Zehan Zareez
Kita tidak bisa mengingkari bahwa segala kejadian punya
sebab. Kejadian-kejadian yang terjadi ini lah yang pada akhirnya kita namai
qadar. Sejauh apapun seseorang mengupayakan sesuatu agar tidak terjadi (baik
terhadap dirinya maupun yang lain) jika memang Allah menghendaki terjadi maka
akan tetap terjadi. Di sini lah (dalam sorot pendapat mayoritas) muncul
perintah qanaah, sabar, tawakkal, ihtiyar, pasrah atau dlsb.
Sebuah kejadian bisa terjadi (alias diterjadikan)
lantaran memiliki sebab. Meskipun pada hakikatnya Allah berhak saja menjadikan
segala kejadian --- dengan atau pun tanpa sebab. Terserah Allah tentunya.
Terselipnya sebab-sebab sebelum kejadian tersebut sebenarnya merupakan hikmah
besar; bahwa Allah tiada pernah membentuk sebuah tatanan kehidupan yang
rumusnya di luar rasionalitas manusia; yang dalam hal ini sebagai satu-satunya
mahluk berpikiran. Jika pun dalam rute perjalanan kehidupannya nanti didapati
sebuah kronologis yang terjadi tanpa alasan, maka 'zhann'/rumangsa terbaik
adalah kembali pada tabiat manusianya sendiri yang sedang gagal menafakkuri
sebab-sebab dari kejadian yang terjadi.
Tidak ada, atau bahkan tidak mungkin pernah ada satu
ihwal pun yang kita alami di kehidupan ini tanpa keterlibatan Allah sebagai
Yang Maha Menghendaki. Perkara disukai atau tidak, mencemaskan atau
membahagiakan, membingungkan atau memcerahkan merupakan sub bahasan lain. Tugas
manusia adalah berserah. Berpasrah atas kejadian apa pun yang terjadi sekaligus
sigap menyalakan cambuk sirine bahwa segala kejadian punya titik kembali.
Allah tidak kejam. Dia Maha Rahman. Mustahil dalam
penciptaanNya, Dia menciptakan (katakan) satu mahluk dengan jatah penderitaan
dan ketidakbahagiaan total sepanjang umur ia dihidupkan. Pasti ada sisi
bahagianya, ada sisi baiknya, sisi bermanfaatnya dan masih banyak sisi-sisi
potentif yang lain. Asal sakelar pikirannya dihidupkan, dinyalakan demi menuju
titik terang kebijaksanaan-kebijaksanaan yang teka-teki. Begitu pula dalam
sebuah kaum, tatanan masyarakat, suku maupun bangsa. Tidak mungkin ada kaum
yang diciptakan tanpa fungsi dan faedah. Sekelas masyarakat Yahudi pun (dalam
sejarahnya) pernah menjadi sebuah kaum yang begitu dimanja oleh Allah.
Kemanjaan, bukankah bisa terjadi lantaran adanya guyuran kasih sayang?
Sebuah retorika takdir yang mengujung pada perseteruan,
rata-rata dihasilkan dari gagalnya manusia dalam meletakkan dirinya sendiri ---
sebelum akhirnya terlalu berani memberikan nilai. Bayangkan saja, satu buah
peristiwa heroik sedang diseterukan sepuluh orang yang buta diri. Apa yang akan
terjadi ? Semakin 'ambyar'nya nilai tuju, bukan ? Di titik ini lah kita semua
diuji dalam memahami toleransi. Dan di titik ini pulalah kita sering
membatalkan diri dari kefitrahan sebagai mahluk sosial. Jika kita sengaja
berjalan dengan sandal jepit yang putus, otomatis kita juga harus siap berjalan
lamban dengan sedikit upaya susah tanpa kenyamanan. Pendapat demikian satu
rumus dengan sebuah kaidah fiqih "ar-ridho bi as-syai', ridho bi maa
yatawalladu minhu".
Kerelaan kita dalam suatu hal, menjadikan kita mau tidak
mau rela pula atas resiko yang dilahirkan. Tidak ada satu pun sikap yang nol
resiko. Keberanian kita dalam melepas identitas tafakkur yang seharusnya
melekat, otomatis melahirkan kerumitan yang mau tidak mau memang harus kita
terima sebagai resiko. Terlebih, keberanian ini diambil bukan hanya satu atau
dua orang. Katakan satu kaum, satu masyarakat kota, atau negara. Dapat dipastikan
lebih besar pula resikonya.
Jika dalam hal ini yang bermasalah sebatas diri sendiri,
maka tak ada solusi lain yang paling tepat selain tafakkur insaniyah secara
pribadi. Satu sakit diobati, maka potensi sembuhnya menjadi besar. Namun jika
yang bermasalah ini masing-masing kepala, maka tentu peluang penyembuhan menjadi
kecil, lantaran setiap dari yang sakit harus menjadi dokter terhadap sakitnya
sendiri-sendiri. Belum lagi, sebagian besar dari kita, konon angkuh menganggap
sedang dalam keadaan tidak sakit. Tentu akan semakin rumit. Perseteruan dan
kegaduhan semakin membesar, ditambah kurang adanya kesadaran bahwa penyebab
dasarnya adalah kita sendiri yang selalu mengaku tidak jadi penyebab.
Kasus ini sebenarnya erat berkaitan dengan fenomena virus
corona yang telah menjadi pandemi di tengah kita semua. Jutaan sudut pandang
mengungkap bicara dengan modal dasar kenihilan masing-masing. Saling
dibenturkan, saling ditumpang-tindihkan, saling sorot. Kesepakatan hanya
terjadi di titik; bahwa ternyata para pemilik sudut pandang tersebut masih
sama-sama takut dengan kematian. Termasuk mereka yang gencar menyuarakan;
kematian adalah mutlak ketentuan Allah.
Seorang pakar khatulistik mengatakan virus ini muncul
dari Wuhan. China pada akhirnya menjadi negara kasihan lantaran dituduh sebagai
biang. Seorang dokter andil bersuara bahwa virus jenis ini belum ada obat
konkritnya. Diraciknya formulasi-formulasi baru sebagai penangkal yang ampuh,
meski belum sempurna. Beberapa pakar agama pun nimbrung mengemas mufakkat
meletupkan dentuman-dentuman kesabaran, kepasrahan dan lain sebagainya. Tak
kalah, elit pemerintah gencar memberikan himbauan-himbauan kewaspadaan. Normal.
Dan wajar. Sampai di titik ini, pola sebenarnya sudah berjalan cantik. Karena
pakar memang harus berani bicara tentang keahliannya, dan ahli dituntut tegas
bersuara di lingkup bidangnya. Tugas kita (sebagai masyarakat) harusnya meletakkan
diri sebaik-baiknya, sebelum bersikap sebijak-bijaknya. Itu saja.
Patut mendapat prihatin lebih tatkala tafakkur insaniyyah
tadi dikesampingkan. Misal pakar kesehatan yang seharusnya bicara banyak
tentang ilmu kesehatan beralih mulut membicarakan ketuhanan. Para ulama menjadi
tak laku kalam-kalamnya. Mereka pun akhirnya memilih jadi pendebat, hanya
karena tak ingin martabatnya jatuh. Belum lagi seluruh kepala dalam masyarakat
menyulap dirinya masing-masing menjadi yang seolah paling paham pola atur
pemerintahan. Pemerintah kehilangan fungsi sebagai yang berwibawa dalam
pengambil keputusan. Akhirnya memilih menjadi masyarakat biasa yang asal lempar
mulut dan warta ke tetangga-tetangga. Kerumpangan akan jelas terjadi bahkan
kian tak terarah. Ujungnya, kegelisahan bukan lagi ada di titik bagaimana virus
ini musti dihentikan. Tapi justru jauh, bagaimana tatanan kesadaran masyarakat
ini harus dikembalikan.
Semua faktor memiliki pembenarannya masing-masing, selagi
pemberi dasar adalah pakar dan ahlinya. Seluruh gejala bisa mendapat ruang
kebenaran, selagi disertai kesadaran tentang luasnya ilmu dan rahmat yang ada
di dalam perbedaan. Tapi seluruh rangkuman-rangkuman kebenaran akan batal
menjadi benar, jika polanya diterjang.
Jadi, bagaimana?
Sebagai masyarakat biasa wajibnya ya patuh terhadap
kebijakan pemerintah; apapun dan bagaimanapun bentuknya.
Sebagai mahluk sosial berprofesi, harus pula percaya pada
pakar kesehatan demi tujuan besar yang bermanfaat.
Sebagai muslim, wajibnya tetap dan terus menambah
keimanan, bahwa segala hal tak pernah lepas dari pantauan Allah.
Sebagai santri, ya terus ngaji, patuh pada guru dan kiai,
sambil terus menata khusnudhon bahwa tatanan yang demikian memang sudah yang
terbaik.
Merangkap sebagai itu semua, cari saja jalan tengah dan
titik temunya.
Caranya? Jangan mengistirahatkan hati dan meninabobokkan
pikiran.
21 Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar