"Sekarang begini loh, kita pakai logika sehat saja.
Tidak usah terlalu terburu-buru jauh ke lingkup pesantren (yang secara skala
sistem jelas lebih tertata rapi dan mayor), kita tengok kiai-kiai kampung yang
sepuh-sepuh itu, perhatikan pola hidupnya antara sebelum dan selama
berlangsungnya wabah ini. Adakah dari beliau-beliau yang terlihat histeris,
pucat dan gupuh banting setir drastis? Saya kira tidak ada. Kalau pun toh ada,
mungkin hanya beberapa. Itu pun, tidak tampil secara provokatif. Justru lebih
bisa mengambil peran sebagai edukator moral, yang minimal ditransfer kepada
para santri dan keluarganya. Sikap tenang, tetap fokus dengan tujuan juang,
protokoler pun dipatuhi, dan track aktifitasnya; beliau-beliau tetap normal
seperti sedia kala. Apa yang melatarbelakangi kalau bukan karena beliau-beliau
sejauh ini tumbuh dewasa dan berkembang dalam pola normalitas pesantren yang
sejauh ini dianggap tidak normal di mata kenormalan umum. Ini baru lingkup kiai
kampung. Belum pesantren-pesantren yang secara habitual dan komoditinya lebih
konkrit tadi.
Itulah, kenapa -diakui atau tidak- pesantren memiliki
andil tak terhingga atas berdiri dan megahnya bangsa ini. Bangsa yang dewasa
adalah yang penduduknya memiliki kesadaran tinggi atas sikap-sikap apa saja
yang seyogyanya patut dibungkus menjadi sebuah dedikasi. Sikap yang baik lahir
dari kesadaran diri yang benar. Kesadaran diri yang benar muncul dari
konsistensi berpikir. Konsistensi berpikir menghasilkan nila kesimpulan baik
dan tidak baik. Dan di titik ini lah, 'kepekaan' lahir sebagai kepompong
sebelum akhirnya menjadi sebuah kesadaran bersikap. Pesantren punya normal poin
sistem itu yang terhimpun dalam normal sistem globalnya. Makanya, tidak akan
pernah ada dalam bagian cerita sejarah; sebuah bangsa hancur martabatnya
ditindas sistem pesantren. Justru, pesantren hadir sebagai ta'kid (penguat)
identitas kebangsaan. Dengan atau pun tanpa diakui.
"Normal Baru" sejatinya bukanlah istilah yang
"baru" di kalangan kaum pesantren. Karena yang paling dibutuhkan
dalam menghadapi hal "baru" adalah adaptasi. Santri, dalam hal ini
tidak perlu diragukan kredibilitasnya. Namun akan menjadi tumpang jika apa yang
dipaksakan "baru" tersebut tidak berorientasi "ashlah" bagi
capaian akar visinya. Karena mereka (kaum pesantren) sudah terlanjur menapaki
rel syarat kalau "ashlah" adalah inti dari diperbolehkannya
"akhdzu bi al jadiid". Jadi wajar jika sebuah "normal baru"
sampai detik ini belum sepenuhnya di-iya-kan oleh mereka. Bukan karena ahlul
inkar. Bukan! Mereka hanya tidak terbiasa menerima segala sesuatu dengan asal
iya, yang nantinya tidak diketahui arahnya; untuk dirinya (yang dalam hal ini
adalah nasib dari pesantren itu sendiri)".
***
Pesantren tak lebih hanyalah jabang bayi balita dari
rahim yang bernama bangsa Indonesia. Ibaratnya, ada pasangan orang tua yang
memiliki 9 anak, dan satu diantaranya terlahir sebagai autis. Tentu tidak masuk
akal jika; si anak autis ini dididik, dibesarkan, disekolahkan, diasuh,
diperlakukan dengan cara yang sama seperti saudara-saudara lainnya. Jika sejauh
ini pesantren dianggap sebagai onggokan kumpulan masyarakat autis, apa bisa
mereka "ashlah" dengan perlakuan yang belum sepenuhnya sesuai dengan
haknya?
Alaa kulli chaal, bismillah. Kita semua akan baik-baik
saja. Nanti malam, barangkali kebetulan longgar, ayuk! Saya butuh ditemani
ngopi bareng, gayeng bareng, cengkrama bareng. Sambil tabarruk hurmat takdhim
kiai muda favorit santriwati sepanjang masa, kiai Abdur Rouf Hanif.
30 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar