Tanggapan untuk Beni Setia
Indra Tjahyadi
http://www.suarakarya-online.com/
Ada dua hal menarik yang diutarakan oleh Beni Setia dalam tulisannya yang berjudul “Dandyisme Puisi 80-an” (Suara Karya, 25 November 2006), yakni: (a) tentang keberadaan puisi sufi, dan (b) perihal puisi gelap. Dalam esainya tersebut Beni Setia menyatakan bahwa puisi sufistik era 1980-an tidak lahir dari pengalaman riil, bukan ungkapan sesuatu yang Prima, tapi cuma dandyisme tema. Oleh sebab itu, menurutnya, puisi sufistik dekade 1980-an merupakan puisi palsu.
Dari pernyataan yang dilontarkan oleh Beni Setia tersebut setidaknya dapat ditarik dua pemahaman, yakni: (a) bahwa puisi sufistik Indonesia dekade 1980-an adalah puisi (sufistik) palsu karena ia hanyalah sebuah dandyisme tema yang tidak menyertakan pengalaman riil, sehingga melahirkan bukan ungkapan-ungkapan (puitik) yang Prima; dan (b) bahwa puisi sufistik haruslah menyertakan pengalaman riil sehingga tidak terperangkap pada dandyisme tema dan dapat melahirkan ungkapan-ungkapan (puitik) yang Prima, serta tidak masuk dan terjerembab dalam puisi (sufistik) palsu.
Apabila merujuk pada pemahaman yang pertama, saya menangkap bahwa ada sinyalemen serangan yang cukup serius yang sengaja ingin dilontarkan oleh Beni Setia terhadap keberadaan puisi-puisi yang diklaim sebagai puisi sufistik pada lapangan perpuisian Indonesia dekade 1980-an.
Dalam bukunya “Rahasia Membutuhkan Kata” (Indonesia Tera, 2003), Harry Aveling memaparkan bahwa telah terjadi semacam wabah puisi “sufi” dalam lapangan perpuisian Indonesia dekade 1980-an dengan beberapa tonggaknya, antara lain: Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Acep Zamzam Noor, setelah sebelumnya didahului oleh ketertarikan para penyair mapan dekade 1970-an, semacam Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri, pada khazanah Islam yang memang sedang mewabah di Indonesia saat itu.
Ketertarikan yang kuat pada khazanah Islam yang mengidap para penyair mapan dekade 1970-an tersebut dapat dilihat dari karya-karya yang diciptakannya, semisal Abdul Hadi WM dengan puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” yang menyiratkan ketertarikannya pada khazanah mistikal dan teologis Islam(i), Taufiq Ismail dengan salah satu puisinya yang berjudul “Membaca Tanda-tanda”, ataupun Sutardji Calzoum Bachri melalui buku puisinya yang ketiga “Kapak” yang secara menyurat dan menyirat menunjukkan binar-binar ketakjuban pada sesuatu yang Ilahiah dan Islam(i). Karena puisi, sebagaimana sastra pada umunya, yang senantiasa berada pada ruang antara tradisi dan inovasi, maka tak pelak lagi, ketertarikan yang kuat tersebut berimbas pada generasi yang muncul sesudahnya.
Disebabkan adanya beban tradisi, maka para penyair dekade 1980-an tidak dapat melepaskan diri atas apa-apa yang telah ada sebelumnya, akan tetapi disebabkan adanya semangat inovasi yang mengalir di dalam urat darah mereka, maka keberadaan mereka pun dapat terlihat dengan jelas dengan adanya beberapa identifikasi pembeda dari para pendahulunya. Karena adanya semangat inovasi maka para penyair dekade 1980-an dapat dikatakan bukanlah bayang-bayang dari para pendahulunya, akan tetapi mereka berada dalam sebuah eksistensi tersendiri.
Merujuk pada Harry Aveling, ada beberapa perbedaan yang terjadi pada puisi generasi penyair Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Yosi Herfanda dengan yang sebelumnya, yakni bahwa puisi-puisi generasi mereka dapatlah dikatakan jenis puisi yang meremaja, terang, ringan, bermesra-mesra, dan kesenangan pada referensi Al-Qur’an seperti penyebutan nabi dan mistikus Persia, berlatar dunia neo-romantik tentang daerah pedesaan di luar kota, dan mistik yang kuat. Hampir selalu ada kata cahaya pada cara pengungkapan mereka tentang dunia yang dipenuhi dengan Tuhan yang keagungan-Nya selalu menuntun manusia untuk memuja-Nya secara spontan, karena Tuhan ada di mana-mana dan sangat dekat.
Sampai di sini, tiba-tiba saya tergoda pada pemahaman saya yang kedua atas pernyataan Beni Setia tentang puisi sufistik dalam tulisannya tersebut. Dalam pemahaman yang kedua, saya menangkap ada usaha Beni Setia menyampaikan pemahamannya mengenai puisi sufistik. Melalui pernyataannya tersebut, saya menangkap bahwa dalam kerja penciptaannya sebuah puisi yang sufistik membutuhkan keterlibatan pengalaman riil kreatornya agar puisi sufistik ciptaannya tidak terperangkap dalam dandyisme tema dan terjerembab pada penciptaan ungkapan-ungkapan yang bukan Prima.
Dalam pemahaman umum, seorang sufi bukanlah seseorang yang hanya berpegang pada al-’aql (intelektual/ akal budi) saja, melainkan seseorang yang mampu meleburkan al-’aql dengan al-ruh (spirit) ke dalam dirinya. Dalam pemahaman umum tersebut, seorang sufi adalah ia yang memiliki penghayatan yang mendalam, utamanya terhadap hal-ihwal yang transendental, sebab pengetahuan yang diperoleh oleh seorang sufi bukan atau tidak melalui pikiran melainkan langsung masuk ke dalam benak.
Secara ajaran, merujuk pada Lorens Bagus, sufisme merupakan ajaran atau aliran mistik dalam islam yang mulanya muncul dalam abad ke-8 dan tersebar di kekhalifahan Arab, dan kemudian menyebar ke mana-mana. Dan oleh karena menyebar ke mana-mana, maka bukanlah menjadi hal yang mengherankan apabila sufisme memiliki bermacam variasi landasan filosofis ajarannya, semisal mereka yang menerima prinsip neo-platonisme sebagai landasan filosofisnya.
Bagi mereka para pengikut Sufisme yang menerima prinsip neo-platonisme, adanya Allah diterima sebagai satu-satunya realitas, dengan semua hal dan gejala-gejala yang menjadi emanasinya. Menurut mereka, tujuan tertinggi kehidupan adalah persekutuan mistik jiwa individual dengan Allah, yang menuntut pengasingan dari kehidupan manusiawi, dan persekutuan antara kaum beriman dengan Allah tersebut terjadi melalui ekstase.
Sampai di sini, tiba-tiba, saya tergoda lagi untuk melangkah ke titik berikutnya. Bahkan kali ini saya tergoda untuk melompat agak lebih jauh, yakni ke point kedua dari dua hal menarik yang saya temukan dalam tulisan Beni Setia “Dandyisme Puisi 80-an”, yakni perihal puisi gelap.
Dalam tulisannya tersebut, Beni Setia memaparkan bahwa puisi gelap tidak sama dengan pesan yang gelap. Gelap di sini tidaklah sama dengan ketiadaan tema, pesan puisi, makna atau keengganan untuk berkomunikasi dengan simbol canggih yang rasional, yang kebih memungkinkan sebuah pesan bisa atau dapat dilacak. Akan tetapi gelap di sini lebih merujuk pada pola ekspresi simbolik yang terlampau subyektif.
Melalui pernyataan Beni Setia tersebut, saya menangkap bahwa kegelapan puisi disebabkan oleh penggunaan simbol-simbol yang subyektif. Karena simbol-simbolnya subyektif, maka ia secara umum dapat dikatakan tidak rasional.
Sebab rasionalitas senantiasa mengandaikan adanya obyektivitas, dan obyektivitas mengandaikan pemahaman secara umum dan general atas suatu obyek. Akan tetapi hal ini tidak semena-mena menjadikan puisi tersebut, dalam bahasa Beni Setia, tiada tema, pesan puisi ataupun makna, ataupun puisi tersebut enggan melakukan komunikasi dengan simbol canggih yang rasional. Hanya saja ia terlampau kelewat subyektif, maka tema, pesan, ataupun makna sulit ditangkap secara jelas dalam kinerja komunikasi puisi tersebut. inilah mengapa puisi itu gelap atau suatu puisi itu diterima sebagai puisi gelap.
Iwan Fridolin dalam tulisannya yang berjudul “Impian dan Luka Sejarah” berpendapat bahwa secara umum puisi gelap dapat dikatakan sebuah puisi yang maknanya tersembunyi, sukar, atau tidak ada kemungkinan untuk dipahami. Ia mungkin menyajikan makna yang bertingkat-tingkat, keruwetan dan kerumitan pemikiran, atau ketiadaan makna sama sekali. I
ni biasanya ditandai juga oleh penggunaan gaya eliptik, metafor, alusi dan referensi yang muskil, bentuk tipografis, bahasa arkhaik atau berbunga-bunga, serta citraan atau simbol pribadi. Ini, salah satunya, menurut Iwan Fridolin, seperti yang terlihat pada puisi-puisi pada kaum Simbolis. Puisi-puisi mereka dapat disebut puisi gelap karena makna yang dikandungnya penuh dan padat.
Sampai di sini, entah mengapa tiba-tiba saya teringat pada satu bait dari salah satu puisi karya Beni Setia yang termuat dalam buku puisinya “Legiun Asing”, yang diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka kisaran sembilan belas tahun yang lalu, atau tepatnya pada tahun 1987, yang pernah begitu saya sukai yang berbunyi: tanpa akar kita tak pernah benar-benar ada.
Terima kasih. ***
*) Penulis adalah penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar