Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Hamparan semangat menggelegak. Manakala ia tak dapat ditahan dan pecah, seketika itu pula ekspresinya muncrat berhamburan, bercipratan, menerabas apa pun. Lalu hinggap di berbagai tempat yang dijawilnya sesuka hati. Mungkin sama sekali ia tak bermaksud melakukan tegur-sapa, say hello, atau bahkan juga gugatan. Ia sekadar hendak merepresentasikan gumpalan kegelisahan yang lama bersemayam dan mengeram dalam kerajaan gagasannya. Boleh jadi ia lahir atas kesadaran, bahwa gagasan yang sekian lama dipenjara, bakal berakibat buruk pada denyar pikiran dan denyut batinnya. Mungkin juga ada kesadaran lain, bahwa tuhan tidak melarang makhluknya berkisah tentang apa pun. Bukankah tidak ada undang-undangnya yang menyatakan bahwa tuhan kelak akan menghukum manusia yang mengumbar imajinasinya bergentayangan ke berbagai wilayah imajinasi yang lain? Bahkan, sebaliknya, tuhan menempatkan manusia sebagai makhluk yang berada lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain, justru lantaran faktor imajinasi itu.
Dalam konteks itu, Nurel Javissyarqi dalam antologi puisinya, Kitab Para Malaikat seperti merepresentasikan kesadarannya tentang wilayah imajinasi. Cermati saja segenap larik yang dibangunnya dalam antologi puisinya ini. Ia begitu deras menghamburkan gelegak semangatnya. Ia laksana sengaja menikmati betul kebebasannya berekspresi. Maka, yang dapat kita tangkap dari larik-larik puisinya itu adalah kebebasan menguak serangkaian perkara (: tema) sesuka—semau nalarnya mengatakan itu. Ia bagai tak peduli konvensi. Yang dilakukannya adalah pembebasan imajinasi dari kerangkeng yang dianggapnya membelenggu. Maka, berhamburanlah model reduplikasi yang terasa lebih segar. Selain itu, muncul keriuhan atas sejumlah gagasan yang melompat-lompat, nemplok di sana-sini, dan bergentayangan ke belahan dunia lain yang tak terbayangkan. Itulah gerakan pembebasan imajinatif, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi yang sudah punya sejarahnya sendiri yang begitu panjang dan melelahkan.
***
Masih ingatkah Socrates yang memilih minum racun ketimbang mengkhianati keyakinannya berekspresi? Plato, Aristoteles dan sederet panjang pemikir masa lalu adalah manusia yang telah menyemarakkan sejarah panjang kebebasan berpikir, berekspresi, berimajinasi. Dari sanalah kebudayaan dan peradaban manusia menggelinding deras tak terbendung. Ingat pula Giordano Bruno yang dibakar hidup-hidup lantaran perjuangannya mengusung kebebasan berpikir. Galileo Galelei, Rene Descartes, Copernicus, dan sejumlah nama lain dalam deretan pemikir Barat adalah tokoh-tokoh yang bergerak dalam perjuangan pemikiran. Dari sanalah kemudian ilmu pengetahuan berkembang semarak hingga manusia mempunyai kemampuan mengejawantahkan jati dirinya secara paripurna. Hingga kini nama-nama itu terus bergentayangan, meskipun sejumlah tokoh lain, macam Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Derrida, hingga para penganjur postmodernisme –poststrukturalisme— telah bertengger kokoh menggantikannya.
Dalam dunia Timur, deretan nama-nama itu tidak kalah panjangnya. Ibn Thufail, Ibn Arabi, Ibn Sina, Al-Hallaj, Al Ghazali, Muhammad Iqbal sampai ke belahan bumi kita –Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar— adalah tokoh-tokoh yang langsung atau tidak, telah ikut mengubah dan menanamkan tonggak pemikirannya dalam kebudayaan—peradaban dan kesusastraan Indonesia. Jadi, keliaran dan kehendak mengusung kebebasan kreasi sungguh bukan hal yang baru. Persoalannya tinggal, apakah ia hendak menghancurkan paradigma lama –menurut gagasan Thomas Khun—dan memancangkan paradigma baru atau sekadar melakukan pemberontakan.
Dalam dunia sastra, siklus empiris atau lingkaran paradigma itu dihembuskan dalam konsep ketegangan antara konvensi dan inovasi. Tarik-menarik antara konvensi dan inovasi sesungguhnya bersumber pada kehendak mengekspresikan kebebasan kreasi, melakukan eksplorasi kreatif, dan mengeksploitasi berbagai kemungkinan estetik. Dalam hal ini, licentia poetica didasarkan pada semangat menawarkan bentuk baru, kreativitas baru, dan memojokkan konvensi sebelumnya menjadi sesuatu yang dipandang sudah out of date, usang, kadaluwarsa. Maka, yang muncul kemudian adalah kebaruan yang dalam karya sastra (teks) diselusupkan pada sejumlah unsur intrinsiknya, meski dengan tidak menutup rapat-rapat pada aspek ekstrinsikalitasnya. Itulah dunia sastra, sebuah dunia yang di sana berbagai macam peristiwa kreatif dihadirkan dengan kesadaran estetik yang erat kaitannya dengan kegelisahan kultural.
Dalam peta perjalanan kepenyairan Indonesia, deretan nama penyair garda depan, seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna dan nama-nama lain yang bertaburan dalam peta perpuisian Indonesia, pada hakikatnya juga bergulat dalam tarik-menarik antara konvensi dan inovasi.
Meski begitu, kita juga tidak menutup mata pada bermunculannya para penyair kontemporer kita yang juga mencoba melakukan pembelotan, pemberontakan atas nama inovasi, atas nama kreativitas, atas nama pembaruan. Kadangkala, ia mengusung semangat sekadar beda dan eksperimental. Tidak apa-apa. Tokh, tuhan pun tidak melarang umat manusia melakukan itu. Jadi, sah-sah saja jika kemudian muncul penyair Indonesia yang juga hendak melakukan gerakan kebebasan kreatif. Boleh jadi, ia tidak puas atas model-model estetika sebelumnya. Boleh jadi juga ia punya kesadaran estetik melakukan gugatan. Sangat mungkin pula ia mengusung semangat sekadar beda, seperti halnya juga kemungkinan ia tidak dapat menahan gelegak gagasannya yang bertumpuk-tumpuk.
Dengan kesadaran dan pemahaman itu, maka jika kini kita menghadapi antologi puisi Nurel Javissyarqi yang mengesankan muncratnya berbagai gagasan, berhamburannya ide-ide liar, dan rumitnya kita menemukan bentuk konvensional aturan berbahasa yang lazim, segalanya dibolehkan dan sah. Ia tidak melanggar hukum tuhan. Ia sekadar memberontak pada konvensi puitik, pada ekspresi berbahasa yang dalam sejarahnya memang senantiasa diserang pemberontakan. Lalu, bagaimana hasilnya? Bagaimana Nurel menggerakkan kreativitasnya.
***
Sebagai sebuah puisi yang sarat gagasan dan liar imajinasinya, kita memang seperti berhadapan dengan lorong panjang yang di sana bertebaran pula lorong lainnya yang bercabang-cabang. Berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri yang menghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra atau Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi, Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. Maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporadaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk. Yang juga menarik dilakukan Nurel adalah penciptaan bentuk-bentuk reduplikasi yang terasa segar, meski juga bukan hal yang baru. Sebutlah kata wewangi, pepintu, wewaktu, pepohon, bebayang, gegunung dan seterusnya untuk menunjukkan bentuk jamak sejumlah kata-kata itu.
Pencarian makna memang kadangkala menghadapi kegagalan. Tetapi, justru di situlah tantangannya. Ada semacam teror, tetapi tidak sampai pada tingkatan menciptakan huru-hara dalam pikiran kita. Bahkan, dalam beberapa hal, kita masih dapat menangkap model Khahlil Gibran atau Muhammad Iqbal. Periksa misalnya, beberapa larik berikut ini ketika Nurel berbicara tentang dunia perempuan:
Perempuan itu kembang di petamanan mimpi
…. (I: X).
dikaulah perempuan dari kerajaan-kerajaan misteri
(I: XIX).
Bukankah style itu mengingatkan kita pada model refleksi Khahlil Gibran? Dalam beberapa hal, kesan itu kadangkala menyentuh rasa estetik kita (aesthetic contaxt). Dan selepas itu, kita tiba-tiba saja disergap gagasan lainnya yang liar, tak terkendali, sehingga cenderung terasa menjadi teror. Perhatikan lagi larik berikut yang menggambarkan keindahan wajah perempuan:
Alis kerudung kedua bagimu, bilamana alis dicukur habis
hilanglah bulan sabit menggantung anggun di tengah malam,
sementara lampu-lampu kota hanyalah hiasan (I: XXXVII).
Dua larik pertama menunjukkan, betapa alis bagi wanita adalah asesoris penting yang menjadi bagian dari keindahan, bahkan juga sensualitas perempuan. Tetapi, bagaimana hubungannya dengan lampu-lampu kota yang ditempatkannya sebagai hiasan? Di sinilah, cantelan sensualitas perempuan –alis lentik yang bagai bulan sabit itu— tiba-tiba diteror lampu-lampu kota. Bagaimana hubungannya, asosiasinya, dan cantelan imajinasinya? Itulah teror yang sepertinya memang sengaja dibangun untuk menghancurkan imaji itu sendiri.
Dalam kasus lain, Nurel bertindak bagai sosok pertapa yang dalam hal tertentu, terkadang menyulap dirinya menjadi sosok Sisifus. Ia sekadar berkehendak, berbuat, dan bergerak membawa imajinasinya yang liar ke dalam lorong-lorong. Periksa lagi larik berikut ini:
Marilah hadir bersama keindahan, bimbing kesadaran alam terdalam
sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga (I: LX).
Saya membayangkan sosok Iqbal atau Gibran menyampaikan fatwanya tentang keindahan, tentang alam yang memercikkan keindahan (tuhan). Lalu, mengapa pula orang yang memperoleh hikmah, dianggap sia-sia. Lalu apa pula maknanya dengan malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga? Boleh jadi, doktrin, ajaran, atau hikmah, cukup sebagai pemberi cahaya pada hati, dan tidak perlu membuat seseorang jadi takabur, lupa diri. Apakah nur ilahi atau percik cahaya tuhan itu sebagai representasi dari hikmah, dari sebuah ajaran yang memberi pencerahan?
Model-model berfatwa itu, di sana-sini memang tampaknya sengaja dihadirkan sebagai pengejawantahan sosok aku liris yang memposisikan dirinya sebagai resi atau pertapa yang berkhotbah dari atas gunung. Sejumlah fatwanya terasa asyik, meskipun tidak jarang membawa kita pada lorong gelap atau gagasan yang berkeliaran di tengah hutan belantara.
Kunang-kunang terbang malam, berikan cahayanya kepada kalian/ Sebuah fatwa yang mengingatkan saya pada ajaran Konfusianisme. Tetapi apa yang terjadi pada larik berikutnya: kumpulan tersebut terselimuti kegelapan terjaga (IV: XCVIII) // Dalam konteks itu, tampak, ada semangat membangun paradoks. Lalu, apa maknanya fatwa itu jika kehendak memberi pencerahan, memasuki selimut kegelapan?
***
Secara keseluruhan, Nurel Javissyarqi dalam antologi puisinya, Kitab Para Malaikat mengusung banyak hal, menyodorkan berbagai pemikiran filsolofis dan menyerap pengaruh dari begitu banyak filsuf. Tetapi, mengingat begitu saratnya gagasan menggayuti isi kepalanya, ia seperti ingin segera melakukan pembebasan. Ia hendak memuncratkan semuanya dalam sebuah tarikan nafas. Itulah problemnya. Sebuah hasrat membuncah, mengeram sekian lama, tiba-tiba membobol tanggul penghalangnya, maka muncratlah hasrat itu menerabasi apa pun, menggilas-melindas segala yang berada di hadapannya. Dengan begitu, kesan yang seketika muncul adalah serangkaian keasyikmasyukan, keterlenaan, dan ekstase yang memabukkan dirinya sendiri. Maka, gagasan-gagasan yang terlontar adalah suara pemikirannya sendiri yang seperti peluru mitraliur yang justru dapat mencederai banyak pesan yang hendak ditawarkannya.
Antologi Kitab Para Malaikat ini disusun ke dalam dua puluh bagian (ditambah Muqaddimah). Bagian terakhir seperti mewartakan serangkaian kesaksian atas berbagai pengalaman yang diperlakukannya sebagai pengayaan batin dan pemikiran sosok seorang Nurel Javissyarqi. Ia menikmati kegelandangannya sebagai perburuan gagasan. Oleh karena itu, dapat dipahami jika Nurel seperti tak kuasa menahan beban gagasannya sendiri yang bertumpuk-tumpuk.
Terlepas dari berbagai persoalan itu, saya menikmati antologi puisi ini sebagai sosok pengelana yang tersesat di belantara rimba raya. Ada hasrat untuk segera keluar dari ketersesatan itu, tetapi tokh asyik juga menikmati ketersesatannya. Seperti sosok Sisifus. Nikmati sajalah, maka kelak kita akan sampai juga di jalan yang benar!
Bojonggede, 30 April 2006.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar