Minggu, 18 November 2012

Mendiagnosa Kritik Sastra Mutakhir

Hasnan Bachtiar *
Sastra-indonesia.com

“Don, adone djongkong, djongkong ijo godonge senthe. Ati-ati riko nompo omong, omong manis mesti katute.”

Potongan syair manis di atas didapat dari “kumpulan” lagu-lagu Osing yang bertajuk “Podho Nginang.” Penulis hanya terlupa siapa pengarang “asli” syair tersebut. Terjemahanan bebasnya kurang lebih, “Adonan kue djongkong, kue djongkong hijau itu terbalut daun senthe. Hati-hati kita semua menerima perkataan, perkataan manis pastilah membuai.” Perlu diketahui bahwa, artikulasi sastrawi ini memiliki makna yang terpaut erat dengan persoalan politik, verifikasi ilmiah dan kejujuran intelektual. Karena itulah, sepanjang tulisan ini secara lugas akan membahas tentang persoalan sastra dan kejujuran intelektual.

Tulisan ini merupakan kritik. Kritik yang dimaksud, adalah kritik sastra sekaligus kritik pemikiran dan filsafat. Fokus pembicaraan yang diajukan, menyangkut teks yang bertajuk, “Sastra Versi Iklan Kecap Indonesia” (2012) yang ditulis oleh kritikus Nurel Javissyarqi. Meskipun demikian, untuk kelengkapan bahan kritik, disertakan pula pemikiran-pemikiran dari Dami N. Toda, A. Teeuw, Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri, sebagai wacana utama.

Konsepsi kritik ini memanfaatkan analisis multidisipliner, khususnya ilmu-ilmu dalam disiplin humaniora. Untuk mempermudah analisis, maka penulis mencoba menjadikan segala bentuk teks dan pemikiran sebagai bagian dari wacana (discourse). Kendati demikian, tulisan ini murni interpretasi terhadap teks-teks kritik dan sastra, maupun pemikiran yang terhampar di hadapan penulis. Karena itu sejak awal, menghendaki segala permakluman atas perbedaan-perbedaan pandangan menyangkut gagasan yang diajukan. Persoalan pokok yang menjadi tema utama adalah, “Apa itu kritik sastra mutakhir?”

Apa itu kritik sastra mutakhir? 

Sesungguhnya tidak ada yang paling “mutakhir” dalam gagasan kemutakhiran yang ditawarkan. Bahkan secara filsafati, ide “mutakhir” adalah cacat yang tampak di permukaan. Inilah pijakan awal tatkala membincang setiap pembakuan ide tertentu.

Pelbagai istilah operasional dalam pemikiran, hanyalah alat yang membantu manusia untuk mempermudah dalam menganalisis. Meskipun dalam pelbagai aspek, kerapkali menggunakan konsepsi filsafati tersebut dengan cara yang berbeda. Mungkin benar, salah satu penyebabnya adalah keberbedaan penafsiran (multi-interpretif) di antara para penulis. Belum lagi bahwa, konstruksi sosial dan kebudayaan turut menambah bobot keberbedaan tersebut. Secara lebih jauh dalam psikoanalisa, dimensi biologis yang paling natural dari manusia (id), emosi-hasrat yang paling pribadi (ego) dan penghayatan individual akan kehidupan (super ego), membentuk adanya kepastian pluralisme daya dalam interaksi di antara subyek-subyek. Ini pembicaraan horisontal.

Sementara dalam ruang vertikal, yang materiil dan yang ideal (manusia dan alam), dilengkapi oleh struktur hidup yang disebut dengan istilah “waktu”. Dalam buku Essai sur les données immédiates de la conscience yang ditulis oleh Henry Bergson, telah dipertimbangkan hadirnya ide durée yang dalam bahasa Indonesia, kurang lebih bermakna “lamanya” atau waktu yang psikis. Secara eksistensial, waktu ini yang ambigu ini memang ada dan hadir. Persoalannya, dapatkah istilah “mutakhir” yang memiliki kata dasar “akhir” yang bermakna purna, ter-kini, terikat oleh waktu yang paling sekarang, benar-benar menjumpai eksistensinya yang hakiki?

Sebelum para ilmuwan eksistensialis seperti Heidegger, Jaspers dan Kierkegaard terlibat dalam diskusi dalam mimbar akademik, Gabriel Marcel dalam karangannya yang berjudul Position et approches concrètes du mystère ontologique (1933) telah menegaskan adanya keunikan persoalan kehadiran ini. Kira-kira mirip seperti Bergson, hanya manusia yang insyaf dan menyadari-lah yang memahami waktu kaitannya dengan ketidakmungkinan yang paling pasti untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan kekinian dan kedisinian.

Sampai di sini, berarti ada dua gagasan menyangkut waktu. Pertama, waktu mengada sebagai dirinya sendiri (being in itself), sedangkan yang kedua, waktu hadir dalam benak kesadaran kemanusiaan atau menjadi hal yang fenomenal (terra in cognita). Kedua hal ini menjadi pembicaraan khas dalam metafisika. Seperti misalnya, perbedaan istilah science dan knowledge dalam bahasa Inggris, atau ilmu dan pengetahuan dalam bahasa Indonesia. Bila dihubungkan dengan hakikat “kebenaran” sebagai suatu hal yang senantiasa dicari, maka science (ilmu) itu mengada, sementara knowledge (pengetahuan) menyaratkan adanya dimensi kesadaran agar hadir di tengah-tengah cogito manusia. Bila yang pertama sudah dalam kodratnya sebagai hal yang metafisis, sedangkan yang kedua, memiliki potensi tergambar dalam ruang metafisika tatkala manusia mencoba mencandra apa yang dimaksud dengan “kebenaran” yang hendak diketahui.

Persoalan ini terangkum secara jernih dalam catatan Husserl sebagai tokoh fenomenologi dan Sartre sebagai pemikir eksistensialis. Mengikuti struktur filosofis dalam buku Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie (1913) yang ditulis oleh Husserl, maka “waktu” itu sendirilah selaksa mentari yang bersinar menyinari semesta yang penuh harap akan terang dunia. Hakikat tentang waktu akan sampai kepada manusia, bila manusia berlapang dada untuk mengetuk dan membuka pintu “ego transendental”, sehingga ketidakmungkinan mengisi ruang-ruang kemungkinan dalam ruang batin intelegensia. Tampillah kemudian apa yang dimaksud dengan visualisasi tentang waktu (Vergegenwärtigung). Membenarkan kesadaran akan waktu dengan cara yang berbeda, Sartre dalam L’être et le néant. Essai d’ontologie phénomenologique (1943) berpendapat bahwa, sesungguhnya penyebutan akan kebenaran waktu itu sama halnya dengan mengatakan keberadaan diri kita sendiri. Waktu itu hadir, hanya untuk “diidamkan” bahwa hal itu benar-benar hadir dalam diri (waktu) itu sendiri. Karena kehadirannya diinginkan, maka “atas ketidakmampuan manusia” sebenarnya itulah “tindakan kreatif” oleh setiap penulis sendiri (être pour soi). Inilah kesenyapan metafisika, yang senantiasa menjadi misteri.

Sementara dari sini, belum ada satu pun yang sedemikian gegabah mengatakan bahwa metafisika benar-benar diketahui, dikuasi atau sebaliknya, metafisika dihancurkan sejak dalam hakikatnya. Nietzsche berpendapat bahwa atas segala kekurangan manusia inilah, semestinya kita menaruh hormat atas fenomena nihilisme. Bukan berarti semua kebebasan diperkenankan, namun secara arogan menisbatkan diri sebagai satu-satunya pemangku kebenaran, bukanlah contoh yang dapat dipercaya, bahkan itu berarti, mempertontonkan keruntuhan gagasan yang sejak awal salah. Sekali lagi, apapun itu, pembakuan bukanlah hal yang dapat diterima. Dengan mengapresiasi gagasan ini, Michel Foucault dan Derrida secara konsisten menerapkan dalam karya-karya filsafatnya.

Kendati demikian, kerap kali ditemukan beberapa kesalahan pembacaan di antara para ilmuwan yang gagal memahami nihilisme dan dekadensi Nietzsche, kuasa, seni dan dekadensi Foucault, serta metafisika, logosentrisme dan dekonstruksi Derrida. Resiko bahwa semua manusia niscaya tidak sempurna, dekaden, selalu ingin berkuasa, tidak sepenuhnya menangkap metafisika, meninggikan bahasa lisan, memanfaatkan bahasa tulis dan sebaliknya, secara misterius, manusia sekaligus memiliki kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk bersikap kritis, termasuk kepada dirinya sendiri. Semoga pembaca memiliki toleransi yang tinggi dan menyadari sepenuhnya bahwa setiap pembakuan, justru menunjukkan cela diri.

Dalam konteks filosofis ini, kritikus yang mempromosikan beberapa nama-nama asing dalam khazanah kritik sastra Indonesia, tentu memiliki haknya untuk mendapatkan toleransi tersebut. Hanya masalahnya, secara tidak sadar mungkin, ketika memperkenalkan nama Roland Barthes misalnya, ia sengaja melupakan segala gagasan cemerlang Barthes. Salah satu yang paling menonjol adalah penemuan tentang Le degré zéro de l’écriture (1953). Peneliti mitos ini hendak mengumumkan langkah yang arif untuk melepas segala tendensi ideologis ketika memulai menulis suatu karya. Tentu saja ini hal yang mustahil. Bahkan, seorang filsuf sosial Jerman, Karl Mannheim dalam “Ideologische und soziologische Interpretation der geistigen Gebilde” (Jahrbuch für Soziologie, 1i, 1926) menganggap tidak pernah ada netralitas. Semua pengarang tentu saja utopis ketika menulis pengetahuan tertentu, tidak terkecuali Barthes dan Teeuw. Kendati demikian, sangat perlu dimaklumi sekiranya ada promosi kearifan oleh Barthes yang disampaikan secara kurang arif oleh komentatornya,

“Teori sastra telah berkembang dengan pesat pada paruh kedua abad ke-20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra. Di Indonesia teori-teori mutakhir ini jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya, teori sastra Indonesia sering ketinggalan zaman.” (Kumpulan esai A. Teeuw, “Membaca dan Menilai Sastra,” 1983).

Belum lagi bahwa Roland Barthes pernah mengajukan ide “kematian pengarang”. Dalam karya L’empire des signes (1970) dengan penuh kehati-hatian, Barthes mengingatkan kepada setiap penafsir bahwa, tidak ada tafsir yang paling baku di mana pun. Seolah ingin mengungkap bahwa, kita ini adalah manusia-manusia yang papa, bukan Tuhan. Sayangnya, penetapan adanya “teori mutakhir” yang seolah meninggikan gagasan Barthesian, justru tersaji secara diluar dugaan. Kata-kata, “Di Indonesia teori-teori mutakhir ini jarang dikenal… Akibatnya, …sering ketinggalan zaman” menunjukkan betapa kita harus memaklumi adanya alpa terhadap gagasan yang merasa tinggi, sekaligus mencoba merendahkan yang lain.

Implikasi diskursif ini tentu saja menghampiri beberapa pemikiran sastra lainnya. Aliran dekonstruksionisme sastra mantra Sutardjian kiranya perlu dipertimbangkan lagi bila hendak disebut sebagai sastra mutakhir. Arif Budi Wuriyanto (2012) dalam salah satu sesi kuliahnya menyampaikan bahwa, Sutardji dengan mantranya, mengidamkan gerak kembali kepada semesta, kembali kepada alam dan asal-muasal kelahirannya, sebelum makhluk. Tandasnya, itulah bentuk syukur yang diekspresikan melalui lantunan sajak-sajak yang tidak berpola, murni dan bebas. Dengan demikian, segala kekayaan dalam karya “O Amuk Kapak” (1981) adalah kesadaran akan kepapaan yang sangat manusiawi. Dengan kata lain, itulah cara Sutardji memahami diri dan Tuhannya dengan sangat religius. Hanya saja, sekali lagi, ketika pembakuan terjadi atau ada praktik kategorisasi terhadap gagasan tertentu, termasuk pengukuhan “dekonstruksionisme” berarti, ia tak lebih dari sekedar penyelewengan sastra mantra Sutardji itu sendiri. Anehnya, barangkali hal ini terjadi juga dalam teks kritik, “Isyarat: Kumpulan Esai” (2007) yang “selesai” ditulis oleh Sutardji. Ada kondisi di mana Sutardji sebagai penyair dan kritikus sastra. Dalam kompleksitas ini, Ignas Kleden sebagai kritikus Sutardjian, belum secara detil mengamati peluang-peluang cela atas gagasannya sendiri.

Kiranya tidak terlalu salah bila penulis menyebut bahwa, ke-“mutakhir”-an hanyalah angan-angan belaka. Keputusan ini menuntut para kritikus untuk memeriksa pemikiran-pemikiran sastra di sepanjang sejarah bangsa ini. Persoalannya, pembacaan akan dilakukan terhadap substansi pemikiran (epistemé) yang paling pelik sejak zaman dahulu, ataukah keragaman pemikiran berdasarkan waktu yang paling menginjak kesekarangan? Misalnya saja, apakah pemikiran sastra W.S. Rendra sudah cukup mutakhir, ataukah sebagai karya sastra yang usang?

Di titik inilah kiranya, kita justru harus mengapresiasi kerja keras A. Teeuw, Sutardji dan Ignas Kleden. Pasalnya, dengan menghadapi tantangan-tantangan pemikiran yang sangat segar, akan melatih setiap kritikus untuk lebih bersungguh dalam membaca sekaligus mengasah kearifan yang dimiliki. Di lain pihak, Nurel Javissyarqi yang terus-menerus berkarya dan konsisten dengan pendiriannya, dalam posisinya sebagai kritikus telah mengajarkan ketajaman kritik. Dalam buku “Trilogi Kesadaran” (2006), Nurel sudah sedemikian gencar melancarkan kritik-kritik yang berbobot terhadap konservatisme pemikiran sastra. Dogmatisme, baik dalam sastra klasik (sastra daerah), maupun sastra kontemporer, bukanlah hal yang perlu untuk dibanggakan. Begitu pula pada bentuk konservatisme lainnya seperti nativisme, estetisme, narsisme, dekonstruksionisme dan lain sebagainya.

Pada akhirnya, penulis mengajukan bahwa gagasan “kritik sastra mutakhir” itu bermasalah. Karena itu, kendati manusia tidak pernah lepas dari masalah, seorang kritikus yang baik tidak akan mudah terpukau oleh komentar atau kritik yang manis begitu saja (omong manis mesti katute). Sebaliknya, ia juga akan bersikap dewasa ketika menghadapi kritik tajam, karena jiwanya yang kokoh. Tulisan ini hanyalah sekedar diagnosa (verifikasi ilmiah) terhadap pemikiran sastra dan kritik sastra, yang berusaha dengan segenap hati untuk jujur secara intelektual, tanpa “katut” (turut, semena-mena) pada istilah-istilah yang membuai seperti “mutakhir” dan lain sebagainya. Dengan demikian, silahkan membaca karya sastra apa pun, dari mana pun, termasuk Serat-Serat Ronggowarsito atau puisi-puisi Eropa kontemporer tanpa rasa sungkan dan khawatir.[]

*) Hasnan Bachtiar, Peneliti filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/11/mendiagnosa-kritik-sastra-mutakhir/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez