Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Jangan katakan “Wouw,” jika tidak terperangah dengan pemikiran Emha Ainun Nadjib pada pengajian Padhang mBulan edisi 30 September, 2012. Cak Nun melontarkan pertanyaan sederhana, “untuk siapakah Rasululloh mengadakan perang Khondak?” Cak Nun kemudian merangsang inti pertanyaan tersebut dengan beberapa pertanyaan pendukung/ pengembang. Misal, apakah perang khondak untuk negara-pan arabis, Iran, Syiria, Libanon, Mesir, Arab Saudi dll?
Perang khondak dalam sejarah Islam dikenal dengan istilah perang parit, yakni satu metode perang dengan menggali parit untuk menghadang atau menyulitkan keleluasaan gerak serang musuh. Takaran penggalian parit zaman Rasululloh bertujuan efektif untuk memutus transportasi darat yang zaman tersebut belum mengenal tekhnologi pesawat tempur. Zaman di mana alat pendukung utama pasukan perang masih mengandalkan kuda dan onta. Metode parit yang berbeda kondisi dengan darat efektif melumpuhkan lawan, baik dari strategi keleluasan hingga kemudahan mengincar identifikasi kejelasan lawan.
Perang parit zaman Rasul, pasukan Muslim bertahan dalam medan lingkaran parit. Sedang pasukan lawan berupaya masuk menyerang Muslim karena berkepentingan menghancurkan misi Islam. Di sinilah strategi Rasul dalam berperang teruji kecerdikannya, yakni parit sendiri (jublangan) menjadi kekuatan beratus kali lipat dibanding jumlah personil pasukan perang. Artinya sedikit pasukan dalam parit lebih mudah mengalahkan puluhan kali lipat jumlah pasukan di luar parit. Sebab pasukan di luar parit terkuras energinya ketika proses menyeberangi genangan air dalam parit.
Sebelum Cak Nun melontarkan pertanyaan di atas, perang khondak hanya dipahami sebagai sejarah perjalanan Islam. Pemahaman segera mendalam atau melebar ketika Cak Nun melontarkan salah satu jawaban dari pertanyaan di atas, yaitu sesungguhnya Rasululloh mempersembahkan perang khondak untuk umat Muslim Indonesia. Dari lontaran jawaban Cak Nun tersebut semakin jelas arah keterkaitan misalnya: antara Arab-Indonesia, Arab-Eropa hingga Indonesia-Eropa yang menyangkut kepentingan global, baik segi komoditas sosio-kultur hingga sumber daya perekonomian.
Cak Nun berpendapat lebih lanjut, bahwa dalam kajian Islam jangka panjang, tidak mungkin Rasul mengajarkan perang khondak bagi negara Arab Saudi, Mesir, Irak dan Iran sekali pun dalam rangka menghalau kekuatan lawan ketika mengeksploitasi sumberdaya minyak Timur-Islam yang tersebar di perairan Afrika, Laut Kaspia hingga melintasi Irak dan kawasan Teluk (baca: Dr.Muhammad Imarah, Sajadah Pres, 2005:176), hingga penghancuran Islam oleh program Kapitalis. Sebab kondisi yang terjadi di negara-negara Arab sekarang ini sudah jebol, bocor oleh target kekuasaan Amerika dan Eropa. Apalagi pasca krisis finansial Eropa, Timur Tengah nyaris menjadi incaran Barat untuk menambal sulam, menutup lobang mekanisme berbagai kebutuhan masyarakat Eropa. Indikasi kejebolan negara negara Arab dapat dibaca dari revolusi Mesir sendiri sangat sukses diobok-obok Amerika. Begitu juga Arab Saudi tidak menyadari bahwa kapitalis sukses menyerap aset dengan menyusupkan kerja sama bilateral, terbukti dengan simbol Euro yang berkeliaran di pelosok wilayah dan hotel Hilton yang berdiri tepat di depan Ka’bah. Apalagi Iran, sebagai satu satunya negara Islam terkuat dan pasti diincar beramai-ramai oleh Uni Eropa dengan berbagai merode kelicikannya.
Kebocoran Pan Arbis hingga ke wilayah budaya Islam-Arab. Amerika mendukung aliran tertentu yang bergaris keras untuk mendominasi wilayah Ka’bah. Belakangan dirasakan para jamaah haji yang mendapat teguran pelarangan kaum Wahabi dengan dalih meluruskan syariat. Para jamaah haji yang hadir dari negara jauh misalnya, karena saking melepas rindu dan cintanya pada Rasululloh, tercermin dengan menangis terisyak begitu menyaksikan makam Rasululloh. Namun tentara yang beraliran Wahabi segera melarang jamaah haji yang menangis dengan alasan “qod mata Muhammad=sungguh Muhammad telah mati, “ artinya tidak penting untuk ditangisi. Dukungan Amerika terhadap kelompok Wahabi tersebut sama halnya mendukung terselenggaranya ‘krisis cinta terhadap Rasul’ sebagai prototipe umat Islam. Dalam jangka panjang, kadar kecintaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad berangsur terkikis secara psikologi. Dan saat itulah umat Islam semakin gamoh, gemol dicekoki berbagai program kapitalis Barat.
Tidak hanya Wahabi yang berpotensi mengikis militansi Muslim terhadap panutan umatnya, melainkan kebanyakan golongan Muslim tanpa sadar juga mempraktekkan ajaran Islam secara kapitalis. Bahkan batasan ‘Islam yang benar pun’telah diformat berdasarkan penafsiran golongan. Cak Nun menyontohkan mekanisme keberangkatan haji yang serba diploroti hitungan uang. Bahkan, di Indonesia gelar haji bagi yang sudah melaksanakan nyaris menjadi kebanggaan. Padahal yang disebut melaksanakan ibadah haji itu orientasi kerja yang terbatas waktunya selama menjalankan ibadah haji. Gelar haji yang dibanggakan sesungguhnya menyakiti Alloh. Sebab, peningkatan jumlah jamaah haji hingga setelah menunaikan tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan kebersamaan (Indonesiaisasi Islami). Dalam arti, jumlah ibadah haji tidak berbanding lurus dengan perubahan moral bangsa, Indonesia tetap saja terpuruk dengan kerusuhan di mana-mana. Jutaan jamaah haji yang berkumpul di Ka’bah hanyalah orang yang berebut ego-pribadi dalam rangka mencium Hajar Aswad. Tidak ada upaya untuk saling mengenal satu sama lain, bahkan merancang kebersamaan sebagai warga Muslim dunia. Contoh lain yang setara ibadah haji adalah program ziarah wali. Baik kebenaran mekanisme haji atau ziarah wali sesungguhnya program sukses bisnis biro travel.
Nasionalisasi yang berkarakter Indonesiaisasi dilontarkan Cak Nun untuk mengidentifikasi maraknya budaya baru bagi warga Indonesia. Nasionalisasi yang bagaimana? Sebab seluruh program dengan mudah dicanangkan nasionalisasi, semacam mesin proyek, padahal sesungguhnya tangan panjang korporasi Barat. Nasionalisasi yang dijabarkan Cak Nun dalam tulisan yang dimuat harian Kompas pada 22 September, 2012, sebenarnya guliran kerikil kecil untuk menjajaki seberapa dalam sumur cara berfikir masyarakat Indonesia, seberapa tanggap masyarakat Indonesia memproteks kebocoran program Barat pasca tambal-sulam krisis Eropa dan seberapa tanggap terhadap siasat perang (dingin). Sebab Indonesia sebagai negara konsumen produk Barat, tentu menjadi sasaran empuk segala kebocoran berbagai program.
Nasionalisasi-Indonesiaisasi merupakan agenda nasional berdasarkan perhitungan detail terhadap karakter Indonesia, baik segi sosial-budaya maupun teritorial-sumberdaya alam. Langkah inilah yang disebut perang khondak bagi Indonesia, sebuah upaya tidak anti perundingan damai dengan modernisme, tetapi mampu mengendalikan aset bangsa, dan bukan membudak pada Barat, yaitu mengabdikan diri dengan menggenapi krisis energi Eropa yang kian tekor. Dengan Indonesiaisasi diharapkan kesadaran masyarakat tergugah, bahwa sejak lama kapitalisme Barat menyusupkan doktrin programnya melalui berbagai sistem pengajaran dan produk tekhnologi. Kebocoran sistem pengajaran di Indonesia serta merta meng-ajar-kan aliran apapun dari Barat, dan bukan ‘’mendidik’’ apapun yang menyertakan muatan moral. Kebocoran tekhnologi menyerap keuangan Indonesia sedemikian hebat, mulai dari pembelian barang jadi berlanjut ke sistem aplikasi. Hand Phone, Facebook, Twitter, BBM (Bluckberry Mesenger), terbukti menyerap pulsa setiap detik. Sedang di sisi lain, provider alat tekhnologi tersebut ujung-ujungnya saham Barat. Sisi inilah Cak Nun menyarankan agar tidak terlalu boros mengobral uang untuk memperkaya saham Barat. Maka diperlukan sistem kontrol bagi pengguna tekhnologi agar lebih tepat dan efektif. Pemilik tekhnologi tidak lantas kemajaren, mumpung punya, sok banyak duit kemudian mengobral pulsa hanya untuk begejekan. Sistem kontrol dan efektifitas yang dimaksud yaitu mengutamakan informasi apa yang penting disegerakan. Pemakai facebook dan BB berlaku tepat, mana yang harus dijempoli, dikomentari bahkan dibagikan atau diposting. Artinya, kalau pun tidak mampu mengelak dari serangan kebutuhan kapitalis, warga Indonesia harus memasang siasat berbalik menyerang dengan cara menyebarkan virus nasionalisasi yang Indonesiaisasi, bukan hal-hal yang musproh (mubadzir).
Kebocoran media massa baik cetak mau pun elektronik nyaris menembus jantung seluruh lapisan masyarakat Indonesia, bahkan umat Islam. Akibatnya, tanpa sadar kebudayaan Indonesia cerca dan porak-poranda diterjang peluru kapitalis yang berada di luar parit. Pengamatan media tersebut terbukti bahwa selama ini warga Indonesia tidak memiliki siasat perang sedikit pun. Mempelajari 33 Strategi Perang yang ditulis oleh Robert Greene (terjemahan Drs. Arwin Saputra, Karisma Publising, 2007), setidaknya menyadarkan Indonesia bahwa penting mengetahui gerak lawan dalam perang dingin memperebutkan sumber energi. Bagaimana pun, jumlah energi yang tersedia di muka bumi diperebutkan tiap negara untuk kelangsungan hidup semua. Dan pengerukan sumber daya alam Indonesia sudah diserap untuk memenuhi kebutuhan Barat sejak awal imperialis menjejakkan kaki di nusantara. Greene mengurai strategi perang di antaranya: Pertama: Perang Strategis, yakni perang yang berorientasi bahwa kehidupan adalah pertempuran dan konflik sepanjang masa. Untuk bisa bertempur secara efektif harus mengenali musuh-musuh dengan mengidentifikasi ciri, pola, bahan serang, medan pertempuran. Lalu mengawali niat dalam hati untuk mengatakan, ‘ia harus dilawan’. Kedua; Strategi Gerilya Pikiran, yakni perang berpijak dari pengalaman yang membuat suatu wilayah jatuh terpuruk adalah masa lalu. Selanjutnya harus sadar memerangi masa lalu untuk memaksa diri sendiri, tidak mengenal ampun diri sendiri, bereaksi terhadap peristiwa sekarang. Tidak mengulang yang pernah dicoba, termasuk dalam pemikiran yang tidak membiarkan garis pertahanan mana pun statis. Sambil melakukan perlawanan secara stabil dan fleksibel. Ketiga; Strategi Besar, yakni boleh kalah dalam pertempuran asal menang dalam perang. Perang ini memuat seni memandang jauh melampaui pertempuran dan membuat perhitungan lebih dulu. Kempat; Menukar Tempat demi Waktu, yakni mundur ketika menghadapi musuh yang kuat bukan berarti lemah. Perang demikian bisa dilakukan dengan mengulu-ulur waktu supaya kondisi pemikiran pulih untuk menemukan perspektif. Cara demikian dapat menguntungkan hal besar tanpa melakukan apa apa. Kelima; Strategi Luar Biasa, yakni mengambil tindakan yang paling tak terduga. Sebab sebelumnya orang mengharap perilaku sesuai dengan konvensi dan pola yang sudah dikenal. Kemudian anggapan tersebut dihancurkan, dikacaukan menjadi harapan hampa dan tidak menentu. Dll.
Kekalahan Indonesia dalam perang dingin melawan kapitalis sangat telak, bahkan secara tidak sadar Indonesia merasa diancam oleh dirinya sendiri yang belum tentu kapasitasnya lebih besar dari dirinya. Jika mau menguatkan sistem Indonesia ke depan hendaknya dipahami, bahwa kekalahan-kekalahan kecil berbagai program luar negeri sesungguhnya sikap kekanakan Barat yang ibarat anak kecil ketika disodori kertas cek dan kertas layangan, pasti memilih kertas layangan, sebab sesuai dengan kapasitasnya sebagai bangsa pengemis dan pemain. Sedang Indonesia sendiri masih memiliki milyatan benda berharga yang masih terpendam dan akan mengejutkan dunia. Tinggal bagaimana memasang parit agar menghadang pencuri datang.
*) Sabrank Suparno. Bergiat di Lincak Sastra, Jombang.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/12/nasionalisasi-strategi-perang-khondak/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar