Sutan Takdir Alisjahbana
http://majalah.tempointeraktif.com/
Berikut ini adalah jawaban untuk tulisan Taufik Abdullah dan Arief Budiman (TEMPO, 24 Mei), Goenawan Mohamad dan Abdurrahman Wahid (TEMPO, 31 Maret), Sutardji Calzoum Bachri dan Umar Kayam (TEMPO, 7 Juni), dan Daoed Joesoef (TEMPO, 14 Juni).
APABILA Taufik Abdullah dalam karangan Kenang, Kenanglah Polemik Kebudayaan menganggap bahwa dalam merumuskan identitas Indonesia dalam Polemik Kebudayaan itu saya adalah ‘anak kandung dari Sumpah Pemuda’, ia meletakkan pertukaran pikiran itu dalam perspektif yang benar. Segala usaha saya seperti menerbitkan Pujangga Baru jelas berpokok pada pikiran Sumpah Pemuda. Pujangga Baru bukan saja berjuang untuk bahasa dan kesusastraan Indonesia, tetapi juga untuk menimbulkan suasana kebudayaan yang melingkupi seluruh Indonesia.
Dalam hubungan perbedaan kenyataan dan suasana yang disebabkan oleh perjalanan waktu 50 tahun, tepat sekali Taufik Abdullah berkata, “Yang menjadi soal dewasa ini bukan lagi ‘Semboyan yang Tegas’ seperti yang diucapkan waktu itu, yaitu bahwa kita mesti mengasah otak Indonesia setajam-tajamnya, membangkitkan pribadi-pribadi Indonesia dan mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin, tetapi sekarang ini yang diperlukan adalah ‘Strategi yang Jelas’ untuk mencapai yang dicita-citakan dalam Semboyan yang Tegas.”
Orang-Orang Miskin
Sementara itu, Arief Budiman menyesali saya dengan mengatakan bahwa saya meletakkan pemikiran dalam konteks yang universal dan tidak dalam konteks sebuah sistem. Rasionalisme dalam sistem kapitalisme katanya lain dari dalam sistem sosialisme. Meskipun keduanya bersifat rasionalis, komitmen sistem kapitalis adalah modal sedangkan dalam sistem sosialis rasionalisme ditujukan untuk memberi kesejahteraan kepada orang-orang yang miskin.
Tentang hal ini hendak saya katakan bahwa sesungguhnya Polemik Kebudayaan ketika itu belum sampai membicarakan sistem dan ideologi. Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif (dikuasai oleh nilai ilmu dan nilai ekonomi yang melahirkan teknologi) dan yang saya namakan kebudayaan ekspresif (kebudayaan tradisional kita yang dikuasai oleh nilai agama dan nilai seni). Yang pertama berdasarkan kerasionalan pikiran, sedangkan yang kedua berdasarkan intuisi, perasaan, dan imajinasi.
Arief Budiman mempertentangkan individualisme, sebagai dasar dari kapitalisme yang hendak mengumpulkan harta bagi individu, dengan sosialisme yang hendak menaikkan kesejahteraan rakyat. Kedua sistem ini dipertentangkan dalam lingkupan kebudayaan progresif atau modern yang dikuasai oleh kerasionalan. Jelas bahwa Adam Smith dan Marx sama-sama adalah anak dari kebudayaan progresif. Hal ini baik dijadikan lanjutan Polemik Kebudayaan sebagai pemikiran untuk masa depan.
Bagi saya jelas bahwa kapitalisme dan sosialisme, yang kedua-duanya telah mencapai jalan buntu itu, mesti melalui transformasi dalam suatu sintesis yang baru dalam suatu hubungan organisasi dunia yang dewasa ini telah disatukan oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Satu hal lagi yang hendak saya sampaikan kepada Arief Budiman berhubung dengan ucapannya bahwa orang tradisional itu pun rasional. Jika perkataan rasional itu ingin diartikan seluas-luasnya, maka kita tiba pada pengertian rasional pada tingkat yang lain, yang tiada berwatas. Dalam hubungan ini si agamawan mempunyai logikanya tetapi jelas bahwa logika agama berbeda dari logika ilmu dan logika ekonomi.
Goenawan Mohamad mengemukakan tanggapannya tentang Polemik Kebudayaan dengan judul yang sangat menarik: Beberapa Tusuk Sate dan Segelas Rum. Goenawan benar ketika menganalisa bahwa optimisme dalam tahun 1930 itu adalah optimisme sebelum pengantin baru oleh orang-orang yang tak boleh tidak mesti percaya akan diri dan kemungkinan usahanya untuk mengatasi ketertinggalan bangsanya yang amat jauh. Setelah Kemerdekaan ternyata optimisme sebelum Kemerdekaan itu, seperti dikatakan oleh Goenawan, banyak di antaranya yang rontok. Residu kebudayaan lama ternyata tetap menebal. Beban sejarah dalam bentuk kebudayaan yang dilihat dari kebudayaan modern bersifat kurang aktif, kurang dinamis, kurang produktif, rupanya tetap menjadi beban yang berat.
Goenawan mengemukakan bahwa akibat keterbelakangan kita, yaitu kemiskinan, keterbelakangan dalam kecerdasan dan ekonomi sekarang ini menjadi belenggu yang baru. Dikutipnya Tawney yang mengibaratkan orang yang terus-menerus dalam air setinggi leher. Satu gerak saja yang salah dan seombak kecil saja menendang, ia akan tenggelam. Di sini Goenawan tiba pada sikap determinisme sosial dan ekonomi. Siapakah yang mesti dan akan dapat mengubah posisi celaka rakyat kita selain daripada kita sendiri? Dan perubahan sendiri itu tak boleh tidak mestilah bersifat perubahan jiwa, perubahan pemandangan hidup, perubahan cara berpikir. Kita mesti menjadi manusia baru yang dinamis dari dalam diri kita sendiri. Itulah yang dinamakan oleh Lindworsky Motiven-Kultur: berikan kepada orang yang lesu, apatis, dan putus harapan itu motif baru, cita-cita baru, dan ia akan menjadi manusia baru yang akan mengangkat dirinya dari lumpur tempat ia hampir tenggelam.
Zaman lampau Goenawan mengutip Joseph Livenstone yang mengatakan bahwa konsep tradisional ltu tidak dengan sendirinya hilang apalagi hilang 100%. Itu jelas. Tetapi jelas pula bahwa konsep tradisional itu tak mungkin dijadikan pusat perkembangan baru kita dalam dunia modern yang dikuasai oleh kemajuan ilmu, teknologi, dan kemajuan industri. Unsur-unsur kebudayaan tradisi itu mungkin, malah pasti ada yang akan tinggal sebagai sisa-sisa zaman lampau, tetapi ia jangan menahan tumbuhnya jiwa kebudayaan baru yang penuh keaktifan.
Juga Abdurrahman Wahid menganggap bahwa baik yang mau mempromosikan modernisasi maupun yang menjajakan tradisionalisme sama-sama tidak berinak pada kenyataan yang berkembang. Menurut dia, sekarang ini aspek seremonial dari kebudayaan tradisi telah dimodernisasi, yaitu dieksploitasi oleh industri pariwisata. Demikian pula kebudayaan modern telah menyadari pentingnya integrasi organik antara nilai-nilai lama dan budaya baru. Masalah pokoknya bukan lagi rasionalitas harus diterima atau ditolak, melainkan bagaimana ia digunakan untuk mendorong munculnya kreativitas dari tradisi. Kekreatifan itu sekarang menjadi mandek, katanya, karena timbul kerutinan.
Di sini jelas bahwa Abdurrahman Wahid telah mengatasi polemik itu, dan berusaha menarik perhatian pada kemandekan perkembangan kebudayaan kita dewasa ini karena segala sesuatu telah menjadi rutin. Sekarang ini kehidupan kebudayaan dilanda oleh rutinisme dalam bentuk birokrasi pemerintah yang menahan bangkitnya kekreatifan dan penciptaan yang baru. Karangan Zeus, Eros, Siti Jenar, dan Parikesit yang ditulis oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri, membawa soal Polemik Kebudayaan ke tempat yang agak berlainan, meskipun masih tetap relevan. Dikatakannya bahwa sebenarnya soal Polemik Kebudayaan telah selesai dalam rumusan buku Social and Cultural Revolution in Indonesia, tempat saya berkata bahwa soal kita yang penting sekarang adalah bagaimana mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaan lama ke dalam kebudayaan baru.
Sebenarnya kalau saya mengatakan kebudayaan tradisi itu harus diintegrasikan dalam kebudayaan baru, hal itu artinya kebudayaan tradisi itu mesti mengalami transformasi. Dalam hal yang demikian yang diambil dari kebudayaan yang lama itu adalah unsur-unsur lahirnya, bentuk dan caranya. Tapi semuanya harus berubah menjadi penjelmaan jiwa kebudayaan modern yang, seperti kita tahu, dikuasai oleh kemajuan ilmu, ekonomi, dan teknologi. Di sini kelihatan bahwa Sutardji kurang memahami pengertian kebudayaan sebagai suatu struktur.
Tiap-tiap kebudayaan itu mempunyai konfigurasi nilai-nilainya yang menentukan struktur dan arahnya sendiri, dan kebudayaan modern adalah kebudayaan yang berbeda sekali nilai-nilai dan strukturnya, bukan hanya dari kebudayaan Abad Pertengahan di Eropa, tetapi juga dari segala kebudayaan tradisi yang bersifat keagamaan. Kebudayaan modern yang bersifat sekuler itu mementingkan tanggung jawab manusia, hasil pemikiran dan pekerjaan manusia dalam usahanya menguasai alam.
Bahasa Asing
Sutardji berkata bahwa generasi kini lebih besar kepercayaan dirinya dari generasi sebelumnya. Kenyataannya adalah sebaliknya. Pada pikiran saya, banyak orang hendak kembali kepada kebudayaan tradisi, terutama sekali karena kebudayaan modern yang melingkupi seluruh dunia terlalu sulit untuk mereka pahami. Kebudayaan modern itu terlampau besar, terlampau kompleks dan rumit, sehingga tak mudah memahami dan menguasainya sebagai keseluruhan, apalagi kalau kita tidak menguasai bahasa asing. Perubahan berlaku dalam tiap-tiap masyarakat, menurut pemandangan Umar Kayam. Selalu lambat, oleh karena tak bisa dielakkan ada suatu keterikatan kepada kebudayaan tradisi yang sedikit banyaknya menghalangi lompatan kepada kebudayaan negara kebangsaan yang baru, malah yang masih mesti didirikan.
Umar Kayam mengemukakan bahwa dalam perubahan itu tiap-tiap masyarakat mempunyai jadwalnya sendiri, temponya sendiri. Dalam karangannya yang berjudul Dari Mahak Dumuk ke Indonesia, Umar Kayam menunjukkan proses yang sedang berlaku dalam masyarakat suku Dayak itu. Proses menuju kepada negara kebangsaan yang bersifat keindonesiaan itu sudah mulai berjalan. Dan dalam hal ini, katanya, hendaklah kita adil, memberikan kepada tiap-tiap masyarakat itu temponya sendiri.
Nyata sekali Umar Kayam seorang yang sabar melihat proses berjalan, sedangkan saya gelisah hendak mempercepat proses itu. Tetapi kemudian dikemukakannya juga bahwa meskipun masuk ke dalam kebudayaan baru, yaitu kebudayaan Indonesia, tak dapat dielakkan akan bangkit suatu Renaissance kebudayaan tradisi itu. Kebangkitannya bukan dalam bentuk yang lama tetapi dalam jiwa keindonesiaan. Tentang yang terakhir ini sesungguhnya inilah yang saya harapkan. Sebab, bagi saya, dalam tiap-tiap kebudayaan itu yang terpenting adalah jiwanya, sikap hidupnya, cara berpikirnya, dan nilai-nilai tujuannya. Adapun bahan-bahan dan alat-alat boleh saja berasal dari mana saja, apalagi dari kebudayaan tradisi itu sendiri.
Dr. Daoed Joesoef mempertahankan bahwa kebudayaan Indonesia seperti diterangkan menurut penjelasan UUD ’45 sama sekali tidak sekacau seperti yang saya nyatakan, sebab katanya penjelasan itu jelas menyatakan ke arah mana usaha kebudayaan Indonesia harus dikembangkan, untuk apa usaha itu dilakukan, dan di mana sumber bahan-bahan kebudayaan itu harus dicari, dan pemandangan itu tidak picik. Kekacauan penjelasan UUD ’45 itu telah kelihatan kepada kita apabila kata-katanya saja kita analisa. Apakah artinya kebudayaan timbul sebagai usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya? Dikatakan pula bahwa usaha kebudayaan harus menuju kemajuan budaya, dan persatuan. Sekaliannya adalah permainan kata yang bersifat tautologi.
Tiga perkataan yang pada dasarnya sama dipakai dengan kekaburan pengertian dan kekacauan pikiran, yaitu katakata kebudayaan, budi daya, dan budaya. Lagi pula, apakah kebudayaan lama dan kebudayaan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di seluruh Indonesia? Saya mau bertanya beda “lama” dan “asli”, dan saya ingin tahu bagaimana modus operandinya untuk menentukan puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah. Kalau puncak-puncaknya saja terhitung kebudayaan Indonesia, bagaimana dasar-dasarnya? Cukupkah puncak tidak berdasar?
Bangsa Belanda Jelas bahwa pengertian kebudayaan tidak jelas bagi orang yang merumuskan UUD ’45 itu. Dr. Daoed Joesoef, yang mengatakan bahwa penjelasan UUD ’45 itu tidak kacau, menghendaki pengolah kebudayaan kita meneliti nilai-nilai yang mana yang telah memungkinkan kita selamat (survive) dari dahulu sampai sekarang dan nilai-nilai mana yang dapat membuat kita maju (progress) di hari mendatang. Dan selanjutnya ia berkata bahwa sebagai makhluk manusia yang kini mengelompok menjadi satu bangsa kita mempunyai satu masa lalu yang pantas dibanggakan. Tidak sedikit pun disadari oleh Dr. Daoed Joesoef bahwa dalam kebudayaan kita yang lama yang menjelmakan sikap hidup, mentalitas, dan cara berpikir kebudayaan itu, bangsa-bangsa di Indonesia ini menjadi makanan yang empuk bagi bangsa Belanda yang kecil. Itu tak dapat kita banggakan. Dan harus kita pahami dan sadari betul-betul hukum sebab-akibat yang menentukannya.
Bangsa Belanda yang datang menjajah ke sini kebudayaannya telah berubah dari kebudayaan ekspresif (yaitu yang dikuasai oleh perasaan dan kepercayaan agama). Untuk mencapai kebudayaan progresif yang dikuasai ilmu, teknologi, dan kemajuan ekonomi itu, jiwa, sikap hidup, cara berpikir, serta nilai-nilai bangsa Indonesia mesti berubah. Sikap hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai kebudayaan lama, yang menyebabkan nenek moyang kita terperosok dalam penjajahan bangsa Belanda yang begitu kecil haruslah ditinggalkan. Perbedaan antara kebudayaan progresif dan ekspresif cukup besarnya, sehingga memberi arti kepada perbedaan Indonesia dan praIndonesia yang dapat dibandingkan dengan perbedaan zaman Islam dan zaman Jahiliahnya. Malah di sini dapat kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa warga negara keturunan Cina yang mempunyai tradisi, sikap hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai lain dari bangsa pribumi kita dengan mudah dapat melebihi bangsa pribumi Indonesia sekarang. Bukan hanya di lapangan ekonomi, tetapi juga di lapangan kecerdasan dan kemajuan pendidikan.
Dr. Mulyani Martania, dosen ilmu jiwa Universitas Gadjah Mada, yang beberapa tahun yang lalu mengadakan penyelidikan tentang motivasi murid-murid SMA di Yogyakarta, tiba pada kesimpulan bahwa motivasi anak-anak keturunan Cina lebih besar dari motivasi anak-anak Jawa. Dalam hubungan ini jelaslah bahwa saya setuju apabila kita mengadakan penelitian kebudayaan, tetapi penelitian itu hendaklah berdasarkan konsep-konsep pikiran yang jelas dan relevan. Lagi pula, kebudayaan Indonesia itu hendaklah diletakkan di tengah-tengah proses amalgamasi dan globalisasi kebudayaan-kebudayaan di dunia dewasa ini, yang oleh kemajuan ilmu dan teknologi batas-batasnya makin lama makin tidak berarti.
21 Juni 1986
Dijumput dari: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1986/06/21/KL/
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1986/06/21/KL/mbm.19860621.KL35303.id.html
http://majalah.tempointeraktif.com/
Berikut ini adalah jawaban untuk tulisan Taufik Abdullah dan Arief Budiman (TEMPO, 24 Mei), Goenawan Mohamad dan Abdurrahman Wahid (TEMPO, 31 Maret), Sutardji Calzoum Bachri dan Umar Kayam (TEMPO, 7 Juni), dan Daoed Joesoef (TEMPO, 14 Juni).
APABILA Taufik Abdullah dalam karangan Kenang, Kenanglah Polemik Kebudayaan menganggap bahwa dalam merumuskan identitas Indonesia dalam Polemik Kebudayaan itu saya adalah ‘anak kandung dari Sumpah Pemuda’, ia meletakkan pertukaran pikiran itu dalam perspektif yang benar. Segala usaha saya seperti menerbitkan Pujangga Baru jelas berpokok pada pikiran Sumpah Pemuda. Pujangga Baru bukan saja berjuang untuk bahasa dan kesusastraan Indonesia, tetapi juga untuk menimbulkan suasana kebudayaan yang melingkupi seluruh Indonesia.
Dalam hubungan perbedaan kenyataan dan suasana yang disebabkan oleh perjalanan waktu 50 tahun, tepat sekali Taufik Abdullah berkata, “Yang menjadi soal dewasa ini bukan lagi ‘Semboyan yang Tegas’ seperti yang diucapkan waktu itu, yaitu bahwa kita mesti mengasah otak Indonesia setajam-tajamnya, membangkitkan pribadi-pribadi Indonesia dan mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin, tetapi sekarang ini yang diperlukan adalah ‘Strategi yang Jelas’ untuk mencapai yang dicita-citakan dalam Semboyan yang Tegas.”
Orang-Orang Miskin
Sementara itu, Arief Budiman menyesali saya dengan mengatakan bahwa saya meletakkan pemikiran dalam konteks yang universal dan tidak dalam konteks sebuah sistem. Rasionalisme dalam sistem kapitalisme katanya lain dari dalam sistem sosialisme. Meskipun keduanya bersifat rasionalis, komitmen sistem kapitalis adalah modal sedangkan dalam sistem sosialis rasionalisme ditujukan untuk memberi kesejahteraan kepada orang-orang yang miskin.
Tentang hal ini hendak saya katakan bahwa sesungguhnya Polemik Kebudayaan ketika itu belum sampai membicarakan sistem dan ideologi. Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif (dikuasai oleh nilai ilmu dan nilai ekonomi yang melahirkan teknologi) dan yang saya namakan kebudayaan ekspresif (kebudayaan tradisional kita yang dikuasai oleh nilai agama dan nilai seni). Yang pertama berdasarkan kerasionalan pikiran, sedangkan yang kedua berdasarkan intuisi, perasaan, dan imajinasi.
Arief Budiman mempertentangkan individualisme, sebagai dasar dari kapitalisme yang hendak mengumpulkan harta bagi individu, dengan sosialisme yang hendak menaikkan kesejahteraan rakyat. Kedua sistem ini dipertentangkan dalam lingkupan kebudayaan progresif atau modern yang dikuasai oleh kerasionalan. Jelas bahwa Adam Smith dan Marx sama-sama adalah anak dari kebudayaan progresif. Hal ini baik dijadikan lanjutan Polemik Kebudayaan sebagai pemikiran untuk masa depan.
Bagi saya jelas bahwa kapitalisme dan sosialisme, yang kedua-duanya telah mencapai jalan buntu itu, mesti melalui transformasi dalam suatu sintesis yang baru dalam suatu hubungan organisasi dunia yang dewasa ini telah disatukan oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Satu hal lagi yang hendak saya sampaikan kepada Arief Budiman berhubung dengan ucapannya bahwa orang tradisional itu pun rasional. Jika perkataan rasional itu ingin diartikan seluas-luasnya, maka kita tiba pada pengertian rasional pada tingkat yang lain, yang tiada berwatas. Dalam hubungan ini si agamawan mempunyai logikanya tetapi jelas bahwa logika agama berbeda dari logika ilmu dan logika ekonomi.
Goenawan Mohamad mengemukakan tanggapannya tentang Polemik Kebudayaan dengan judul yang sangat menarik: Beberapa Tusuk Sate dan Segelas Rum. Goenawan benar ketika menganalisa bahwa optimisme dalam tahun 1930 itu adalah optimisme sebelum pengantin baru oleh orang-orang yang tak boleh tidak mesti percaya akan diri dan kemungkinan usahanya untuk mengatasi ketertinggalan bangsanya yang amat jauh. Setelah Kemerdekaan ternyata optimisme sebelum Kemerdekaan itu, seperti dikatakan oleh Goenawan, banyak di antaranya yang rontok. Residu kebudayaan lama ternyata tetap menebal. Beban sejarah dalam bentuk kebudayaan yang dilihat dari kebudayaan modern bersifat kurang aktif, kurang dinamis, kurang produktif, rupanya tetap menjadi beban yang berat.
Goenawan mengemukakan bahwa akibat keterbelakangan kita, yaitu kemiskinan, keterbelakangan dalam kecerdasan dan ekonomi sekarang ini menjadi belenggu yang baru. Dikutipnya Tawney yang mengibaratkan orang yang terus-menerus dalam air setinggi leher. Satu gerak saja yang salah dan seombak kecil saja menendang, ia akan tenggelam. Di sini Goenawan tiba pada sikap determinisme sosial dan ekonomi. Siapakah yang mesti dan akan dapat mengubah posisi celaka rakyat kita selain daripada kita sendiri? Dan perubahan sendiri itu tak boleh tidak mestilah bersifat perubahan jiwa, perubahan pemandangan hidup, perubahan cara berpikir. Kita mesti menjadi manusia baru yang dinamis dari dalam diri kita sendiri. Itulah yang dinamakan oleh Lindworsky Motiven-Kultur: berikan kepada orang yang lesu, apatis, dan putus harapan itu motif baru, cita-cita baru, dan ia akan menjadi manusia baru yang akan mengangkat dirinya dari lumpur tempat ia hampir tenggelam.
Zaman lampau Goenawan mengutip Joseph Livenstone yang mengatakan bahwa konsep tradisional ltu tidak dengan sendirinya hilang apalagi hilang 100%. Itu jelas. Tetapi jelas pula bahwa konsep tradisional itu tak mungkin dijadikan pusat perkembangan baru kita dalam dunia modern yang dikuasai oleh kemajuan ilmu, teknologi, dan kemajuan industri. Unsur-unsur kebudayaan tradisi itu mungkin, malah pasti ada yang akan tinggal sebagai sisa-sisa zaman lampau, tetapi ia jangan menahan tumbuhnya jiwa kebudayaan baru yang penuh keaktifan.
Juga Abdurrahman Wahid menganggap bahwa baik yang mau mempromosikan modernisasi maupun yang menjajakan tradisionalisme sama-sama tidak berinak pada kenyataan yang berkembang. Menurut dia, sekarang ini aspek seremonial dari kebudayaan tradisi telah dimodernisasi, yaitu dieksploitasi oleh industri pariwisata. Demikian pula kebudayaan modern telah menyadari pentingnya integrasi organik antara nilai-nilai lama dan budaya baru. Masalah pokoknya bukan lagi rasionalitas harus diterima atau ditolak, melainkan bagaimana ia digunakan untuk mendorong munculnya kreativitas dari tradisi. Kekreatifan itu sekarang menjadi mandek, katanya, karena timbul kerutinan.
Di sini jelas bahwa Abdurrahman Wahid telah mengatasi polemik itu, dan berusaha menarik perhatian pada kemandekan perkembangan kebudayaan kita dewasa ini karena segala sesuatu telah menjadi rutin. Sekarang ini kehidupan kebudayaan dilanda oleh rutinisme dalam bentuk birokrasi pemerintah yang menahan bangkitnya kekreatifan dan penciptaan yang baru. Karangan Zeus, Eros, Siti Jenar, dan Parikesit yang ditulis oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri, membawa soal Polemik Kebudayaan ke tempat yang agak berlainan, meskipun masih tetap relevan. Dikatakannya bahwa sebenarnya soal Polemik Kebudayaan telah selesai dalam rumusan buku Social and Cultural Revolution in Indonesia, tempat saya berkata bahwa soal kita yang penting sekarang adalah bagaimana mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaan lama ke dalam kebudayaan baru.
Sebenarnya kalau saya mengatakan kebudayaan tradisi itu harus diintegrasikan dalam kebudayaan baru, hal itu artinya kebudayaan tradisi itu mesti mengalami transformasi. Dalam hal yang demikian yang diambil dari kebudayaan yang lama itu adalah unsur-unsur lahirnya, bentuk dan caranya. Tapi semuanya harus berubah menjadi penjelmaan jiwa kebudayaan modern yang, seperti kita tahu, dikuasai oleh kemajuan ilmu, ekonomi, dan teknologi. Di sini kelihatan bahwa Sutardji kurang memahami pengertian kebudayaan sebagai suatu struktur.
Tiap-tiap kebudayaan itu mempunyai konfigurasi nilai-nilainya yang menentukan struktur dan arahnya sendiri, dan kebudayaan modern adalah kebudayaan yang berbeda sekali nilai-nilai dan strukturnya, bukan hanya dari kebudayaan Abad Pertengahan di Eropa, tetapi juga dari segala kebudayaan tradisi yang bersifat keagamaan. Kebudayaan modern yang bersifat sekuler itu mementingkan tanggung jawab manusia, hasil pemikiran dan pekerjaan manusia dalam usahanya menguasai alam.
Bahasa Asing
Sutardji berkata bahwa generasi kini lebih besar kepercayaan dirinya dari generasi sebelumnya. Kenyataannya adalah sebaliknya. Pada pikiran saya, banyak orang hendak kembali kepada kebudayaan tradisi, terutama sekali karena kebudayaan modern yang melingkupi seluruh dunia terlalu sulit untuk mereka pahami. Kebudayaan modern itu terlampau besar, terlampau kompleks dan rumit, sehingga tak mudah memahami dan menguasainya sebagai keseluruhan, apalagi kalau kita tidak menguasai bahasa asing. Perubahan berlaku dalam tiap-tiap masyarakat, menurut pemandangan Umar Kayam. Selalu lambat, oleh karena tak bisa dielakkan ada suatu keterikatan kepada kebudayaan tradisi yang sedikit banyaknya menghalangi lompatan kepada kebudayaan negara kebangsaan yang baru, malah yang masih mesti didirikan.
Umar Kayam mengemukakan bahwa dalam perubahan itu tiap-tiap masyarakat mempunyai jadwalnya sendiri, temponya sendiri. Dalam karangannya yang berjudul Dari Mahak Dumuk ke Indonesia, Umar Kayam menunjukkan proses yang sedang berlaku dalam masyarakat suku Dayak itu. Proses menuju kepada negara kebangsaan yang bersifat keindonesiaan itu sudah mulai berjalan. Dan dalam hal ini, katanya, hendaklah kita adil, memberikan kepada tiap-tiap masyarakat itu temponya sendiri.
Nyata sekali Umar Kayam seorang yang sabar melihat proses berjalan, sedangkan saya gelisah hendak mempercepat proses itu. Tetapi kemudian dikemukakannya juga bahwa meskipun masuk ke dalam kebudayaan baru, yaitu kebudayaan Indonesia, tak dapat dielakkan akan bangkit suatu Renaissance kebudayaan tradisi itu. Kebangkitannya bukan dalam bentuk yang lama tetapi dalam jiwa keindonesiaan. Tentang yang terakhir ini sesungguhnya inilah yang saya harapkan. Sebab, bagi saya, dalam tiap-tiap kebudayaan itu yang terpenting adalah jiwanya, sikap hidupnya, cara berpikirnya, dan nilai-nilai tujuannya. Adapun bahan-bahan dan alat-alat boleh saja berasal dari mana saja, apalagi dari kebudayaan tradisi itu sendiri.
Dr. Daoed Joesoef mempertahankan bahwa kebudayaan Indonesia seperti diterangkan menurut penjelasan UUD ’45 sama sekali tidak sekacau seperti yang saya nyatakan, sebab katanya penjelasan itu jelas menyatakan ke arah mana usaha kebudayaan Indonesia harus dikembangkan, untuk apa usaha itu dilakukan, dan di mana sumber bahan-bahan kebudayaan itu harus dicari, dan pemandangan itu tidak picik. Kekacauan penjelasan UUD ’45 itu telah kelihatan kepada kita apabila kata-katanya saja kita analisa. Apakah artinya kebudayaan timbul sebagai usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya? Dikatakan pula bahwa usaha kebudayaan harus menuju kemajuan budaya, dan persatuan. Sekaliannya adalah permainan kata yang bersifat tautologi.
Tiga perkataan yang pada dasarnya sama dipakai dengan kekaburan pengertian dan kekacauan pikiran, yaitu katakata kebudayaan, budi daya, dan budaya. Lagi pula, apakah kebudayaan lama dan kebudayaan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di seluruh Indonesia? Saya mau bertanya beda “lama” dan “asli”, dan saya ingin tahu bagaimana modus operandinya untuk menentukan puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah. Kalau puncak-puncaknya saja terhitung kebudayaan Indonesia, bagaimana dasar-dasarnya? Cukupkah puncak tidak berdasar?
Bangsa Belanda Jelas bahwa pengertian kebudayaan tidak jelas bagi orang yang merumuskan UUD ’45 itu. Dr. Daoed Joesoef, yang mengatakan bahwa penjelasan UUD ’45 itu tidak kacau, menghendaki pengolah kebudayaan kita meneliti nilai-nilai yang mana yang telah memungkinkan kita selamat (survive) dari dahulu sampai sekarang dan nilai-nilai mana yang dapat membuat kita maju (progress) di hari mendatang. Dan selanjutnya ia berkata bahwa sebagai makhluk manusia yang kini mengelompok menjadi satu bangsa kita mempunyai satu masa lalu yang pantas dibanggakan. Tidak sedikit pun disadari oleh Dr. Daoed Joesoef bahwa dalam kebudayaan kita yang lama yang menjelmakan sikap hidup, mentalitas, dan cara berpikir kebudayaan itu, bangsa-bangsa di Indonesia ini menjadi makanan yang empuk bagi bangsa Belanda yang kecil. Itu tak dapat kita banggakan. Dan harus kita pahami dan sadari betul-betul hukum sebab-akibat yang menentukannya.
Bangsa Belanda yang datang menjajah ke sini kebudayaannya telah berubah dari kebudayaan ekspresif (yaitu yang dikuasai oleh perasaan dan kepercayaan agama). Untuk mencapai kebudayaan progresif yang dikuasai ilmu, teknologi, dan kemajuan ekonomi itu, jiwa, sikap hidup, cara berpikir, serta nilai-nilai bangsa Indonesia mesti berubah. Sikap hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai kebudayaan lama, yang menyebabkan nenek moyang kita terperosok dalam penjajahan bangsa Belanda yang begitu kecil haruslah ditinggalkan. Perbedaan antara kebudayaan progresif dan ekspresif cukup besarnya, sehingga memberi arti kepada perbedaan Indonesia dan praIndonesia yang dapat dibandingkan dengan perbedaan zaman Islam dan zaman Jahiliahnya. Malah di sini dapat kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa warga negara keturunan Cina yang mempunyai tradisi, sikap hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai lain dari bangsa pribumi kita dengan mudah dapat melebihi bangsa pribumi Indonesia sekarang. Bukan hanya di lapangan ekonomi, tetapi juga di lapangan kecerdasan dan kemajuan pendidikan.
Dr. Mulyani Martania, dosen ilmu jiwa Universitas Gadjah Mada, yang beberapa tahun yang lalu mengadakan penyelidikan tentang motivasi murid-murid SMA di Yogyakarta, tiba pada kesimpulan bahwa motivasi anak-anak keturunan Cina lebih besar dari motivasi anak-anak Jawa. Dalam hubungan ini jelaslah bahwa saya setuju apabila kita mengadakan penelitian kebudayaan, tetapi penelitian itu hendaklah berdasarkan konsep-konsep pikiran yang jelas dan relevan. Lagi pula, kebudayaan Indonesia itu hendaklah diletakkan di tengah-tengah proses amalgamasi dan globalisasi kebudayaan-kebudayaan di dunia dewasa ini, yang oleh kemajuan ilmu dan teknologi batas-batasnya makin lama makin tidak berarti.
21 Juni 1986
Dijumput dari: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1986/06/21/KL/
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1986/06/21/KL/mbm.19860621.KL35303.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar