Persoalan terjemahan buah karya puisi berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia
Nurel Javissyarqi *
Bismillahir Rahmanir Rahim… Sebelum merantak (merambat, menjalarnya sejenis api membakar daun-daun kering) nun jauh. Perkenalkan saya sekadar pengelana yang tak tahu menahu bahasa teks lain ‘kecuali’ bahasa Indonesia, yang ini pun masih terus mengalami perkembangannya, jadi apapun karya-karya terjemahan yang saya kunyah, makan (baca), otomatis tak paham secara persis kebenarannya, hanya meraba (ngincipi, kadang terlanjur lahap) sekaligus berjarak di sisi bercuriga,
maka dapat dipastikan (kerap mengalami keracunan), tapi tak sampai maut menjelang.
Lantaran saya lebih menempuh (mementingkan) sarapan, gorengan tempe (eling), ditambah wedang kopi (waspodo), disertai menghisap rokok kretek (Luwih begja kang eling lan waspodo, R.Ng. Ronggowarsito), kemudian berjalan melewati gapura (membuka lelembaran buku) di bawah pepohonan sawo besar (hasil-hasil terjemahan), lalu memasuki kamar dan mengunci pintu jendela rapat-rapat (membaca dengan tenang, -teringat di Tegalsari). Jalan-jalan ini menyadarkan saya juga, agar semakin mawas tidak salah minum dan makan di siang harinya, yang bisa berimbas perut mual-mual kebanyakan tertawa atau pusing tujuh keliling alun-alun Jogjakarta.
Kemunculan nama Usman, dapat dikata saya sedikit bertanggung jawab (jikalau sok merasa) juga tidak, sebab diri ini sudah pernah membo-membo (berpura-pura) jadi iblis di hadapannya; sewaktu ia menghimpun para gus dan ning dalam sebuah antologi puisi yang berjudul “Jadzab, Sekumpulan sajak pesantren” yang saya bedah lewat makalah bertitel “Membo-membo Jadi Iblis di Kediri” http://sastra-indonesia.com/.../membo-membo-jadi-iblis.../ yang merupakan bentuk mengeman (menyayangkan) jikalau kehadiran mereka pada masa-masa berikutnya masih kurang bisa ngeker (menahan kesabaran sekuat bertabah), sedangkan bibit-bobotnya betapa indah. Pilihan ‘menjelma’ iblis merupakan wujud teguran keras bagi yang mawas, bukan semata abang-abang lambe atau pemanis buatan. Namun kehidupan memanglah pelajaran, olehnya saya senantiasa berlaku ‘belajar sambil menghajar’ kepada diri pribadi, serta yang bersikap sewenang-wenang di atas kekuasaannya dari ilmu pengetahuan, dsb.
Ketika membaca esainya Dea Anugrah (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan” 11 Juni 2017), lalu kupasannya Fazabinal Alim (“Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani” 28 September 2017). Seyogyanya Usman Arrumy… ;Penerjemah Puisi-puisi Nizar Qobbani, dengan judul buku “Surat dari Bawah Air” 400 Halaman, Oktober 2016, Penerbit Perpustakaan Mutamakkin Press (penerbit yang membawakan nama besar KH. Ahmad Mutamakkin, Al-Fatihah…), Endosemennya: KH. Husein Muhammad, Candra Malik, Acep Zamzam Noor, …berterima kasih matur nuwon kepada Alim, dikarena perihal itu sebatu pelajaran pula, meski dirinya sudah tenar tidak ketulungan. Dengan bermodalkan sebagai anak kiai (gus) serta keuangan cukup demi menimba keilmuan di Kairo, dan karya-karyanya terus mengalir sejiwa muda, tentulah gampang bergaul dengan para seniornya, Sujiwo Tejo, Sapardi Djoko Darmono &ll. Ke-mentereng-an tersebut dapatlah ditebak, sebab mempan (bisa dengan mudah) dibombong, dilulu (dieluh-eluhkan, dibesar-besarkan) oleh mereka yang membutuhkan para pengikut dari generasi lebih muda, namun fatalnya menjelma bencana, karena tiadanya kemampuan ngeker (ngerem), merenung, belajar ulang berulang-ulang demi menyadari posisi dirinya sekaligus mencurigai siapa pun meski kepada malaikat, umpamanya.
Saya yakin, jika Usman mengikuti saran petuah para seniornya, tentu tanggapannya (kupasannya) Alim akan dibiarkan mengapung seibarat bayi terlunta-lunta dalam peti, mengikuti aliran air sungai atau melawan arus yang takdirnya kemudian diketemukan orang lain lalu dirawatnya dalam istana, lantas masa-masa berikutnya menantang siapa saja yang menghalangi dirinya dalam pencarian kebenaran; siapakan kediriannya? Kalau itu yang terjadi (Usman diam seribu bahasa), tidak menariknya cepat-cepat menyelamatkan anak-anak karyanya, ada kemungkinan lain dimakan buaya atau sekarat sia-sia, sebab terus menunggu datangnya keajaiban, padahal segenap itu tepatnya karomah, tetaplah menjalani prosesi alami setindak ke-istikomah-an, dan Usman sudah hafal diluar kepala juga mengetahui tradisi para alim ulama tempo dulu yang berbantah-bantahan demi memperdalam pandangannya melalui sungai-sungai mengarus deras yang senantiasa ditatapnya menerus, dirasai seraga-batiniahnya.
Kayakinan kuat di atas tersebab saya sendiri tengah menghadapi kasus hampir sama, sebagaimana kesalahan-kesalahan fatal dibiarkan, oleh yang merasa sudah senior; mereka pada tutup mata-telinganya atau dianggap angin lalu saja kritikan tajam maupun pedas, lantaran bayu pastilah berlalu… tapi angin juga berkemampuan memusar mengangkut apa saja sekaligus dihempaskannya ke tanah atau mendorong kuat-kuat hingga sanggup mencerabut akar-akar pohon raksasa. Kasus yang saya hadapi adalah kekurangajaran pada pelucutan makna “Kun Fayakun” yang dirombaknya membentuk kata-kata “Jadi maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!” (Pidato Anugerah Sastra DKR 2000 SCB, Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, 14 Maret 2006). Maka dengan berbungkam saja cukuplah menjadi kalangan senior, dan kritikan Fazabinal Alim semakin mengekalkan Usman menduduki barisan yang patut disegani, tanpa membaca kesalahan fatal pun mutilasi besar-besaran pada puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani, atau dapat pula diartikan rangkaian kalimat Dea bekerja meruang-waktu memitoskan Usman dan berhasil di atas kebungkaman penerjemah tersebut oleh karena terlena menikmati alam mitologi kesusastraan di Indonesia.
Dan bisa saja Dea Anugrah telah lama mengetahui beberapa kehilafan, keteledoran serta kenekatan Usman, tapi dikesampingkan semuanya demi naiknya generasi muda, kemudian rupa-rupanya perangai terjemahan tersebut diamini begitu rupa menjadi pembelajaran bersama, atau Dea sengaja mengangkat Usman setinggi-tingginya sambil menanti hukum bandul (yang diperkarakan Alim kemungkinan tidak akan muncul, jikalau Dea tidak menuliskan esai mengenai hasil-hasil terjemahannya Usman). Dan jika menengok judul esainya Dea atas kata “Terjemahannya” dan bukan dengan kata “Penerjemahnya” (“Puisi-puisi Nizar Qabbani dan Terjemahannya yang Meragukan”), yang berarti bukan menunjuk kepada penerjemahnya, namun lebih terhadap hasil kerja Usman, walaupun di dalam catatan Dea seolah menjempolinya. Jika dikutip lengkap “Terjemahannya yang Meragukan” masih menuju pada hasil terjemahan Usman. Makna lain judul tersebut, “terjemahannya yang meragukan Dea” atau Dea lebih mempercayai Usman dibandingkan hasil kerja terjemahannya, ataukah Dea salah ketik menuliskan judul? Hanyalah Dea yang tahu permainannya di sana. Tapi yang patut disayangkan, Usman tidak beranjak dari kursi empuknya, hanya mempercayakan kepada pembaca karya-karyanya, ini pula sejenis meremehkan pengkritiknya, oleh sebab sudah terlanjur ngetop seperti selebritis senyum-senyum kecil di ruangan kesadarannya paling pribadi sambil mengusap-usap beberapa kealpaannya sebagai perihal lumrah, atau mengira para pembacanya manggut manut di atas usahanya bersusah payah menerjemahkan senada seleranya, yang telah dianggapnya sangat cukup mewakili sedari segenap ikhtiarnya selama penggarapan buku tersebut.
***
Ketika menuliskan ini, Alim mengirimkan tautan yang bersangkut dengan yang tengah terkerjakan jemari kini, dan Fazabinal Alim menuliskan komentar di samping memberikan link catatan facebook Admin Dalfis Latee (“Membandingkan Terjemahan Puisi Nizar Qabbani Versi Fazabinal Alim dan Usman Arrumy” 1 Oktober 2017), berikut pengantarnya; “Terimakasih atas kritik dan apresiasi, teman-teman semua. Terutama Musyfiqur Rahman, Admin Dalfis Latee (tempat saya belajar bahasa Arab sewaktu di Pondok Pesantren Annuqayah). Tulisan ini bagus. Namun membandingkan terjemahan saya yang hanya diambil dari status Facebook yang saya tulis pada tahun 2014 lalu dengan karya terjemahan Usman Arrumy yang sudah menjadi satu buku utuh, sangatlah tidak adil. Sebab proses penerbitan sebuah buku di penerbit manapun telah melalui pembacaan dan koreksi ulang oleh seorang editor dan proofreader. Semoga tulisan semacam ini semata dalam rangka proses pembelajaran dan kritik yang membangun. Karena sejatinya tak ada istilah berhenti dalam belajar. Bukan membandingkan untuk menjatuhkan satu sama lain. Semoga catatan-catatan kritis dan kritik-kritik semacam ini sama seperti yang dilakukan Aristoteles kepada gurunya Plato, “Amicus Plato Sed Magis Amica Veritas”.”
Tulisan saya ini dapat dibilang terlambat, kalau menengok bukunya Usman telah terbit bulan September 2016 (menurut catatan Admin Dalfis), dan saya baru tahu tulisannya Alim yang terbit di basabasi.co, lewat tautan sedari facebooknya Kanjeng Tok (Awalludin GD Mualif), pada tanggal 29 September 2017 pun tidak langsung membacanya beserta tulisan Dea yang terkait di tirto.id, oleh rasanya tidak punya kepentingan pada penyair yang diterjemahkan Usman, pun saya tengah suntuk membaca ulang tulisan sendiri yang kehendaknya terbit tahun ini, tapi ketika Usman saya jawil melalui tag di fb tidak berkomentar hanya menjempolinya, maka jadi penasaran pada esainya Alim serta Dea. Lantas inilah jadinya saat jari-jemari menari mengudara. Tepat kata Alim, bahwa perbandingan puisi yang di buku dengan catatan di fb merupakan tindakan kurang adil, apalagi catatan tersebut telah lama mendekam dari tahun 2014 pun belum terbukukan, jadi kurang layak disoroti, dan pembandingnya pun tidak menyebutkan nama pena secara langsung, hanya menterakan ‘Admin Darul Lughah Al-Arabiyah Wal Fiqh As-Salafi (Dalfis)’ yang jika mengamati komentarnya Alim, ianya Musyfiqur Rahman. Dan perlu pembaca ketahui, tulisan-tulisan saya yang gentayangan di website, blog, masih kerap saya benahi tanpa sepengetahuan pembaca ketika sebagai adminya. Untuk seimbangnya, kritisilah yang sudah tercetak; buku, koran, majalah, jurnal &ll. Penggal saja habis-habisan tidak masalah, meski pada jenjang selanjutnya banyak buku-buku ketika cetak ulang mengalami perombakan dan itu syah tidak masalah, apalagi buah karya puisi banyaklah versi meski dari tangan pertama sang penyairnya.
***
Sebenarnya persoalan ini tak akan sampai merantak kemari, jikalau penerjemahnya selain berendah hati juga mengedepankan kejujuran serta sikap keterbukaan, toh itu semua menambah keindahan di dalam alunan lagu belajar, meninggalkan sungkan maupun gengsi, sebab ajaran Islam sudah memberikan topangan terbaik pada prosesi menyusuri jalan hayati, semisal ‘Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat’ serta makolah-makolah lain, sedari hadits-hadits, ujaran para sahabat, petuah para ulama dsb, tentunya Usman telah hatam mempelajarinya. Berendah hati sudahlah bersikap jujur telah, seperti memberikan catatan karya sedari sumber aslinya, tapi penghapusan beberapa larik dari puisi aslinya juga seharusnya dikabarkan, semisal berkata-kata; “Ada beberapa larik puisi yang ‘seolah’ sengaja saya hapus sebab merasa kalau satu kata yang menempel di larik selanjutnya yang saya terjemahkan itu telah mewakili keberadaannya sebagai puisi tersebut.” Sehingga ketika terjadi kekeliruan dikarena tindak kehilafan fatal yang mendasar dari terjemahan tidaklah mengapa menerimanya, jika sebelumnya pada pengantar buku memberikan keterangan seperti; “Ada lelangkah kesengajaan merombak puisi aslinya ke dalam terjemahan berbahasa Indonesia, sebab merasa lebih sesuai bagi para pembaca di Tanah Air, atau mengikuti proses naik-turunnya saya di dalam belajar.” Jika itu yang ditempuh, kemungkinan kritikan Alim tak kan muncul dari yang paling mendasar hingga yang agak wajar (jika tidak dibilang kurang ajar), atas perubahan puisi-puisi terjemahan buah karya Nizar Qabbani, apalagi yang mengerjakannya juga penyair.
Saya menjadi teringat petuah agung H.O.S Cokroaminoto “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Barangkali sudahlah tinggi ilmunya serta mapan tauhidnya, namun rasa-rasanya belumlah pandai bersiasat demi menanggulangi bencana kebocoran, ambrolnya bendungan, jebolnya arus bengawan. Siasat itu sangatlah penting untuk menghimpun dinaya ruapan energi dikala melawan balik dengan bentuk bersiasat pula, istilah saya ‘main licik-licikan’ dan itu syah, dibanding bertingkah pola menutupi tetapi terbongkar nantinya. Terus terang matahari musim kemarau panas penerawang, saya banyak belajar bersiasat atau sinahu main licik (bahasa halusnya cerdik) dari para pengkritik yang terutama berasal dari pribadi purna sastrawan pun budayawan. Di sanalah lahirnya istilah ‘belajar sambil menghajar’ yang itu muncul saat prosesi belajar terus-menerus, atau sedari tangan lembut gemulainya sampai di jemari sekarang.
***
Sebagai penyuka buku-buku hasil terjemahan, apakah dari bahasa asal; China lama; modern, bahasa Belgia, Belanda, Jerman, Prancis, Swedia, Arab, Inggris &ll, enak tidak enak tetap saya baca, kadang memaksakan berjenak lama-lama meski kuranglah nyaman dirasa, pun saya kerap membandingkan hasil-hasil terjemahan penerbit A, B dan C atas satu judul buku. Ada juga penerbit yang saya golongkan terjemahannya buruk, tapi tetap membacanya, dan ternyata menemukan di antara terbitannya ada yang lumayan. Oleh karena seringnya membaca buku dari terjemahan, seolah (sudah terbiasa) merasai (menilai) hasil terjemahan ini baik atau tidak, bertele-tele mengikuti hasrat penerjemahnya atau saklek sesuai teks aslinya, agak-agak amburadul atau mulus lantaran pengeditannya berindah-indah, pun ada yang bertetap kuat berpegangan teks asli sekaligus berupaya nikmat dibaca. Salah satu buku terjemahan yang sampai saya membelinya tiga kali; tersebab pertama karena hilang, yang kedua ketlisut, dan pembelian ke tiga titip lewat adik sewaktu ke Yogyakarta. Buku yang terbeli sampai tiga periode itu, saya anggap terjemahannya baik (berkualitas) meski saya awam pada bahasa aslinya. Buku tersebut karya sastrawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe yang berlabel “Faust,” Penerbit Kalam, Penerjemahnya Agam Wispi dari bahasa sumbernya Jerman, Cetakan Pertama Oktober 1999. Terang sajalah, saya mengenal pemikiran para tokoh dunia melalui buku-buku karya-karya terjemahan, pun tampaknya nilai-nilai dari terjemahan di tahun-tahun lawas, rasanya banyak yang berkualitas. Pula saya tetap berjarak tatkala membaca karya hasil terjemahan, dan ketika menjadi bebahan kutipan, maka berarti saya srek atau percaya dengan terjemahannya.
Dalam persoalan bukunya Usman yang menerjemahkan puisi-puisinya penyair Nizar Qabbani dari bahasa aslinya Arab, saya tak bisa berkata lebih, sebab tidak memegang bukunya (tidak memilikinya), di sini hanya berpegangan pada penelusuran Alim yang terang kejeliannya, dan ini menambah pengetahuan mengenai buku-buku terjemahan sekaligus tetaplah menghargai jerih payah penerjemah, tidak terkecuali kepada Usman. Satu bentuk penghormatan saya kepada buku-buku hasil terjemahan ialah berdoa sebelum membacanya. Ada suatu pengalaman pada buku terjemahan karangan Ibnu Arabi, yang saya lupa penerbit serta judulnya, sampai tujuh kali saya membaca ulang sambil tetap menjaga wudhu, barulah dapat memahami. Maka, makin membeludak para penerjemah di Indonesia pastinya indah, karena bangsa ini membutuhkan berderet-deret amunisi, lantaran buku hasil terjemahan tentu memperluas wawasan memperkaya hasana keilmuan serta melebarkan pandangan, dan andai ada yang melenceng terjemahan karya puisi bagi saya tidak masalah, toh itu hanya untuk menambah sarapan pagi jika diperlukan sebelum bekerja (berkarya). Lalu saya pikir kerjanya Usman lebih baik daripada mereka lulusan Jurusan Sastra Arab, juga yang menimba keilmuan di luar negeri, tapi sepulangnya ke tanah kelahiran, dirinya tersesat di dunia politik hingga lupa keilmuan Allah yang betapa manis di bumi Sholawat.
*) Pengelana asal Lamongan, kini tinggal di kecamatan Laren, desa Tejoasri, dusun Pilang, daerah yang dikelilingi Bengawan Solo, setengah lingkaran bengawan arusnya tenang, setengahnya lagi air menjalar sampai jauh... (Gesang).
http://basabasi.co/ketika-usman-arrumy-salah-memasuki-kebun-nizar-qabbani/
https://tirto.id/puisi-puisi-nizar-qabbani-dan-terjemahannya-yang-meragukan-cqkZ
https://www.facebook.com/notes/dalfis-latee/membandingkan-terjemahan-puisi-nizar-qabbani-versi-fazabinal-alim-dan-usman-arru/330957080702774/
http://sastra-indonesia.com/2017/10/puisi-puisi-penyair-nizar-qabbani-melalui-usman-arrumy-dea-anugrah-fazabinal-alim/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar