(Lukisan karya Rachman Efendi dengan judul Dialog)
Taufiq Wr. Hidayat *
Para pemikir Islam yang hebat jaman dulu, para peletak dasar-dasar keilmuan dalam Islam, seringkali memakai nama atau jejuluk yang lucu-lucu. Misalnya penyair masa tabi'n bernama Abu Firas Hammam bin Ghalib bin Sha'sha'ah bin Najiyah at-Tamimi al-Bashri al-Faradzaq, berjuluk “al-faradzaq” yang berarti "roti besar". Wajahnya mirip roti! Ahli hadist bernama Sa'id bin Abu Sa'id Kaisan, berjuluk “sa'id al-maqburi” yang berarti “tetangga kuburan", karena rumahnya dekat kuburan. Ahli dan guru besar bahasa Arab bernama Abu Bisyr Amr bin Ustman bin Qunbur al-Bashri, dikenal dengan jejuluk Imam Sibawaih. Dalam Bahasa Persia, “sibawaih” berarti "wangi apel". Beliau suka mengendus-endus buah apel dan membawa apel di saku jubahnya. Jubah beliau beraroma apel. Ketika tercium wangi apel datang dari kejauhan, orang akan langsung memastikan dua hal: pedagang apel sedang lewat atau sang imam Sibawaih yang datang. Banyaknya gelar konyol dan jenaka itu menandakan, betapa sesungguhnya ajaran Islam itu lentur, luwes, dan memiliki prinsip memudahkan.
Sastra Arab pun meruangkan esai dan humor-humor sarkas yang pelik. Dalam ilmu Balaghah, sarkasme disebut “sukhriyyah”. Misalnya dalam karya-karya sastra al-Jahiz. Dalam karya Bahasa Arabnya, ia gemar menyusun “tarkib”, sebentuk aturan bahasa untuk memahami kalimat. Yang populer dari karyanya adalah “al-Hayawan”, kukira lebih nakal dari “The Animal Farm”nya George Orwell. Sastra Arab yang banyak memuat kisah jenaka, sesungguhnya mencerminkan bahwa “bahasa wahyu” yang tak lain adalah bahasa manusia itu, memberikan peluang seluas-luasnya masuknya kemungkinan yang senantiasa menyertai kehidupan manusia. Ia bersikap ramah, bukan marah, ujar Gus Dur. Karya-karya Najib Mahfouz umpama, yang banyak mengisahkan ironi kehidupan kaum beragama di dalam cengkeraman kekuasaan yang menindas, atau agama di hadapan ketidakberdayaan masyarakat. Agama yang tak bersikap lentur adalah kedangkalan, ia justru menjadi alat penindasan. Semua menegaskan, tak ada aturan agama yang mempersulit manusia. Kalau ada aturan agama yang menyusahkan atau menciptakan kebencian lebih dari 24 jam, segera lapor RT/RW setempat!
Tak ada yang dapat menyamai Tuhan. Prinsip ini meniscayakan manusia untuk mengarifi diri dan sesamanya dalam sebentuk ikatan kemanusiaan yang lentur dan saling pengertian. Lantaran hanya Tuhan yang tak tersamai, maka sesama makhluk meniscayakan kesetaraan dan persamaan hak. Hanya Abu Nawas yang berhasil lebih hebat dari Allah.
"Hore! Aku lebih kaya dari Allah!" teriak Abu Nawas di sebuah pasar. Di menyatakan dengan tegas, bahwa dirinya lebih kaya dari Allah.
"Ini penodaan agama. Sesat! Tangkap!" perintah para ulama. Petugas mengamankan Abu Nawas. Di hadapan para ulama dengan dijaga ketat para petugas, Abu Nawas diinterogasi.
"Kamu mengatakan lebih kaya dari Allah, apa dasarmu? Mau menodai atau menista agama? Mau mengajarkan kesesatan? Jawab!" kata juru bicara para ulama.
Dengan kalem dan tenang, Abu Nawas, sang begawan sastra Arab yang mashur itu, menjawab.
"Dalam Qur'an Allah berfirman, sesungguhnya anak-anak kita adalah harta yang tak ternilai harganya. Nah saya punya empat orang anak, dan satu orang istri. Sedangkan Allah, istri saja Dia tidak punya!"
Manusia berpikir, Allah tertawa, kata orang Yahudi. Agaknya pepatah Yahudi itu perlu diplesetkan: manusia tertawa, Allah pun berpikir.
Tembokrejo, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi "Suluk Rindu" (YMAB, 2003), "Muncar Senjakala" [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita "Kisah-kisah dari Timur" (PSBB, 2010), "Catatan" (PSBB, 2013), "Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti" (PSBB, 2014), "Dan Badut Pun Pasti Berlalu" (PSBB, 2017), "Serat Kiai Sutara" (PSBB, 2018). "Kitab IBlis" (PSBB, 2018), "Agama Para bajingan" (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2019/09/allah-pun-berpikir/
Taufiq Wr. Hidayat *
Para pemikir Islam yang hebat jaman dulu, para peletak dasar-dasar keilmuan dalam Islam, seringkali memakai nama atau jejuluk yang lucu-lucu. Misalnya penyair masa tabi'n bernama Abu Firas Hammam bin Ghalib bin Sha'sha'ah bin Najiyah at-Tamimi al-Bashri al-Faradzaq, berjuluk “al-faradzaq” yang berarti "roti besar". Wajahnya mirip roti! Ahli hadist bernama Sa'id bin Abu Sa'id Kaisan, berjuluk “sa'id al-maqburi” yang berarti “tetangga kuburan", karena rumahnya dekat kuburan. Ahli dan guru besar bahasa Arab bernama Abu Bisyr Amr bin Ustman bin Qunbur al-Bashri, dikenal dengan jejuluk Imam Sibawaih. Dalam Bahasa Persia, “sibawaih” berarti "wangi apel". Beliau suka mengendus-endus buah apel dan membawa apel di saku jubahnya. Jubah beliau beraroma apel. Ketika tercium wangi apel datang dari kejauhan, orang akan langsung memastikan dua hal: pedagang apel sedang lewat atau sang imam Sibawaih yang datang. Banyaknya gelar konyol dan jenaka itu menandakan, betapa sesungguhnya ajaran Islam itu lentur, luwes, dan memiliki prinsip memudahkan.
Sastra Arab pun meruangkan esai dan humor-humor sarkas yang pelik. Dalam ilmu Balaghah, sarkasme disebut “sukhriyyah”. Misalnya dalam karya-karya sastra al-Jahiz. Dalam karya Bahasa Arabnya, ia gemar menyusun “tarkib”, sebentuk aturan bahasa untuk memahami kalimat. Yang populer dari karyanya adalah “al-Hayawan”, kukira lebih nakal dari “The Animal Farm”nya George Orwell. Sastra Arab yang banyak memuat kisah jenaka, sesungguhnya mencerminkan bahwa “bahasa wahyu” yang tak lain adalah bahasa manusia itu, memberikan peluang seluas-luasnya masuknya kemungkinan yang senantiasa menyertai kehidupan manusia. Ia bersikap ramah, bukan marah, ujar Gus Dur. Karya-karya Najib Mahfouz umpama, yang banyak mengisahkan ironi kehidupan kaum beragama di dalam cengkeraman kekuasaan yang menindas, atau agama di hadapan ketidakberdayaan masyarakat. Agama yang tak bersikap lentur adalah kedangkalan, ia justru menjadi alat penindasan. Semua menegaskan, tak ada aturan agama yang mempersulit manusia. Kalau ada aturan agama yang menyusahkan atau menciptakan kebencian lebih dari 24 jam, segera lapor RT/RW setempat!
Tak ada yang dapat menyamai Tuhan. Prinsip ini meniscayakan manusia untuk mengarifi diri dan sesamanya dalam sebentuk ikatan kemanusiaan yang lentur dan saling pengertian. Lantaran hanya Tuhan yang tak tersamai, maka sesama makhluk meniscayakan kesetaraan dan persamaan hak. Hanya Abu Nawas yang berhasil lebih hebat dari Allah.
"Hore! Aku lebih kaya dari Allah!" teriak Abu Nawas di sebuah pasar. Di menyatakan dengan tegas, bahwa dirinya lebih kaya dari Allah.
"Ini penodaan agama. Sesat! Tangkap!" perintah para ulama. Petugas mengamankan Abu Nawas. Di hadapan para ulama dengan dijaga ketat para petugas, Abu Nawas diinterogasi.
"Kamu mengatakan lebih kaya dari Allah, apa dasarmu? Mau menodai atau menista agama? Mau mengajarkan kesesatan? Jawab!" kata juru bicara para ulama.
Dengan kalem dan tenang, Abu Nawas, sang begawan sastra Arab yang mashur itu, menjawab.
"Dalam Qur'an Allah berfirman, sesungguhnya anak-anak kita adalah harta yang tak ternilai harganya. Nah saya punya empat orang anak, dan satu orang istri. Sedangkan Allah, istri saja Dia tidak punya!"
Manusia berpikir, Allah tertawa, kata orang Yahudi. Agaknya pepatah Yahudi itu perlu diplesetkan: manusia tertawa, Allah pun berpikir.
Tembokrejo, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi "Suluk Rindu" (YMAB, 2003), "Muncar Senjakala" [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita "Kisah-kisah dari Timur" (PSBB, 2010), "Catatan" (PSBB, 2013), "Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti" (PSBB, 2014), "Dan Badut Pun Pasti Berlalu" (PSBB, 2017), "Serat Kiai Sutara" (PSBB, 2018). "Kitab IBlis" (PSBB, 2018), "Agama Para bajingan" (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2019/09/allah-pun-berpikir/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar