Aswab Mahasin *
Awalnya penetapan hari santri tanggal 22 Oktober tidak sedikit menyulut pro-kontra di kalangan masyarakat, alasannya adalah dikhawatirkan mengkotak-kotakan ummat Islam Indonesia. Selain itu, penetapan hari santri juga terkesan keputusan politik pemerintah dalam rangka memenuhi janji kampanye Jokowi. Apakah demikian?
Ada juga ungkapan menyatakan,‘hari santri bisa menyempitkan makna, yakni perjuangan kemerdekaan diupayakan kalangan santri’. Bagi saya, ungakapan itu sama sekali tidak “presisi”. Indonesia banyak memiliki hari, hari kartini, hari pahlawan, hari kesaktian pancasila, dan hari-hari lainnya.
Tidak bisa juga menarik makna, hari kartini akan menimbualkan kesan bahwa perjuangan kemerdekaan hanya diupayakan oleh Kartini. Tidak begitu bukan? Begitupun dengan hari santri. Kemerdekaan bangsa ini diperjuangkan oleh seluruh masyarakat Indonesia, dan salah satunya adalah kaum santri.
Itulah beberapa nada miring yang muncul ketika hari santri ditetapkan. Di Indonesia ini pro-kontra bukan perkara aneh. Tinggal bagaimana kita menjawab pro-kontra itu menjadi sebuah kepantasan di masa yang akan datang. Santri dengan ‘embel-embel’ sejarahnya laik memiliki tanda hari.
Tanggal 22 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai hari santri, ini merujuk pada perjuangan ulama dan santri dalam perjuangan jihad kemerdekaan yang ditandai dengan ‘resolusi jihad’ 22 Oktober 1945. Resolusi itu membakar jiwa nasionalisme santri untuk melawan diskriminasi terhadap Indonesia, dan akhirnya perjuangan meletus pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya yang sekarang dijadikan sebagai hari pahlawan.
Kebelakang lebih jauh, sebelum NU berdiri 1926, jauh sebelum itu perjuangan yang mengatasnamakan diri sebagai kaum santri sudah meletup. Perang Diponegoro di Jawa (1825-1830), dan perang Aceh (1875-1903). Dalam buku Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari yang ditulis oleh Drs. Lathiful Khuluq, M.A. “Perang-perang tersebut merupakan perlawanan bersenjata kaum santri melawan imperialis Belanda yang berakhir dengan pencaplokan wilayah-wilayah tersebut ke dalam kontrol Belanda dan konsolidasi kekuasaannya terhadap wilayah Nusantara. Peperangan-peperangan ini telah menguras kekayaan Belanda, sehingga mereka melaksanakan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) untuk menanggulangi kerugian.
Kebijakan yang dimulai 1830 ini memperkaya Belanda, memiskinkan pribumi, dan berpihak pada kelompok minoritas Arab dan Cina. Namun, dari tanam paksa ini munculnya kesadaran sebagian birokrat Belanda terhadap “utang budi” kepada bumi pertiwi, terlahir istilah politik etis. Belanda memfasilitasi pendidikan untuk pribumi. Namun, akses pendidikan ini hanya bisa dijangkau oleh mereka para priyayi, sedangkan masyarakat bawah sama sekali tidak menerima pendidikan. Dan Pesantren sebagai lembaga pendidikan “merakyat” menampung semua lapisan masyarakat untuk belajar. Singkat certita, dari sinilah terjadi pembatas antara elit priyayi, elit abangan, dan elit santri. Melahirkan dualisme sistem pendidikan. (Drs. Lathiful Khuluq, M.A. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, 2000. hlm. 3)
Dengan demikian, pesantren harus tetap menjadi alat perlawanan politik/budaya diskriminatif—sebagai penyeimbang kondisi zaman yang susah dikontrol. Karena pendidikan di pesantren tetap berbeda dengan pendidikan pada umumnya (sekolah formal). Pendidikan sekolah hanya mengutamakan kognitif (pengetahuan semata) tidak memperdulikan kualitas moral siswanya, pemabok, penjudi, suka tawuran, suka pakai narkoba, dan sebagainya di ruang lingkup sekolah/kampus tetap bisa “lulus” yang penting mereka hadir di ruang kelas (model pendidikan ini terdapat pemisahan antara pengetahuan dan agama), walaupun pelajaran agama tetap ada. Namun, bukan pengaruh besar dalam membina akhlak (karena hanya 2 jam dalam seminggu). Berbeda sistem pendidikan di pesantren, ada keseimbangan antara pengetahuan dan agama.
Menurut KH. Hasyim Asy’ari meyakini bahwa dalam meluruskan karakter dan mendidik akhlak melalui pendidikan budi pekerti adalah sebuah keniscayaan. Bahkan lebih lanjut dijelaskan oprasional pendidikan pada hakikatnya adalah proses saling mempengaruhi antara fitrah dan lingkungan.
Berarti, peran pendidikan di samping berfungsi dalam pengembangan kreativitas dan produktivitas. Juga berperan besar dalam usaha memupuk moralitas dan nilai-nilai—nilai-nilai insani dan nilai-nilai Ilahi. Maka dari itu, pesantren menjadi penting, para santri dan pesantren lah yang menjadi pondasi bangsa ini. Dengan jumlah pesantren 26.000 lebih dan jumlah santri 80 juta lebih (sesuai dengan warga NU, karena NU rumah besar santri), tentu diharapkan akan menjadi pembeda dan penentu dari kemajuan Indonesia di akan datang.
Kembali ke hari santri, inilah momentum yang harus digiatkan oleh seluruh santri agar selalu istiqomah dalam mebela negeri, dari segi politik, sosial, budaya, hukum, agama, dan sebagainya. Harus dibuktikan oleh kaum santri, bahwa hadiah hari santri bukan hanya merujuk pada kepantasan sejarah semata, melainkan pembuktian untuk kepantasan sekarang dan yang akan datang.
Dan perlu diingat, kita semua adalah santri, siapapun diantara kita yang pernah mondok atau belum pernah mondok adalah santri. Dalam definisi pendeknya santri adalah orang yang belajar agama dan mendengar petuah kiai, dan kita semua orang Islam pernah merasakan hal itu, jadi kita semua adalah santri, dan akan menjadi santri pada waktunya.
Seperti fenomena lucu, setiap kampanye Presiden, Caleg, Kepala Daerah hampir semua calon meminta restu kiai, dan memasang fotonya besar-besar sedang mencium tangan kiai dan mereka mengaku mendapatkan restu dari sang kiai (hanya ingin menunjukan bahwa ia adalah santri). Begitupun dengan foto Gus Dur dan nama Gus Dur selalu dicatut dalam kompetisi politik Indonesia. Semua akan santri pada waktunya, entah itu mengaku-ngaku santri, atau merasa dirinya santri sungguhan.
Menurut Clifford Geertz, dalam bukunya The Religion of Java (1960), menuliskan, “Istilah santri mempunyai dua arti; pertama, santri adalah murid-murid pesantren, kedua, santri memiliki arti lebih luas mencakup seluruh kaum muslimin yang ta’at baik tradisional maupun modernis. Arti kedua ini bisa dikontraskan dengan istilah abangan yang mengacu pada orang-orang Islam yang tidak menjalankan ajaran Islam dengan sempurna atau yang masih mempercayai ajaran-ajaran non-Islam.
Melihat istilah Clifford Geertz tersebut, berarti telah jelas, seluruh umat Muslim di Indonesia adalah santri, santri yang mesantren, santri kalong, dan santri medsos adalah santri. Sebagai santri sejatinya harus mengingat-ngingat bagaimana model Islam yang berkembang di bumi Nusantara ini, damai, tentram, aman, nyaman dan kita sebagai santri sekarang harus terus menyemarakan perdamaian.
Mengawal bangsa Indonesia sekarang, para santri harus melakukannya dari berbagai sisi. Sisi ekonomi, santri harus pintar-pintar dalam berwirausaha, dan membantu sesamanya (bersedakah, zakat) sebagai distribusi kekayaan untuk mengurai kemiskinan. Sisi sosial, merajut kembali solidaritas, toleransi, dan pemahaman multikulturalisme agar kita semua bisa hidup berdampingan secara damai.
Sisi politik, menjadi politisi praktis atau sebagai rakyat subjek dan objek politik harus mengedepankan politik rahmatan lil ‘alamin, tidak menghalalkan segala cara untuk membela kekuasaan dan partainya, karena menurut Gus Dur, “Tidak ada jabatan (kekuasaan) yang harus dipertahankan mati-matian”.
Sisi budaya, mengedepankan kekuatan nalar, dan menghormati suku dan budaya lain, sebagai strategi untuk terus menjaga keutuhan bangsa. Sisi hukum, mentaati aturan yang telah disepakati, aturan hukum negara ataupun aturan di lingkungan kita sendiri, dengan tujuan mengurai kebiasaan meremehkan hukum. Dan dari sisi keagamaan, meminimalisir gesekan antar golongan atau agama, meminimalisir konflik, dan menebarkan perdamaian, berdakwah secara bijaksana, dan berlaku baik dengan siapapun.
Sisi-sisi itulah yang harus dibangun dan terus dirajut oleh santri, di era ruwet ini santri akan menjadi solusi terbarukan. Saya yakin, ada kemampuan dari kita semua untuk mengurai benang kusut yang sedang melanda bangsa kita. Minimal yang kita upayakan adalah Indonesia aman dari ancaman disintegrasi.
Dari mulai hal terkecil saja dulu, memberikan kedamaian terhadap lingkungan tempat tinggal kita, tidak menutup kemungkinan akan merambat ke tinggkat yang lebih besar. Apalagi santri ada disetiap sudut bahkan mungkin pojokan Indonesia, di tempat terpencil pun pasti ada santri. Menebarkan gizi damai santri, santun santri, mandiri santri, dan gaya hidup santri akan menjadikan Indonesia lebih aman. Pada ujungnya “kita akan santri pada waktunya”.
*) Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.
http://www.muslimoderat.net/2017/10/dulu-banyak-yang-menolak-hari-santri.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar