Kamis, 07 Februari 2013

Nasionalisasi Strategi Perang Khondak

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Jangan katakan “Wouw,” jika tidak terperangah dengan pemikiran Emha Ainun Nadjib pada pengajian Padhang mBulan edisi 30 September, 2012. Cak Nun melontarkan pertanyaan sederhana, “untuk siapakah Rasululloh mengadakan perang Khondak?” Cak Nun kemudian merangsang inti pertanyaan tersebut dengan beberapa pertanyaan pendukung/ pengembang. Misal, apakah perang khondak untuk negara-pan arabis, Iran, Syiria, Libanon, Mesir, Arab Saudi dll?

Perang khondak dalam sejarah Islam dikenal dengan istilah perang parit, yakni satu metode perang dengan menggali parit untuk menghadang atau menyulitkan keleluasaan gerak serang musuh. Takaran penggalian parit zaman Rasululloh bertujuan efektif untuk memutus transportasi darat yang zaman tersebut belum mengenal tekhnologi pesawat tempur. Zaman di mana alat pendukung utama pasukan perang masih mengandalkan kuda dan onta. Metode parit yang berbeda kondisi dengan darat efektif melumpuhkan lawan, baik dari strategi keleluasan hingga kemudahan mengincar identifikasi kejelasan lawan.

Perang parit zaman Rasul, pasukan Muslim bertahan dalam medan lingkaran parit. Sedang pasukan lawan berupaya masuk menyerang Muslim karena berkepentingan menghancurkan misi Islam. Di sinilah strategi Rasul dalam berperang teruji kecerdikannya, yakni parit sendiri (jublangan) menjadi kekuatan beratus kali lipat dibanding jumlah personil pasukan perang. Artinya sedikit pasukan dalam parit lebih mudah mengalahkan puluhan kali lipat jumlah pasukan di luar parit. Sebab pasukan di luar parit terkuras energinya ketika proses menyeberangi genangan air dalam parit.

Sebelum Cak Nun melontarkan pertanyaan di atas, perang khondak hanya dipahami sebagai sejarah perjalanan Islam. Pemahaman segera mendalam atau melebar ketika Cak Nun melontarkan salah satu jawaban dari pertanyaan di atas, yaitu sesungguhnya Rasululloh mempersembahkan perang khondak untuk umat Muslim Indonesia. Dari lontaran jawaban Cak Nun tersebut semakin jelas arah keterkaitan misalnya: antara Arab-Indonesia, Arab-Eropa hingga Indonesia-Eropa yang menyangkut kepentingan global, baik segi komoditas sosio-kultur hingga sumber daya perekonomian.

Cak Nun berpendapat lebih lanjut, bahwa dalam kajian Islam jangka panjang, tidak mungkin Rasul mengajarkan perang khondak bagi negara Arab Saudi, Mesir, Irak dan Iran sekali pun dalam rangka menghalau kekuatan lawan ketika mengeksploitasi sumberdaya minyak Timur-Islam yang tersebar di perairan Afrika, Laut Kaspia hingga melintasi Irak dan kawasan Teluk (baca: Dr.Muhammad Imarah, Sajadah Pres, 2005:176), hingga penghancuran Islam oleh program Kapitalis. Sebab kondisi yang terjadi di negara-negara Arab sekarang ini sudah jebol, bocor oleh target kekuasaan Amerika dan Eropa. Apalagi pasca krisis finansial Eropa, Timur Tengah nyaris menjadi incaran Barat untuk menambal sulam, menutup lobang mekanisme berbagai kebutuhan masyarakat Eropa. Indikasi kejebolan negara negara Arab dapat dibaca dari revolusi Mesir sendiri sangat sukses diobok-obok Amerika. Begitu juga Arab Saudi tidak menyadari bahwa kapitalis sukses menyerap aset dengan menyusupkan kerja sama bilateral, terbukti dengan simbol Euro yang berkeliaran di pelosok wilayah dan hotel Hilton yang berdiri tepat di depan Ka’bah. Apalagi Iran, sebagai satu satunya negara Islam terkuat dan pasti diincar beramai-ramai oleh Uni Eropa dengan berbagai merode kelicikannya.

Kebocoran Pan Arbis hingga ke wilayah budaya Islam-Arab. Amerika mendukung aliran tertentu yang bergaris keras untuk mendominasi wilayah Ka’bah. Belakangan dirasakan para jamaah haji yang mendapat teguran pelarangan kaum Wahabi dengan dalih meluruskan syariat. Para jamaah haji yang hadir dari negara jauh misalnya, karena saking melepas rindu dan cintanya pada Rasululloh, tercermin dengan menangis terisyak begitu menyaksikan makam Rasululloh. Namun tentara yang beraliran Wahabi segera melarang jamaah haji yang menangis dengan alasan “qod mata Muhammad=sungguh Muhammad telah mati, “ artinya tidak penting untuk ditangisi. Dukungan Amerika terhadap kelompok Wahabi tersebut sama halnya mendukung terselenggaranya ‘krisis cinta terhadap Rasul’ sebagai prototipe umat Islam. Dalam jangka panjang, kadar kecintaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad berangsur terkikis secara psikologi. Dan saat itulah umat Islam semakin gamoh, gemol dicekoki berbagai program kapitalis Barat.

Tidak hanya Wahabi yang berpotensi mengikis militansi Muslim terhadap panutan umatnya, melainkan kebanyakan golongan Muslim tanpa sadar juga mempraktekkan ajaran Islam secara kapitalis. Bahkan batasan ‘Islam yang benar pun’telah diformat berdasarkan penafsiran golongan. Cak Nun menyontohkan mekanisme keberangkatan haji yang serba diploroti hitungan uang. Bahkan, di Indonesia gelar haji bagi yang sudah melaksanakan nyaris menjadi kebanggaan. Padahal yang disebut melaksanakan ibadah haji itu orientasi kerja yang terbatas waktunya selama menjalankan ibadah haji. Gelar haji yang dibanggakan sesungguhnya menyakiti Alloh. Sebab, peningkatan jumlah jamaah haji hingga setelah menunaikan tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan kebersamaan (Indonesiaisasi Islami). Dalam arti, jumlah ibadah haji tidak berbanding lurus dengan perubahan moral bangsa, Indonesia tetap saja terpuruk dengan kerusuhan di mana-mana. Jutaan jamaah haji yang berkumpul di Ka’bah hanyalah orang yang berebut ego-pribadi dalam rangka mencium Hajar Aswad. Tidak ada upaya untuk saling mengenal satu sama lain, bahkan merancang kebersamaan sebagai warga Muslim dunia. Contoh lain yang setara ibadah haji adalah program ziarah wali. Baik kebenaran mekanisme haji atau ziarah wali sesungguhnya program sukses bisnis biro travel.

Nasionalisasi yang berkarakter Indonesiaisasi dilontarkan Cak Nun untuk mengidentifikasi maraknya budaya baru bagi warga Indonesia. Nasionalisasi yang bagaimana? Sebab seluruh program dengan mudah dicanangkan nasionalisasi, semacam mesin proyek, padahal sesungguhnya tangan panjang korporasi Barat. Nasionalisasi yang dijabarkan Cak Nun dalam tulisan yang dimuat harian Kompas pada 22 September, 2012, sebenarnya guliran kerikil kecil untuk menjajaki seberapa dalam sumur cara berfikir masyarakat Indonesia, seberapa tanggap masyarakat Indonesia memproteks kebocoran program Barat pasca tambal-sulam krisis Eropa dan seberapa tanggap terhadap siasat perang (dingin). Sebab Indonesia sebagai negara konsumen produk Barat, tentu menjadi sasaran empuk segala kebocoran berbagai program.

Nasionalisasi-Indonesiaisasi merupakan agenda nasional berdasarkan perhitungan detail terhadap karakter Indonesia, baik segi sosial-budaya maupun teritorial-sumberdaya alam. Langkah inilah yang disebut perang khondak bagi Indonesia, sebuah upaya tidak anti perundingan damai dengan modernisme, tetapi mampu mengendalikan aset bangsa, dan bukan membudak pada Barat, yaitu mengabdikan diri dengan menggenapi krisis energi Eropa yang kian tekor. Dengan Indonesiaisasi diharapkan kesadaran masyarakat tergugah, bahwa sejak lama kapitalisme Barat menyusupkan doktrin programnya melalui berbagai sistem pengajaran dan produk tekhnologi. Kebocoran sistem pengajaran di Indonesia serta merta meng-ajar-kan aliran apapun dari Barat, dan bukan ‘’mendidik’’ apapun yang menyertakan muatan moral. Kebocoran tekhnologi menyerap keuangan Indonesia sedemikian hebat, mulai dari pembelian barang jadi berlanjut ke sistem aplikasi. Hand Phone, Facebook, Twitter, BBM (Bluckberry Mesenger), terbukti menyerap pulsa setiap detik. Sedang di sisi lain, provider alat tekhnologi tersebut ujung-ujungnya saham Barat. Sisi inilah Cak Nun menyarankan agar tidak terlalu boros mengobral uang untuk memperkaya saham Barat. Maka diperlukan sistem kontrol bagi pengguna tekhnologi agar lebih tepat dan efektif. Pemilik tekhnologi tidak lantas kemajaren, mumpung punya, sok banyak duit kemudian mengobral pulsa hanya untuk begejekan. Sistem kontrol dan efektifitas yang dimaksud yaitu mengutamakan informasi apa yang penting disegerakan. Pemakai facebook dan BB berlaku tepat, mana yang harus dijempoli, dikomentari bahkan dibagikan atau diposting. Artinya, kalau pun tidak mampu mengelak dari serangan kebutuhan kapitalis, warga Indonesia harus memasang siasat berbalik menyerang dengan cara menyebarkan virus nasionalisasi yang Indonesiaisasi, bukan hal-hal yang musproh (mubadzir).

Kebocoran media massa baik cetak mau pun elektronik nyaris menembus jantung seluruh lapisan masyarakat Indonesia, bahkan umat Islam. Akibatnya, tanpa sadar kebudayaan Indonesia cerca dan porak-poranda diterjang peluru kapitalis yang berada di luar parit. Pengamatan media tersebut terbukti bahwa selama ini warga Indonesia tidak memiliki siasat perang sedikit pun. Mempelajari 33 Strategi Perang yang ditulis oleh Robert Greene (terjemahan Drs. Arwin Saputra, Karisma Publising, 2007), setidaknya menyadarkan Indonesia bahwa penting mengetahui gerak lawan dalam perang dingin memperebutkan sumber energi. Bagaimana pun, jumlah energi yang tersedia di muka bumi diperebutkan tiap negara untuk kelangsungan hidup semua. Dan pengerukan sumber daya alam Indonesia sudah diserap untuk memenuhi kebutuhan Barat sejak awal imperialis menjejakkan kaki di nusantara. Greene mengurai strategi perang di antaranya: Pertama: Perang Strategis, yakni perang yang berorientasi bahwa kehidupan adalah pertempuran dan konflik sepanjang masa. Untuk bisa bertempur secara efektif harus mengenali musuh-musuh dengan mengidentifikasi ciri, pola, bahan serang, medan pertempuran. Lalu mengawali niat dalam hati untuk mengatakan, ‘ia harus dilawan’. Kedua; Strategi Gerilya Pikiran, yakni perang berpijak dari pengalaman yang membuat suatu wilayah jatuh terpuruk adalah masa lalu. Selanjutnya harus sadar memerangi masa lalu untuk memaksa diri sendiri, tidak mengenal ampun diri sendiri, bereaksi terhadap peristiwa sekarang. Tidak mengulang yang pernah dicoba, termasuk dalam pemikiran yang tidak membiarkan garis pertahanan mana pun statis. Sambil melakukan perlawanan secara stabil dan fleksibel. Ketiga; Strategi Besar, yakni boleh kalah dalam pertempuran asal menang dalam perang. Perang ini memuat seni memandang jauh melampaui pertempuran dan membuat perhitungan lebih dulu. Kempat; Menukar Tempat demi Waktu, yakni mundur ketika menghadapi musuh yang kuat bukan berarti lemah. Perang demikian bisa dilakukan dengan mengulu-ulur waktu supaya kondisi pemikiran pulih untuk menemukan perspektif. Cara demikian dapat menguntungkan hal besar tanpa melakukan apa apa. Kelima; Strategi Luar Biasa, yakni mengambil tindakan yang paling tak terduga. Sebab sebelumnya orang mengharap perilaku sesuai dengan konvensi dan pola yang sudah dikenal. Kemudian anggapan tersebut dihancurkan, dikacaukan menjadi harapan hampa dan tidak menentu. Dll.

Kekalahan Indonesia dalam perang dingin melawan kapitalis sangat telak, bahkan secara tidak sadar Indonesia merasa diancam oleh dirinya sendiri yang belum tentu kapasitasnya lebih besar dari dirinya. Jika mau menguatkan sistem Indonesia ke depan hendaknya dipahami, bahwa kekalahan-kekalahan kecil berbagai program luar negeri sesungguhnya sikap kekanakan Barat yang ibarat anak kecil ketika disodori kertas cek dan kertas layangan, pasti memilih kertas layangan, sebab sesuai dengan kapasitasnya sebagai bangsa pengemis dan pemain. Sedang Indonesia sendiri masih memiliki milyatan benda berharga yang masih terpendam dan akan mengejutkan dunia. Tinggal bagaimana memasang parit agar menghadang pencuri datang.

*) Sabrank Suparno. Bergiat di Lincak Sastra, Jombang.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/12/nasionalisasi-strategi-perang-khondak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez