Jumat, 01 Oktober 2010

Puisi Sufistik Palsu, Gelap, dan Dekade 1980-an

Tanggapan untuk Beni Setia
Indra Tjahyadi
http://www.suarakarya-online.com/

Ada dua hal menarik yang diutarakan oleh Beni Setia dalam tulisannya yang berjudul “Dandyisme Puisi 80-an” (Suara Karya, 25 November 2006), yakni: (a) tentang keberadaan puisi sufi, dan (b) perihal puisi gelap. Dalam esainya tersebut Beni Setia menyatakan bahwa puisi sufistik era 1980-an tidak lahir dari pengalaman riil, bukan ungkapan sesuatu yang Prima, tapi cuma dandyisme tema. Oleh sebab itu, menurutnya, puisi sufistik dekade 1980-an merupakan puisi palsu.

Dari pernyataan yang dilontarkan oleh Beni Setia tersebut setidaknya dapat ditarik dua pemahaman, yakni: (a) bahwa puisi sufistik Indonesia dekade 1980-an adalah puisi (sufistik) palsu karena ia hanyalah sebuah dandyisme tema yang tidak menyertakan pengalaman riil, sehingga melahirkan bukan ungkapan-ungkapan (puitik) yang Prima; dan (b) bahwa puisi sufistik haruslah menyertakan pengalaman riil sehingga tidak terperangkap pada dandyisme tema dan dapat melahirkan ungkapan-ungkapan (puitik) yang Prima, serta tidak masuk dan terjerembab dalam puisi (sufistik) palsu.

Apabila merujuk pada pemahaman yang pertama, saya menangkap bahwa ada sinyalemen serangan yang cukup serius yang sengaja ingin dilontarkan oleh Beni Setia terhadap keberadaan puisi-puisi yang diklaim sebagai puisi sufistik pada lapangan perpuisian Indonesia dekade 1980-an.

Dalam bukunya “Rahasia Membutuhkan Kata” (Indonesia Tera, 2003), Harry Aveling memaparkan bahwa telah terjadi semacam wabah puisi “sufi” dalam lapangan perpuisian Indonesia dekade 1980-an dengan beberapa tonggaknya, antara lain: Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Acep Zamzam Noor, setelah sebelumnya didahului oleh ketertarikan para penyair mapan dekade 1970-an, semacam Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri, pada khazanah Islam yang memang sedang mewabah di Indonesia saat itu.

Ketertarikan yang kuat pada khazanah Islam yang mengidap para penyair mapan dekade 1970-an tersebut dapat dilihat dari karya-karya yang diciptakannya, semisal Abdul Hadi WM dengan puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” yang menyiratkan ketertarikannya pada khazanah mistikal dan teologis Islam(i), Taufiq Ismail dengan salah satu puisinya yang berjudul “Membaca Tanda-tanda”, ataupun Sutardji Calzoum Bachri melalui buku puisinya yang ketiga “Kapak” yang secara menyurat dan menyirat menunjukkan binar-binar ketakjuban pada sesuatu yang Ilahiah dan Islam(i). Karena puisi, sebagaimana sastra pada umunya, yang senantiasa berada pada ruang antara tradisi dan inovasi, maka tak pelak lagi, ketertarikan yang kuat tersebut berimbas pada generasi yang muncul sesudahnya.

Disebabkan adanya beban tradisi, maka para penyair dekade 1980-an tidak dapat melepaskan diri atas apa-apa yang telah ada sebelumnya, akan tetapi disebabkan adanya semangat inovasi yang mengalir di dalam urat darah mereka, maka keberadaan mereka pun dapat terlihat dengan jelas dengan adanya beberapa identifikasi pembeda dari para pendahulunya. Karena adanya semangat inovasi maka para penyair dekade 1980-an dapat dikatakan bukanlah bayang-bayang dari para pendahulunya, akan tetapi mereka berada dalam sebuah eksistensi tersendiri.

Merujuk pada Harry Aveling, ada beberapa perbedaan yang terjadi pada puisi generasi penyair Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Yosi Herfanda dengan yang sebelumnya, yakni bahwa puisi-puisi generasi mereka dapatlah dikatakan jenis puisi yang meremaja, terang, ringan, bermesra-mesra, dan kesenangan pada referensi Al-Qur’an seperti penyebutan nabi dan mistikus Persia, berlatar dunia neo-romantik tentang daerah pedesaan di luar kota, dan mistik yang kuat. Hampir selalu ada kata cahaya pada cara pengungkapan mereka tentang dunia yang dipenuhi dengan Tuhan yang keagungan-Nya selalu menuntun manusia untuk memuja-Nya secara spontan, karena Tuhan ada di mana-mana dan sangat dekat.

Sampai di sini, tiba-tiba saya tergoda pada pemahaman saya yang kedua atas pernyataan Beni Setia tentang puisi sufistik dalam tulisannya tersebut. Dalam pemahaman yang kedua, saya menangkap ada usaha Beni Setia menyampaikan pemahamannya mengenai puisi sufistik. Melalui pernyataannya tersebut, saya menangkap bahwa dalam kerja penciptaannya sebuah puisi yang sufistik membutuhkan keterlibatan pengalaman riil kreatornya agar puisi sufistik ciptaannya tidak terperangkap dalam dandyisme tema dan terjerembab pada penciptaan ungkapan-ungkapan yang bukan Prima.

Dalam pemahaman umum, seorang sufi bukanlah seseorang yang hanya berpegang pada al-’aql (intelektual/ akal budi) saja, melainkan seseorang yang mampu meleburkan al-’aql dengan al-ruh (spirit) ke dalam dirinya. Dalam pemahaman umum tersebut, seorang sufi adalah ia yang memiliki penghayatan yang mendalam, utamanya terhadap hal-ihwal yang transendental, sebab pengetahuan yang diperoleh oleh seorang sufi bukan atau tidak melalui pikiran melainkan langsung masuk ke dalam benak.

Secara ajaran, merujuk pada Lorens Bagus, sufisme merupakan ajaran atau aliran mistik dalam islam yang mulanya muncul dalam abad ke-8 dan tersebar di kekhalifahan Arab, dan kemudian menyebar ke mana-mana. Dan oleh karena menyebar ke mana-mana, maka bukanlah menjadi hal yang mengherankan apabila sufisme memiliki bermacam variasi landasan filosofis ajarannya, semisal mereka yang menerima prinsip neo-platonisme sebagai landasan filosofisnya.

Bagi mereka para pengikut Sufisme yang menerima prinsip neo-platonisme, adanya Allah diterima sebagai satu-satunya realitas, dengan semua hal dan gejala-gejala yang menjadi emanasinya. Menurut mereka, tujuan tertinggi kehidupan adalah persekutuan mistik jiwa individual dengan Allah, yang menuntut pengasingan dari kehidupan manusiawi, dan persekutuan antara kaum beriman dengan Allah tersebut terjadi melalui ekstase.

Sampai di sini, tiba-tiba, saya tergoda lagi untuk melangkah ke titik berikutnya. Bahkan kali ini saya tergoda untuk melompat agak lebih jauh, yakni ke point kedua dari dua hal menarik yang saya temukan dalam tulisan Beni Setia “Dandyisme Puisi 80-an”, yakni perihal puisi gelap.

Dalam tulisannya tersebut, Beni Setia memaparkan bahwa puisi gelap tidak sama dengan pesan yang gelap. Gelap di sini tidaklah sama dengan ketiadaan tema, pesan puisi, makna atau keengganan untuk berkomunikasi dengan simbol canggih yang rasional, yang kebih memungkinkan sebuah pesan bisa atau dapat dilacak. Akan tetapi gelap di sini lebih merujuk pada pola ekspresi simbolik yang terlampau subyektif.

Melalui pernyataan Beni Setia tersebut, saya menangkap bahwa kegelapan puisi disebabkan oleh penggunaan simbol-simbol yang subyektif. Karena simbol-simbolnya subyektif, maka ia secara umum dapat dikatakan tidak rasional.

Sebab rasionalitas senantiasa mengandaikan adanya obyektivitas, dan obyektivitas mengandaikan pemahaman secara umum dan general atas suatu obyek. Akan tetapi hal ini tidak semena-mena menjadikan puisi tersebut, dalam bahasa Beni Setia, tiada tema, pesan puisi ataupun makna, ataupun puisi tersebut enggan melakukan komunikasi dengan simbol canggih yang rasional. Hanya saja ia terlampau kelewat subyektif, maka tema, pesan, ataupun makna sulit ditangkap secara jelas dalam kinerja komunikasi puisi tersebut. inilah mengapa puisi itu gelap atau suatu puisi itu diterima sebagai puisi gelap.

Iwan Fridolin dalam tulisannya yang berjudul “Impian dan Luka Sejarah” berpendapat bahwa secara umum puisi gelap dapat dikatakan sebuah puisi yang maknanya tersembunyi, sukar, atau tidak ada kemungkinan untuk dipahami. Ia mungkin menyajikan makna yang bertingkat-tingkat, keruwetan dan kerumitan pemikiran, atau ketiadaan makna sama sekali. I

ni biasanya ditandai juga oleh penggunaan gaya eliptik, metafor, alusi dan referensi yang muskil, bentuk tipografis, bahasa arkhaik atau berbunga-bunga, serta citraan atau simbol pribadi. Ini, salah satunya, menurut Iwan Fridolin, seperti yang terlihat pada puisi-puisi pada kaum Simbolis. Puisi-puisi mereka dapat disebut puisi gelap karena makna yang dikandungnya penuh dan padat.

Sampai di sini, entah mengapa tiba-tiba saya teringat pada satu bait dari salah satu puisi karya Beni Setia yang termuat dalam buku puisinya “Legiun Asing”, yang diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka kisaran sembilan belas tahun yang lalu, atau tepatnya pada tahun 1987, yang pernah begitu saya sukai yang berbunyi: tanpa akar kita tak pernah benar-benar ada.

Terima kasih. ***

*) Penulis adalah penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez