuannya, dibakar semangat belianya ke lembah-lembah kegelapan maupun sebaliknya sanggup mengangkat ke derajad tertinggi, terus membagi pencerahan bagi indra-indra dipersaksikan di atas bukit kebenaran yang dilantunkan. Namun kini laksana jauh dari bukti (realitas), semacam mimpi di siang bolong kalau hendak mengamini paragraf ini, tapi perlulah dipetik bagaimana para penyair yang hidup di Tanah Air kini, kebanyakan mereka berlatih menyusun kata-kata indah yang tidak berasal dari laku hidupya, bersibuk menyuntuki jasadiah teks, dan tidak beranjak sedari mana kata-kata hadir lalu mengembara, seperti para pelajar berlatih membuat puisi lantas disenggang waktu dikumpulkan di meja redaksi untuk dikoreksi, disortir mengenai dimuat-tidaknya di halaman koran atau majalah, tujuannya membuat puisi/sajak menawan, runutan kalimatnya kuat sebab berkali-kali dibenahi, menambal lubang-lubang kelemahan ditutupi dengan ketekunan berulang, ketundukan pada nafsu ingin diakui. Syair-syair itu kelak jadi timbunan sampah kertas yang membuat orang-orang malas membacanya, karena geguratannya dari pembelajaran atas keinginan menulis kalimat indah, yang kerap terlepas dari pembacaan karya para leluhur, atau kehadirannya tidak mewakili suara musim-musim menaungi bangsanya hadir serta tumbuh di dunia ini. Bagaimana mampu membuat karya mempuni, jikalau dalam kehidupannya sehari-hari jarang merenungi di tengah wengi menginsyafi lelangkah kaki kembaranya, tak sekadar ayunan ingatan di atas bacaan yang mengisari, mereka jarang menyendiri demi peroleh inti daripada perjuangan panjang bangsanya, seakan melupa merambahi leladang kesadaran insani untuk menghaturkan kesaksian dari beningnya malam pertiwi, demi dipersembahkan pada siang pengorbanan, mereka terlelap kesibukan membuat menara gading yang pasti retak ambruk menimpahi wewaktunya jadi kesia-siaan merenggut usianya, lantaran tidak menelaah gerak terdalam hakikat hidup seirama kata-perbuatan, selaras laku-keyakinan, seimbang membaca perubahan, serasi denyutan jiwanya naik-turun semelodi angin bertiup menghidupi pepohonan, suburkan mata air pegunungan, serta mengharumkan kembang-kembang peradaban.
Buku Paus saya kira menghidangkan santapan lezat bagi yang ingin berjalan di landasankebenaran; mengetengahkan keindahan santun, memiliki rerujukan dari bebidang disorotinya serta diramu menjelma formula tidak sekadar jitu, juga perluas kewaspadaan perasaan insani; pembacanya saat menyusuri arus besar yang disandang karya tersebut. Menyuguhkan penerang bahwa karya sastra tidak beraneh-aneh, dan gagasan kesastrawiannya bukan bermula dari keblingeran ingin dianggap nyeleneh, tetapi berawal hati teguh iman, penalaran kuat, menghayatan dalam, bukan rakitan apalagi akrobatik kata laksana sulapan. Karya-karya Aguk; novel, esai, cerpen pula puisinya, sedari pembacaan jati dirinya di tengah-tengah pergolakan jamannya, mengudar hidupnya demi memantabkan keyakinan, membentangkan hasil bumi penyelidikannya, dengan langkah pelahan terus mempelajari apa yang patut ditopang, dan menghempaskan yang perlu ditinggalkan. Sekadar menyebut nama pengarang karya sastra yang diilhami ruhaniah Qur’ani, Jalaluddin Rumi dengan Diwan-i Syams-i Tabriz-nya, kitab At-Thawasin karya al-Hallaj, masuk ke dataran Tanah Air di Serambi Mekkah (Aceh) bertebaran karya-karya Hikayat Perang Sabil (HPS), ada yang bersumber dari kitab Mukhtasar Muthiri’I-gharam disusun Syaikh Ahmad Ibn Musa, kitab Tadkhiratal-Radikin (1890) atas Tgk. Chik Kutakarang, ada juga HPS (1834) sedari karangan ulama besar Syaikh Abd al-Samad (Abussamad) al-Falimbani (Palembang), pula HPS yang disusun Teungku Putroe, permaisuri Sultan Muhammad Daud Syah. Kalau menyimak para penyair di masa Rasulullah SAW, semisal Hasan bin Tsabit, Ibnu Rawahah, lebih jauh dapat dibaca di buku Paus. Para beliau mengarang karya sastra bukan semata ingin dikenal sebagai sastrawan, tetapi lewat sentuhan langgam kesusastraan, berharap para pembacanya memahami yang sejatinya diperjuangkan dalam sekelumit usianya, beliau mengurai tahap kecintaannya kepada Allah SWT dengan tidaklewar dari perangai menawan di atas kilatan cahaya kitab suci, segala sumber pencapaian para pendahulu dipelajari, dipadukan pencarian pribadinya terhadap keindahan suci. Para beliau memantabkan iman bukan oleh penalaran saja, juga pergulatan goda dalam wewaktu peribadatannya, bersunyi-sepi menapaki tangga hidup nur pengetahuan, membaca segenap perubahan, menyimak bebentuk rayuan lembut, mengenal dalam fitroh manusia atas makolah para sahabat nabi, para imam, para mufassir dll, kesemuannya dikandung dalam kurungan masa kehidupan di dunia, yang sebagian terlahir dalam karya-karya besarnya dan kita mengenalnya.
***
Barusan panitia acara telepon, kalau bukunya akan sampai besok sore di Stasiun Semut, Surabaya, jadi masih ada kesempatan membaca barang sehari-semalam sebelum melanjutkan. Olehnya sambil menunggu akan diunggah tulisan saya yang dulu di status facebook mengenai alam di Ponorogo, menimang-nimang tak membuang yang pernah lewat dan tercatatkan: diam-diam saya melangkah dengan kata-kata lirih pelahan, agar pepohon tetap bergoyang dengan nadanya, rerumputan senantiasa khusyuk dalam dekapan, dan sinar mentari menerobos celah dedaunan tanpa bimbang. Lalu apa yang tersentuh lewati jemari menjadi kelembutan pemahaman, hingga cecabang penalaran serta kilatan-kilatan hati dalam mendiaminya, tidak lepas tali kekangan. Sedari sentuhan itu, andai menemui hikmah, tiada lain semoga pembaca yang lebih segalanya daripada saya, turut berkenan menghadiahi hembusan doa, agar kelak melangkah pada titian panjang, seirama untaikan kata mutiara HOS. Tjokroaminoto, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Di joresan Mlarak, sekitar satu kilo meter dari Gebang Tinatar Tegalsari, Jetis, ke arah timur matahari, dimana alamnya cantik rupawan, musim tanam padi mulai tumbuh lembut menghampar luas dikelilingi pebukitan dari kejauhan, dalam suasana kejujuran tropis itu, saya bagaikan lumpur berhasrat membuka tirai-tirai jendela, guna seluruh pandangan, segenap kesaksian malam-siang, tidak sekadar dilewati roda jaman, masa yang cepat aus, waktu terlanjur menepi, juga memiliki bekas cukup pantas dikenang sekaligus dilestarikan dalam untaian karangan munajad pembaca yang menjelma mata rantai sholawat ke suluruh semesta lahir-batin, mengisi antariksa jagad alit pula besar, demi persaudaraan langgeng di dunia pula di akhirat.
***
Dan saya baca buku Paus meski selintas, jika ini kritik sewujud berlari serampangan, kalau dianggap begitu tak masalah, Aguk bisa membalas kritiknya nanti pada buku saya selanjutnya, dan umpama dikira saran, puji syukur Alhamdulillah. Pembacaan saya dari halaman 3 sampai 176, dari esai “Binhad Nurrohmat dan kembalinya unsur Sastra Jahiliyah” hingga “Perihal tersingkirnya Puisi dari Industri Buku.” Dalam lintasan baca segerak cepat saya peroleh nada-nada kecenderungan diulang, atau kekisah sama diulas balik untuk memperkuat yang dikritisi dan memang itu tak mengapa, namun mengurangi keindahan. Mungkin perihal tersebut dikarena tuntutan media yang dikirimi karyanya, nan perlu gerak cepat jua untuk menuliskannya, di sini saya tidak mengalami keterhambatan membaca meski segerakan kilat, atau tidak terbata-bata seperti Aguk baca buku tipis saya yang dulu melihat (anggapannya) saya dalam keadaan terbata-bata dalam menuliskannya (esai Aguk mengenai buku saya pun ada di buku Paus). Beberapa kali saya pelajari polemik yang menghiasi media massa, nyata kurang memiliki perenungan dalam, seolah melupa bahwa penulis sudah mengetengahkannya, pahadal ketika tampil jadi bendelan buku, sangat kentara pengulangannya. Atau esai-esai di buku Paus, serasa hampir sama cara penyajiannya dengan bebuku kumpulan esai yang ditulis para kritikus sastra di Indonesia, yakni himpunan dari beberapa kasus yang ditulis di media cetak pun yang diadakan dalam wewaktu acara diskusi. Pengulangan di beberapa tempat (esai), semisal kisah penyair jahiliyah al-Qois yang nasibnya jadi gelandangan terluta, keagungan penyair muslim Ibnu Rawahah di hadapan kanjeng Nabi Muhammad SAW, dukungan penulis pada Najib Kaelani dst, namun secara garis besar Aguk punya peta penalaran jelas atau kritiknya tegas, mana yang harus disentil (Binhad Nurrohmat), sekadar disenggol (Damhuri Muhammad), disowahi(Hamid Jabbar) dipertanyakan (Taufik Ismail), yang dikritisi (Maman S Mahayana), dan sastra ngeseks dibantai habis. Tetapi sayangnya (mungkin ini hanya ungkapan saya saja) Aguk tetap mengakui Chairil Anwar sebagai pentolan, tidak mengkritik tegas mental si binatang jalang yang menjiplak lalu diperhalus HB. Jassin jadi penyadur di beberapa puisinya, pun tidak mengamati arus kecil mengisarinya yang tak pantas disebut pelopor di masanya. Selebihnya buku ini memikat, karena tidak banyak kritikus di Indonesia yang mengulas jauh alam kesusastraan di jazirah Arab, bisalah dibuat pegangan bagi yang mau memasuki dunia sastra Islam, atau buku Paus menambah wawasan serta sedikit-sedikit dapat memperteguh pengetahuan, tentunya sambil menyinauhi dalam-meluas apa saja yang Aguk sampaikan, agar benar-benar kepada pemahaman tersendiri.
Halaman 179 ke 400, Aguk memperlebar ayunan jala pemikirannya, tak melulu dalam negeri, jua bersangkut kepada para pemikiran luar yang akrab dengan jemari kekinian; menyapa dekat Muhammad Abduh, memperkenalkan Khalil Abdul Karim di antara kaum pemikir muslim yang ulang lainnya, mengenai Dr. Yusuf Qardlawi saya memilih berhati-hati, sebab iklim di Mesir berbeda dibandingkan di Indonesia yang tropis, tentunya mempengaruhi geliat nalar kaum penghuninya, meski di lain tempat Aguk memberi perbandingan Indonesia-Mesir, seperti pada catatan buat Ikranegera. Ada pola nalar Aguk bisa dibilang menarik, semisal memotret Mbah Maridjan seibaratan Nabi Ibrahim, perihalPadusan dts, yang menampilkan kearifan lokal untuk disinauhi kembali. Di esainya “Kesejajaran dan Pertentangan: Sains dan Agama,” sang penulis banyak menyisir permukaan ahli pikir Barat yang mempelajari keilmuan sedari khasana Islam, dan saya jadi tahu bagaimana pandangan Aguk menyikapi Stephen W. Hawking. Namun ada kelewat,mungkin Aguk abai atau lalai pada bukunya Eugene A. Myers “Arabic Thought and The Western Word” yang salah satunya mendapati penalaran Thomas Aquinas sedari temuannya al-Farabi. Selanjutnya mempertimbangkan Sutan Takdir Alisjahbana, tentu setelah baca jaman keemasan Yunani, kejayaan Islam, serta capaian Barat kini, untuk mencerna lemah lempung Pertiwi. Aguk pun memperkenalkan pemikiran al-Jilli diantara Nietzsche dan Søren Kierkegaard, mengetengahkan teorinya Charles Sanders Peirce bersama biografinya, kian dekat memahami posisi Ayatullah Khomeini dengan Mohammad Reza Syah (Dinasti Pahlevi), fenomena lokal Muhammad Yusman Roy, tidak luput menulis Adonis beserta sepak terjang kegelisahannya, menyikapi karikatur Nabi SAW pada koran harian di Denmark Jyllands Posten (30 September 2005), dan ditutup dengan esai “Tradisi Kenduren, Kearifan Lokal dan Identitas Budaya.”
Maka dalam buku Aguk yang dibagi 4 bagian, saya membacanya dengan 2 tarikan,Pertama lebih akrab mengenal dunia sastra di Indonesia dengan bumbu sedap sejarah kesusastraan sebelum Islam sampai turunnya ayat-ayat (al-Qur’an) teguran bagi para penyair hingga apa saja yang sepatutnya dilakukan sastrawan muslim, di sini Aguk memukul mundur sastra wangi, lalu memberi pengajaran sejauh mana seyogyanya susastra yang Islami, bukan yang berkembang ngepop sekarang ini, terlepas dari sejarah pergulatan orang-orang yang melakoni hidupnya dalam masyarakat. Kedua, di sinilah perbedaan para kritikus sastra Indonesia dengan Aguk, yang tak hanya berkutat dalam lingkaran dirinya sebagai penulis, tetapi berani keluar menyoroti perubahan, menyikapi laju jamannya, dan memberi benih unggul pengertian yang pantas dijumputi penulis setelahnya. Olehnya dari kisaran tulisan ini dapat ditarik benang simpul, pembacaan awal ke pertengahan cukup baik, yang tengah hingga tuntas bisa dibilang lumayan baik, dan biografi Aguk menjanjikan terbaik, karena sebentar lagi menyandang gelar Doktor. Jadi para mahasiswa dan kaum santri yang mengikuti diskusi kali ini, sangat merugi kalau tidak membeli bukunya; yang bagi saya ada beberapa buku bisa cepat kadaluarsa apa yang diunggahnya, sementara bukunya Aguk tidak mempan oleh fenomena tersebut, maka hukumnya wajib bagi kawula muda Lamongan untuk memilikinya, kalau ingin berbicara dunia sastra Islam pula para pemikir muslim beserta perkembangan geliatnya. Terakhir kali mohon maaf atas pembacaan yang melaju cepat, tentu masih siap menjawab yang mungkin kelak saya genapi, sebab apalah hebatnya gerak lesat hanya dibantu setan lewat, maka Wallahualam bissawab…
14 Mei 2014, dekat Bengawan Solo di desa Karangcangkring, Dukun, Gresik.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar