Kamis, 09 Agustus 2012

Kegelisahan Buah Simalakama Dimas Arika Mihardja

Imron Tohari

BUAH SIMALAKAMA ITU …
: bagi penyair generasi kini

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal

buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang
apakah sebagai pejalan harus kembali ke nyanyi sunyi di dada doa amir hamzah
mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros
menuju ke laut bersama takdir membaca syair
menguntai seloka lama serupa gurindam raja ali haji?

buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!

(Dimas Arika Mihardja, bpsm, 11/1/2012)

“Saya tidak tahu bagaimana nasib Anda kelak, tetapi ada satu hal yang saya ketahui: Mereka yang benar-benar berbahagia hanyalah mereka yang mencari dan menemukan cara membaktikan diri” (Albert Schweitzer – hal.149 Chicken Soup for the Soul at Work).

Perkataan Albert Schweitzer tersebut kalau kita tarik benang merahnya dengan kinerja cipta karya puisi, terkait maraknya dunia tulis menulis puisi lima tahun terakhir, khususnya di dunia virtual (kita kerucutkan di jejaring social semacam facebook), tak pelak memunculkan berbagai pendapat positip pun negatip; pro maupun kontra akan kualitas karya yang bertebaran laksana jamur di musim hujan. Di mana pada karya-karya yang tumbuh bak jamur di musim hujan tersebut, notabene banyak dari mereka yang tadinya tidak suka puisi, karena mudahnya berinteraksi dengan karya pencipta pendahulunya yang juga banyak diupload di dunia cyber, menjadikan suatu dorongan bahwa mereka juga bisa membuat puisi seperti yang telah ada, sehingga bergegas mereka (baca: baru tarap awal jatuh cinta dengan puisi) beramai-ramai membuat dan langsung publis, yang saya yakin 90% dari karya yang dipublish ini tidak melalui proses pengendapan untuk mendapatkan nilai estetis secara maksimal yang sesuai dengan kaidah-kaidah sastra, dalam pengertian, instan ini terjadi tersebab mereka lebih mengacu pada pemikiran sebatas meluahkan perasaan yang terpendam dalam magma pergolakan jiwa pengkarya cipta. Sedangkan mengenai estestis karya, biasanya mereka lebih banyak mengikuti pola penyair-penyair yang sudah mapan di ranah sastra (dengan abai akan pengaruh baik buruk atas tekhnik saji bahasa poetika para penyair yang dianutnya tersebut). Hal inilah selanjutnya yang memicu banyaknya karya puisi yang berseakan tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh penulis karya sebelumnya (kalau tidak boleh dikata sebagai pengekor kelas akut).

Sebagian pelaku sastra menyambut fenomena menarik ini sabagai sesuatu yang positip bagi tumbuh kembangnya sastra puisi di kemudian hari, serta merupakan suatu momentum yang baik untuk kembali menggerakkan roda-roda sastra khususnya puisi yang setelah sekian lama tak ada derit suara dari perputaran roda sastra termaksud. Dan sebagian pelaku sastra lainnya menganggap fenomena ini justru akan kian menenggelamkan kualitas dari sastra puisi itu sendiri, tersebab tidak adanya filter dan atau saringan kuat atas karya yang dipublis. (adanya dua pendapat inilah yang memicu adanya perang argument yang tak berkesudahan antara peran sastra puisi Koran vs sastra puisi cyber, beserta pengaruhnya terhadap wibawa sastra puisi dalam kedudukannya di masyarakat yang berbudaya adi luhung).

Tidak ada yang salah dan benar atas pro kontra yang terjadi dengan fenomena semaraknya sastra cyber. Sastra cyber lebih geliat dibanding sastra Koran tersebab para pencipta butuh ruang yang lebih bersahabat untuk mendapat apresiasi dari pembacanya yang bisa secara interaktip langsung (terlepas apa karya itu berkualitas atau tidak), sedangkan sastra Koran lebih mengedepankan nilai kualitas karya sebagai produk budaya sastra (terlepas dengan merebaknya wacana kepentingan ekonomis dewasa ini di ranah sastra Koran), namun jika dua alasan tadi kita letakkan dalam lapak yang besar, maka kemenonjolan dua pendapat tadi tentang “kegelisahan” akan tampak jelas di sana sebagai wujud peduli pada tubuh kembangnya sastra tanah air secara baik, yang diharapkan akan bisa mengembalikan kewibawaan sasra tanah air di ranah sastra dunia.

Berangkat dari kegelisahan tadi, Dimas Arika Mihardja menetaskan gejolak jiwa dan opininya terhadap fenomena di atas, lewat hantaran puisinya yang bertajuk “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, Dimas Arika Mihardja (untuk selanjutnya saya singkat “DAM”) tidak sembarang memberi judul, karena pada puisi ini, saya menangkap suatu isyarat, kalau judul itu seperti halnya bahasa poetika yang ada di dalam sebuah rumah puisi secara utuh, maka judul “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, saya ibaratkan sebuah lampu di halaman rumah, sebagai penerang yang menunjukkan tetamu untuk melihat sebuah pintu masuk menuju ke rumah puisi, Begitu kira-kira yang saya tangkap dari pemilihan judul oleh DAM tersebut, yang di akhir judul, seakan kunci masuknya diberikan pada penghayat itu sendiri dalam bentuk simbolik tanda baca ellipsis (…). Dan kalau ellipsis tadi saya parafrasakan untuk memudahkan saya membuka pintu-pintu yang pastinya tidak hanya satu pintu yang ada di dalam rumah puisi, maka saya akan menulisnya secara utuh seperti ini: “BUAH SIMALAKAMA ITU (hendaknya bijak disikapi): Disikapi oleh siapa? Orang lampaukah? Atau orang kinikah? Penyair legenda hidupkah? Atau penyair masa kinikah? blablablaaaaa yang pasti berseakan saya menangkap judulnya berteriak: ayo luruskan luruskan ini engkau yang legenda hidup, dan ayo saring dengan saringan jernih engkau yang di kini sebelum minum nikmatnya perasan buah anggur jiwa, biar tak mabuk dan tak sadarkan diri terlalu lama.

Pemakaian simbolik bahasa ellipsis pada judul ini merupakan sebuah keputusan tepat yang diambil oleh DAM, mengingat dibawah judul puisi ini ada sebaris kalimat yang merujuk pada titik focus pesan untuk penyair masa kini (baca tanpa tending aling aling ya: penyair yang baru awal menapak jejak): “: bagi penyair generasi kini”, sementara di sisi lain teks puisi ini, ada bahasan yang tak kalah penting yang ingin disampaikan DAM pada rumah puisi melalui pintu-pintu simbolik bahasanya secara utuh untuk penyair-penyair mapan dan atau pelaku sastra dalam menyikapi fenomena sastra masa kini yang tengah terjadi (kalau tidak boleh saya katakan semacam auto kritik terhadap pertanggung jawaban moril selaku penggiat, pencipta dan atau pencinta sastra). Dan kegelisahan penyair, esais DAM itu semakin kentara jika kita mau sedikit berpayah-payah menelusuri setiap pintu simbolik bahasa poetika di bait pertama, yang saya kutipkan di bawah ini:

“buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian
mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”

Menangkap simbol-simbol bahasa pada bait pertama puisi DAM di atas, aku lirik berupaya membebaskan kegelisahaannya dengan memilih “cintaku” sebagai kata kunci untuk merekatkan barisan kata sebelum dan sesudahnya. Dan saya rasa pilihan kata kunci “cintaku” ini sudah tepat, cinta yang memiliki makna yang begitu dalam serta tak berbatas prespektipnya, senantiasa menawarkan suatu pergolakan batin suka dan dukanya (baca: risau, gelisah berdasarkan KBBI), dan dengan kata “cintaku” ini juga diharapkan bisa memberi daya dorong yang kuat pada imaji penikmat baca/penghayat atas kode-kode dan atau simbol-simbol poetika yang lainnya, yang secara tekstual bahasa pada puisi karya DAM “BUAH SIMALAKAMA ITU …”, beberapa baris kalimat pada bait pertama (dan juga pada beberapa baris lainnya pada bait selanjutnya) berseakan baris-baris tadi hanya memberi makna secara yang tersirat teks saja, padahal kalau kita mau sedikit saja berpayah-payah melebur pada kalimat-kalimat tadi, ianya akan menghisap imaji rasa dan piker kita masuk ke pusaran simbolik bahasa termaksud, kita akan mendapatkan makna yang membawa prespektip besar berkaitan dengan segala amuk atas fenomena kekinian di ranah sastra: “//mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara/keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio/o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal//”
Hal yang bagaimana sebenarnya yang tengah digelisahkan DAM dalam larikan-larikannya tersebut?

Untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang tak hanya dari satu sisi, kita terlebih dulu harus menarik benang merah dengan baris kalimat sebelumnya, serta tak meninggalkan judul yang seperti saya kata sebelumnya ibarat lampu penerang untuk melihat letak pintu-pintu yang ada didalam rumah puisi. Jika kita menariknya terlebih dulu ke atas:

“BUAH SIMALAKAMA ITU …
: bagi penyair generasi kini

buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan
apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian” 

Nah di sini adanya ellipsis (…) yang ditaut benturkan dengan “: bagi penyair generasi kini” akan menjadikan pesan aku lirik focus pada makna dan atau pesan yang ingin dia letupkan pada dua baris pembuka di bait pertama, di mana aku lirik mewanti-wanti pada penyair generasi kini untuk menyikapi dengan bijak akan segala hal terkait banyaknya wacana cipta karya puisi “buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan”, dalam pengertian, apa buah simalakama itu? Ya buah simalakama itu tidak lain dan bukan segala bentuk dan atau wujud puisi, baik yang kita anut dari penyair pendahulu atau bentuk dari karya puisi sendiri, dan seberapa jauh puisi-puisi pendahulu tadi yang banyak tersaji baik yang tersebar di sastra cyber maupun di sastra Koran mempengaruhi dalam  penciptaan karya sendiri. Dan ada apa dengan “cintaku”, bisa jadi ini simbolik yang mewakili kegelisahan dari aku lirik, dan bisa juga ini merupakan semacam code bahasa untuk penyair kini agar tabah dalam menggeluti  dunia sastra puisi walau dalam pencarian jati diri tidaklah semudah membalik telapak tangan “apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian”
Pesan yang sarat wanti-wanti dari sosok penyair DAM untuk penyair kini, kian jernih saat kita membuka pintu-pintu simbolik poetika pada tiga baris terakhir pada bait pertama:

“mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara
keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio
o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”

Pada larikan di atas, DAM tidak serta merta hanya sekedar memilih dan atau menautkan sembarang nama penyair, namun dia saya rasa cukup jeli, karena kebanyakan karya-karya merekalah yang banyak menjadi anutan para penyair kini, khususnya pemula. Siapa pecinta sastra puisi yang tidak mengenal karya Sapardi Djoko Damono  yang fonumenal “Aku Ingin”, dan betapa kekuatan estetika bahasa poetikanya begitu memukau para penyair penerusnya, yang sayangnya justru para pengikutnya ini terjebak dalam sebatas keindahan bahasanya sahaja tanpa memperdulikan estetika makna, seperti karya-karya Sapardi Djoko Damono itu. Dan hal inilah yang menjadikan duka abadi bagi kembang tumbuh karya sastra puisi ““mata pisau telah diasah sapardi dan dukanya abadi, sementara“, benar-benar seperti mata pisau yang tajam dan bisa melukai diri sendiri bila kita tidak hati-hati serta bijak mencernanya.

Hanya saja saya kesulitan untuk merujuk pesan apa yang ingin diletupkan DAM pada baris ke empat bait pertama “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, dibaris kalimat ini saya rasa DAM gagal menjadi guide bagi penikmat baca/penghayat, karena tidak seperti pada baris-bari sebelumnya dan sesudahnya pada bait yang sama, yang begitu indah membantu penghayat untuk menangkap pesan-pesan yang ingin diletupkan dengan melekat sertakan penanda seperti “dukamu abadi” yang dibenturkan dengan “mata pisau telah diasah sapadi” serta “o amuk kapak sutardji” yang dibentur tautkan dengan “lepas dari tradisi bersama afrizal” yang saya tangkap dari larikan ini tentang pemujaan terhadan kebebasan bahasa dan atau lebih mengedepankan keunikan bahasa tuang karya dari pada makna karya itu sendiri. Sedangkan pada baris keempat ini saya serasa dibenturkan pada sebuah pintu yang banyak kuncinya, dan saya bingun kunci yang mana yang mesti bisa saya pakai untuk membuka baris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, apakah baris ini oleh DAM dimunculkan hanya sebagai baris pelengkap saja? Saya rasa untuk penyair sekelas DAM yang telah lama malang melintang di ranah sastra tanah air secara ntata, tidaklah begitu, pastinya ada pesan terkandung di dalamnya yang ingin diletupkan ke permukaan.

Tapi apa? Entahlah, karena saya di baris ini hanya dihadapkan dengan kalimat “keraguan goenawan”, keraguan yang bagaimana? Keraguan dalam konteks apa?, dan juga pada kalimat selanjutnya “dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio”, kematian yang bagaimana yang dimaksud? Kematian sastrakah? Atau merujuk pada statemen dari sosok penyair Subagio dalam suatu tesisnya dan atau pengalaman pribadi DAM  sewaktu mengobrol dengan subagi tentang sesuatu perihal yang ada kaitannya dengan tema yang diangkat dalam puisi ini? Semua terasa samar tanpa adanya penanda yang jelas seperti pada sosok damono dengan duka abadinya serta sutardji dengan o amuk kapaknya yang ditaut benturkan dengan afrizal yang juga menganut kebebasan dalam menuliskan bahasa karya (baca: semacam pembrontakan bahasa). Dibaris “keraguan goenawan dan kematian semakin akrab dalam dekap subagio” ini saja saya berpendapat DAM membuat saya seakan terantuk pintu dan jatuh sesaat karena kepala pusing. Hehe. Tapi di baris selanjutnya “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal”, kematangan kepenyairan DAM seakan menolong saya untuk kembali bangun serta menlanjutkan perjalanan untuk masuk pintu-pintu ruang kontemplatip yang ada di rumah puisinya. Dan di baris pamungkas bait pertama ini saya mendapati suatu pesan wanti-wanti yang teramat sangat pada penyair masa kini, untuk tidak sekedar meniru tanpa menelaah secara bicak dan tidak dimodali dengan pengetahuan yang baik seluk meluk komponen-komponen sastra puisi secara utuh, yang didalamnya estetika bahasa dan estetika makna harus berbanding sama. Wanti-wanti ini terkait dengan salah kaprahnya para pengikut SCB dan Afrizal Malna yang akhirnya tumbuh membiak pemikiran bahwa setelah karya di publis, maka matilah penyairnya. Yang fatalnya lagi, paham ini dipertegas dengan statemen SCB “ bahwa penyair tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya,” yang justru hal ini tanpa dipikirkan secara bijak diamini oleh pengikutnya, yang pada kenyataannya justru dijadikan sebagai senjata pamungkas aspek pembenar. Disinilah sikap wanti-wanti  pada penyair masa kini ini begitu ditekankan oleh DAM. Dan menurut saya baris penutup ini bait yang paling kuat di antara baris lainnya dibait pertama, walau senyatanya kita tidak bisa memenggal baris tadi secara pisah, sebab dalam puisi, baris merupakan satu kesatuan terowongan penyampai imaji, baik imaji pengkarya cipta maupun imaji penikmat baca. Baris “o amuk kapak sutardji lepas dari tradisi hingga abad berlari bersama afrizal” ini saya katakana kuat, karena berhasil memandu saya untuk mendekati pesan yang ada seperti apa yang dikatakan Nurel Javissyarqi tentang pola pemikiran SCB pada bukunya “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri”: “Mengamati pola Tardji yang “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”, ia tampak sebagai dukun tidak bertanggung jawab, berusaha mengaburkan daya tirakat, melalui mantra penutup yang menghilangkan jejak tapak halusnya. Demikian dikatagorikan lempar batu sembunyi tangan.”

Dan saat saya melongok catatan DAM untuk mencari tahu adakah hal yang terkait dengan baris penutup bait pertama tadi, dan saya semakin yakin pesan yang saya tangkap tadi, setelah saya membaca salah satu catatan DAM di note Facee Booknya 12 Mei 2011 tentang INKONSISTENSI SUTARDJI CALZOUM BACHRI, Sebagai tanggapan atas esai Nurel Javissyarqi, menuliskan:

“SCB, menurut kredo puisinya, yang mengantar buku kumpulan puisinya O AMUK KAPAK (pernah diterbitkan oleh Sinar Harapan, 1981, dan Depdiknas, 2003) ingin membebaskan kata dari penjajahan makna, ingin mengembalikan pada kata pertama, yakni mantra. Realitasnya, kesan saya sama dengan NJ bahwa dalam puisi-puisinya SCB sekadar menjungkirnalikkan kata semaunya. Lalu setelah banyak pembaca dan kritisi dinilai kurang cerdas menangkap sinyal-sinyal puisi SCB, SCB yang semula emoh bertanggung jawab, lalu menulis pengangantar khusus untuk menerangjelaskan karya-karyanya. Dalam konteks ini lalu terlihat inkonsistensi kepenyairan SCB (pada satu ketika menolak bertanggung jawab dan pada ketika lain justru menerangjelaskan karya-karyanya).”

Pada bait dua, yang merupakan penegas bait pertama. Dam dalam siratan pesannya ke penyair masa kini, masih tidak terlepas dengan simpul pembuka pada dua baris pertama bait pertama “//buah simalakama itu, cintaku, terhidang di meja makan/apapun pilihan akan meruahkan masalah dalam pencarian//, hanya saja melalui repetisi “//buah simalakama itu, cintaku, tumbuh sepanjang tualang// ingin menegaskan, bahwa dalam perjalanan proses pematangan dan atau pencarian jati diri “tumbuh sepanjang tualang”, apakah sebagai penyair kita hanya berkutat dengan kekuatan makna saja, dan kembali kemainstrem karya-karya semacam angkatan pujangga lama dan pujangga baru sahaja, atau kita berani melepaskan panah kreasi yang melesat melebihi mereka? Atau memang penyair kekinian itu tidak bisa lepas dari baying-bayang pedahulunya semacam apa yang disyiratkan dam dama baris “mengembara serupa ahasveros dikutuksumpahi eros”.
APAKAH sastra Indonesia sedang sakit, sekarat, atau kritis sehingga perlu diselamatkan? (dikutip dari Catatan: Dimas Arika Mihardja: “PENYELAMATAN SASTRA INDONESIA”).

Entahlah, yang pasti dengan larikan teduhnya, sesuai dengan motonya di BPSM, suatu wadah pembinaan para pencinta karya sastra, “asah, asih, asuh”, Dam menutup puisi indah sarat kebaharuan piker dengan 3 baris yang secara terang bisa kita cecap pesan dan atau makna yang tersirat pun terusrat di dalamnya:

“buah simalakama itu, cintaku, makanlah
saat puncak gelisah: kunyah hinga sepah
lalu muntahkan sebagai intan berkilauan!”

Salam lifespirit!

(Imron Tohari – lifespirit, 15 January 2012)
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/imron-tohari/esai-ringan-tentang-pembacaan-kegelisahan-buah-simalakama-dimas-arika-mihardja/10150486414413174?ref=notif&notif_t=like

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez