Rabu, 03 Januari 2018

Simbolisme Cerita Pendek

Ignas Kleden
jehovahsabaoth.wordpress.com

PERTANYAAN yang menarik saya dan yang coba saya selidiki dalam seluruh epilog buku Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan adalah sebuah pertanyaan yang mengganggu saya sejak beberapa tahun terakhir, tetapi yang jawabannya belum pernah saya peroleh secara memuaskan.

Pertanyaannya adalah: apakah yang membuat sebuah teks kesusasteraan berbeda dari teks-teks lain, seperti teks jurnalistik atau sebuah laporan penelitian ilmu sosial? Apakah yang membedakan sebuah cerpen atau novel tentang para gelandangan (misalnya cerpen Tujuh Belas Tahun Lebih Empat Bulan, karangan Ratna Indraswari Ibrahim dalam kumpulan ini) dan sebuah laporan Kompas tentang gelandangan, dan apa pula yang membedakan sebuah teks iklan tentang perlengkapan meja-makan dan puisi Goenawan Mohamad tentang sebuah poci?

***

PERTANYAAN tersebut mungkin sekali tidak pernah menarik buat seorang sastrawan atau seniman umumnya, karena pertanyaan tersebut bukanlah pertanyaan kreatif tetapi pertanyaan teoretis. Yaitu dapatkah diperoleh satu atau beberapa kerangka teoretis yang dapat menjelaskan unsur khas yang menyebabkan teks kesusasteraan mempunyai semacam “nilai-tambah” dan membuatnya berbeda dari jenis-jenis tulisan lain? Penyelidikan tentang masalah terebut barangkali tidak akan banyak membantu atau mendorong sastrawan kita agar menulis lebih banyak dan lebih baik, tetapi dia amatt membantu pengertian dan apresiasi tentang suatu cipta sastra. Sudah jelas bahwa pertanyaan tersebut pada tempat pertama mengganggu saya sendiri sebagai seorang pembaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Sekalipun dalam praktek saya merasakan dengan jelas perbedaan antara sebuah teks sastra dan sebuah teks ilmu sosial misalnya, saya seringkali tidak dapat merumuskan perbedaan tersebut secara konseptual agar supaya dengan cara itu memperjelas masalah tersebut untuk pengertian saya sendiri.

***

PERMINTAAN Kompas kepada saya menulis epilog ini menjadi kesempatan bagi saya untuk menyelidiki masalah ter-sebut dengan sedikit lebih mendalam, dengan merujuk pada beberapa teori yang sebetulnya tidak khusus berhubungan dengan sastra dan seni, tetapi berhubungan dengan metode dan teori intrepretasi, yang dalam metodologi, dinamakan disiplin-disiplin hermeneutik.

Seperti sudah diketahui, hermeneutik, secara sederhana, adalah cabang ilmu dan filsafat yang menyelidiki syarat-syarat dan aturan-aturan metodis yang dibutuhkan, baik dalam usaha memahami (understanding/verstehen) makna sebuah teks maupun dalam menafsirkan isi sebuah teks (interpretation/auslegen), apabila makna tersebut tidak jelas. Hermeneutik pada dasarnya berhubungan dengan teks tertulis, yang harus ditangkap maknanya berdasarkan hubungan-hubungan kebahasaan yang ada dalam teks, atau hubungan antara teks dan situasi psikologis pengarangnya, maupun dalam hubungan dengan konteks di mana teks tersebut diciptakan. Dengan demikian teks bisa dilihat dalam berbagai hubungan berbeda, sekalipun berkaitan satu sama lain. Jadi sebuah teks bisa dilihat dalam hubungan dengan dirinya sendiri (aspek tekstual), bisa pula dilihat dalam hubungan dengan pengarang (aspek autorial) dan bisa dilihat pula dalam hubungan dengan konteks di mana teks tersebut diciptakan atau diproduksi (aspek kontekstual), atau dalam hubungan dengan pembaca teks (aspek resepsionis).

Dalam bahasa lisan hermeneutik dianggap tidak berperanan, karena hubungan langsung antara pembicara dan pendengar masih memungkinkan bahagian yang tidak jelas dari pembicaraan dpat langsung diperjelas oleh tanya-jawab antara pendengar dan pembicara. Jadi hermeneutik berurusan dengan pengertian akan makna sebuah teks tertulis, dan dalam hal terganggunya pengertian tersebut, mengajukan interpretasi sebagai jalan untuk memperbaiki dan memulihkan pengertian yang terhalang dalam menangkap makna teks tersebut.

Dalam sejarah perkembangannya, hermeneutik mengalami beberapa tahap perkembangan. Muncul mula-mula sebagai metode eksegetis untuk menafsirkan teks-teks kitab suci, dia kemudian berkembang menjadi metode filologi untuk menafsirkan teks-teks sastra klasik Yunani dan Latin, selanjutnya oleh Schleiermacher dibakukan menjadi suatu metode umum interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci dan sastra klasik. Dilthey kemudian menerapkannya menjadi metode sejarah, dilanjutkan Gadamer yang menjadikannya metode filsafat dan pada saat ini Paul Ricoeur menjadikannya metode baik untuk filsafat dan teologi maupun untuk ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora.

TENTU saja pendekatan hermeneutik hanya salah satu dari jalan-jalan yang tersedia dalam Geisteswissenschaften atau ilmu-ilmu humaniora untuk mendekati persoalan makna sebuah teks tertulis. Ada pendekatan lain yang barangkali juga sama baiknya seperti semiotik, pragmatik, analytical philosophy dari Inggris atau filsafat bahasa ala Wittgenstein atau teori Chomsky tentang competence and performance dan lain-lain. Percobaan ini saya lakukan sebagai usaha melihat dan memahami sebuah teks sastra dengan bantuan teori yang saya kenal, karena saya ingin sedikit membuktikan bahwa dalam membaca sebuah teks sastra, bantuan teori seringkali sangat besar manfaatnya asal saja dua syarat terpenuhi.

Pertama, asas-asas teori itu diketahui dengan baik. Kedua, ada kemampuan pada pembaca menerapkan teori tersebut untuk masalah teoretis yang juga dirumuskan dengan jelas. Ini barngkali pendekatan seorang peneliti, yang tidak populer untuk pembaca sastra, tetapi yang saya anggap boleh dan pantas dikemukakan sebagai alternatif.

Seperti sudah saya kemukakan pada awal uraian ini, masalah teoretis yang menjadi perhatian saya kali ini adalah apakah yang membuat sebuah teks menjadi genre sastra atau suatu genius literarium?

***

UNTUK menjawab pertanyaan tersebut saya memakai teori filsuf post-strukturalis dari Perancis, Paul Ricoeur. Dia membedakan makna teks pada umumnya atas dua jenis. Yang pertama sense atau makna tekstual, dan yang kedua reference atau makna referensial. Makna tekstual adalah makna yang diproduksi oleh hubungan-hubungan dalam teks sendiri. Sedangkan makna referensial adalah makna yang diproduksi oleh hubungan antara teks dengan dunia-luar-teks.

Teks-teks ilmu sosial misalnya adalah teks yang diharap dan dituntut untuk menunjuk seteliti mungkin makna referensial, berupa dunia empiris yang diamati atau diselidiki. Makna tekstual sedapat-dapatnya ditekan sampai minimal. Sebaliknya pada puisi, makna referensial ditekan sampai minimal atau disuspendir supaya seluruh bobot diberikan pada makna tekstual. Ucapan Ricoeur yang sering dikutip mengatakan: a poem means all that it can mean (sebuah sajak mengandung makna sebanyak yang dapat dikandungnya). Di sini referensi ditekan sampai titik terendah, agar supaya dengan itu makna tekstual diberi kemungkinan sepenuh-penuhnya berkembang.

Novel atau cerpen, pada hemat saya, terletak kira-kira di antara dua kutub tersebut karena novel atau cerpen adalah gabungan dari makna tekstual dan makna referensial. Ricoeur menyebutnya sebagai event-meaning dialectics atau dialektika makna-peristiwa. Sebuah cerpen harus mengandung peristiwa, karena kalau tidak dia akan berubah menjadi esei atau puisi. Demikian pun cerpen yang sama harus mengandung makna (yang di sini berarti makna tekstual) karena tanpa itu dia akan menjadi laporan penelitian, atau laporan jurnalistik biasa. Tentu saja ada cerpen yang lebih menekankan makna referensial dan ada pula cerpen yang menekankan makna tekstual. Namun demikian cerpen dan novel menjadi menarik, karena sebuah peristiwa tidak diceritakan sebagai kejadian semata-mata tetapi juga sebagai tamsil atau ibarat yang melambangkan makna tertentu.

Sekalipun demikian hubungan antara makna dan peristiwa adalah hubungan yang bersifat simbolik. Peristiwa yang diceritkan tidak selalu mendukung makna tekstual yang hendak dicapai, tetapi dalam banyak kasus dapat saja menghalangi munculnya makna tekstual. Demikian pun makna tekstual yang terlalu dipaksakan dapat menghilangkan unsur peristiwa dalam cerpen, dan menjadikannya esei atau uraian biasa. Simbolisme yang saya sebutkan dalam judul tulisan tidak berarti lain dari ketegangan tetap antara makna dan peristiwa dalam suatu lingkaran hermeneutik.

Teori tentang makna dan peristiwa, atau tentang sense and reference inilah yang menjadi pegangan saya untuk membahas 18 cerpen pilihan Kompas tahun 1997 yang dimuat dalam Anjing-anjing Menyerbu Kuburan. Bagaimana hal tersebut sudah coba saya lakukan, dapat dibaca dalam epilog buku ini dan tidak akan saya ulang sekali lagi dalam kesempatan ini. Tetapi izinkanlah secara singkat saya memberikan beberapa ilustrasi lain untuk sedikit memperjelas apa yang saya maksudkan.

Novel Mochtar Lubis Harimau! Harimau! misalnya akan hanya merupakan cerita pengalaman atau petualangan biasa para pemburu binatang buas bila pengarang tidak mengisinya dengan makna tekstual. Cerita itu kemudian menjadi cipta sastra, karena orang-orang yang memburu harimau tiba-tiba disadarkan bahwa mereka terlebih dahulu harus membunuh harimau dalam diri mereka masing-masing.

Pada hemat saya makna tekstual novel itu mencapai puncaknya pada saat terjadi pertentangan dan timbul perkelahian antara pemburu tua yang dianggap sakti bernama Wak Katok dan seorang pemburu muda, murid silat Wak Katok, bernama Buyung. Keduanya berusaha memperebutkan senapan yang merupakan satu-satunya senjata api dalam kelompok mereka. Wak Katok, yang kemudian diketahui jahat dan penuh tipu muslihat dan pendusta pula, akhirnya kalah dalam perkelahian melawan Buyung dan temannya Sanip, dan diikat pada sebatang pohon. Hal itu dilakukan Buyung dan Sanip dengan maksud memancing harimau datang ke tempat itu dan kemudian dapat menembaknya dengan mudah. Dalam pada itu timbul juga godaan dalam diri Buyung untuk membiarkan saja Wak Katok diterkam dan dihabiskan saja oleh harimau, dan mereka dapat kembali ke kampung dan dapat bercerita dengan tenang kepada orang-orang sekampung bahwa Wak Katok hilang diterkam binatang buas. Tetapi Buyung ingat dia harus mengalahkan godaan itu, dan membunuh harimau dalam dirinya.

Akhirnya datang juga harimau (sungguhan) ke tempat itu, dan mulai mendekati Wak Katok yang terikat pada batang pohon. Buyung membidikkan senapannya ke arah harimau itu, tetapi ragu-rgu untuk menarik pelatuknya, karena terlintas juga dalam pikirannya untuk membiarkan saja Wak Katok dihabisi harimau itu. Pada akhirnya, dengan berat hati dia memutuskan menembak harimau itu. Ketika dia melepaskan tembakan dan harimau itu roboh, hatinya terasa lega dan tenang. Ternyata, tanpa disadarinya, hanya dengan satu butir peluru dia telah menaklukkan dua ekor harimau sekaligus, yaitu harimau hutan yang suka membunuh orang-orang kampung dan harimau dalam dirinya sendiri yang selalu meronta-ronta dalam hatinya untuk melakukan kejahatan.

Hal yang sama dapat kita rasakan bila membaca sebuah sajak. Seorang peneliti yang meninjau tempat pembuatan poci mungkin akan tertarik hatinya untuk melihat bagaimana para pengrajin mendapat modal untuk usahanya, bagaimana mereka membuat pembagian kerja dan pembagian keuntungan, atau usaha yang mereka lakukan untuk mengembangkan pemasaran. Demikian pula akan diselidiki teknologi usaha mereka: bahan-bahan baku yang digunakan dan dari mana diperoleh, proses yang dilewati dalam menghasilkan poci, dan segi-segi estetik yang dikembangkan dalam usaha tersebut.

Akan tetapi seorang penyair melihat poci sebagai usaha manusia yang sekali pun tahu bahan pembuat poci itu adalah bahan yang mudah retak dan pecah, tetap berusaha menciptakan poci itu sebagai sesuatu yang diharapkan dapat bertahan lama dan bahkan abadi. Poci adalah tamsil untuk hasrat Sisyphian manusia yang bekerja untuk sebuah ilusi, yang hendak mengabadikan apa yang diketahuinya kelak retak.

Apa yang berharga pada tanah liat ini

Selain separuh ilusi?

Sesuatu yang kelak retak

dan kita membikinnya abadi

(Goenawan Mohamad, Kwatrin Tentang Sebuah Poci).

Makna tekstual yang sama muncul kembali dalam sajak yang lain dari penyair yang sama, berjudul: Pada Sebuah Pantai: Interlude. Dalam sajak ini dikemukakan kembali situasi yang begitu rapuh dan juga ilusoris dari kehidupan manusia yang hanya bersandar pada angin, bersandar pada “mungkin”, karena kepastian dan kejelasan terlihat sebagai hal yang mustahil dan karena itu juga tak perlu diharapkan.



kita memang bersandar pada mungkin

kita bersandar pada angin

Dan tak pernah bertanya: untuk apa?

Tidak semua memang bisa ditanya untuk-apa

Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga

pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang,

lumut pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana –

apa pun maknanya.

Sastra, bagi saya adalah “kersik pada karang, lumut pada lokan, (yang) mungkin akan tetap di sana – apa pun maknanya”.

*) Ignas Kleden, Sosiolog. Dilahirkan di Larantuka, Flores, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948. Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ilmu Filsafat dan Teologi, Seminari Tinggi Katolik St. Paulus, Ledalero, Maumere, Flores (1966 1974). Gelar Filsafat Politik (MA Phil) diraihnya pada Hochschule Fuer Philosophie, Munich, Jerman (1979 – 1982), ...
https://jehovahsabaoth.wordpress.com/2011/09/06/simbolisme-cerita-pendek/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez