Ngarto Februana
http://www.ruangbaca.com/
Berpendidikan formal hanya sampai kelas dua sekolah dasar, semasa hidupnya Prof. Dr. Hamka telah menulis 113 buku.
Hadiah itu ia terima pada ulang tahun ke-70, dalam sebuah acara kenduri di Aula Masjid Agung Al Azhar, 18 Februari 1978. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang dikenal dengan Hamka, menerima bingkisan ulang tahun berupa buku Kenang kenangan 70 Tahun Buya Hamka.
Salah satu penulis buku setebal 288 halaman itu, Yunan Nasution, menceritakan kebiasaan Buya-panggilan akrab Hamka-mengarang pada siang hari, sekitar pukul 11.00 sampai 13.00. Dengan nada sedikit bercanda, Yunan lalu berkesimpulan: “Rupanya inspirasi yang dipancarkan melalui sinar matahari hanya dapat menembus pikiran orang-orang yang berkepala botak.”
Masih menurut cerita kolega Hamka di Pedoman Masyarakat itu, Buya kutu buku, daya ingatnya sangat kuat. Mengetik cuma dengan empat jari, tapi cepat.
Tidak hanya dikenal sebagai penulis produktif, Hamka juga seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, dan akademisi. Di bidang yang terakhir disebut, ia pernah menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, ia rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Selain itu, Buya adalah seorang wartawan, yang diawali dengan menjadi penulis untuk harian Pelita Andalas, lalu pada 1926 ia mendirikan jurnal Muhammadiyah pertama, Chatibul Ummah. Sepuluh tahun kemudian, Hamka mendapat tawaran menjadi editor kepala jurnal Islam yang baru terbit di Makassar, Pedoman Masyarakat. Ia juga pendiri dan pemimpin majalah Panji Masyarakat, serta pemimpin majalah Gema Islam.
Tahun ini, tepat seratus tahun kelahiran Buya, orang kembali mengenangnya lewat serangkaian acara. Yayasan AL Azhar, yang menjadi tuan rumah perhelatan ini, menggelar sejumlah diskusi dan seminar yang mengupas pikiran, pandangan hidup, dan sumbangan Buya bagi dunia Islam dan sastra Tanah Air. Di Jakarta, akan dibuka pula perpustakaan Buya dan situs yang khusus menyediakan buku-buku karangan Buya. Sebagian besar di antaranya kini memang sudah susah didapat di pasaran. Nun di kampung halamannya di Minangkabau sana, akan digelar pula sejumlah acara hingga Juni nanti.
Hamka dilahirkan di Negeri Sungai Batang, di sebuah rumah di pinggir Danau Maninjau di tanah Minangkabau, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Ibunya bernama Shafiyah. Ayahnya Syeikh Abdul Karim bin Amrullah-yang dikenal sebagai Haji Rasul-seorang ulama pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Haji Rasul tercatat sebagai orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Pendidikan formal yang sempat ditempuh hanya sampai kelas dua sekolah dasar. Tatkala berusia 10 tahun, Hamka belajar agama dan mendalami bahasa Arab di Sumatera Thawalib di Padang Panjang-sebuah pesantren yang didirikan sang ayah.
Pada masa muda–seperti pernah ditulis Tempo–Hamka anak nakal yang bikin ayahnya hampir putus asa. Karena sang ayah sudah tidak sanggup lagi, dikirimlah si Malik-panggilan Hamka pada masa kecil-ke seorang ulama besar, Syaikh Ibrahim Musa, di Bukittinggi. Tapi Malik lebih suka jadi wasit sepakbola, penyabung ayam, pendekar silat bahkan jadi jockey di Payahkumbuh.
Masa “kebengalannya” itu tak berlangsung lama. Ia kemudian lebih serius belajar, tidak hanya agama, tetapi juga politik pergerakan. Pada usia 16 tahun, ia merantau ke Jawa untuk berguru kepada tokoh pergerakan di Yogyakarta seperti Ki Bagus Hadikusumo, HOS Tjokroaminoto, RM Soerjopranoto, dan K.H. Fakhruddin. Kemudian ia sempat belajar berorganisasi ketika tinggal bersama iparnya A.R Mansur di Pekalongan, Jawa Tengah. Sekembali dari Jawa, ia menerapkan ilmu yang ia timba dari Jawa dengan mendirikan Majelis Tabligh Muhammadiyah di Padangpanjang.
Periode penting yang bisa dikatakan sebagai titik balik kehidupan Buya untuk masa berikutnya adalah menunaikan ibadah haji pada 1927. Tidak hanya melaksanakan rukun Islam yang kelima lima, ia juga menimba ilmu ke beberapa tokoh di Mekah. Sekembali dari Mekah, ia ke Medan untuk bekerja sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi. Sempat pulang ke Padangpanjang, tapi ia balik lagi ke Medan.
Hijrahnya dari tanah Minang ke Medan-konon karena sang ayah memaksa Malik menikah dengan wanita pilihannya-membawa Hamka kepada periode kehidupan baru. Mula-mula ia bekerja sebagai guru agama pada 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan.
Pada masa ini pula Hamka mulai menulis buku-buku agama, antara lain.Khatibul Ummah (yang ditulis dalam huruf Arab, Si Sabariah, Adat Minangkabau dan Agama Islam. Tahun-tahun berikutnya Buya mengarang roman adat, antara lain Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1937), Merantau ke Deli (1940).
Tenggelamnya Kapal van der Wijck mencuatkan namanya, tidak hanya di Indonesia, tapi juga sampai Malaysia. Di Indonesia roman tersebut dicetak 14 kali, di Malaysia 9 kali. Roman ini sebelum terbit sebagai buku, dimuat bersambung di mingguan Pedoman Masyarakat, majalah mingguan yang dipimpinnya. Cerbung ini ditunggu-tunggu baik oleh agen maupun pembaca yang tidak sabar menunggu episode selanjutnya.
Roman ini sempat dituduh sebagai hasil plagiat karena memiliki kemiripan dengan karya sastrawan Perancis, Alphonse Karr, yang kemudian disadur ke dalam bahasa Arab oleh pengarang Mesir, Musthafa Luthfi Al Manfaluthi. Atas tuduhan itu, kritikus H.B. Jassin menegaskan bahwa Hamka bukan plagiat.
Hamka seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu. Melalui bahasa Arab yang dia kuasai, Hamka mempelajari karya-karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Bahkan dengan bahasa Arab pula, ia mengkaji karya Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre. Karya-karya Karl Marx yang dia baca juga berbahasa Arab.
Filsafat dia pelajari, selain sastra, sejarah, sosiologi dan politik. Bahkan ia menulis beberapa judul buku filsafat seperti I>Filsafat Ketuhanan, Falsafah Hidup (cetakan pertama 1940, cetakan XII Juni 1986). Falsafah Hidup merupakan satu dari rangkaian empat buku karya Hamka yang diberi judul Mutiara Filsafat. Tiga lainnya adalah Tasauf Modern, Lembaga Budi, dan Lembaga Hidup.
Falsafah Hidup sengaja dipersembahkan kepada gurunya, A.R. Sutan Mansur. “Tuan! Inilah kitab dari hal hidup dan rahasianya, sopan santun dan budi di dalam Islam…,” demikian tulis Hamka di halaman persembahan buku itu. “Pelajaran-pelajaran itulah yang lekat dalam hati saya. Itulah bekal saya berjuang di medan hidup….”
Pada 1950, keluarlah buku tulisan Hamka berjudul: Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Dalam buku itu tampak sekali kedekatan Hamka dengan bundanya, Shafiyah, yang dia katakan, “Ibuku cantik.”
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, Hamka diangkat menjadi Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Ketika Presiden Soekarno menyuruh Buya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), Buya meletakkan jabatan itu. Masyumi kemudian dilarang oleh pemerintah pada 1960.
Tanpa dasar serta alasan tuduhan yang jelas, pada 27 Januari 1964 ia ditangkap persis ketika sedang memberi pengajian kepada seratusan ibu-ibu di bulan Ramadhan. Ia kemudian mendekam dua tahun di penjara, bersama para tahanan politik lainnya, seperti Muchtar Lubis. Pemerintah Soekarno menuduh Hamka pro-Malaysia.
Belenggu jeruji besi tak berarti mengungkung pikirannya. Karena banyak waktu luang selama di dalam penjara, Hamka menyelesaikan tafsir Alquran, yakni Tafsir Al-Azhar (30 juz), yang diakui sebagai karya terbaiknya. “Saya tidak bisa membayangkan kapan saya bisa menyelesaikan tafsir ini kalau berada di luar,” ujarnya suatu ketika.
Di masa Orde Baru, Hamka pernah menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dari 1977 sampai 1981 dan imam besar Masjid Agung Al Azar. Karena nasihat-nasihatnya tidak diindahkan pemerintah, Hamka pun mundur dari MUI.
Setelah keluar dari penjara, Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Hamka menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar Kairo (1958) dan dari Universiti Kebangsaan Malaysia (1974).
Di luar ketokohan dalam berbagai bidang, sebagai manusia, Hamka menjalani kehidupan normal dan “sangat biasa”. Hampir setiap hari, di rumahnya banyak tamu. Bukan saja tokoh-tokoh besar, tapi orang-orang sangat biasa. Para tamu itu datang untuk meminta nasihat, dari soal-soal agama, sampai ke masalah perkawinan. Bahkan Buya sering diminta untuk mengakadnikahkan pasangan-pasangan yang mau menikah. “Saya sampai harus lari ke luar kota kalau ingin istirahat,” katanya suatu ketika. Mereka yang akan menikah tampaknya jadi mantap sekali kalau diwejang, apalagi kalau dinikahkan, oleh Hamka.
Hamka menikah, berkeluarga, dan beranak cucu. Dengan istri pertama, Siti Raham, Hamka dikaruniai 10 anak, 22 cucu.
Siti Raham meninggal pada pertengahan 1972. Setelah menduda satu tahun delapan bulan, Buya memutuskan untuk tidak berlama-lama hidup kesepian. Pada usia 65 tahun–saat itu tujuh dari sepuluh anak-anaknya telah menikah–Hamka menikah lagi dengan janda asal Cirebon, Siti Chadidjah (waktu itu 48 tahun), pada Agustus 1973. Anak-anaknya yang mencarikan jodoh untuk sang buya. “Itu ulah anak-anaklah,” kata Buya pada acara ulang tahun Tien Soeharto, September 1978.
Siti Chadidjah adalah aktivis Aisyiah, organisasi wanita di bawah PP Muhammadiyah.
Ada satu cerita romantis ketika calon pengantin bertemu untuk pertama kali. Hamka berkata, “Saya ini apalah. Dulu kan suaminya Pangeran dari Cirebon.” Lantas apa jawab Chadidjah? “Itu dulu. Sekarang ini mana ada Pangeran yang melebihi Buya.”
Keromantisan itu makin asyik oleh curahan amal bakti sang istri. Sebelum menikah, Chadijah pernah bertekad begini: ” Kalau Buya ada beramal pada masyarakat, izinkanlah saya beramal pada Buya.” Nah, amal itu dibuktikan dengan mencurahkan waktunya hanya untuk mengurus sang Buya sampai-sampai Chadijah tak sempat lagi mengurus Aisyiah.
Buya gemar makan enak, dari durian, masakan padang, dan masakan arab yang telah di-padang-kan. Tak heran jika Buya hafal restoran-restoran yang menyajikan makanan enak.
Pada usia senja, Buya ditimpa berbagai penyakit: darah tinggi, diabetes, sehingga sejak itu ia tidak lagi menyentuh makanan enak itu, seperti lemang dan durian. Tapi, ia bilang, “Saya sudah puas makan enak,” kata Buya kepada Tempo ketika beristirahat di RSPP Pertamina, pada 1978.
Walau sakit, semangat bekerjanya masih menyala. Bahkan ia sempat berujar bahwa setelah sembuh ia akan tetap bekerja seperti biasa. Baginya tak ada kata pensiun selama masih hidup. “Pensiun seorang Muslim setelah dia mati. Ada hadis Nabi: orang beriman tidak akan berhenti bekerja sebelum pensiun. Pensiunnya itu di sorga.”
Akibat terkena serangan jantung pada 17 Juli 1981, ia harus kembali dirawat di RSPP Pertamina. Lima hari kemudian, 24 Juli 1981, Hamka mengembuskan napas terakhir pada usia 73 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, yang diantar ribuan pelayat, di antaranya Ali Sadikin, Emil Salim, dan Menmud Koperasi saat itu Bustanil Arifin.
Jasadnya memang telah dikuburkan 27 tahun lalu, tapi pemikirannya, keteladanannya, dan buku-bukunya terus hidup hingga kini. (Berbagai Sumber).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar