Hasnan Bachtiar *
http://sastra-indonesia.com/
KALAU mengingat Derrida, tentu tidak sukar menemukan maksud dari judul
di atas. Bagi dekonstruksi Derridian, seluruh kehidupan, bergantung
kepada teks. Bahkan kredo yang masyhur di belantika filsafat adalah,
tidak ada sesuatu pun di luar teks.
Misalnya kita yang menikmati “bunga mawar” yang sebenarnya, lalu hendak
menuliskannya karena ada kesan padanya, maka kita menulisnya, “bunga
mawar” sebagai tenunan teks. Sepintas, kita berpikir bahwa bunga asli
telah diwakilkan kehadirannya oleh tulisan. Dunia riil yang ditangkap
oleh pengetahuan manusia, atau dalam bahasa yang lebih ringkas disebut
dengan dunia ide (logos), digantikan wujudnya oleh teks. Logos,
menjadi hal yang tinggi dan asli, dibandingkan dengan tiruannya, teks,
tanda atau simbol. Itulah salah satu proses kebenaran ditulis, menurut
satu perspektif yang umum.
Di pihak lain, tentu dengan kesadaran lain pula, akan ditemukan bahwa,
bukankah teks “bunga mawar” hanyalah teks? Kata “bunga” barangkali
tidak harus pengganti atau imitasi dari yang asali. Kata “bunga” pernah
dilahirkan dan terus digunakan dari kata “bunga” yang lain atau
sebelumnya. Jadi, “bunga” hanyalah tenunan dari huruf-huruf
“b-u-n-g-a”. Maka, jadilah “bunga” sebagai satu tenunan kata yang utuh.
Dengan demikian, kalaupun kita memiliki ide (logos) tentang apapun,
maka teks akan setia menemani. Singkat cerita tentang perspektif lain
ini bahwa, benda yang sesungguhnya maupun ide, bukanlah hal yang utama.
Logos tidak superior dibanding dengan teks.
Argumentasi yang kiranya sulit dibantah adalah, pernahkah kita
menjawab, mengapa “pintu” yang kita lihat, bernama “pintu” atau tersusun
dari huruf “p-i-n-t-u”? Lucu juga misalnya kita bertanya, siapa yang
mengarang kata “pintu”? Tentu saja banyak dari pembaca agaknya
terbelalak, memanggut dan tersenyum kalau menyadari bahwa, setiap orang
Indonesia tidak pernah tahu, nama seorang penemu pintu. Hal ini tidak
berhubungan dengan “tukang kayu”, namun berhubungan dengan “nenek
moyang” penggagas dan penemu yang paling hebat, karena setiap kali
menunjuk “pintu”, kita menyebutnya atau menulisnya “pintu”.
Dari “pintu” yang hanya teks, Derrida menyarankan untuk memperlakukan
teks selayaknya teks. Maksudnya, kendati makna dari setiap teks itu
tergantung kepada penulis, pembaca dan “penulis baru”, Ia memiliki
sifat yang tidak tunggal. Tidak ada makna yang “paling benar” di antara
siapa pun. Karena itu, hasil karya dari setiap penulis (penulis baru),
hanyalah tambahan-tambahan, kolaborasi, atau bahkan sekedar permainan
teks. Di sini, ada kesan awal bahwa, “makna” (logos) tidak terlalu
penting, karena yang pertama adalah teks, bukan ide. Tapi sebenarnya,
Derrida bukan bermaksud merendahkan “makna”. Justru sebaliknya, ada
upaya untuk membebaskan makna. Tafsiran akan teks adalah diseminasi,
atau penyebaran teks-teks lainnya. Secara sederhana, inilah yang
dimaksud dengan “Dekonstruksi Derrida”.
Dalam khazanah filsafat kontemporer, mendewakan logos atau dunia ide,
disebut dengan logosentrisme. Wajar, kalau di kemudian hari, ilmu
tentang ide atau logologi, sementara, digantikan dengan ilmu tentang
tenunan teks atau gramatologi. Maksudnya jelas, bukan untuk
menyingkirkan makna, tetapi memperkaya makna.
Tatkalah lebih detil memikirkan ulang Derrida, akan ditemukan bahwa
teks, tidak benar-benar menjadi teks. Tengoklah pikiran tentang
memerdekakan makna. Kendati selalu meminta bantuan teks, bukankah
“makna” adalah logos itu sendiri? Pertanyaan yang mendesak untuk problem
ini adalah, apakah makna mengabdi pada pengarangnya?
Setiap orang bisa saja menjawab bahwa, makna melayani kehendak
pengarang, pembaca dan penulis baru. Inilah temuan bahwa, teori
dekonstruksi tidak kebal kritik. Selalu tersembunyi logos, dunia ide,
atau yang metafisis di balik teks yang dimainkan. Dengan begitu, bisa
saja gramatologi ternyata terjebak pada logosentrisme. Apakah
logosentrisme adalah hal yang kurang baik dan perlu ditantang kekuatan
metodologisnya? Dalam konteks zaman Derrida, jelas perlu.
Kesimpulan sementara penulis terhadap dialektika filosofis pemikiran
kontemporer tersebut bahwa, setiap pemikiran, memiliki kehendaknya
masing-masing. Dengan kata lain, filsafat adalah alat operasi
penguasaan. Menurut Nietzsche, seluruh kehidupan adalah dialektika
kehendak. Hidup ini adalah pluralitas kehendak, yang masing-masing ingin
menjadi yang paling benar di antara yang lain. Filsuf Jerman ini,
mengungkap adanya sifat dan perilaku resentimen atau perilaku balas
dendam dari setiap langkah kehidupan manusia. Menurut penulis, Nietzsche
juga tidak bisa lepas dari jerat resentimen yang dituduhkannya. Ia
adalah seorang yang kecewa. Dalam esai panjang yang ditulis oleh
Profesor Setyo Wibowo, dijelaskan bahwa tafsir yang menganggap Nietzsche
resentimen adalah tafsir yang tidak menarik (Akhmad Santosa, 2009:
190). Jelas pula bahwa tafsir Setyo Wibowo juga perilaku yang
resentimen, upaya kehendak, atau operasi penguasaan.
Resentimen sebagai sebuah istilah, memiliki makna yang merdeka. Kendati
secara umum, resentimen mewakili suatu kehendak atau keinginan
imajiner, agar orang lain tidak bersikap seperti yang dikehendakinya.
Sifat khas yang melekat pada resentimen adalah kekecewaan. Kekecewaan
dan resentimen, terkesan negatif, namun bisa juga sangat positif.
Artinya, berawal dari resentimen manusia yang sangat alamiah, telah
membuka pintu dialog, komunikasi, atau bahkan rekonsiliasi antar
kepentingan. Dalam kasus tertentu, kadangkala tidak ada perbedaan di
antara pemikiran, hanya saja berbeda ungkapan. Tetapi siapa tahu batin
orang? Meskipun tiada orang pun yang tahu, sangat baik jika filsafat,
sastra, bahasa atau kehidupan adalah berbicara dari hati ke hati.
Inilah teori yang hendak digunakan untuk membaca setiap tafsir, dalam
pergumulan sastra Indonesia dewasa ini.
Teks analisis ini adalah kritik atas dekonstruksi Derrida. Inilah
apresiasi, akan lahirnya kembali metafisika yang kaya, merdeka dan penuh
makna. Kritik atas Derrida, sama sekali bukan meruntuhkan, tetapi
membaca ulang dan menemukan “maksud” dari upaya pembongkaran teks.
Sebetulnya secara detil, tidak ada salah paham dengan logosentrisme dan
dekonstruksi. Hanya saja, ekstrim terhadap teori tertentu bisa
menyebabkan mis-komunikasi. Menenun teks baru secara terus-menerus,
berarti memproduksi makna-makna tanpa pernah berhenti. Aktivitas
penafsiran adalah produktivitas yang sangat baik, terlebih sebagai upaya
untuk memberi terang akan geliat batin kepada orang lain. Komunikasi
dari hati ke hati.
Dengan teori ini, penulis secara khusus akan menguji teks kritik sastra
yang ditulis oleh Nurel Javissyarqi. Teks tersebut adalah esai
panjang yang berjudul, “Membaca ‘Kedangkalan’ Logika Dr. Ignas Kleden?”
(Bagian ke Tiga). Kurang lebih teks ini adalah kritik tertulis yang
dilontarkan oleh Nurel pada beberapa pendapat Ignas Kleden, kritikus
dan ahli sosiologi sastra Indonesia.
***
Membaca teks sastra Nurel Javissyarqi, memerlukan penjelasan yang
benar-benar terang. Kepentingannya adalah untuk mengungkapkan apa yang
sebenarnya disampaikan oleh pengarang. Kendati demikian, pembaca baru
akan mengalami kesulitan-kesulitan, termasuk kesalahan dalam
menerjemahkan maksud tersebut. Karena itu, memerlukan permakluman
kiranya upaya pembacaan ini, hanyalah tafsiran yang disesuaikan pada
kehendak penafsir.
Membuat jernih penjelasan tentang teks Nurel, ada dua tahapan analisis filosofis terhadapnya. Pertama, analisis kritik sastra Nurel. Kedua, tawaran metodologis dalam membaca karya sastra.
***
Teks Nurel sebenarnya cukup jernih untuk mengungkapkan gagasan kritis.
Hanya saja, untuk menemukan substansi kritik, pembaca mesti lebih
detil untuk menangkap maksudnya.
Nampaknya, Nurel adalah seorang yang tekun dan detil dalam membaca teks
sastra. Baginya, teks sastra mesti memiliki fundamen yang kuat dalam
menopang kehadiran teks. Fundamen yang di maksud di sini adalah
pendasaran nalar. Semacam hal yang utama, sebelum adanya permainan teks,
intertekstualitas, beserta kehadiran estetika yang mengikutinya.
Sebenarnya obyek kritik Nurel adalah teks interpretasi Ignas Kleden
atas pelbagai karya Sutardji Calzoum Bachri. Menafsirkan karya sastra,
memang sah untuk siapa saja. Namun, hal itu harus didirikan dari
konstruksi filosofis yang kokoh dan tidak mudah runtuh.
Konstruksi filosofis yang kokoh misalnya, terbangun dari beberapa unsur. Pertama, dia lahir dari nalar yang bisa dimaklumi secara intelektual. Kedua, nalar ini dituangkan dengan pilihan diksi yang tepat. Ketiga,
kendati setiap penafsir memiliki kecenderungan politis tertentu,
hendaknya ia sebisa mungkin bersikap obyektif dalam mengungkapkan
komentarnya.
Apa yang telah ditulis oleh Ignas Kleden sebagai tafsir atas Sutardji,
bukan tidak memiliki syarat-syarat tersebut. Tentu saja, Ignas Kleden
seorang yang mahir, bahkan pembaca umum akan melihat tidak ada masalah
dalam teks sastranya. Kalau pun ada perbedaan tentang suatu hal,
mungkin tidak lebih dari persoalan kehendak pembacaan oleh setiap
penafsir.
Sutardji, seperti dalam kritik yang penulis ungkapkan di bagian
sebelumnya, adalah salah satu sastrawan yang memiliki gaya dan pemikiran
pasca modern. Ciri khas dekonstruksi, selalu nampak di balik uraian
teks, lantunan (parole), penafsiran dan metodologi cara
membacanya. Dalam bahasa yang popular, Sutardji kerap dikenal sebagai
sastrawan mantra. Khas dekonstruksi dalam persoalan puisi mantra, bahwa
melantunkan teks, membacanya, menafsirkan, metodologi tafsirnya,
hingga paradigma yang bisa diangkat dari sekian karya yang ia miliki,
diserahkan sepenuhnya kepada pembaca, pembaca baru dan penulis baru.
Sutardji menuturkan bahwa, “Puisi adalah alibi kata-kata…”
Karena itulah, Ignas Kleden mengambil posisi sebagai apresian yang
positif dan sangat mendukung kreativitas sastra Sutardji. Ia
mengungkapkan, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos
makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos
tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi
bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi
konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi…”
Namun bagi Nurel, inilah persoalannya. “Puisi adalah alibi kata-kata.”
Kata “alibi” secara natural, memang memiliki banyak arti, misalnya:
dalih atau alasan, penjelasan, kesempatan untuk mengungkapkan alasan,
upaya mempertahankan alasan dan nalar yang mengungkap sesuatu. Mungkin
makna alibi yang terakhir inilah yang agaknya lebih mengarah kepada
maksud Sutardji, yaitu nalar yang hendak mengungkap sesuatu. Nalar,
selalu merujuk kepada kebebasan pembaca dan penulis baru. Itulah
dekonstruksi. Karena itu, Ignas Kleden memilih diksi “menerobos” untuk
mengungkapkan terobosan paradigmatik yang diajukan oleh Sutardji.
Nurel menilai bahwa hal itu sama sekali kurang tepat. Ia keberatan jika
paradigma sastra dekonstruksi Sutardji, hanya terwakili oleh kata
“menerobos”. Dalam esainya, penulis buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (2011)
ini memberi pandangan tajam bahwa, “Upaya IK menyelimuti kata ‘saya
bebaskan’ dalam kredonya SCB dengan penggantian ‘menerobos’, begitu
kentara di keseluruahan esainya. IK sadar memakai kata ‘bebas’ akan
masuk jurang dalam kejahiliaan, dan ia tak ingin hal itu menimpanya.”
Dekonstruksi yang lebih dekat dengan “pembebasan” atau “pemerdekaan”,
tidak memiliki alasan yang cukup kuat jika diwakili dengan kata
“menerobos”. Derrida sebagai peletak dasar trend filsafat dekonstruksi
pun, tidak bermaksud untuk membongkar apapun secara utuh dan purna.
Dekonstruksi hanyalah strategi, agar tidak ada absolutisme, dogmatisme,
istilah lain sebagai doktrin filsafat yang tak tergugat. Namun di
sini, jika membebaskan makna “menerobos”, akan beda lagi implikasi
nalar yang mengikutinya. Misalnya, menerobos hanyalah strategi, atau
menerobos sesungguhnya memiliki makna membebaskan, seperti makna Nurel
atas teks menerobos oleh Ignas Kleden.
Nurel menjelaskan makna terbaik dari teks menerobos bahwa, “Melalui
kata ‘menerobos’, tidak hianati asas pengetahuan, ia bayangkan kata
‘terobos’ ibarat cahaya.” Tentu saja tafsiran Nurel bukan untuk memuji,
tetapi memberi kritik yang tajam. Seolah-olah dekonstruksi yang
dimaknai sebagai menerobos, akan menambah kekuatannya. Karena ciri
menerobos adalah mengabaikan, melawan, merusak, destruktif, kekuatan
yang luar biasa dan kebal akan segala aturan linguistik dan tafsir.
Dalam teks yang lain, secara lebih tajam, Nurel berpendapat bahwa,
“Keengganan tampak menyelewengkan muatan “kredo puisi” dari ‘bebas’ ke
‘terobos.’ Atau ini menantang tegas! Membetulkan, menempatkan sesuai
takaran semestinya.” Inilah yang penulis maksud di awal, sebagai
persoalan utama yang disajikan Nurel. Sesungguhnya “menerobos” adalah
representasi konstruksi filosofis dari teks yang mudah runtuh, karena
tidak disokong oleh fondasi nalar yang kokoh.
Kritisisme yang diajukan Nurel sangatlah baik. Inilah kritik sastra
yang benar-benar kritis, jika memperhatikan secara filosofis, ternyata
ada celah di antara pembaca, kreativitas dan teks sastra sebagai
produk. Soal kreativitas, berarti soal struktur nalar. Ini pembicaraan
yang beresiko, karena jelas akan dianggap menjauh dari substansi
sastra dan tata krama permakluman atas maksud-maksud komunikatif dari
ungkapan setiap sastrawan. Itulah ciri di mana pemikiran kritis,
selalu saja tidak berada di tempat dan waktu yang selalu belum siap
dengan pemikiran unik.
Mencoba menemukan substansi kritik sastra yang kritis, bisa ditinjauh
dari beberapa teks yang menungkapkan tentang sikap ketidakkritisan
setiap pembaca sastra. Sikap-sikap itu bisa berupa tata krama
permakluman, nilai kewajaran, hipnosis atau semacam gejala
ketidaksadaran (symptom), keterkesimaan yang menumpulkan naluri
kritis dari nalar, ketidakcurigaan, keengganan untuk membaca secara
politis dan miskinnya paradigma genealogis yang dimiliki.
Dalam teksnya, Nurel menganggap dalam teks Ignas Kleden, terdapat
peluang gejala kerapuhan konstruksi nalar. Ia menjelaskan, “…dapat
dikategorikan IK radak enggan, jangan-jangan malas, maka dicari kata
samar warnanya demi jiwa SCB tentram seaura menghibur.” Dalam teks lain,
ia berkomentar bahwa, “…di hadapan IK karya SCB belum sampai pada
yang diharapkan kredonya, tetapi karena Ignas Kleden cerdas,
diselimutilah kedalaman hatinya berpolesan kata menggiur nadanya,
serupa Tardji membius penonton lewat larikan suaranya. Namun penyair
jua esais SCB, tak curiga olah vokal untaian makna sang kritikus,
aneh!”
Teks-teks ini bermaksud menunjukkan secara terang bahwa, tata krama
permakluman atas maksud-maksud komunikatif teks sastra, atau soal uraian
umum “tentang” teks dekonstruksi, telah mengungkap adanya lemahnya
konstruksi filosofis. Maksudnya, dekonstruksi yang membebaskan,
sementara ini dibicarakan atau dikomunikasikan dengan bahan yang kurang
tepat. Kendatipun, cara komunikasi diskursif yang siarkan, sangat
berhasil.
Dengan demikian, dapat diambil dua manfaat dari dialektika filosofis di antara para kritikus sastra tersebut. Pertama,
Ignas Kleden secara tidak langsung memiliki keunggulan fondasi
“komunikasi” yang bisa menyampaikan pesan-pesan politiknya, kendati
tidak didukung oleh fondasi “nalar” yang kuat. Kedua, Nurel
menunjukkan adanya peluang kerapuhan filosofis, di dalam potensi
komunikasi estetis yang mengabaikan ketepatan pilihan diksi teks sastra.
Pada prinsipnya, secara paradigmatik, dekonstruksi membebaskan segala
tenunan dan reproduksi teks yang mengikuti kebebasan makna. Namun,
pengungkapan teks sastra secara konvensional, tetaplah menggunakan
wicara tertentu sebagai alat bantu. Wicara yang selama ini dipersoalkan
Derrida, jelas “tidak benar-benar terbunuh” oleh diseminasi atau
penyebaran teks yang berlandas gramatologi. Segala bahasa, selalu
berpulang pada yang metafisis, seperti menjunjung tujuan-tujuan moral,
nilai, kepentingan, kehendak atau keinginan tertentu yang melayani
sesuatu. Betapapun dekonstruksi sebagai trend diupayakan oleh Sutardji
dan Ignas Kleden, tetaplah bahwa mereka perlu berkomunikasi dengan
baik.
Di sini, Nurel melihat peluang di mana kritisisme akan lahir di tengah
ketumpulan nalar. Ada beberapa penyebab mengapa banyak orang
mengabaikan, tidak kritis dan enggan untuk mempersoalkan pilihan diksi
yang tidak tepat, sebagai representasi kerapuhan konstruksi filosofis
nalar.
Pertama, melihat siapa yang berbicara. Tentulah teori citra
berfungsi dalam ruang publik komunikatif. “Anda berbicara dengan siapa?
Atau, siapa yang sedang berbicara?” Secara tidak disadari, atau
disadari, hal ini menjadi pertimbangan pokok kendati tidak dibicarakan
atau sekedar berbicara di dalam hati.
Kedua, redupnya kritisisme karena alienasi diri (entäusserung), merasa diri belumlah pantas untuk memberikan koreksi terhadap wacana tinggi yang tak sanggup digapainya.
Ketiga, secara diskursif, bahan pembicaraan yang didengarkan,
dibaca, diapresiasi, ditimbang, maupun dikritik, termasuk sebagai
wacana yang sulit dan memerlukan kekuatan filosofis yang mantap untuk
menghadapinya.
Keempat, manusia ingin menunjukkan dirinya di hadapan trend,
bahwa kehendak diskursif dari wacana kekinian, perlu diikuti, dengan
atau tanpa kritisisme. Dengan demikian, merefleksikan diri dengan busana
sastra dekonstruksi juga mempersilahkan bagi pengunjung yang tidak
kritis.
Kelima, selalu ada persoalan inferioritas atau keminderan, di
mana tata krama lebih diunggulkan dari pada memberikan catatan kritis
secara otonom terhadap teks sastra tertentu.
Keenam, wacana diskursif yang dianggap kuat, juga membuat symptom
yang menjejalkan pengetahuan, bahwa nalar tidak mempersoalkannya.
Tentu saja nalar yang tidak mempersoalkan bukan ujaran diskursif.
Namun, penerimaan psikologis dalam alam bawah sadar, yang memungkinkan
suatu wacana tertentu hadir di dalamnya.
Rupanya Nurel memiliki ketajaman genealogis yang tidak sembarang orang
memilikinya. Teks Ignal Kleden yang tertulis, “…percobaan melakukan
dekonstruksi…memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang
lebih otentik melalui puisi…” tidak sekedar dibaca secara kritis oleh
Nurel, selayaknya kritik sastra biasa. Kritikus ini secara tidak lazim
memberi kritik secara lebih dalam, menerobos fondasi-fondasi moral
yang membangunnya. Jika hasil tafsiran secara umum lebih gandrung pada
deskripsi terlebih dahulu terhadap uraian estetis dan nilai moralnya,
Nurel secara berani menunjukkan kerapuhan-kerapuhan akar dan sesuatu
pembentuk akar itu.
Dengan kaca mata genealogis yang baik, Nurel membongkar bahwa, “Ungkapan ‘konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi,’ pun para penyair berusaha mencapai, tak hanya Tardji. Lalu digunakannya kata ‘kemungkinan’,
agar suatu masa bisa mengelak jika dikenai pertanggungjawaban. Maka
sejatinya IK tak mendukung gagasan Tardji, seolah menutupi separuh
mukanya dikala berjalan di tengah keramaian. Namun dengan lantang
hatinya berujar, ‘bacalah tulisanku yang lain mengenai dekonstruksi atau lebih jauh,’ silahkan.”
Nurel serupa dengan “Guru Penuh Curiga”, menerapkan hermeneutika
kecurigaan, untuk menunjukkan betapa teks ini terlampau politis, di
sampai aspek-aspek estetis dan moral yang menopangnya. Bolehlah memberi
catatan, komentar atau apresiasi untuk Sutardji, namun jangan sampai
komentator atau kritikus kalah popular. Kehendak “menjadi” yang terbaik
di antara yang baik, sejalur dengan kehendak untuk berkuasa. Sama
sekali bergantung pada khalayak agar “diakui” kehadirannya.
Ketergantungan pada publik atau orang biasa yang hendak ditaklukkan,
bukanlah sifat eksistensial yang utuh. Ia dianggap sebagai subyek yang
tidak otonom.
Dalam mengkritik, Nurel selalu menggunakan paradigma kritik yang murni.
Namun sepintas saja anggapan itu, di luar tujuan moral yang
dikehendakinya. Alasan ini sangatlah kuat, mengingat keterbatasan teks
kritik yang ditulisnya. Ada semacam ketidakutuhan, sehingga siapapun
penafsirnya, akan gagal menangkap alasan moral yang mendasarinya.
Kritikus yang demikian, kerap kali disebut sebagai kritikus ambang.
Kritikus ambang, hanyalah kritikus. Ia berada di tengah belantika
perdebatan moral, kendati turut dalam kontestasi, namun mengambil isu
yang lebih fundamental dan jauh dari gelombang wacana popular yang ada.
Dalam posisi yang demikian, secara paradigmatik, barangkali Nurel
sebagai kritikus ambang, “secara moral” hendak menantang adanya dominasi
mazhab sastra dekonstruksi. Dalam benak Nurel, kendatipun kebebasan
dijunjung dalam prinsip dekonstruksi, pandangan itu sendiri tidak
lepas, tidak bebas, tidak tahan uji oleh kebebasan yang
disyaratkannya. Artinya, kekuasaan mazhab “kebebasan” (lebih tepatnya
pembebasan) tidaklah sebebas yang dibayangkan. Seperti Derrida, Nurel
adalah “penantang” bagi keagungan filsafat kritik sastra yang sedang
popular di Indonesia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa paradigma kritik Nurel adalah kritik
yang murni, dengan tujuan moral semacam stabilisator bagi dominasi arus
kekuasaan yang sedang menonjol di permukaan. Barangkali kritikus yang
demikian sangat jarang dijumpai selama ini, karena dianggap memiliki
ide yang terlampau pinggiran. Padahal, betapapun ide itu periperal,
kritikus ambang memiliki kontribusi yang sangat baik, sebagai kontrol
dan penyeimbang interaksi kekuasaan dalam alam pluralitas kehendak.
Metode yang digunakan sepanjang teks, selalu memiliki alur
fenomenologis. Ia membiarkan teks itu terjalin, membacanya satu persatu
dengan teliti, kemudian memberi catatan kritis atasnya. Cita rasa
fenomenologis yang paling menonjol adalah intensionalitas yang
dimainkan, tidak pernah keluar dari obyek yang sudah ditentukan. Ia
membaca dengan baik sifat genetis dari makna dalam teks yang dimaksudkan
oleh pengarang. Dalam filsafat, dikenal dengan istilah
intensionalitas genetis atau positivitas yang apriori-historis. Nurel
selalu menemukan cita rasa yang dimiliki oleh teks awal, kendati ia
adalah pembaca baru. Tanpa keluar dari maksud fenomenal pengarang, ia
menemukan celah-celah di mana setiap tenunan kritik di selipkan di
dalamnya. Tidak jarang, sebuah teks menjadi hancur karena memang Nurel
menunjukkan kelemahan fondasi-fondasi filosofis teks tersebut.
Dengan fenomenologi, Nurel menyingkap gelap estetika yang sering
diterima tanpa kontrol oleh pembaca baru. Maksud komunikasi pengarang
kepada pembaca baru melalui teks, jelas tersandung oleh bahan-bahan
kritisisme Nurel. Memang “sepertinya”, kekurangannya adalah unsur moral
yang melatarbelakangi, mengapa kritikus melontarkan kritik dan solusi
apa yang diberikan. Bagi intelektual ambang, sekali lagi, ini bukanlah
hal yang penting dan mendasar, karena tantangan pada unsur kuasa
telah menunjukkan hasil, serta barangkali telah tersingkap di mana ada
sederet kelemahan filosofis di dalam teks obyek kritikan.
Pendekatan yang dilakukan Nurel adalah pendekatan linguistik dan
hermeneutika, di mana dua hal tersebut lazim digunakan sebagai aplikasi
kritik sastra. Soal hermeneutika di sini, nampaknya lebih sebagai alat
analisis dan kritik (hermeneutika kritis). Memberi tafsiran pada
setiap tenunan teks sastra, yang sekaligus menyebabkan runtuhnya
kekuatan dan makna teks tersebut secara filosofis.
Di antara substansi kritisisme dan perangkat metodologis yang digunakan
Nurel, ada beberapa manfaat atau nilai-nilai dan kekurangannya.
Mula-mula akan dijelaskan manfaatnya, barulah kemudian kekurangannya.
Pertama, manfaatnya adalah kritik Nurel menjadi semacam rambu-rambu yang mengontrol pelbagai arus kuasa dalam kritik sastra. Kedua,
menunjukkan dengan terang, kekuasaan atau kehendak dari setiap
pendasaran tenunan teks kritik sastra, baik itu teks yang mengandung
nilai, maupun moral tertentu. Ketiga, Nurel secara tidak
langsung memperkenalkan manfaat besar dari uji fenomenologis yang
dilakukannya. Dengan fenomenologi kritis, ia mengungkap adanya ruang
ketidakkritisan, semacam jeda dalam alam bawah sadar (oleh pelbagai
sebab yang sudah dijelaskan), yang mana menunjukkan adanya kerapuhan
fondasi filosofis dalam struktur nalar yang dibangun oleh teks sastra. Keempat,
menunjukkan bahwa upaya produksi teks, tidak pernah selesai. Karena
itu, tidak ada makna yang paling benar di antara tenunan teks-teks yang
ada, baik itu yang lama, maupun yang baru. Kendatipun makna itu
adalah kebebasan, namun tidak akan pernah langgeng dalam posisi
tertentu kiranya kebebasan tidak menjadi pendasaran paradigmatik,
namun menjadi nilai aplikatif atau moral tertentu. Kebebasan telah
bergeser fungsinya sebagai alat penentu kekuasaan pengarang, pembaca
baru dan bahkan penulis baru.
Sedangkan kekurangan dalam kritik Nurel antara lain: Pertama,
menimbulkan kecurigaan yang berlebihan, karena dianggap terlampau
melayani isu yang periperal. Kecurigaan ini akan mengakibatkan
pengabaian, menganggapnya bukan suatu upaya kritis yang penting, bahkan
perdebatan yang tidak bermakna bagi mereka yang gagal menemukan nilai
atas Nurel sebagai kritikus ambang. Kedua, spekulasi kritik
Nurel merusak kepastian politis dari komunikasi moral kebebasan yang
dikampanyekan oleh aliran sastra tertentu. Secara pragmatis, kritik ini
dianggap telah menyingkirkan agenda besar kritik dan kebebasan, demi
pengungkapan adanya fondasi filosofis yang rapuh di dalam tenunan teks.
Ketiga, nilai dan moral kritik Nurel belum mewarnai secara
utuh, terlebih jika dihubungkan dengan persoalan di luar teks (ekstra
tekstual), relasi sosial dan isu-isu intersubyektivitas kontemporer.
***
Melihat pelbagai manfaat dan kekurangan dalam kritik sastra Nurel,
kiranya penting untuk mengambil manfaat darinya. Termasuk sebagai upaya
tawaran metodologis dalam kritik sastra.
Jika mengambil manfaat dari model metodologi Ignas Kleden, akan nampak
kelebihannya dari segi komunikasi dan estetika teks yang mendukungnya.
Sedangkan pada Nurel, kritisisme dan fondasi filosofis menjadi
keunggulannya.
Dari kedua metodologi kritikus sastra tersebut, dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar. Secara pragmatis,
keduanya membicarakan hal yang sangat konstruktif. Komunikasi adalah
titik pangkal di mana setiap tenunan teks, berharap diterima oleh
pembaca atau pembaca baru dan penulis baru, secara baik. Dari sini,
muncullah tawaran baru metodologis, di mana komunikasi menjadi titik
sentral setiap interpretasi, sekaligus didukung oleh substansi estetis
(Ignas Kleden), kritis (Nurel), nilai dan moral filosofis yang
membangun (Ada pada setiap penafsir) dan paradigma baru yang
menopangnya.
Persoalan paradigma baru ini, seperti yang dikemukakan sebelumnya dalam
teks-teks awal, adalah intisari dari komunikasi apapun, baik itu
dalam filsafat maupun sastra, yaitu komunikasi dari hati ke hati.
Kendati setiap manusia ada dalam ruang dan waktu yang diramaikan oleh
pluralitas kehendak, setiap orang hendaknya boleh berbicara sekaligus
bersedia mendengarkan lawan bicaranya.
Paradigma baru yang ditawarkan adalah sastra sebagai ibadah.
Keseluruhan aktivitas sastra, menenun teks, reproduksi teks secara terus
menerus dan seluruh hal yang tidak terbatas adalah ibadah. Ibadah
adalah kebaikan, baik itu berfondasi teologis, maupun antropologis (homo mensura) di mana manusia dan kemanusiaan menjadi titik tolak seluruh perbuatan.
Kiranya hal ini secara metodologis disebut sebagai teori, kiranya agak
sukar menentukan teori apa yang pantas secara akademis-ilmiah.
Penulis mengajukan teori ini sebagai teori sastra pinggiran. Sastra
pinggiran adalah seluruh aspek susastra dan kebudayaan orang biasa,
sehari-hari, namun ia bukan caci maki, kritik membabi-buta, suatu sikap
resentimen tertentu. Sastra pinggiran adalah semua pandangan hidup dan
kearifan lokal orang biasa, sehingga merdeka menentukan jalan hidup
yang akan ditempuhnya, termasuk jalan sastra dan kritik sastra untuk
ibadah.
Sekali lagi, teori ini bukanlah teori khusus yang diusung secara
akademis, tetapi merupakan kemerdekan utuh dari pembacanya tatkala
hendak menyampaikan kritik terhadap karya tertentu. Cara baca yang
demikian jelas absah. Menjadi hak pribadi masing-masing dalam membaca
dan menyeru kemakrufan.
Pakar kritik sastra Indonesia, Maman S. Mahayana menyampaikan bahwa
justru kritik sastra umum (pinggiran) yang lebih diterima dan dapat
dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat. Meminjam istilah
Kuntowijoyo bahwa agama (Islam) itu membebaskan dan kebudayaan itu
membelenggu. Tatkala kebudayaan akademis mengekang akademisi untuk
berlaku merdeka dalam berdakwah, maka tatkala itu pula tradisi akademik
serupa penjara.
Kendati demikian, tidak dipungkiri bahwa mengangkat dan menampilkan
unsur universal dari sastra sederhana, dengan cara pandang pinggiran
sangat beresiko. Ada yang mengatakan bahwa mengambil nilai kehidupan
dari hal yang sederhana, tulisan sederhana, ide yang sederhana dan
gagasan yang sederhana merupakan sikap khas para bijak, filsuf dan
seniman bebas. Terus terang, sebagian akademisi menyebut kajian ini
tidak memiliki validitas yang baik.
Lebih dari itu semua, mencoba untuk meminta izin keluar dari alur baku
penelitian akademis khususnya yang positivistik, penulis bersikeras
mempertahankan pandangan-pandangan rakyat, sejarah rakyat, kebudayaan
dan tradisi orang biasa, kehidupan sehari-hari, atau dalam sebutan yang
lebih cocok adalah kritik sastra pinggiran.
Kritik sastra ini, oleh khalayak diakui dapat mengungkap nilai
universal yang kosmopolit. Penulis (pembaca) yakin, teks sastra yang
sederhana, halaman yang pendek, cerita yang terbatas, tidak mustahil
untuk menjamin membuka pandangan hidup baru dan kesadaran bagi
masyarakat luas, termasuk para sarjana, seluruh akademisi, masyarakat
kelas menengah dan elit.
Menyandang kata “pinggiran” berarti suatu hal yang sangat perlu,
menarik, berkesan, bangga sebagai pribumi, dan tidak berpandangan melulu
menjulang ke langit, namun juga turun ke bumi. Karena itu,
Kuntowijoyo menyarankan para pembaca atau kritikus sastra hendaknya
seperti air, yang selalu mengalir ke bawah, menjangkau seluruh wadah
dan aspirasi rakyat. Sastra dan kritik sastra yang demikian tidak
bebas nilai, tapi subyektif mengikuti falsafah padi yang merunduk dan
berbudi luhur.
Demikianlah metodologi yang ditawarkan, kiranya memberi kontribusi bagi
kritik sastra dewasa ini. Kendati terkesan seperti setia menggunakan
alur nalar dekonstruksi, yakni menenun yang baru secara terus menerus,
sebagai suatu upaya produksi teks yang tidak selesai, kiranya
seluruhnya adalah ibadah, komunikasi yang baik atas kebaikan, untuk
kebaikan, maka sama halnya dengan reproduksi pahala tiada henti. []
*) Penulis adalah Peneliti filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat
(PSIF) UMM, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/hasnan-bachtiar/menenun-yang-baru-suatu-upaya-produksi-teks-yang-tidak-selesai/10151151876960702?ref=notif¬if_t=note_tag
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar