Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/
ALHAMDULILLAH laman Mata Kata bisa kembali hadir ke hadapan kita semua. Dalam kesempatan kali ini, dua penyair dari Bandung (Rian Ibayana) dan Magetan (Syukur A. Mihran) mendapat kesempatan untuk tampil di halaman ini. Syukur alhamdulillah laman ini mendapatkan perhatian yang menggembirakan dari para pengirim puisi, meski hingga hari ini pihak manajemen belum bisa mengasih honorarium. Bagi Anda yang ingin turut serta memublikasikan sejumlah puisinya bisa dikirim ke matakata@pikiran-rakyat.com. Insya Allah akan dipilih dengan ketat.
Rian dan Syukur telah menunjukkan kemampuannya dalam mengolah pengalaman batinnya, dalam sejumlah puisi yang ditulisnya itu. Berkait dengan itu, bicara soal pengalaman kita baca sajak Rendra di bawah ini. Tanpa pengalaman dilanda gairah cinta yang demikian hebat dalam batinnya, penyair Rendra tentunya sangat mustahil bisa menulis sebuah puisi yang indah, yang diungkap dengan rangkaian kata-kata –yang begitu sederhana—namun sarat makna dan rasa. Selain itu, letak keberhasilan sebuah puisi dalam mengungkap sebuah pengalaman, tentunya tidak terletak pada daya ungkap yang rumit, akan tetapi terletak pada kesederhanaan kata demi kata yang dipilihnya, yang membuka ruang seluas-luasnya bagi daya komunikasi yang dikandung oleh puisi tersebut. Kita baca sebuah puisi cinta yang ditulis Rendra di bawah ini: dipetik dari Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya,. Cet. Ketiga, 1981:18)
EPISODE
Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia bertanya:
“Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku
Sementara itu
aku bersihkan
guguran daun jambu
yang mengotori rambutnya
Dalam puisi di atas, gairah cinta yang diungkap Rendra terasa demikian romantis, dikarenakan Rendra mampu menggambarkan sekaligus memvisualkan hal-hal yang bersifat fisik secara nyata di benak para apresiatornya lewat larik demi larik puisi yang ditulisnya. Di dalam puisi tersebut ada halaman rumah, ada guguran daun jambu, ada bangku, ada pohon jambu, ada kain baju yang terbuka, ada aku lirik dan lawan bicaranya, yang jadi kekasih aku lirik.
Bahan-bahan fisik yang diamati dengan cermat oleh Rendra dalam puisinya itu, pada akhirnya menjelma menjadi sebuah pengalaman yang indah, di mana cinta tidak hanya menumbuhkan rasa suka di dalam diri manusia, tetapi juga ketenangan. Nah, suasana romantis semacam itulah yang ingin dikomunikasikan Rendra kepada kita. Ada pun apa dan bagaimana makna yang dikandung oleh puisi tersebut sepenuhnya sangat bergantung pada daya tafsir kita. Dengan demikian makna puisi tidak tunggal. Dan kita dalam konteks yang demikian itu tidak sedang membicarakan atau membongkar makna puisi tersebut, akan tetapi sedang membicarakan bagaimana pengalaman yang bersifat fisik dan batiniah itu tengah dioperasikan Rendra dalam menulis puisi yang bertema cinta.
Dari pemaparan semacam itu, dapat disimpulkan bahwa seorang penyair ketika menulis puisi – selain harus peka – terhadap apa yang dialaminya, ia harus peka pula terhadap suasana yang melingkupi objek puisi yang hendak ditulisnya. Tanpa peka terhadap objek-objek yang hendak ditulisnya itu, tentu saja Rendra tidak akan berhasil menulis puisi yang indah semacam itu. Demikian pula dengan puisi yang saya tulis, tanpa peka terhadap suasana yang terjadi di dalam dan di luar batin saya, pastilah saya tidak akan mampu menulis puisi yang tidak hanya mengangkat tema kerinduan pada si mati, akan tetapi juga mengangkat tema tentang betapa fananya manusia di hadapan Yang Maha Kuasa.
Lantas apakah menulis puisi itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu saja? Jawabnya tentu saja tidak. Menulis puisi bisa dilakukan oleh siapa saja. Secara teknis; apa dan bagaimana menulis puisi bisa dipelajari oleh setiap orang. Namun demikian soal isi dan kualitas puisi bergantung pada jam terbang, dan kesungguhan sang penyair dalam menghayati, maupun memahami objek puisi yang akan ditulis dan diekspresikannya di atas kertas secara sungguh-sungguh. Uraian di atas adalah hanya sebuah contoh kecil bagaimana pengalaman itu diolah dan dioperasikan oleh saya dan Rendra dalam menulis puisi.
**
LEPAS dari persoalan tersebut di atas, pada sisi yang lain ada pula puisi yang ditulis dengan cara lain, yakni dalam mengolah pengalaman hidup ditinggal mati, atau saat jatuh cinta; tidak menamapilkan citraan visual (fisik) sebagaimana dua puisi di atas. Puisi yang ditulis dalam kaitan di bawah ini adalah sepenuhnya puisi renungan. Misalnya hal itu bisa kita temukan dalam puisi yang ditulis oleh penyair Chairil Anwar, yang dikenal sebagai tokoh penulis puisi Indonesia modern, yang melepaskan dirinya dari tradisi pantun. Puisi Chairil di bawah ini dipetik dari antologi puisi Aku Ini Binatang Jalang (PT Gramedia, Maret 1986: 3)
NISAN
- untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Kerindlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta
Oktober, 1942
Dalam puisi di atas Chairil Anwar mengolah pengalaman rohaninya yang bersumber dari pengalamannya saat ia ditinggal mati oleh neneknya tercinta. Kata demi kata yang dipilih dan ditulis oleh Chairil Anwar dalam puisinya itu begitu ringkas dan padat, bahkan sarat makna. Dengan ditampilkannya contoh di atas, ini artinya bahwa sebuah puisi bisa ditulis tanpa harus melibatkan hal-hal yang bersifat visual sebagai bahan dasarnya. Demikian juga dengan puisi di bawah ini yang ditulis oleh penyair Subagio Sastrowardoyo, dipetik dari antologi puisi Dan Kematian Makin Akrab (PT Grasindo, 1995: 36)
KATA
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri dalam kata
Renungan macam apa yang ingin disampaikan oleh penyair Subagio Sastrowardoyo dalam puisi tersebut di atas? Yakni tentang pengalamannya yang berhadapan dengan kata, baik kata-kata yang berasal dari Tuhan (firman Tuhan), maupun yang berasal dari manusia. Bila kita sembarangan dalam berkata-kata, pastilah akan celaka, termasuk menjual firman Tuhan untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya. Apalagi bila bermain-main dengan firman Tuhan, misalnya mengubahnya. Orang yang demikian jelas orang yang celaka adanya. Karena itu hati-hatilah berkata-kata, termasuk menulis puisi.
Dalam bait terakhir ditulis: dan menenggelam/ diri dalam kata//…tiada lain adalah bahwa menulis puisi pada satu sisi memang merupakan sebuah proses penenggelaman diri ke dalam kata, dan pada sisi yang lain adalah berupa proses menafsir kata, entah itu ketika menafsir ayat-ayat suci yang bersumber dari kitab suci, atau berupa teks puisi, novel, naskah drama, dan berbagai karya seni lainnya yang masih ada hubungannya dengan kata-kata, seperti lirik-lirik tembang apa pun bentuknya.
Jadi pengalaman yang diolah oleh seorang penyair dalam puisi-puisi yang ditulisnya itu bisa beragam, dengan atau tanpa citraan visual yang ditulis di dalam larik-larik puisinya. Dan apa yang dinamakan citraan visual pada satu sisi bisa berupa simbol yang akan diungkap pada halaman yang lain. Sedangkan pada sisi lainnya bisa juga berfungsi sebagai penegas suasana dari sebuah latar puisi, entah itu mengolah pengalaman religius, sosial, cinta, atau pun kematian. Ada kalanya orang menyebut bahwa apa yang disebut dengan pengalaman sebangun dengan tema. Sementara itu ada juga yang menolak mengatakan hal tersebut itu sama dengan tema.
Tapi apa pun, sekali lagi, ingin saya tekankan dalam bagian ini, bahwa memahami dan menghayati sebuah pengalaman dari sisi mana pun pengalaman itu akan ditulis dalam sebuah karya sastra, khususnya puisi, adalah sebuah hal yang tidak bisa diabaikan atau dianggap sepele. Tanpa kesadaran bahwa mengolah pengalaman itu penting dalam berkarya sastra, maka karya yang ditulisnya hanyalah tumpukan kata-kata hampa makna dan rasa. Karya yang demikian akan selalu gagal menemui pembacanya yang kritis, yang selalu mengharap adanya nilai-nilai yang bisa dipetik dari sebuah puisi yang tengah dibacanya. (Soni Farid Maulana/PRLM).***
Sajak-sajak Rian Ibayana
DI KOTA INI
Hujan menggerus usia
cerita dan peristiwa seperti tersesat
di gorong-gorong pengap penuh sampah.
Sementara bayanganmu tampak kuyup di banjir cileuncang
namun buyar digilas roda yang melintas.
Kekasih, aku kesepian di kota ini ,
berjalan jinjit menelusuri trotoar basah
meratapi umur yang luruh dimamah musim.
Lampu-lampu rindu di pinggir jalan
seakan pucat mengiringi tahun-tahun yang berlalu cepat.
Sebenarnya masih kusimpan kenangan kita meramu sendu
saling mengungkap kegelisahan
sambil menyimak bercucurannya peluh tukang rokok
serta ketabahan penjual koran.
Masih kutata apik kisah kita
dekat tiang listrik serta di sebuah parkiran lama.
Kekasih, aku kesepian di kota ini ,
berjalan jinjit menelusuri trotoar basah
meratapi umur yang luruh dimamah musim,
meratapi tubuh yang renta, disapa resah cuaca.
Okltober 2010
TJIBUNI JAVA
Kurasa ini terlalu dini
untuk memakamkan lembar demi lembar kenangan
serta seribu ingatan tentang hamparan hijau.
Di sebuah kampung tua yang diselimuti berlapis-lapis tirai dingin.
Tjibuni yang hening.
Di ujung Desember yang lindap serta berbalut gerimis
sempat kupahat jejak, tanda kehadiran
di atas tanah merahmu yang lembab dan basah.
Aroma teh hitam menyerbak dari cerobong pelayuan
mengudara bersama sepenggal kisah
kuntum rindu yang baru rekah.
Pohon cemara berbaris di pinggir danau biru
nampak menaungi berkas sejarah
yang terukir di atas batu berlumut,
sepotong romansa di antara deru pabrik
yang menggaung gelisah.
Kurasa ini terlalu dini
untuk memadamkan obor cerita
di Tjibuni yang hening
kampung tua berkabut.
2009
HILANG
Sosok asing itu harus hilang
padahal masih basah luka di tangan
masih rindu untuk mengenang.
Apa daya detik membawanya pergi
membawanya hilang sampai nanti.
Sosok asing itu harus hilang
semakin terukir rindu menggebu.
Sosok asing itu memang harus hilang
Semakin singkat wangi menyerbak.
Semakin perih ujung rambut menusuk.
23 Juni 2004
SEPI
Ini benar-benar mencekik
menyesakan
bahkan puisipun enggan lahir.
2011
Rian Ibayana lahir di Ciwidey Bandung Selatan. 25 April 1988. Belajar menulis secara otodidak. Sekarang aktif bergiat di Majelis Sastra Bandung dan Komunitas Layung Beureum Ciwidey. Tinggal di Ciwidey dan bercita-cita dikubur di Ciwidey juga.
***
Sajak-sajak Syukur A. Mirhan,
DI LADANG JEJAK KUTEMUKAN BERCAK-BERCAK SEBUAH SAJAK
Di ladang jejak kutemukan bercak-bercak sebuah sajak. Bercampur nanah perasaan ayah di retak tanah si emak. Diksi-diksinya bau amis. Menebarkan aroma biografi tragis. Tertimbun rimbun belukar tangis
Serupa cinta terlunta yang berabad tiada pernah dijenguk. Lirik-liriknya membusuk di tangkai waktu yang melapuk. Mengeram dalam pembuluh darah dendam. Meracun dalam kenyataan hidup yang berkhianat membunuh ayah
Di ladang jejak kutemukan bercak-bercak sebuah sajak. Sajak yang pernah kucampakkan ke dalam tong sampah keadilan. Sebab ia tak mau berteriak apalagi bertindak. Ketika ayah terkapar sehabis kalah berduel melawan para begal berseragam kekuasaan
Penyair memang seharusnya memilih diam sebuah sajak daripada tajam sebilah kapak. Diam sebuah sajak akan membuat ladang jejak tetap hijau karena dima krifat kemilau damai. Sedangkan tajam sebilah kapak akan membuat ladang jejak merah karena dijulumat gulita amarah!
Sayup-sayup angin yang menyemilir dedzikir mengantar mauizhah ruhani literamu. Sampai juga ke dangau renung, tempatku menyaungkan gebalau rundung. Karena telah membunuh sajak. Sebab dia tak mau berteriak apalagi bertindak. Ketika para begal berseragam kekuasaan terkapar sehabis kalah berduel melawan diriku yang tertipu oleh diam sebilah
kapak yang menyamar tajam sebuah sajak yang bertahun-tahun tak kukuduskan.
Magetan, 2010
SIKLUS SUCI KESETIAAN
Seperti hujan yang jatuh hati abadi pada kota kelahiran cinta kita. Sepanjang musim akan kutumpahkan seluruh gairah air semesta langit yang terus menderas dan mengalir sampai jauh ke laut jiwamu. Mengairi rahimbumimu yang berabad-abad tandus dikuras nafsurakus. Hingga dirimu tiada pernah lagi melahirkan bayi-bayi khalifah fil ard yang menjagamu dari pertumpahan darah anak-anak Adam
Seperti hujan yang jatuh hati abadi pada kota kelahiran cinta kita. Sepanjang musim akan kutumpahkan seluruh gairah air semesta
langit yang akan menjadi telaga suci di tepi kanan hatimu yang perawan dari perasaan hawa’. Dan dari telaga sucimu itu naiklah ke udara uap-uap tetasbihan yang menguntai hijau. Lalu diterbangkan
angin lugu yang tak pernah mengembara ke negeri radiasi. Kemudian
menjadi hujan belia yang akan menumbuhkan beribu-ribu telaga suci lagi
di tepi kanan hatimu yang perawan dari perasaan hawa’. Hingga rahimbumimu pun kembali melahirkan bayi-bayi khalifah fil ard yang akan memeliharamu dengan tangan dan hati seribu nabi
Demikianlah kita. Hidup dalam hakikat siklus kesetiaan Tuhan. Lima puluh ribu tahun sebelum kau dan aku diciptakan
Magetan, 2010
TUKANG DAUN PANDAN DI GIGIL DINI HARI JEMBATAN MERAH
Pulang ke kota kanak-kanak kita. Masih seperti mudik tahun ketiga. Menyisakan kisah sama. Kisah sederhana. Kisah yang tidak akan mengusik ketenangan Keluarga Cikeas. Kisah yang tidak lebih berharga daripada sehelai rumput di mulut seekor anak kijang istana kebun raya
Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan mimpi yang paling bersahaja: Hari Minggu bersama keluarga pelesiran ke kebun raya. Menggelar tikar di bawah teduh cemara. Makan nasi buntel daun pisang, lauk asin, sambal terasi, kerupuk kulit, dan lalap timun muda.
Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan cita-cita yang cuma setinggi langit-langit gubuknya: Menjelang Ramadhan lunas semua hutangnya. Sebulan penuh tenang menjalankan ibadah puasa. Tiga hari ba’da lebaran –dengan dada plong– mudik ke rumah mertua.
Tukang daun pandan di gigil dini hari Jembatan Merah. Kehilangan hiburan murah meriah di TV Warteg Ceu Mirah: Siaran langsung pertandingan El Clasico: Barcelona Versus Real Madrid. Derbi Duo Milan: AC Milan Lawan Inter Milan. Dan Big Match: Liverpool Kontra Menchester United.
Pulang ke kota kanak-kanak kita. Masih seperti mudik tahun ketiga.
Menyisakan kisah sama. Kisah sederhana. Namun menyesak di dada:
Biayapendidikan bersekongkol tunggakankreditan sungguh bengis merampok habis seluruh malam tukang daun pandan.
Bogor, 2010
Syukur A. Mirhan, lahir di Bogor, 8 Mei 1971. Alumnus Fakultas Bahasa dan Seni IKIP/UPI Bandung (1990-1997). Pengasuh LanggarALITliterA dan Forum Lingkar Pena Se-Eks Kresidenan Madiun. Puisi-puisinya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Tabloid Hikmah Bandung, , Mitra Budaya, Pikiran Rakyat Cirebon, Isola Pos, Bandung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Swadesi, Annida, Ummi, MPA Surabaya, SuaraSantri Al-Madinah, Jurnal Bogor, Sabili, Fajar Banten, Oase Kompas Online, Antologi Puisi Forum Kebun Raya, dan Airmata yang Jatuh di Negeri Rembulan Timur. Alamat: MA Al-Fatah Temboro Karas Magetan 63395, email: syukur.amirhan9@gmail.com, dan HP 085233738177
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar