Abdul Hadi W.M., Kurniawan / Wawancara
http://www.ruangbaca.com/
Kesenian, bagi kaum sufi, adalah representasi simbolik dari pengalaman kerohaniannya. Demikian pandangan Abdul Hadi W. M. (Wiji Muthari), sastrawan kelahiran Sumenep, Madura pada 24 Juni 1946. Dia mulai menekuni sastra sufi sejak kuliah di Fakultas Sastra dan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Bahkan, saat meraih gelar Ph.D di Universiti Sains Malaysia dia menulis disertasi yang diterbitkan sebagai Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri
Sebagai sastrawan, dia menulis sajak-sajak ketuhanan. Salah satu yang terkenal seperti “Tuhan, Kita Begitu Dekat”: Tuhan,/Kita begitu dekat/Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu/… Tuhan,/Kita begitu dekat/Seperti kain dengan kapas/aku kapas dalam kainmu.
Dia juga menulis banyak buku tentang sastra sufi dan kebudayaan Islam, di antaranya Rumi, Sufi dan Penyair, Sastra Sufi, Sebuah Antologi, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, dan Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya.
Untuk mengetahui seberapa jauh Rumi mempengaruhi sastra dan kebudayaan Indonesia, wartawan Tempo Kurniawan dan fotografer Dimas Adityo menemui Abdul Hadi di ruang kerjanya di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada Senin, 13 Agustus lalu. Berikut ini petikannya.
Pak Abdul Hadi, sejak kapan dunia kesastraan Indonesia dipengaruhi oleh karya sastra Jalaluddin Rumi?
Dalam sejarah kesasatraan Melayu, pengaruh sastra sufi Rumi telah muncul sejak abad ke-15. Salah seorang tokoh yang banyak mendapatkan pengaruh, artinya berinteraksi dengan pemikiran Rumi, itu adalah Sunan Bonang, satu dari para wali yang menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Apakah wali-wali lain tidak?
Masalahnya warisan teks yang tersedia sejauh ini baru dari Sunan Bonang. Sedangkan teks dari para wali lain tak ada atau sukar mencarinya. Dalam buku saya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, saya telah menguraikan tentang Sunan Bonang, hubungannya dengan Rumi, gagasan cinta Rumi dan lainnya.
Bagaimana awal perjumpaannya dengan Rumi?
Pada akhir abad ke-15 Sunan Bonang pergi ke Samudera Pasai melalui Malaka bersama Sunan Giri. Dia belajar pada guru yang namanya Syekh Bari. Ini dia abadikan dalam bukunya Pitutur Seh Bari, yang kemudian diterjemahkan dan disunting oleh GWJ Drewes sebagai The Admonition of Seh Bari pada 1967. Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan di situ dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali dan Rumi.
Salah satu pengaruh Rumi yang paling jelas terahdap Sunan Bonang adalah, pertama, ajaran cinta. Kemudian, menerjemahkan asketisme itu dengan kesalehan sosial, di mana aktivitas sosial sangat diutamakan sebagai padanan dari zikir. Lalu, estetika. Pemikiran Rumi tentang seni sangat berpengaruh terhadap Sunan Bonang.
Bisa Anda uraikan konsep seni bagi Rumi?
Rumi berpikir bahwa karya sastra atau seni itu simbolisasi, representasi simbolik dari ide dan pengalaman kerohanian. Pengalaman kerohanian yang paling tinggi adalah tafakur, semacam kontemplasi untuk mencapai kesatuan mistik dengan Tuhan.
Karena sebagai simbol, karya seni itu seakan sebagai jalan naik atau kendaraan naik dari pengalaman empiris ke pengalaman kerohanian.
Konsep ini, contohnya, terlihat dalam komposisi gamelan yang dibuat Sunan Bonang, Gending Dharma, yang berpengaruh terhadap gamelan Jawa kini. Konsepnya konsentrik. Nada-nada, semua bunyi gamelan itu, membawa suasana terpusat ke alam transenden.
Apa bedanya dengan gamelan lain?
Gamelan Sunan Bonang agak berbeda, misalnya, dengan gamelan Hindu. Gamelan jaman Hindu itu digunakan untuk drama, pemujaan kepada dewa-dewa, sehingga eksotik sifatnya, seperti pada gamelan Bali. Gamelan Sunan Bonang bersifat konsentrik. Kedua jenis gamelan ini membawa perubahan pada gamelan Jawa, yang merupakan campuran dari estetika sufi dan estetika tantriisme Hindu.
Adakah bentuk modern dari gamelan Sunan Bonang ini?
Itu gending Kebo Giro (yang biasa mengiringi prosesi perkawinan adat Jawa). Gending itu sangat kontemplatif sekali. Juga tembang Lir-ilir, lir-ilir (yang konon ciptaan Sunan Kalijaga). [Abdul Hadi sejenak menembangkannya: Lir-ilir, lir-ilir/tandure wus sumilir/Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar....] Nah, itu kan jaman Sunan Bonang dan Kalijaga.
Bagaimana dengan sastranya?
Pengaruh Rumi dan ajaran tasawuf paling banyak ditemukan dalam teks-teks suluk karya Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Keduanya adalah yang paling terpelajar dalam hal sastra sufi di antara para wali. Di Jawa suluk adalah karangan bercorak tasawuf yang disampaikan dalam bentuk tembang. Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal adalah Suluk Wujil.
Dari mana saja sumber ajaran tasawuf mereka?
Setidak-tidaknya ada lima tokoh tasawuf yang populer di Nusantara pada abad-abad itu. Yang pertama, Imam Ghazali, lewat ajaran etikanya. Kedua, falsafah metafisik tentang wujud dari Ibn Arabi. Kemudian, Abdul Karim al-Jili tentang ajaran insan kamil. Tapi, dari segi seni atau sastra, yang banyak memberikan pengaruh adalah Fariduddin Attar dan Jalaluddin Rumi. Ini terbukti dari banyaknya terjemahan dari karya-karya penyair Persia seperti Attar dan Rumi.
Jejak mereka juga tampak dari pemakaian simbol burung, yang banyak dipakai dalam motif seni ukir. Itu kan bermula dari karya Attar yang disadur ke dalam bahasa Melayu menjadi, Hikayat Burung Pingai, yang kemudian dipopulerkan lagi oleh Hamzah Fansuri dengan sajak-sajaknya tentang burung. Di situ burung menjadi simbol jiwa manusia yang merindukan Tuhan. Burung sebagai simbol itu terutama burung simugh atau pingai atau phoenix.
Kalau jejak Rumi?
Bagian pertama dari Matsnawi karya Rumi, “Muqadimah”, itu berisi lagu seruling bambu yang terpisah dari asal-usulnya. Nah, hikayat-hikayat Pasai kemudian mengambilnya, bahwa asal-usul atau nenek moyang mereka berasal dari pokok bambu. Ini muncul juga dalam cerita dongeng di tanah Batak.
Dari lagu serulingnya Rumi ini pula lahir istilah “buluh perindu”. Di situ seruling, serunai, atau saluang menjadi peralatan paling penting dalam kesenian dan kebudayaan. Sebelumnya, alat musik semacam ini tak dipakai, misalkan dalam gamelan Hindu.
Bagi Hamzah Fansuri, apakah dia mendapat pengaruh juga dari Rumi?
Ya, tapi tidak langsung karena abadnya sudah berbeda. Tetapi jelas bahwa dari segi estetik karya-karya Fansuri banyak dipengaruhi, terutama, oleh Fariduddin Attar. Paling jelas dari Attar, tapi itu dekat sekali dengan Rumi, karena Attar itu sambungannya dengan Rumi. Sedangkan dari pemikiran filsafatnya, baru Fansuri dipengaruhi Ibnu Arabi.
Apa hubungan Attar dan Rumi?
Attar itu guru spiritualnya Rumi, pendahulunya Rumi. Rumi melanjutkannya. Ini merupakan tradisi para sufi, karena mereka tak berpretensi sebagai pembaharu seperti penyair modern sekarang. Yang penting bagi dia (sufi), karyanya merupakan pengalaman pribadi, yang dialaminya dan dihayatinya. Cukup itu saja sudah orisinal bagi mereka. Apakah hal itu sudah dikatakan sebelumnya atau tidak, itu bukan soal bagi mereka. Sekarang saja kita orang rewel tentang orisinalitas semacam ini, kan?
Seperti cerita rakyat, misalnya. Mereka (para sufi) lontarkan kembali dalam bentuk yang sesuai dengan sifat karya sastra sebagai bentuk simbolik. Sehingga mereka memakai cerita rakyat yang sudah berkembang, seperti kisah Laila Majnun dan sebagainya. Juga kisah-kisah binatang, sejarah, dan ada juga yang diambil dari Al-Quran. Cuma dia olah dengan cara dia sendiri. Jadi, bukan soal temanya yang penting. Tema itu bisa sama saja. Justru dengan mengolahnya menjadi baru, dia memberi dimensi-dimensi baru, dimensi estetik, pengalaman, dan sosial pada cerita lama itu.
Bagaimana dengan karya sastra Indonesia modern, seperti Amir Hamzah dan sesudahnya?
Ya, jelas sekali pengaruhnya. Namun, sebelum Amir Hamzah, yang ada pengaruh Ruminya adalah pada Sanusi Pane. Sedangkan Amir jelas sekali terpengaruh secara langsung maupun tidak. Amir kan pernah menerjemahkan Rumi dalam Setanggi Timur. Dan, Rumi sangat dikenal pada masa itu oleh penyair-penyair romantik Indonesia. Sedangkan puisi Rumi itu memang sesuai dengan jiwa romantik. Kalau dalam sastra kontermporer tinggal lihat saja pengaruhnya pada, misalnya, Danarto dan Sutardji Calzoum Bachri.
Bagaimana Anda menilai keterpengaruhan itu?
Saya melihat dari dua hal saja. Pertama, estetik, bahwa karya sastra itu simbol, idealisasi dari realitas yang dialami penyair, jadi bukan langsung diambil dari realitas. Pengalaman diolah oleh imajinasi, lalu dijadikan simbol untuk menceritakan sesuatu yang lain, baik pengalaman kehidupan maupun kritik sosial.
Hal ini lain dengan karya sastra yang coraknya imitasi, peniruan terhadap realitas, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Di sini pengalaman diidealisasi dengan kerangka historis, pertentangan kelas, dan sebagainya.
Nah, sastra sufi itu betul-betul simbol. Di dalam tradisi Timur, termasuk dalam tradisi Islam, seni murni itu demikian, bersifat simbolik. Dia disebut seni murni karena karya itu tidak punya kepentingan politik, tidak ada kepentingan duniawi. Dia semata-mata kerohanian, spiritualitas.
Ini lain dengan corak yang kedua, seni dinamik. Seni ini mempersoalkan masalah sosial, keduniaan. Hanya saja, tradisi Barat tak mengenal seni murni, karena sudah sekuler. Sedangkan dalam tradisi Timur, mulai dari jaman Jawa Hindu, seni murni sudah digarap, tapi seni sosial juga digarap.
Kala itu pengarang bisa kedua-duanya. Tapi, kalau dia mengarang seni murni, pasti simbolik. Karena, yang abstrak, yakni pengalaman spiritual, itu tak bisa ditiru. Jadi dia harus disimbolkan dengan hal-hal yang kongkret. Misalkan pada pepatah “tak ada rotan akar pun jadi”. Nah, yang dibicarakan kan bukan rotan, bukan pula akar yang kongkret, kan?
Dari segi bentuk, apakah sastra sufi lebih cenderung memilih puisi ketimbang prosa?
Puisi atau prosa-puisi. Karena prosa itu kan baru berkembang kemudian setelah orang lebih banyak dekat pada pemikiran diskursif. Bahasa diskursif itu tidak dapat mewadahi hal ini, kecuali distilisasikan, gayanya jadi puitik. La Divina Comedia karya Dante itu kan simbolik.
Hal ini berbeda dengan novel modern. Novel modern itu setelah realisme. Baik realisme maupun romantisme di dunia modern itu merupakan reaksi terhadap saintisme, pemikiran yang selalu mengandalkan akal. Romantisme mengedepankan kebebasan individual dengan imajinasi, sedangkan realisme dengan menceritakan yang buruk-buruk dalam masyarakat.
Apakah realisme itu mempengaruhi sastra Indonesia?
Setelah Sanusi Pane, kita didominasi oleh aliran-aliran dari Barat itu, seolah-olah aliran dari Timur itu sudah kuno. Nah, yang Timur ini baru diangkat kembali pada 1970-an oleh Kuntowijoyo, Danarto, Fudoli Zaini. Yang diangkat itu estetikanya, jadi tidak mesti sama karyanya dengan mereka (aliran dari Timur). Kebaruan mereka jutru karena mereka bisa mengelola sesuatu yang berbeda dengan sastra klasik dan dengan sastra pada zamannya.
Dalam novel-novel sebelum Danarto kan nggak mungkin awan, bekicot, kodok, jadi tokoh novel. Tapi, dalam Mahabharata, dongeng-dongeng, hal itu ada. Danarto justru mengangkatnya lagi, tapi dengan cara yang baru, konteks baru, relevansi baru. Bahkan ayat-ayat Al-Quran dijadikan tokohnya.
[Di salah satu artikelnya Abdul Hadi menyebut sejumlah karya bercorak sufistik dan sosial-keagamaan seperti karya Kuntowijoyo (novel Khotbah di atas Bukit, antologi puisi Suluk Awang Uwung dan kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga), Danarto (kumpulan cerpen Adam Makrifat dan Berhala serta novel Asmaraloka), dan M. Fudoli Zaini (kumpulan cerpen Arafah dan Batu-batu Setan)]
Apakah generasi berikutnya Anda masih melihat pengaruhnya?
Dalam prosa memang jarang sekali, tapi dalam puisi banyak sekali pengaruh gerakan sufistik ini. Tapi, suatu gerakan itu kan tidak selalu harus berkembang terus. Dia kadang harus mengendap dulu, lalu suatu ketika muncul lagi.
Kalau Sutardji?
Ya, dia memang terpukau (pada sastra sufi) setelah kebuntuan pengalaman nihilismenya itu. Misalnya lewat sajak Orangnya Tuhan karya Rumi. Sajak itu jelas berpengaruh pada Sutardji sejak awal masa kepenyairannya. Jadi, pengaruhnya sudah ada waktu itu tapi dia belum bisa mencernanya, kecuali pada masa akhir kepenyairannya.
Dalam acara di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu saya telah menyampaikan bahwa Sutardji itu melalui tiga fase. Pertama, sajak mantera. Saya analisa di situ dia dipengaruhi samanisme, tapi samanisme itu juga sebetulnya mistik. Kedua, nihilis, gayanya kok seperti Nietszche. Kemudian, ke sufi.
Selanjutnya, bagaimana perkembangan sastra sufi?
Memang sejak munculnya Angkatan 45 sampai awal 1960-an, pengaruh sufi itu surut karena hingar bingar realisme, realisme sosial, eksistensialisme, dan segala macam. Tapi kok berbenih lagi pada karya pasca-1966, pada 1970-an pada karya Danarto dan lainnya. Jadi ini tampak sebagai reaksi terhadap realisme, entah realisme formal atau sosial, dalam penulisan sastra dari segi estetik, ditambah lagi kecintaan mereka (para sastrawan) yang mendapat ilham dari tradisi.
Tapi kan pada Chairil punya sajak “Doa”, Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling?
Ya, itu kan remang-remang. Nafas keagamaan memang muncul pada karya-karya tahun 1950-an itu, seperti pada Taufik Ismail, AA Navis, dan lainnya. Tapi, di situ agama pada level legalistik-formal, dalam pengertian dengan adat, dengan pergaulan, tingkah laku masyarakat, ahlak. Sedangkan agama sebagai penghayatan spiritual baru muncul pasca-1966.
Apakah ada konteks sosial tertentu yang mendorong mereka demikian?
Saya tidak tahu mereka. Tapi, dari segi saya, pada waktu itu mulai populer lagi kecenderungan untuk melihat dan membaca karya-karya Asia. Salah satunya buku yang dibaca adalah The Treasure of Asian Litterature (1956). [Abdul Hadi mengambil buku itu dari rak di belakangnya dan memperlihatkan isinya]. Isinya nukilan-nukilan karya berbagai pengaran Asia, tapi penting bagi orang yang belajar sastra. Saya membelinya tahun 1970-an.
Buku ini populer setelah tahun 1966, dibaca oleh penyair-penyair Yogyakarta waktu itu. Di buku itu ada karya Rumi, ada Rubaiyat Omar Khayam. Jadi, mereka bersentuhan dengan ini. Kami yang masih muda-muda waktu, itu, masih 20-an tahun usianya, melihat bahwa ternyata sastra Timur itu kaya, bukan hanya karya sastra Barat. Banyak lagi buku-buku semacam ini yang populer.
Sutardji kan membaca Orangnya Tuhan (The Man of God) karya Rumi kan di situ. Bahkan mereka menerjemahkannya. Sapardi, misalnya, menerjemahkan Shakuntala. Saya sendiri menerjemahkan Rubaiyat Omar Khayam.
Bagaimana dengan latar belakang para sastrawan itu?
Ini memang kebetulan. Kuntowijoyo ini kan mahasiswa jurusan sejarah, yang pasti mempelajari kebudayaan dan kesusasteraan Indonesia. Danarto juga memang lahir dari keluarga kebatinan dan menyukai tasawuf. Fudoli Zaini juga begitu, lahir dari keluarga pesantren, orang Nahdlatul Ulama tulen yang banyak mempelajari tasawufnya Al-Gazali dan lainnya, apalagi ditambah dengan mempelajari sastra Arab di Kairo, Mesir. Kemudian Sutardji sendiri dari tradisi sastra Melayunya pasti membawa itu. Kalau saya kan memang dari studi sastra Melayu.
Seberapa besar peluang sastra sufi untuk muncul saat ini?
Sulit juga bicara soal peluang, karena peluang itu kini ditentukan oleh publikasi dan pasar. Pasar memilih yang mana? Tapi, sebagai aktivitas dia tetap ada. Dipublikasikan atau tidak ia tetap berlangsung dalam kajian-kajian tasawuf yang banyak terdapat di Jakarta.
Banyak sekali kelompok kajian tasawuf di Jakarta, sukar dihitung dan bermacam-macam jenisnya. Ada yang sifatnya cuma majelis zikir saja, ada yang juga mengkaji masalah-masalah sastra sufi ini, bahkan ada yang khusus mengkaji Rumi, seperti kelompok Pusaka Hati yang akan mementaskan “Semalam Rumi” di Gedung Kesenian Jakarta pada 30 Agustus nanti.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar