Minggu, 12 Agustus 2012

Pertarungan Ideologi dalam Sastra

Bayu Agustari Adha
Riau Pos, 12 Agu 2012

SASTRA berfungsi tak hanya memberi hamparan kisah yang tertera begitu saja. Di balik itu sastra juga menyelipkan pertarungan ideologi dalam konflik dan alur yang disajikan. Walau hanya bersifat fiksi, emosi yang disajikan terbukti lebih lama membekas dari karya non fiksi. Itu bisa dilihat pada karya Khaled Hosssaini, The Kite Runner yang secara implisit menyajikan suatu pertarungan ideologi yang membuat suatu Negara yakni Afghanistan menjadi Negara hancur tanpa henti sampai kini. Apa yang membuatnya hancur adalah pertarungan ideologi yang saling memaksakan tanpa adanya suatu negasi. Ideologi itu di antaranya nasionalisme, liberalisme, komunisme dan fanatisme.

Ideologi nasionalis berhegemoni di sini dalam kerangka yang dangkal. Nasionalisme ini beranjak dari primordialisme suku dominan yang ada di Afghanistan. Watak budaya membesar-besarkan ini menjadi suatu ciri khas orang Afghan. Jika seseorang mengatakan anaknya seorang dokter maka kemungkinannya anak itu hanyalah pernah lulus ujian biologi. Inilah kecintaan pada Tanah Air yang dibesar-besarkan sehingga berdampak buruk pada masyarakat itu sendiri. Dalam novel ini digambarkan suku mayoritas yakni Pashtun yang menginferiorkan suku Hazara. Diceritakan karakter utama Amir yang seorang Pasthun punya teman bermain yang anak pembantu keluarganya yakni Hassan bersuku Hazara. Amir memang tak menganiaya Hassan, tapi watak superioritas sebagai suku Pasthun tetap tertanam pada tindakannya walau tak sebenarnya dalam hati. Baba Amir dan ayah Hassan, Ali, dulunya juga seperti itu.

Tindakan terjadi hanya karena konstruksi masyarakat Afghan yang memberi paradigma rendah pada orang Hazara. Dalam kesehariannya, Ali dan Hassan sering diolok-olok kaum Pasthun yang berbeda secara fisik dengan kaum Hazara. Setiap hari Ali memperoleh cemoohan dari remaja yang agak besar dengan sebutan Babulu atau Hantu. Mereka menyebutnya pesek, begitulah ciri-ciri Ali dan Hassan dan kebanyakan suku Hazara. Suku ini keturunan Mongol dan sedikit mirip Cina. Julukan-julukan untuk orang Hazara di antaranya pemakan tikus, dan keledai pengangkut barang. Malangnya stigma ini terus terwarisi sampai pada anak-anak yang sebenarnya tak tahu apa-apa. Hassan juga kerap diperolok, terutama oleh Assef, tokoh antagonis di novel ini dengan sebutan-sebutan di atas.

Assef jadi representasi nasionalisme yang bermuara pada fasisme. Ia merupakan pengagum Hitler dengan ibu keturunan Jerman dan Ayah seorang Pasthun. Satu setting menceritakan Assef bersama temannya mencegat Amir dan Hassan untuk membiarkannya menyiksa Hassan seorang Hazara. Dia mengatakan ‘’Afghanistan adalah Negara milik bangsa Pasthun. Dari dulu begitu, dan akan selalu begitu. Kita adalah orang-orang Afghan sejati, orang-orang Afghan murni, tak seperti si pesek ini. Kaumnya mengotori Tanah Air kita.’’ Assef tak hanya marah pada Hassan, tapi juga pada Amir karena telah bermain bersama Hassan. Dalam hati Amir, Hassan bukan temannya melainkan pembantunya, namun karena segan Amir tak mengatakannya. Hassan pun melindungi Amir dengan menggertak Assef dengan ketapelnya.

Kekalahan Assef ini menjadi dendam yang makin besar dan abadi baginya. Tak hanya hubungan persukuan yang membuat suatu nasionalisme sempit seperti ini, aliran agama juga menegaskannya, walau sama-sama Islam. Pasthun menganut Sunni dan Hazara sebagai Syi’ah. Latar belakang utama penindasan ini memang adalah perbedaan mahzab agama ini.
Di sisi lain pemikiran ini juga dapat perlawanan dari orang Pasthun sendiri yang berupa pemikiran liberal. Itu dilihat dari karakter ayah Amir sendiri, Baba yang menunjukkan kejijikannya pada kaum Sunni yang merasa sok suci. Ini terlihat ketika Amir mengatakan pada ayahnya bahwa menurut guru agamanya minum wiski itu haram. Baba dengan percaya diri mengatakan apa yang dipelajari di sekolah takkan menemui titik temu dengan kenyataan. Bahkan ia mengatakan.

Baba sendiri adalah orang yang tergila-gila dengan gagasan tentang Amerika. Ia juga pernah mengatakan di dunia ini hanya ada tiga lelaki sejati yakni sang penyelamat gagah berani, Inggris dan Israel, selebihnya adalah mereka yang sama saja dengan nenek-nenek yang hobi bergosip. Tentu saja pernyataan ini menyentak banyak orang karena secara de facto memuja Israel tentu saja mengindikasikan anti-Islam. Tapi ia menyatakan bahwa semua ini tak ada hubungannya dengan agama. Di matanya Israel adalah pria sejati di sebuah pulau dikelilingi oleh lautan bangsa Arab yang terlalu sibuk memikirkan produksi minyak mereka sehingga tak peduli pada nasib bangsa sendiri. ‘’Lakukanlah sesuatu untuk mengatasi masalah! Bertindaklah. Kalian kan orang Arab, pergi sana, tolong orang Palestina!,’’ serunya.

Hingga sampai akhirnya Uni Soviet menginvasi Afghanistan, masuklah satu ideologi lagi yakni komunisme. Ideologi buruh yang tumbuh menjadi gerakan otoriter di atas segala pembenaran. Ideologi yang pertamanya menyokong majunya kaum buruh malah berujung kekejaman oleh para tentara Uni Soviet. Afghanistan yang sedang gagap berideologi harus menelan lagi paksaan ideologi baru. Apa yang dilakukan Uni Soviet jelas bertentangan karena yang terjadi di lapangan sebenarnya hanya nafsu kekuasaan sebagai pertarungan Negara adidaya dengan AS sehingga segala hal yang berhubungan dengan Amerika dimusnahkan. Itu terjadi pada pihak Afghan di segala aspek sampai-sampai pada hal-hal budaya pop seperti musik. Di novel ini seorang musisi modern menjadi seperti anjing oleh tentara Rusia hingga akhirnya tewas menggenaskan.

Dalam aksinya para penjajah dengan sesukanya memetakan aliran ideologi para penduduk tanpa jelas kriterianya. Dengan menggunakan cecunguk dari Afghanistan sendiri, tentara Uni Soviet telah membantai begitu banyak jiwa yang terindikasi tak berafiliasi pada komunis. Mereka diam-diam menguping pembicaraan orang lain. Komentar kecil yang terlontar saat menunggu penjahit mengupas baju bisa mengirim seseorang ke penjara bawah tanah Poleh-Charki. Keluhan tentang pelaksanaan jam malam yang dilontarkan di hadapan tukang daging bisa mengantarkan seseorang menghabiskan waktunya di balik jeruji, di balik hadapan moncong senapan klashinov. Kejadian ini berlangsung begitu lama sehingga Afghanistan menjadi Negara tanpa masa depan karena sibuk perang.

Hingga akhirnya pada 1989, Uni Soviet meninggalkan Afghanistan. Perang terus berkecamuk, kali ini antar warga Afghan sendiri, kaum Mujahiddin melawan pengikut Najibullah, pemerintah boneka Soviet. Gelombang pengungsi Afghan terus membanjiri Pakistan. Pada tahun itu pula perang dingin berakhir dan Tembok Berlin dirubuhkan. Namun di tengah kekacauan itu, Afghanistan terlupakan. Kabul saat itu jadi rebutan antara faksi. Ibukota Afghanistan ini jatuh ke tangan Massoud, Rabbani dan kelompok Muhajiddin antara 1992-1996. Taliban memenangkan pertikaian 1996. Pada masa Taliban inilah muncul lagi satu ideologi yang makin memperparah keadaan yakni fanatisme. Mulanya memang semua orang di Afghanistan menyambut Taliban dengan suka cita. Warga menari di jalanan dan menyapa prajurit Taliban seperti pahlawan, memanjat tank mereka dan berfoto bersama. Namun itu hanya berjalan sesaat. Tanpa diduga Taliban melakukan hal-hal yang tak masuk akal atas nama agama dengan memerangi rakyat Afghan sendiri. Permainan layang-layang diharamkan dan 2 tahun setelah berkuasa mereka membantai suku Hazara yang beraliran Syiah.

Taliban juga melakukan ketidakadilan pada kaum perempuan. Itu terjadi ketika istri Hassan berbelanja di pasar. Dia membeli sesuatu, namun karena penjualnya agak sedikit tuli dia bersuara agak keras. Hal itu terdengar oleh tentara Taliban dan langsung menghampiri dan memukuli sembari mengatakan bahwa Kementerian Kesusilaan melarang wanita bersuara keras. Karena Hassan adalah Hazara, ancaman kematian senantiasa menimpanya hingga akhirnya ia mati dengan ditembak kepala bagian belakang oleh Taliban karena identitas Hazaranya.

Fanatisme sempit ini juga diterapkan pada cara berpakaian. Afghan laki-laki diwajibkan memakai pakol sedang wanita memakai burqa dan laki-laki harus berjanggut sepanjang dada yang mereka anggap sesuai syariat. Jelas ini suatu pemahaman yang salah dari paham fanatisme yang dianut dengan mengatasnamakan syariah. Di sisi lain para prajurit Taliban malah menasbihkan hal-hal tertentu hanya pada mereka seperti dimana hanya Taliban yang bisa menikmati daging kambing. Dalam keseharian operasional pun mereka berpatroli dengan sangat kejam seperti orang kehausan untuk membunuh. Mereka terus memancing rakyat untuk berbuat kesalahan dan dengan begitu mereka bebas menindas sampai dengan membunuh. Ini makin menjadi pemandangan sehari-hari sehingga yang terlihat hanya seorang anak bersama ibunya tanpa ayah. Sebagian besar ibu pun lebih memilih menumpangkan anaknya di panti asuhan yang kondisinya menyedihkan karena wanita juga dilarang bekerja sehingga tak ada biaya untuk memenuhi kebutuhan. Seorang ayah telah menjadi suatu sesuatu yang langka di masa Taliban.

Pada masa itu ada satu kebiasaan yang gemar sekali dilakukan oleh Taliban yaitu prosesi perajaman kepada para pezina saat jeda istirahat pertandingan sepakbola. Setelah wasit membunyikan peluit turun minum, pertunjukan tambahan segera dimulai. Dua truk merah berbak terbuka memasuki stadion melalui gerbang. Seorang wanita dengan terbungkus burqa hijau duduk di salah satu bak truk, sementara seorang pria dengan mata tersekap duduk di bak truk lain. Kedua truk berjalan mengelilingi lapangan seolah-olah membiarkan seluruh penonton memperhatikan mereka. Truk berhenti di belakang gawang yang telah menyediakan dua lubang. Kemudian datang lagi satu truk berisi pasukan Taliban. Mereka memasukkan kedua pezina ke masing-masing lubang sedalam dada. Kemudian berbicaralah seorang ulama dengan melafalkan surat Alquran yang panjang. Lalu ulama itu berceramah mengenai keharusan menegakkan Syariat kehendak Allah dan Nabi Muhammad. Lalu dimulailah acara inti dimana seorang pria memungut batu dan memperlihatkannya pada penonton lalu melemparkannya pada para pezina sampai akhirnya daging dan darah berserakan. Pertunjukan pun selesai.

Peristiwa ini secara naluriah jelas suatu tindakan yang bersifat sadisme yang makin menjauhkan Islam sebagai agama yang damai. Itu terjadi karena fanatisme sempit yang tak bisa menyaring dan menerjemahkan hukum Allah sehingga terjadi salah tafsir di mana perlu dilakukan peninjauan lebih dulu. Karakter yang merepresentasikan ideologi fanatisme ini ternyata tak lain adalah Assef. Seorang pengagum Hitler yang menjelma menjadi Taliban. Jelas di sini bahwa Taliban telah menjadi wadah baginya untuk melampiaskan hasrat fasisme yang dianutnya. Terang sekali bagaimana perselingkuhan ideologi fasisme dengan fanatisme yang berupa Taliban.

Dalih Syariat itulah yang digunakannya. Menurutnya, ‘’Menegakkan keadilan pada masyarakat adalah pertunjukan terhebat. Drama. Ketegangan. Dan yang terbaik di antara semuanya adalah pendidikan massal. Kau takkan mengerti makna kata pembebasan hingga kau melakukannya, berdiri di hadapan seruangan target, membiarkan peluru melayang, membiarkan dirimu mengetahui bahwa dirimu lebih unggul, lebih baik dan lebih mulia. Mengetahui bahwa dirimu telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan.’’ Begitulah upaya pembenaran yang dilakukannya. Tampak nyata ia menggabungkan ideologi fasisme ala Hitler dengan fanatisme sempit sehingga merasa melakukan sesuatu atas kehendak Tuhan.

*) Bayu Agustari Adha, Tutor bahasa Inggris di EasySpeak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez