Kamis, 19 Oktober 2017

Puisi-puisi Penyair Nizar Qabbani melalui Usman Arrumy, Dea Anugrah, Fazabinal Alim

Persoalan terjemahan buah karya puisi berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia
Nurel Javissyarqi *

Bismillahir Rahmanir Rahim… Sebelum merantak (merambat, menjalarnya sejenis api membakar daun-daun kering) nun jauh. Perkenalkan saya sekadar pengelana yang tak tahu menahu bahasa teks lain ‘kecuali’ bahasa Indonesia, yang ini pun masih terus mengalami perkembangannya, jadi apapun karya-karya terjemahan yang saya kunyah, makan (baca), otomatis tak paham secara persis kebenarannya, hanya meraba (ngincipi, kadang terlanjur lahap) sekaligus berjarak di sisi bercuriga,
maka dapat dipastikan (kerap mengalami keracunan), tapi tak sampai maut menjelang.
Lantaran saya lebih menempuh (mementingkan) sarapan, gorengan tempe (eling), ditambah wedang kopi (waspodo), disertai menghisap rokok kretek (Luwih begja kang eling lan waspodo, R.Ng. Ronggowarsito), kemudian berjalan melewati gapura (membuka lelembaran buku) di bawah pepohonan sawo besar (hasil-hasil terjemahan), lalu memasuki kamar dan mengunci pintu jendela rapat-rapat (membaca dengan tenang, -teringat di Tegalsari). Jalan-jalan ini menyadarkan saya juga, agar semakin mawas tidak salah minum dan makan di siang harinya, yang bisa berimbas perut mual-mual kebanyakan tertawa atau pusing tujuh keliling alun-alun Jogjakarta.

Kemunculan nama Usman, dapat dikata saya sedikit bertanggung jawab (jikalau sok merasa) juga tidak, sebab diri ini sudah pernah membo-membo (berpura-pura) jadi iblis di hadapannya; sewaktu ia menghimpun para gus dan ning dalam sebuah antologi puisi yang berjudul “Jadzab, Sekumpulan sajak pesantren” yang saya bedah lewat makalah bertitel “Membo-membo Jadi Iblis di Kediri” http://sastra-indonesia.com/.../membo-membo-jadi-iblis.../ yang merupakan bentuk mengeman (menyayangkan) jikalau kehadiran mereka pada masa-masa berikutnya masih kurang bisa ngeker (menahan kesabaran sekuat bertabah), sedangkan bibit-bobotnya betapa indah. Pilihan ‘menjelma’ iblis merupakan wujud teguran keras bagi yang mawas, bukan semata abang-abang lambe atau pemanis buatan. Namun kehidupan memanglah pelajaran, olehnya saya senantiasa berlaku ‘belajar sambil menghajar’ kepada diri pribadi, serta yang bersikap sewenang-wenang di atas kekuasaannya dari ilmu pengetahuan, dsb.

Ketika membaca esainya Dea Anugrah (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan” 11 Juni 2017), lalu kupasannya Fazabinal Alim (“Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani” 28 September 2017). Seyogyanya Usman Arrumy… ;Penerjemah Puisi-puisi Nizar Qobbani, dengan judul buku “Surat dari Bawah Air” 400 Halaman, Oktober 2016, Penerbit Perpustakaan Mutamakkin Press (penerbit yang membawakan nama besar KH. Ahmad Mutamakkin, Al-Fatihah…), Endosemennya: KH. Husein Muhammad, Candra Malik, Acep Zamzam Noor, …berterima kasih matur nuwon kepada Alim, dikarena perihal itu sebatu pelajaran pula, meski dirinya sudah tenar tidak ketulungan. Dengan bermodalkan sebagai anak kiai (gus) serta keuangan cukup demi menimba keilmuan di Kairo, dan karya-karyanya terus mengalir sejiwa muda, tentulah gampang bergaul dengan para seniornya, Sujiwo Tejo, Sapardi Djoko Darmono &ll. Ke-mentereng-an tersebut dapatlah ditebak, sebab mempan (bisa dengan mudah) dibombong, dilulu (dieluh-eluhkan, dibesar-besarkan) oleh mereka yang membutuhkan para pengikut dari generasi lebih muda, namun fatalnya menjelma bencana, karena tiadanya kemampuan ngeker (ngerem), merenung, belajar ulang berulang-ulang demi menyadari posisi dirinya sekaligus mencurigai siapa pun meski kepada malaikat, umpamanya.

Saya yakin, jika Usman mengikuti saran petuah para seniornya, tentu tanggapannya (kupasannya) Alim akan dibiarkan mengapung seibarat bayi terlunta-lunta dalam peti, mengikuti aliran air sungai atau melawan arus yang takdirnya kemudian diketemukan orang lain lalu dirawatnya dalam istana, lantas masa-masa berikutnya menantang siapa saja yang menghalangi dirinya dalam pencarian kebenaran; siapakan kediriannya? Kalau itu yang terjadi (Usman diam seribu bahasa), tidak menariknya cepat-cepat menyelamatkan anak-anak karyanya, ada kemungkinan lain dimakan buaya atau sekarat sia-sia, sebab terus menunggu datangnya keajaiban, padahal segenap itu tepatnya karomah, tetaplah menjalani prosesi alami setindak ke-istikomah-an, dan Usman sudah hafal diluar kepala juga mengetahui tradisi para alim ulama tempo dulu yang berbantah-bantahan demi memperdalam pandangannya melalui sungai-sungai mengarus deras yang senantiasa ditatapnya menerus, dirasai seraga-batiniahnya.

Kayakinan kuat di atas tersebab saya sendiri tengah menghadapi kasus hampir sama, sebagaimana kesalahan-kesalahan fatal dibiarkan, oleh yang merasa sudah senior; mereka pada tutup mata-telinganya atau dianggap angin lalu saja kritikan tajam maupun pedas, lantaran bayu pastilah berlalu… tapi angin juga berkemampuan memusar mengangkut apa saja sekaligus dihempaskannya ke tanah atau mendorong kuat-kuat hingga sanggup mencerabut akar-akar pohon raksasa. Kasus yang saya hadapi adalah kekurangajaran pada pelucutan makna “Kun Fayakun” yang dirombaknya membentuk kata-kata “Jadi maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!” (Pidato Anugerah Sastra DKR 2000 SCB, Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, 14 Maret 2006). Maka dengan berbungkam saja cukuplah menjadi kalangan senior, dan kritikan Fazabinal Alim semakin mengekalkan Usman menduduki barisan yang patut disegani, tanpa membaca kesalahan fatal pun mutilasi besar-besaran pada puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani, atau dapat pula diartikan rangkaian kalimat Dea bekerja meruang-waktu memitoskan Usman dan berhasil di atas kebungkaman penerjemah tersebut oleh karena terlena menikmati alam mitologi kesusastraan di Indonesia.

Dan bisa saja Dea Anugrah telah lama mengetahui beberapa kehilafan, keteledoran serta kenekatan Usman, tapi dikesampingkan semuanya demi naiknya generasi muda, kemudian rupa-rupanya perangai terjemahan tersebut diamini begitu rupa menjadi pembelajaran bersama, atau Dea sengaja mengangkat Usman setinggi-tingginya sambil menanti hukum bandul (yang diperkarakan Alim kemungkinan tidak akan muncul, jikalau Dea tidak menuliskan esai mengenai hasil-hasil terjemahannya Usman). Dan jika menengok judul esainya Dea atas kata “Terjemahannya” dan bukan dengan kata “Penerjemahnya” (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan”), yang berarti bukan menunjuk kepada penerjemahnya, namun lebih terhadap hasil kerja Usman, walaupun di dalam catatan Dea seolah menjempolinya. Jika dikutip lengkap “Terjemahannya yang Meragukan” masih menuju pada hasil terjemahan Usman. Makna lain judul tersebut, “terjemahannya yang meragukan Dea” atau Dea lebih mempercayai Usman dibandingkan hasil kerja terjemahannya, ataukah Dea salah ketik menuliskan judul? Hanyalah Dea yang tahu permainannya di sana. Tapi yang patut disayangkan, Usman tidak beranjak dari kursi empuknya, hanya mempercayakan kepada pembaca karya-karyanya, ini pula sejenis meremehkan pengkritiknya, oleh sebab sudah terlanjur ngetop seperti selebritis senyum-senyum kecil di ruangan kesadarannya paling pribadi sambil mengusap-usap beberapa kealpaannya sebagai perihal lumrah, atau mengira para pembacanya manggut manut di atas usahanya bersusah payah menerjemahkan senada seleranya, yang telah dianggapnya sangat cukup mewakili sedari segenap ikhtiarnya selama penggarapan buku tersebut.
***

Ketika menuliskan ini, Alim mengirimkan tautan yang bersangkut dengan yang tengah terkerjakan jemari kini, dan Fazabinal Alim menuliskan komentar di samping memberikan link catatan facebook Admin Dalfis Latee (“Membandingkan Terjemahan Puisi Nizar Qabbani Versi Fazabinal Alim dan Usman Arrumy” 1 Oktober 2017), berikut pengantarnya; “Terimakasih atas kritik dan apresiasi, teman-teman semua. Terutama Musyfiqur Rahman, Admin Dalfis Latee (tempat saya belajar bahasa Arab sewaktu di Pondok Pesantren Annuqayah). Tulisan ini bagus. Namun membandingkan terjemahan saya yang hanya diambil dari status Facebook yang saya tulis pada tahun 2014 lalu dengan karya terjemahan Usman Arrumy yang sudah menjadi satu buku utuh, sangatlah tidak adil. Sebab proses penerbitan sebuah buku di penerbit manapun telah melalui pembacaan dan koreksi ulang oleh seorang editor dan proofreader. Semoga tulisan semacam ini semata dalam rangka proses pembelajaran dan kritik yang membangun. Karena sejatinya tak ada istilah berhenti dalam belajar. Bukan membandingkan untuk menjatuhkan satu sama lain. Semoga catatan-catatan kritis dan kritik-kritik semacam ini sama seperti yang dilakukan Aristoteles kepada gurunya Plato, “Amicus Plato Sed Magis Amica Veritas”.”

Tulisan saya ini dapat dibilang terlambat, kalau menengok bukunya Usman telah terbit bulan September 2016 (menurut catatan Admin Dalfis), dan saya baru tahu tulisannya Alim yang terbit di basabasi.co, lewat tautan sedari facebooknya Kanjeng Tok (Awalludin GD Mualif), pada tanggal 29 September 2017 pun tidak langsung membacanya beserta tulisan Dea yang terkait di tirto.id, oleh rasanya tidak punya kepentingan pada penyair yang diterjemahkan Usman, pun saya tengah suntuk membaca ulang tulisan sendiri yang kehendaknya terbit tahun ini, tapi ketika Usman saya jawil melalui tag di fb tidak berkomentar hanya menjempolinya, maka jadi penasaran pada esainya Alim serta Dea. Lantas inilah jadinya saat jari-jemari menari mengudara. Tepat kata Alim, bahwa perbandingan puisi yang di buku dengan catatan di fb merupakan tindakan kurang adil, apalagi catatan tersebut telah lama mendekam dari tahun 2014 pun belum terbukukan, jadi kurang layak disoroti, dan pembandingnya pun tidak menyebutkan nama pena secara langsung, hanya menterakan ‘Admin Darul Lughah Al-Arabiyah Wal Fiqh As-Salafi (Dalfis)’ yang jika mengamati komentarnya Alim, ianya Musyfiqur Rahman. Dan perlu pembaca ketahui, tulisan-tulisan saya yang gentayangan di website, blog, masih kerap saya benahi tanpa sepengetahuan pembaca ketika sebagai adminya. Untuk seimbangnya, kritisilah yang sudah tercetak; buku, koran, majalah, jurnal &ll. Penggal saja habis-habisan tidak masalah, meski pada jenjang selanjutnya banyak buku-buku ketika cetak ulang mengalami perombakan dan itu syah tidak masalah, apalagi buah karya puisi banyaklah versi meski dari tangan pertama sang penyairnya.
***

Sebenarnya persoalan ini tak akan sampai merantak kemari, jikalau penerjemahnya selain berendah hati juga mengedepankan kejujuran serta sikap keterbukaan, toh itu semua menambah keindahan di dalam alunan lagu belajar, meninggalkan sungkan maupun gengsi, sebab ajaran Islam sudah memberikan topangan terbaik pada prosesi menyusuri jalan hayati, semisal ‘Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat’ serta makolah-makolah lain, sedari hadits-hadits, ujaran para sahabat, petuah para ulama dsb, tentunya Usman telah hatam mempelajarinya. Berendah hati sudahlah bersikap jujur telah, seperti memberikan catatan karya sedari sumber aslinya, tapi penghapusan beberapa larik dari puisi aslinya juga seharusnya dikabarkan, semisal berkata-kata; “Ada beberapa larik puisi yang ‘seolah’ sengaja saya hapus sebab merasa kalau satu kata yang menempel di larik selanjutnya yang saya terjemahkan itu telah mewakili keberadaannya sebagai puisi tersebut.” Sehingga ketika terjadi kekeliruan dikarena tindak kehilafan fatal yang mendasar dari terjemahan tidaklah mengapa menerimanya, jika sebelumnya pada pengantar buku memberikan keterangan seperti; “Ada lelangkah kesengajaan merombak puisi aslinya ke dalam terjemahan berbahasa Indonesia, sebab merasa lebih sesuai bagi para pembaca di Tanah Air, atau mengikuti proses naik-turunnya saya di dalam belajar.” Jika itu yang ditempuh, kemungkinan kritikan Alim tak kan muncul dari yang paling mendasar hingga yang agak wajar (jika tidak dibilang kurang ajar), atas perubahan puisi-puisi terjemahan buah karya Nizar Qabbani, apalagi yang mengerjakannya juga penyair.

Saya menjadi teringat petuah agung H.O.S Cokroaminoto “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Barangkali sudahlah tinggi ilmunya serta mapan tauhidnya, namun rasa-rasanya belumlah pandai bersiasat demi menanggulangi bencana kebocoran, ambrolnya bendungan, jebolnya arus bengawan. Siasat itu sangatlah penting untuk menghimpun dinaya ruapan energi dikala melawan balik dengan bentuk bersiasat pula, istilah saya ‘main licik-licikan’ dan itu syah, dibanding bertingkah pola menutupi tetapi terbongkar nantinya. Terus terang matahari musim kemarau panas penerawang, saya banyak belajar bersiasat atau sinahu main licik (bahasa halusnya cerdik) dari para pengkritik yang terutama berasal dari pribadi purna sastrawan pun budayawan. Di sanalah lahirnya istilah ‘belajar sambil menghajar’ yang itu muncul saat prosesi belajar terus-menerus, atau sedari tangan lembut gemulainya sampai di jemari sekarang.
***

Sebagai penyuka buku-buku hasil terjemahan, apakah dari bahasa asal; China lama; modern, bahasa Belgia, Belanda, Jerman, Prancis, Swedia, Arab, Inggris &ll, enak tidak enak tetap saya baca, kadang memaksakan berjenak lama-lama meski kuranglah nyaman dirasa, pun saya kerap membandingkan hasil-hasil terjemahan penerbit A, B dan C atas satu judul buku. Ada juga penerbit yang saya golongkan terjemahannya buruk, tapi tetap membacanya, dan ternyata menemukan di antara terbitannya ada yang lumayan. Oleh karena seringnya membaca buku dari terjemahan, seolah (sudah terbiasa) merasai (menilai) hasil terjemahan ini baik atau tidak, bertele-tele mengikuti hasrat penerjemahnya atau saklek sesuai teks aslinya, agak-agak amburadul atau mulus lantaran pengeditannya berindah-indah, pun ada yang bertetap kuat berpegangan teks asli sekaligus berupaya nikmat dibaca. Salah satu buku terjemahan yang sampai saya membelinya tiga kali; tersebab pertama karena hilang, yang kedua ketlisut, dan pembelian ke tiga titip lewat adik sewaktu ke Yogyakarta. Buku yang terbeli sampai tiga periode itu, saya anggap terjemahannya baik (berkualitas) meski saya awam pada bahasa aslinya. Buku tersebut karya sastrawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe yang berlabel “Faust,” Penerbit Kalam, Penerjemahnya Agam Wispi dari bahasa sumbernya Jerman, Cetakan Pertama Oktober 1999. Terang sajalah, saya mengenal pemikiran para tokoh dunia melalui buku-buku karya-karya terjemahan, pun tampaknya nilai-nilai dari terjemahan di tahun-tahun lawas, rasanya banyak yang berkualitas. Pula saya tetap berjarak tatkala membaca karya hasil terjemahan, dan ketika menjadi bebahan kutipan, maka berarti saya srek atau percaya dengan terjemahannya.

Dalam persoalan bukunya Usman yang menerjemahkan puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani dari bahasa aslinya Arab, saya tak bisa berkata lebih, sebab tidak memegang bukunya (tidak memilikinya), di sini hanya berpegangan pada penelusuran Alim yang terang kejeliannya, dan ini menambah pengetahuan mengenai buku-buku terjemahan sekaligus tetaplah menghargai jerih payah penerjemah, tidak terkecuali kepada Usman. Satu bentuk penghormatan saya kepada buku-buku hasil terjemahan ialah berdoa sebelum membacanya. Ada suatu pengalaman pada buku terjemahan karangan Ibnu Arabi, yang saya lupa penerbit serta judulnya, sampai tujuh kali saya membaca ulang sambil tetap menjaga wudhu, barulah dapat memahami. Maka, makin membeludak para penerjemah di Indonesia pastinya indah, karena bangsa ini membutuhkan berderet-deret amunisi, lantaran buku hasil terjemahan tentu memperluas wawasan memperkaya hasana keilmuan serta melebarkan pandangan, dan andai ada yang melenceng terjemahan karya puisi bagi saya tidak masalah, toh itu hanya untuk menambah sarapan pagi jika diperlukan sebelum bekerja (berkarya). Lalu saya pikir kerjanya Usman lebih baik daripada mereka lulusan Jurusan Sastra Arab, juga yang menimba keilmuan di luar negeri, tapi sepulangnya ke tanah kelahiran, dirinya tersesat di dunia politik hingga lupa keilmuan Allah yang betapa manis di bumi Sholawat.

*) Pengelana asal Lamongan, kini tinggal di kecamatan Laren, desa Tejoasri, dusun Pilang, daerah yang dikelilingi Bengawan Solo, setengah lingkaran bengawan arusnya tenang, setengahnya lagi air menjalar sampai jauh... (Gesang).
http://basabasi.co/ketika-usman-arrumy-salah-memasuki-kebun-nizar-qabbani/
https://tirto.id/puisi-puisi-nizar-qabbani-dan-terjemahannya-yang-meragukan-cqkZ
https://www.facebook.com/notes/dalfis-latee/membandingkan-terjemahan-puisi-nizar-qabbani-versi-fazabinal-alim-dan-usman-arru/330957080702774/
http://sastra-indonesia.com/2017/10/puisi-puisi-penyair-nizar-qabbani-melalui-usman-arrumy-dea-anugrah-fazabinal-alim/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez