Kamis, 07 Juli 2011

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

IV
Cukilan tulisan Dr. Abu Hanifah, Menyambut Ceramah Mochtar Lubis, Renungan Tentang “Manusia Indonesia Masa Kini” bagian Lahirnya Sumpah Pemuda:

Buku ini ditulis (keterangan sebelumnya; ada membicarakan sifat-sifat manusia Indonesia, dalam cara seperti dikemukakan oleh Saudara Mochtar Lubis. Dicetak tahun 1920, Haarlem, pengarangnya Prof. J.C. van Eerde, guru besar Universitas Amsterdam dan Direktur dari Koloniaal Institute te Amsterdam.
Judulnya: Inleiding tot de Volkenkude van Nederlandsch Indie) dalam tahun 1920, dan dalam tahun-tahun 20-an itu timbul Renaissance Indonesia dengan gerakan Pemuda Indonesia, dan lahirnya Sumpah Pemuda, dan perangsang lagu kebangsaan Indonesia Raya. Meletusnya pemberontakan PKI yang sebenarnya lebih banyak dapat dikatakan pemberontakan masyarakat Indonesia yang tak puas. Menurut hemat saya, yang terbanyak mereka yang di-digoel-kan kolonialis Belanda, malahan anggota-anggota Sarekat Islam di mana-mana. Mau tak mau sekarang harus diakui, bahwa vitalitas rakyat menentang kolonialis Belanda pada waktu itu Sarekat Islam. Belanda memakai kesempatan pemberontakan PKI buat menghantam sekaligus musuh mereka yang lebih berbahaya, ialah Sarekat Islam. 


Pada tahun 1928, lahir PNI yang umumnya disokong oleh pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar. Arus keras perasaan kebangsaan menyebabkan pada tahun 1928 lahir ikrar: Sumpah Pemuda, dan setelah itu, bangsa Indonesia tidak lagi bangsa Indonesia yang digambarkan oleh orientalis-orientalis Belanda, seperti Prof. J.C. van Eerde.

Dunia di sekeliling Indonesia bergolak, dan bangsa Indonesia tidak tinggal diam. Malahan saya berpendapat, tanpa Renaissance Pemuda Indonesia dalam tahun 1928, spontanitas pemberontakan dan perjuangan total dari rakyat Indonesia dalam tahun 1945, tidak mungkin.

Harus secara jujur diakui secara blak-blakan, bahwa misalnya Undang-Undang Dasar 1945, dan Pancasila yang begitu diagung-agungkan itu, tidak mungkin lahir tanpa Renaissance Pemuda Indonesia, tahun 1928 dan seterusnya.

[Diambil dari buku Manusia Indonesia [Sebuah Pertanggungjawaban], Ceramah pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki—Jakarta, oleh Muchtar Lubis, diterbitkan YOI, edisi II, Maret 2008].
***

Kala membahas mantra lebih jauh, aku sengaja mengedepankan yang tampak terlebih dulu. Gerakan semangat sejarah perjuangan dan gurat-gemurai mewarnainya. Atas jejak-jejak penciuman Sang Harimau Sumatera sebutan Muchtar Lubis, yang masih menjalar hingga kini atau 33 tahun sudah, tepat pada tulisan Atmakusumah berjudul David Hill Mengamati Mochtar Lubis, Kompas, 8 Maret 2010, dan dapat dipastikan mengikuti laju perkembangan maknawi ke-Indonesia-an.

Dialah yang sempat menggegerkan letak panggung Indonesia atas ceramahnya pada 1977, berfaham salah satu watak manusia Indonesia; “enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya” dibukukan dengan pengantar Jakob Oetama, ditambahkan bahan perdebatan ataupun masukan pendapat dari; Margono Djojohadikusumo, Sarlito Wirawan Sarwono, Dr. Abu Hanifah, dan Wildan Yatim, yang diterimanya baik, laksana cermin memantulkan wajah pendedahnya.

Tertinggal 30 tahun sudah (Muchtar Lubis [1977] Vs Sutardji Calzoum Bahri [2007]), watak yang diramalkan wartawan bermental jihat tersebut kian kentara, jika teringat kata-kata Tardji: “…secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”.

Sebelumnya, mari dengarkan pendapat sastrawan Mochtar Lubis (lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922–meninggal di Jakarta, 2 Juli 2004), mengenai mantra sejenisnya dalam buku yang sama, pada halaman 28-29, dan paragrafnya paling ujung bagian ciri keempat:

Kepercayaan serupa ini membawa manusia Indonesia jadi tukang bikin lambang. Kita percaya pada jimat dan jampe. Untuk mengusir hantu, kita memasang sajen dan bunga di empat sudut halaman, dan untuk menghindarkan nahas atau mengelakkan bala, kita membuang tujuh macam kembang di tengah simpang empat. Kita mengarang mantra. Dengan jimat dan mantra kita merasa yakin telah berbuat yang tegas untuk menjamin keselamatan dan kebahagiaan atau kesehatan kita.

Sampai sekarang manusia Indonesia yang modern pun, yang telah bersekolah, telah berpendidikan modern, masih terus juga membuat jimat, mantra, dan lambang. Salah seorang dukun lambang yang paling hebat di Indonesia tak lain mendiang bekas Presiden Soekarno, mantranya di zaman Jepang: “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis”, cukup lama membikin banyak manusia Indonesia mabuk, bahwa kita memang melakukan demikian, dan kemudian ketika berkuasa sendiri, maka mantra-mantranya tambah hebat, seperti Nekolim, Vivere Pericoloso, Berdikari, Jarek, Usdek, Resopim, dan sebagainya, hingga tiba saatnya wahyu cakraningratnya lepas dari dirinya, dan segala mantra dan jimatnya ternyata kosong, hampa dan tak bertuah sama sekali.

Kemudian kita membuat mantra dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, Orde Baru, the rulle of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri. Negara kita berdasar Pancasila, kata kita semua, dan kita pun lalu mengaso, penuh keyakinan dan kepuasan, bahwa setelah mengucapkannya, maka masyarakat Pancasila itu telah tercipta. Tak ubahnya sebagai seorang tukang sulap yang mengucapkan bim salabim. Nah, keluar kelinci dari dalam topi.

Apakah manusia Indonesia akan terus jadi manusia mantra, semboyan dan lambang, atau manusia yang bisa berbuat,melaksanakan, menciptakan, dan bukan manusia yang hanya bermain dengan kata-kata saja yang lama-lama jadi hampa dan tiada bermakna sesuatu apalagi baik bagi yang memakainya maupun bagi yang menerimanya? Jawabannya saya serahkan pula pada saudara-saudara.

***

Separuh pekerjaan bagian IV telah dikupas para pendahulu, kini waktuku berujar.
Para sastrawan yang tak takut jeruji penjara, kelaparan keluarganya, juga keberanian senyawa merah yang mengundang inspirasi insan sekitarnya; Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, dan seterusnya. Mereka bertanggung jawab atas laku nasib dan karya ciptaannya, laras kekerabatannya, langgam nada perjuangan bangsanya yang tiada kehendak mencipta menara, menancapi sebutannya. Terpenting ikhtiarnya terusahakan menuju muara, menyadarkan zaman gelap jahiliyah, kebodohan berlarut, dan propaganda menjerumuskan kelupaan pencarian sejati.

Aku singgung sedikit Hadits Qudsi: Dari Abu Huraira ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Aku menurut sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepada-Ku”. Di sana bukannya Tuhan tak bertanggung jawab atas segalanya, tetapi manusia diberikan kebebasan yang jatuh pada tingkat risiko masing-masing, menemui ganjaran amal sesuai dengan takaran yang telah ditentukan-Nya. Maka pertanggungjawaban senantiasa ada. Jika tidak, kenapa pula ada neraka dan surga. Sungguhlah Tuhan bertanggug jawab atas kaum Nabi Musa AS dan seterusnya yang mengikuti firman-Nya.

Allah berfirman (Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”) maka Nabi Musa memukul laut itu dengan tongkatnya. (Maka terbelalah lautan itu) membentuk dua belas jalan (tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar) di antara dua gunung terdapat jalan yang akan dilalui oleh mereka; sehingga disebutkan bahwa pelana hewan-hewan kendaraan mereka sedikit pun tidak terkena basah dan tidak pula kecipratan air, [Surat Asy Syu’ara’ ayat ke 63 disertakan Tafsir Jalalain, karangan Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar, terbitan Sinar Baru Algensindo, Bandung, Cetakan V, 2001].
***

Tardji cukup berhasil, dapat dibilang sukses menaburkan faham mantranya pada kesusastraan Indonesia. Dia membuat para kritikus yang biasanya bermata jeli oleh teori-teori dalam sakunya, semisal logika bahasa dan sebangsanya. Kaum kritikus terbenam kekuasaan puisi-puisinya sampai menyusuri padanan sesuai atau kehendaknya disesuaikan dengan capaian Arthur Rimbaud, Jalaludddin Rumi, Hamzah Fansuri, dan perlawanan Dionysus kepada Apollo sebagaimana Nietzsche pun sekenanya. Tanpa menunjukkan dada masing-masing atau disejajarkan di samping karya Tardji, seakan para pembaca disuruh mencari-cari dan menerka kebenarannya. Silaplah penikmat yang tiada berkeinginan meneruskan penglihatan realitas kemiripan diunggahnya dari zaman-zaman berbeda, sangat berlainan tempaan nasib dikandung hayatnya yang mewujud tanjung-tanjung karang mereka.

Wartawan sastrawan Muchtar Lubis sudah menjelentrehkan bukti keampuhan mantranya Soekarno tatkala berkuasa, tapi saat cahaya wahyu cakraningratnya terlepas, nyata bangsa Indonesia tetap terbelakang, tidak seperti yang dibayangkan masyarakat terbius. Dan kekuasaan kepresidenan penyair Tardji, kewibawaannya sebagai raja mantra, masih terdengar hingga kini, tengok atau klik lembar Kompas, 24 Oktober 2010, tulisan Salyaputra berjudul Pertemuan Dua Presiden Penyair.

Dengan konsep mantranya, Tardji memberontak tatanan berpuisi dan para kritikus tidak berdaya, terpukau rajah kata-katanya. Dan dapatlah aku kelompokkan Isyarat, kumpulan esai Sutardji Calzoum Bachri, terbitan Indonesia Tera, 2007 itu, sangat kaya daya sugestinya. Tentu tak lebih dibangun atas keyakinan purna, tapi tidakkah juga perlu cermat meneliti asalnya? Apakah ia masih setiai konsepnya atau sudah menyelingkuh faham lain? Ataukah ia mencampur aduk mencipta pamor membuta?

Tardji berhasrat lebih mengeramatkan tradisi lewat bahasa Indonesia melalui mantra dengan penjungkirbalikkan akibat konsepnya di atas daya spontanitas termiliki, sedari peleburan dirinya bertirakat sebagai penyair:

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.“, (Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bahri, tertera Bandung 30 Maret 1973, dalam buku O Amuk Kapak, tiga kumpulan sajak, terbitan Departemen Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2004).
***

Sungguh menghipnotis bagi yang terlena, tapi apakah sudah benar-benar berjalan-berhasil semestinya, pada umumnya mantra? Yang katanya mantra itu bebas dari kandungan makna, tetapi aku tidak habis pikir, kenapa pula membikin semacam esai Pengantar Kapak. Pun aku mencurigai, jangan-jangan mantranya tidak bertuah. Setidaknya aku tidak pernah menjumpai pun mendengar pembacanya kerasukan di kala merapalkannya. Mengenai para kritikus yang mengupasnya, kembali pada tingkat pengetahuannya.

Kalau alam sastra Indonesia menyerupai nuansa kesusastraan di Makah tempo dulu, para penyair berkumpul dan mengeluarkan kehebatan syairnya masing-masing di depan Kakbah, sungguh kentara puisi-puisi Tardji sekadar muslihat kata, tipu daya bahasa tak mengandung unsur dinaya mantra. Kita tahu unen-unen atau makolah; kata-kata dalam syair memiliki kekuasaan laksana sihir yang dari syair-syair itu sebagian darinya terdapat hikmah. Lantas jika balik mantranya Tardji apakah bertuah? Selain makna, karena dirinya sudah pasrah membebaskan kata-kata dari beban pengertian, maka mari tengok salah satu karyanya:

Mantera

lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka


puah!
kau jadi Kau!
Kasihku



Pada puisi Sutardji Calzoum Bachri di atas, aku jadi teringat kata-kata Mochtar Lubis, “…bim salabim, nah… keluar kelinci dari dalam topi’.

Kita simak sejenak cuplikan pengantar bukunya: “Sajak-sajaknya pernah menjadi perdebatan di meja redaksi Horison, yakni antara Taufik Ismail dengan H.B. Jassin. H.B. Jassin menolak sajak-sajak Sutardji untuk dimuat di Horison, sementara Taufik Ismail justru sebaliknya. Ia berkeras ingin memuatkan sajak-sajak Sutardji di majalah Horison. Akhirnya H.B. Jassin mengalah dan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri muncul di majalah tersebut.

Selepas membacanya, terlihat pemberontakan tradisi perpuisian yang dilakukannya melalui bentuk mantra mendapat dukungan/difasilitasi, maka lempenglah jalan kepenyairannya meski gaya-gaya perpuisiannya dapat digolongkan ngawur di bawah rupa kesurupan memasuki ruang pembodohan. Kukira selain puisinya di atas, lebih awut-awutan mengandalkan bunyi serta kemungkinan gila, yang sejatinya menyerang kaum kritikus, juga wujud meremehkan penyair lain, maka kian ugal-ugalan dirinya mematangkan konsep: “tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.

***

Bagian sebelumnya telah kuterangkan, mantra ada juga diambil dari kitab-kitab suci, semisal Al Quran, contoh kalimat: “Bismillahirrahmanirrahim, jika dibuatkan mantra hanya diambil dua kata bersebutan Ya Rahman, Ya Rahim”.

Mantra yang merahasiakan pengertiannya, seperti Alif lam ro’, Alif lam mim, Yaa sin, kalau dimantrakan, diwiridkan, hanya membaca huruf paling ujung; ro’, mim, sin, dan seterusnya, juga diambil dari 99 asmaul husna. Selanjutnya bisa kita jumpai pada Kitab Syamsul Ma’arif, karangan Syekh Ahmad Ali al-Buni. Agar tak terjadi ketersesatan dan menyesatkan, dapatlah menyusuri karya Al Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah bertitel Al Firasat yang masih di dalam lingkup cahaya-Nya.

Aku teringat di saat dulu pernah mempelajari mantra-mantra Jawa; ajian serat jiwa, tapak sakti, lembu sekilan, pancasona dan yang lain. Sayang tulisan-tulisan tersebut atau rajahnya hilang, aku bakar. Setidaknya aku pernah menikmati keampuhannya, di samping pesona sikep onto kusumo yang jika balapan sepeda motor terjatuh aman tak terluka. Lantas muncul dua wajah, apakah mantranya Tardji sekadar kecerdasan sosok “dukun intelektual” yang diamini kaum kritikus? Semoga tak sesat dan menyesatkan. Ataukah benar-benar mantra bertuah suci?

Mengamati pola Tardji yang “secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya”, ia tampak sebagai dukun tidak bertanggung jawab, berusaha mengaburkan daya tirakat melalui mantra penutup yang menghilangkah jejak tapak halusnya. Demikian dikaterogikan lempar batu sembunyi tangan. Bentukan tersebut memang ada dan ia memakai jalan itu.

Untuk kembali ke pandangan Mochtar Lubis seperti menegakkan rumput patah di tengah-tengah Ibu Kota. Padahal kesenjangan sosial kian membutakan mata, kezaliman korupsi dan sebangsanya mencengkeram kuat masyarakat Indonesia, sedangkan kepenyairannya bermantra, menyerupai intrik jahiliyah mencolok di depan mata.

Mengapa Tardji memaksakan diri memasukkan Sumpah Pemuda ke dalam puisi sebentuk mantranya? Karena ruhaniah sumpah sama dengan mantra, juga kutukan. Rasa-rasanya bagian ini ingin bernapas lebih lama, tapi kuhentikan di sini, lalu kulanjutkan ke bagian V, maka mengalirlah…

http://sastra-indonesia.com/2011/06/menggugat-tanggung-jawab-kepenyairan-sutardji-calzoum-bachri-iv/
http://pustakapujangga.com/2011/09/sue-responsibility-of-authorship-of-sutardji-calzoum-bachri-iv/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez