Tiar Anwar Bachtiar
http://networkedblogs.com/h0ljN
Nama Djamal Tukimin di kalangan sastrawan dan peminat sastra di Asia Tenggara cukup dikenal baik. Dari namanya banyak yang mengira ia berasal dari Indonesia karena nama “Tukimin” di belakangnya adalah nama khas Jawa. Namun, Djamal sebetulnya lahir di Geylang Serai Singapura 20 Oktober 1946 lalu. Ia juga besar dan bersekolah di sana. Hingga saat ini ia tinggal di Singapura. Tukimin adalah nama ayahnya, orang Purworejo (Jawa Tengah) yang pada zaman Belanda merantau ke Singapura; dan Pak Djamal, begitu penulis biasa menyapanya, pun masih punya keluarga di Indonesia.
Tidak terlalu penting membicarakan asal muasal Pak Djamal. Ia pun tidak terlalu mempersoal perbedaan-perbedaan ras sebab yang terpenting adalah ketakwaannya di hadapan Allah Swt. Dalam bahasa lain, kepercayaan dan keyakinanlah yang harus menjadi titik berangkat pertama dalam mempertimbangkan berbagai hal, termasuk dalam bidang yang digelutinya: sastra.
Dalam suatu kesempatan penulis mewawancarai Pak Djamal, ia sangat terinspirasi dengan surat Al-Syu’ara ayat 224-227 yang berbicara tentang para penyair. Baginya sastra hanyalah alat. Dia digunakan untuk apa bergantung orang yang menggunakannya. Sastra bisa digunakan untuk menganjurkan berbuat maksiat pada Allah Swt. Sastra pun dapat digunakan untuk menganjurkan orang berbuat kebaikan (amar ma‘rûf dan nahy munkari). Untuk apa sastra digunakan bergantung kepada orangnya. Pemikiran seseorang untuk menggunakan sastra untuk apa sangat bergantung kepada kepercayaan dan keyakinannya tentang mana yang benar dan mana yang salah.
Prinsipnya ini sangat terlihat dari puluhan karya sastra yang dibuatnya. Ia telah menulis antara lain dimuat dalam: Gema Membelah Gema II (KL, 1972), Puncak Sembilan (Singapura, 1975), Penyair-penyair Muda Singapura Di Tengah-tengah Forum Masyarakat (Singapura, 1977), Puisi-puisi Nusantara (KL, 1981), The Poetry of Singapore (Singapura, 1985), Tiga Warna Bertemu (KL, (1987), Dinamika Budaya (Singapura, 1991), Resan Dan Kesan Kumpulan Makalah Sempena Bulan Bahasa 1992 (Singapura, 1992), Rhytm (Singapura, 2000), Embun Tajjali (Yogyakarta, Indonesia, 2000).
Ia pun telah menerbitkan antologi-antologi puisi: Puisi-puisi Muhajir (Singapura, 1977); Betapa Pun Nyanyian Rindunya Si Anak Geylang Serai (Singapura, 1999); Pun Begitu, Pada Hari Berkah Ini Cinta Masih Tersisa (Singapura, 2002). Sementara kumpulan esei bahasa/sastera/teater berjudul Sejarah Tidak Pernah Luka Kita Yang Berduka sedang disiapkan dalam proses penerbitan.
Selain menulis puisi, ia pun amat gemar membacakannya. Baginya membaca puisi (sajak) adalah tonggak tertinggi apresiasi sastra yang mesti diperjuangkan. Oleh sebab itu, Pak Djamal banyak membaca puisi di seluruh daerah serantau Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Kegiatan ini pula yang membuatnya dekat dengan para penyair Indonesia. Di antara event paling penting adalah ketika ia diundang khusus bersama-sama penyair dunia lainnya membaca puisi pada acara World Poetry Reading Kuala Lumpur pada tahun 1996.
Tidak hanya puisi. Ia juga menulis naskah teater, cerpen, dan novel. Naskah teaternya yang berjudul Seekor Kerbau Hitam Legam Dalam Mimpi Sang Pangeran Tomtom telah dipentaskan oleh Persatuan Kemuning Singapura tiga malam berturut-turut pada tahun 1993. Naskah teater lainnya berjudul Imam. Cerpen-cerpennya tidak terbilang banyaknya. Ia juga menulis esai dan kritik sastra di berbagai media, baik di Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
Di usia senjanya ini Pak Djamal terus menulis. Semangatnya sangat menggebu terutama melihat berbagai kerawanan social, ketidakadilan soail, ketidakacuhan pada agama, dan segunung problem yang dilihatnya, terutama yang ia potret di Singapura dan Malaysia. Kegundahannya inilah yang akhirnya menghasilkan novel yang cukup unik. Ia sebut novel ini sebagai “Sebuah Novel Salafi”. Judulnya Imam. Ia merencanakan terbit sebagai trilogi. Saat ini baru terbit jilid pertama. Jilid kedua sedang dalam proses cetak. Sementara jilid ketiga tengah dipersiapkan.
Dalam novelnya ini, Pak Djamal yang sudah sangat mahir memainkan kata-kata memperlihatkan bahwa sastra yang indah dan menawan adalah sarana untuk menyampaikan kebenaran. Ia ingin berdakwah melalui semua karya sastranya. Siapapun yang membaca novelnya ini akan segera melihat bagaimana visi dakwah Pak Djamal. Pada saat yang sama keindahan sastra yang menyentuh tetap dapat dinikmati.
Kemahiran dan keahliannya di bidang sastra inilah yang mengantarkannya memenangi hadiah cerpen (1963). Ia juga pernah memenangi Hadiah Sastera untuk bidang esei sastera pada tahun 1993. Tahun 2002 Djamal Tukimin dianugerahkan sebagai Budayawan Seni Kemuning. Bahkan kini ia di-iktiraf-kan sebagai sastrawan negara di Singapura. Pengakuan akan kepakarannya di bidang sastra dan budaya Melayu ini pula yang mengantarkannya diundang oleh Akademi Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universitas Kebangsaan Malaysia sebagai visiting fellow (peneliti) sejak tahun 2009. Sebagai peneliti, ia pun sudah menyelesaikan berbagai buku yang siap diterbitkan.
Pak Djamal ini juga bukan hanya dikenal sebagai sastrawan. Aktivitasnya di dunia dakwah pun terbilang luar biasa. Sejak muda Pak Djamal sudah ikut dalam gerakan dakwah serantau. Ia berkawan dekat dengan K.H. Abdurrahman dan Endang Saefudin Anshary dari Persis, Imadudin Abdul Rahim, dan aktivis dakwah lainnya. Ia sempat dipercaya sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah wilayah Asia Tenggara (di luar Indonesia).
Antara tahun 2002-2006, ia pun diamanahi menjadi Sekjen Muhammadiyah Asia Teng gara di Singapura. Saat inipun, mewakili Singapura, Djamal Tukimin dipercaya menjadi salah satu wali amanah gerak an dakwah serantau Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Karena dibesarkan dalam dakwah ini pulalah, Pak Djamal menemukan karakter dan visi dakwah di dalam berbagai karya sastranya, baik puisi, cerpen, novel, naskah drama dan teater, dan lainnya. Pada karyakaryanya inilah para sastrawan muda Muslim harus berkaca tentang bagaimana sastra harus di-Islamisasi. Wallahu A’lam
April 23, 2011
http://networkedblogs.com/h0ljN
Nama Djamal Tukimin di kalangan sastrawan dan peminat sastra di Asia Tenggara cukup dikenal baik. Dari namanya banyak yang mengira ia berasal dari Indonesia karena nama “Tukimin” di belakangnya adalah nama khas Jawa. Namun, Djamal sebetulnya lahir di Geylang Serai Singapura 20 Oktober 1946 lalu. Ia juga besar dan bersekolah di sana. Hingga saat ini ia tinggal di Singapura. Tukimin adalah nama ayahnya, orang Purworejo (Jawa Tengah) yang pada zaman Belanda merantau ke Singapura; dan Pak Djamal, begitu penulis biasa menyapanya, pun masih punya keluarga di Indonesia.
Tidak terlalu penting membicarakan asal muasal Pak Djamal. Ia pun tidak terlalu mempersoal perbedaan-perbedaan ras sebab yang terpenting adalah ketakwaannya di hadapan Allah Swt. Dalam bahasa lain, kepercayaan dan keyakinanlah yang harus menjadi titik berangkat pertama dalam mempertimbangkan berbagai hal, termasuk dalam bidang yang digelutinya: sastra.
Dalam suatu kesempatan penulis mewawancarai Pak Djamal, ia sangat terinspirasi dengan surat Al-Syu’ara ayat 224-227 yang berbicara tentang para penyair. Baginya sastra hanyalah alat. Dia digunakan untuk apa bergantung orang yang menggunakannya. Sastra bisa digunakan untuk menganjurkan berbuat maksiat pada Allah Swt. Sastra pun dapat digunakan untuk menganjurkan orang berbuat kebaikan (amar ma‘rûf dan nahy munkari). Untuk apa sastra digunakan bergantung kepada orangnya. Pemikiran seseorang untuk menggunakan sastra untuk apa sangat bergantung kepada kepercayaan dan keyakinannya tentang mana yang benar dan mana yang salah.
Prinsipnya ini sangat terlihat dari puluhan karya sastra yang dibuatnya. Ia telah menulis antara lain dimuat dalam: Gema Membelah Gema II (KL, 1972), Puncak Sembilan (Singapura, 1975), Penyair-penyair Muda Singapura Di Tengah-tengah Forum Masyarakat (Singapura, 1977), Puisi-puisi Nusantara (KL, 1981), The Poetry of Singapore (Singapura, 1985), Tiga Warna Bertemu (KL, (1987), Dinamika Budaya (Singapura, 1991), Resan Dan Kesan Kumpulan Makalah Sempena Bulan Bahasa 1992 (Singapura, 1992), Rhytm (Singapura, 2000), Embun Tajjali (Yogyakarta, Indonesia, 2000).
Ia pun telah menerbitkan antologi-antologi puisi: Puisi-puisi Muhajir (Singapura, 1977); Betapa Pun Nyanyian Rindunya Si Anak Geylang Serai (Singapura, 1999); Pun Begitu, Pada Hari Berkah Ini Cinta Masih Tersisa (Singapura, 2002). Sementara kumpulan esei bahasa/sastera/teater berjudul Sejarah Tidak Pernah Luka Kita Yang Berduka sedang disiapkan dalam proses penerbitan.
Selain menulis puisi, ia pun amat gemar membacakannya. Baginya membaca puisi (sajak) adalah tonggak tertinggi apresiasi sastra yang mesti diperjuangkan. Oleh sebab itu, Pak Djamal banyak membaca puisi di seluruh daerah serantau Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Kegiatan ini pula yang membuatnya dekat dengan para penyair Indonesia. Di antara event paling penting adalah ketika ia diundang khusus bersama-sama penyair dunia lainnya membaca puisi pada acara World Poetry Reading Kuala Lumpur pada tahun 1996.
Tidak hanya puisi. Ia juga menulis naskah teater, cerpen, dan novel. Naskah teaternya yang berjudul Seekor Kerbau Hitam Legam Dalam Mimpi Sang Pangeran Tomtom telah dipentaskan oleh Persatuan Kemuning Singapura tiga malam berturut-turut pada tahun 1993. Naskah teater lainnya berjudul Imam. Cerpen-cerpennya tidak terbilang banyaknya. Ia juga menulis esai dan kritik sastra di berbagai media, baik di Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
Di usia senjanya ini Pak Djamal terus menulis. Semangatnya sangat menggebu terutama melihat berbagai kerawanan social, ketidakadilan soail, ketidakacuhan pada agama, dan segunung problem yang dilihatnya, terutama yang ia potret di Singapura dan Malaysia. Kegundahannya inilah yang akhirnya menghasilkan novel yang cukup unik. Ia sebut novel ini sebagai “Sebuah Novel Salafi”. Judulnya Imam. Ia merencanakan terbit sebagai trilogi. Saat ini baru terbit jilid pertama. Jilid kedua sedang dalam proses cetak. Sementara jilid ketiga tengah dipersiapkan.
Dalam novelnya ini, Pak Djamal yang sudah sangat mahir memainkan kata-kata memperlihatkan bahwa sastra yang indah dan menawan adalah sarana untuk menyampaikan kebenaran. Ia ingin berdakwah melalui semua karya sastranya. Siapapun yang membaca novelnya ini akan segera melihat bagaimana visi dakwah Pak Djamal. Pada saat yang sama keindahan sastra yang menyentuh tetap dapat dinikmati.
Kemahiran dan keahliannya di bidang sastra inilah yang mengantarkannya memenangi hadiah cerpen (1963). Ia juga pernah memenangi Hadiah Sastera untuk bidang esei sastera pada tahun 1993. Tahun 2002 Djamal Tukimin dianugerahkan sebagai Budayawan Seni Kemuning. Bahkan kini ia di-iktiraf-kan sebagai sastrawan negara di Singapura. Pengakuan akan kepakarannya di bidang sastra dan budaya Melayu ini pula yang mengantarkannya diundang oleh Akademi Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universitas Kebangsaan Malaysia sebagai visiting fellow (peneliti) sejak tahun 2009. Sebagai peneliti, ia pun sudah menyelesaikan berbagai buku yang siap diterbitkan.
Pak Djamal ini juga bukan hanya dikenal sebagai sastrawan. Aktivitasnya di dunia dakwah pun terbilang luar biasa. Sejak muda Pak Djamal sudah ikut dalam gerakan dakwah serantau. Ia berkawan dekat dengan K.H. Abdurrahman dan Endang Saefudin Anshary dari Persis, Imadudin Abdul Rahim, dan aktivis dakwah lainnya. Ia sempat dipercaya sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah wilayah Asia Tenggara (di luar Indonesia).
Antara tahun 2002-2006, ia pun diamanahi menjadi Sekjen Muhammadiyah Asia Teng gara di Singapura. Saat inipun, mewakili Singapura, Djamal Tukimin dipercaya menjadi salah satu wali amanah gerak an dakwah serantau Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Karena dibesarkan dalam dakwah ini pulalah, Pak Djamal menemukan karakter dan visi dakwah di dalam berbagai karya sastranya, baik puisi, cerpen, novel, naskah drama dan teater, dan lainnya. Pada karyakaryanya inilah para sastrawan muda Muslim harus berkaca tentang bagaimana sastra harus di-Islamisasi. Wallahu A’lam
April 23, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar