Nurel Javissyarqi **
http://sastra-indonesia.com/
Bismillahirrohmanirrohim, saya awali makalah ini. Sebelumnya maaf
pengantarnya panjang, lantaran saya perlu sesuaikan tema yang sudah
tertandai. Anggaplah sebab musababnya materi kan tersampaikan atau
asbabul wurud, demi dapati pijakan realitas kata-kata nan terwedar.
Kebetulan saya tengah hijrah di bumi Reog, memang tak jauh dari tanah
kelahiran Lamongan yang kini terpijak, ibu pertiwi jiwa-raga ini. Tetapi
bagaimana pun suasana hijrah taklah menyenangkan, ada rindu mungkin
sedalam kerinduan para muhajir ke tanah suci, seperti mendamba surga di
bawah telapak kaki ibu.
Hal mengharukan, peroleh angin dari dataran dulunya tempat bermain;
adakah ini berkah hukum jarak waktu berselisih? Setidaknya, sebelum
hijrah hanya peroleh undangan seminar di luar kota, bagi saya ini luar
biasa atau diluar kebiasaan, apalagi bertema “Guru Profesional Pembentuk Karakter Generasi Anak Bangsa.”
Yang jelas jauh dari pengalaman sejak belia, dimana baru mengerti abjad
kelas V Ibtidaiyah, serta membenci orang-orang yang tekun belajar.
Hanya saja, saya diselamatkan wejangan sang guru masa itu, “jika ingin peroleh ilmu manfaat, hormati guru dan buku,” tersebut
baru sadar pentingnya baca di bangku kelas II Aliyah, pun masih saya
pelajari dengan pola tak lepas dari gejolak pencarian jati diri.
Yang tersanjung sekaligus grogi disematkan di belakang nama saya,
‘penyair dan budayawan Lamongan,’ di sebelah narasumber lain yang titel
kesarjanaannya rangkap-rangkap, lalu ada bisikan, ‘gitu saja kok repot.’
Saya diingatkan petuah santri Gebang Tinatar, Tegalsari, Jetis,
Ponorogo, santrinya Kyai Ageng Hasan Besari; H.O.S. Cokroaminoto; “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Lalu
teringat keilmuan para santri Mbah Hasan Besari lainnya, Pakubuwono II,
pujangga R. Ng. Ronggowarsito. Ini menegur saya sebelas tahun lewat
sempat berkelana di Tegalsari, kini pun bernafas di bekas daerah
kerajaan Lodaya, dengan raja Prabu Singobarong bersama Iderkala tempo
dulunya.
Dan terngiang makolah Ki Hajar Dewantara, “Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani,” kurang-lebih tafsirannya: “Jadi seorang pemimpin kudu sanggup
memberi suri tauladan orang-orang sekitarnya. Seorang ditengah
kesibukannya, patut membangkitkan kemauan lingkungan. Yang mengikuti,
harus memberi dorongan moral semangat bekerja.” Lantas, apa masih ada
nafasan ruh bebulir mutiaranya? Kita sengaja, setengahnya, abai terhadap
pencetus gugusan bintang di bencah sendiri, terpukau wacana kekinian,
entah dari bebangsa Barat atau para tokoh yang belum teruji dalam
kehidupannya?
Para imam serta iman melekat di dada kita, tidak tersekat datangnya
ilmu dari mana, asal ruhaniahnya bersambung kesadaran beribadah. Sepaham
al Kindi dan para ulama’ tempo dulu, tidak segan belajar pada
pengetahuan bangsa Yunani, tentu patut mengoreksi atas kemerosotannya
kini, seakan diambil alih bebangsa berwatak militan terhadap nilai
kebudayaannya sendiri, misalkan Jepang. Nusantara kini sekakek-nenek
berpakaian necis kemrompyang perhiasannya, tidak sadar datangnya senja, kekayaan negara dirampok habis-habisan dibawa keluar, kaum pribumi tak kalah menggasak
apa saja yang tak mendatangkan manfaat di pekuburannya. Ini dapat
dibuktikan di lembaga-lembaga pertaniah, pendidikan, pemerintahan dst,
yang tidak pantas disandingkan Dasar Negara, “Kemanusiaan yang adil dan beradab?” Namun saya yakin, ada sekuntum kembang teratai di rawa-rawa!
Pemandangan di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Fattah, Siman,
Sekaran, Lamongan, tak asing bagi saya. Setidaknya tujuh tahun silam
menyebarkan buku-buku stensilan karya sendiri di sini, peristiwa itu
mendatangkan kepengen berbicara seperti sekarang. Perasaan kesemsem
ini hampir persis kala mendapati buku musik di toko loakan Jalan
Semarang, kota Surabaya, yang terstempel perpustakaan pribadi Setya
Yuwana Sudikan (mungkin ada pencuri dari rak-nya, buku itu sering saya
ambil referensi beberapa bulan ini untuk menganalisa esainya Ignas
Kleden), yang menjadi ingin berjumpa, dan rasanya keberuntungan bertemu
di STKIP PGRI Ponorogo sedang memberi kuliah tamu. Membuat berhasrat
mengikuti kuliahnya, tapi dia bilang sungkan, mungkin karena melihat saya mengisi waktu menantinya di depan mahasiswa. Lalu saya keluar ruangan untuk menghormatinya.
***
Kebetulan saya bawa Kitab Minhajul ‘Abidin, karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, saya petik saja pendapatnya bagi pijakan pemikiran: “Ibadah
merupakan buah dari ilmu, faedah dari umur, hasil usaha dari
hamba-hamba Allah Swt yang kuat-kuat, bekal berharga dari para aulia,
jalan nan ditempuh kaum bertaqwa, bagian bagi mereka yang mulia, tujuan
bagi orang bercita-cita menggelora, syiar golongan terhormat,
pencariannya orang-orang mukmin, pilihan bagi yang memiliki pandangan
benar, sebagai jalan kebahagiaan menuju surga.”
’Ibadah merupakan buah dari ilmu.’ Pendidikan kita kerap
menekankan hafalan, definisi atau kulit luar sampai kemandekan tertentu
membuat malas mengetahui makna luas, memahami maksud tujuannya, jadilah
senandung merdu tapi terlepas ruhaniah kerjanya. Istilah Jawa-nya hanya
tahu Qur’an garing, dan kurang mengetahui Qur’an teles,
lincah mengurai kata-kata, tapi tak meresap ke jantung kesadaran
hayati, itu tantangan berat sekaligus payah. Mungkin maksud sang guru,
lewat hafalan kan merembes jika didzikirkan di tengah kembara,
tapi kala pencarian ilmu hanya ditujukan materi kedudukan semata,
fatallah di hari kemudiannya.
Kala mendengar khotbah, khatib selalu mewanti-wanti
meningkatkan iman dan taqwa, tapi bagaimana jika tiada tantangan
pendewasaan, tanjakan memeras keringat-otak. Olehnya hidup merupakan
ujian, setiap goda rayuan tipu daya kebodohan diri pun perangai luar,
pantas ditelisik berulang, yang luput kembali ke rel keselamatan. Di
sini mutu terwujud tempaan berkali-kali; kesabaran, ketekunan,
keinsyafan, ketundukan dan selalu perbaharui syahadat, dari rupa-rupa
syikir terhadap benda, patung-patung para tokoh, paham berseberangan,
demi iktikat luhur bermuwajjahah kepada-Nya.
Saat ilmu sepohon kehidupan, akar-akarnya kehendak pencarian sumber
mata air hayati, mencecapi saripati di dasar bumi, merawat ruh di antara
bencah tanah-udara sekeliling keberadaannya, batang menegak ke atas,
dahan cecabang menjulur digoyang angin merindangkan pengembara,
daun-daun kering terjatuh menjelmah humus. Siklus ini menerus kekuncup
kembang bermekaran, terjadilah bebuahan manis pula pahit, yang kurang
berwibawa digariskan tak menghasilkan buah, sebagian diberi ketahanan
batang melewati pergantian musim perubahan jaman, tapi parahnya berbuah
busuk dimakan ulat kebinasaan. Olehnya langkah keliru patut diluruskan,
lalu lebih mewaspadai jalan-jalan nafasan ruh demi rahmat sekalian alam.
Para ulama’ tempo dulu dalam irama sama berpendapat, ‘ilmu hanya bisa diperoleh dengan keterbatasan, dan berpayah-payah,’ seakar
pepohon berketekunannya menyibak pori-pori bebatu pegunungan paling
keras, laksana tetesan air melubagi batu besar bercekungan, selain
senandungkan suara merdu di atas watak keistiqomahan tetes demi tetes,
membaca sampai terkantuk-kantuk pahami keilmuan. Bahasa saya, menghajar
diri sendiri sebelum memberi pelajaran, memaksa kedirian mencintai
kitab-kitab kandungan ilmu pengetahuan, menyerap limpahan isi,
mengamalkan sekiranya kuat melaksanakan. Ini berulang sebolak-baliknya
hati naik-turunya iman oleh perihal melingkupi dalam mematangkan mental,
agar kelak hanya tertunduk terhadap kebenaran.
Kedua, ‘ilmu berfaedah dari umur’ yang terus memakan usia
kian terkikis bak lintasan angin mengajak kembarai mega-mega takdir, tak
tahu kapan terjadinya hujan, tersumbatnya uap tiada gemawan,
meranggasnya kemarau, ini berputar bersama gesekan musim perubahan.
Antara itu, ingatan, teguran, hardikan serta elusan tipis, memberi
siratan bagi terjaga, mawas umur bertambah. Dan manfaat bacaan itu
mengekang, menimbang, mengolah, pencegahan, jika terlepas kembali meski
tertatih menuju jalur kebahagiaan.
Kita bersilaturahmi kepada orang-orang berilmu untuk meminta saran,
wajah para beliau sumringah mengucurkan berkah manfaat, suguhkan faedah
pada diri sendiri pula sesamanya. Setiap yang datang pelajaran, dan
melintasi wewarna pemikiran peroleh manfaat kesejahteraan merambahi
penghayatan, menyebarkan benih pepadian, tidak rela mati sebelum
mengenyangkan lambung pengertian, sebatang pohon pisang tidak rela
ditebang membusuk sedurung menumbuhkan tandanan pisang. Pohon
faedah menyerupai ondak-ondakan tangga menjulang menerobos sab-sab
langit, menujah lapisan bumi menemui inti; hati yang menjangkau
kepada-Nya.
Ilmu berfaedah bagi umur, yang merupakan rentangan waktu, jatah
tempo, lencung adanya titik klimak, perjanjian di alam ruh atas lamanya
kembarai bumi. Atau kesepakatan tak terlihat tapi kudu
ditepati, ini hadirkan waswas, kesiapan, menanti jemputan maut. Putaran
waktu terkadang lamban, di sisi terasa cepat, bergelayut lena, di
pinggiran kecurigaan; menempati penelitian bagi menghayati sesalan,
haru, cemburu. Pada gilirannya pekerti menjelma percikan pengertian,
mengunyah sedalam kesadaran hakiki, sehingga kekecewaan bisa
ditanggulangi, tidak parah ke jurang kemurungan.
Tanpa ilmu, umur sekadar permainan, tapi di batas tertentu sandiwara
hidup menempati keilmuan bagi memikirkan, pikiran itu pengendali
kesadaran. Atau dengan sadar menemukan bentuk kesepakatan, seperti
pembuatan tanggul kincir air, arus sungai dialirkan ke ladang, waktu
menyusuri malam-siang. Kata ‘faedah’ itu sesuatu yang menempel pun bisa
berpindah secahaya menerangi ruangan pula menerobos lubang kunci.
Faedah, dapat diresapi dengan penerimaan tulus, sebentar paksaan,
hardikan di atas ketentuan. Serupa ketetapan, setiap hubungan tak lebih
timbangan yang naik-turun dipengaruhi pembawanya.
Ketiga ‘hasil usaha dari hamba-hamba Allah Swt yang kuat-kuat.’ Tanpa
kesungguhan membaja, para ulama’ tak mungkin menulis puluhan buku,
ratusan kitab, ribuan bulir pemikiran yang tiap babnya tak hanya menawan
juga menyanggupi nalar-nalar bersuntuk menyimak. Berapa waktu beliau
pergunakan mencipta lelembar penghayatan? Padahal masanya di batas
peperangan, minimnya lampu penerang, tapi berpenuh seluruh teresapi diri
kepada rentangan kembara. Pertemuan sesama pencari, ketawadhu’an tanpa
pamrih, melampaui terangnya lampu sorot alun-alun. Para beliau pembawa
lentera abadi bagi generasi selanjutnya yang tak padam lantaran
keikhlasan.
Para beliau menerangi malam menyalakan siang, menahan haus lapar,
tapi betapa segar jiwanya oleh keyakinan hari balasan. Di jaman keemasan
Islam, tak sekadar memegahkan bangunan masjid, juga perpustakaan
bersegala kegiatan penerjemahan, menelitian sedari lelintasan temuan di
belahan berbeda di muka bumi. Berkumpul membahas capaian-capaian agung
serta pergeseran terjadi dimasanya, tidak disibukan kebutuhan pribadi,
tapi kemaslahatan umat oleh panji-panji keimanan. Ini bertolak belakang
dari sekarang, tiap informasi tak disaring kritis, alat-alat komunikasi
membuat terlena menghilangkan waktu permenungan. Kemalasan membaca,
sering bertanya tanpa tindakan lanjut, karakter keadaban luhung seakan
berangsur-angsur lenyap dalam tiap pribadi mukmin.
Saya sering bayangkan kala melihat tiang-tiang masjid besar, dinding
gedung pesantren bertingkat tapi sunyi penghuningan itu sebagiannya
dibelanjakan untuk menerbitkan kitab-kitab klasik, menafsirkan pemikiran
para ulama’ dan merutinkan kajian keilmuan. Seyogyanya belajar pada
burung-burung pandai berkicau lihai terbang, selain terampil mencipta
sarang. Menggratiskan biaya pendidikan kepada murid dari kelurga miskin,
memfasilitasi lebih yang berprestasi, memberi jam pelajaran tambahan.
Di mana perangkat pendidikan tak memanjakan, namun memacu kreatifitas,
tentunya keindahan itu dapat diciduk dari sumur pengetahuan, lelembar
peradaban dari jaman keemasan.
Kelenjar itu bekerja baik jika merawat silaturahmi, saling menopang
dari pemerintahan, perdagangan, pendidikan &st. Sesekali diperlukan
kritikan pedas bagi bidang yang lalai tanggung jawab, sehingga melangkah
cepat mengumandangkan syiar, gaungan ini sekadar mimpi jika pohon-pohon
pendidikan tak disirami tirta nurani fitri. Dari para beliau mengaji
bebulir pemikirannya, tak hanya jadi warisan berharga juga dinikmati
sanubari umat. Di pundak pendidiklah teremban, pahlawan tanpa tanda
saja, bukan menyogok untuk perolehan lebih tanpa memikirkan kemajuan anak didik.
Selanjutnya, ‘ilmu bekal berharga dari para aulia,’ sebab
kedekatan para beliau kepada Allah Swt, dipercayai merintis jalan lurus
di bumi, jalur menuju kebahagiaan. Karena hati para beliau disucikan,
senantiasa mensuci dengan amalam mendekatkan diri, sampai gerak,
pandangan, apapun atas ridho-Nya. Ketika mengungkap sesuatu, selaksa air
mengalir berkebeningan, seluruh indera bersaksi bersegenap informasi
masuk bak nyanyian, umpama penari mengikuti tabuhan gending Ilahi. Para
sahabat mencatat lekuk kearifannya, dan pena mengalir betapa menderas
melalui jalur kebenaran sudah tertandai dalam kitab suci, pikiran
dituntun hatinya dibimbing cahaya Sang Maha Cahaya.
Selalu terjaga, dijaga kekasih-Nya dari merintangi dalam berkasih
mesra, batinnya i’tikaf, jiwanya mengembarai alam-alam ciptaan-Nya,
sukmanya keluar-masuk lelapisan langit-bumi, raganya ada menyendiri pula
ada berbaur tapi tak tercederi kemurnian kasihnya dalam menyeluruh,
sayangnya betapa menyentuh. Jalan aulia sepantasnya bagi landasan
pendidikan demi mendewasakan iman, mengisi ruh berkeyakinan, tapak
menuju kesenangan abadi membawa wajah-wajah berseri, kaki-kaki ringan
bagai bocah girang mendamba ibundanya. Setiap yang datang-pergi
menggesek perasaannya bergetar, memecah menaburi persendian jiwa
sebintang ambyar mengisi ruang semesta raya.
Sebagai manusia pernah ditantang bebentuk keraguan, namun cepat-cepat
mendekatkan diri memohon petunjuk kepada Sang Pemilik Jalan,
beliau-beliau mendapati teguran kala lampaui kodrati, dipertemukan para
kekasih di mimbar dzikir sekumpulan lebah mengambil madu kembang
mengeluarkan zat penyembuhan. Untaian sholawat membumbung terbang
laksana laron memanjat cahaya, sayap-sayap badaniahnya terlepas, tapi
ruh menjumpai Pemilik Ruh. Tanpa para beliau, bumi gelap-gulita semuka
malam tiada bebintang, maka tak layak jika tak mensyukuri kehadirannya.
Mungkin tanpa para beliau, kita tak dilahirkan di atas bumi atau tidak
dicipta sama sekali. Munajat harum dari bibirnya menuntun umat pada
pengertian, memudahkan menyibak deduri rerumputan tajam, sampai
mendapati taman kemenangan.
Kelima, ‘jalan nan ditempuh kaum bertaqwa.’ Rasanya saya tak
pantas menuangkan kata-kata di lembar makalah ini dengan merujuk
pemikiran Imam al Ghazali. Di depan mata seakan tampak api menyala-nyala
siap melumat dosa-dosa saya, semoga dengan bersujud kepada-Nya, nyala
membara segera sirna, atau dingin perangainya sesejuk keridhoan-Nya. Ini
berliku jika hendak menuju jalan lurus kebenaran, ada memutari badan
gunung ke ketinggiannya, sebelum mencapai taman bunga. Laluan licin
mendaki, menanjaki tebing curam, berjumpa makhluk-makhluk buas, bekalnya
ketaqwaan tulus. Betapa hawa ketinggian sanggup menulikan telinga,
mengaburkan pandangan oleh kabut padat uap belerang. Dan tak sampai
kecuali atas izin-Nya, berkat kasih sayang-Nya melampaui murka-Nya.
Keenam, ‘ilmu, bagian bagi mereka yang mulia;’ kemuliaanya
turun-temurun, keutamaannya mencahayai, kecuali menolak kedatangannya.
Para mendidik dihiasi ketampanan ilmu, parasnya dicantikkan ilmu, para
pencari dinaungi sayap-sayap malaikat membentang dari ufuk timur hingga
barat. Dedaun bertasbih menyaksikan lelangkahnya, atas ilmu kebahagiaan
dapat diraih di dunia pula akhirat. Ilmu perhiasan berharga,
perbendaharaan tak habis ditimba, dengan kepasrahan menderas
menentramkan pemiliknya. Harta tak dapat dicuri itu ilmu, dengan
sembunyi selaksa diperkenan mendengar syairnya; barangsiapa kikir ilmu,
disempitkan dadanya sedari kegembiraan berlimpah. Ilmu mendatangkan
rizki juga menyalurkannya, mengurangi marabahaya, menanggulangi langkah
celaka. Dalam keilmuan terkandung kelezatan yang menghendaki jalan suci
menuju kehadirat Ilahi.
Ialah bagian hidup kaum mulia, sedang wewarna jasadi tak tentu
sembada. Namun sepapan dialog, cara bercanda, menghiasi diri memudahkan
laluan rumit, sebagai jamu sehat, kecuali yang melampaui kodratnya;
tetesan air hikmah itu telah ditakar Sang Maha Kuasa. Ialah pasangan
hidup pula syarat mendapati keturunan baik, ilmu itu pokok musabab,
tanpanya kesulitan takkan teratasi. Dapat pula berlaku balik, karenanya
kebejatan mudah dilaksanakan, penunjuk jalan lurus juga bercabang serta
berliku, hanya nasib baik / buruk menentukan langkahnya. Ilmu membuat
kagum sesama, dan bisa kendalikan pikiran lingkungannya (mengetahui yang
dibutuhkan), lalu menjadi raja meski tak bermahkota, lantaran di
dalamnya terkandung kekuatan, kewibawaan, kejayaan yang sanggup
mengurung bagai benteng kerajaan.
Ketuju, ‘tujuan bagi orang bercita-cita menggelora;’ awalnya
belajar, lalu temukan perihal luar biasa, indahnya membaca, lezatnya
paham, nikmatnya menganalisa. Sebab menyenangkan batin gembirakan jiwa,
diulang-ulang hingga menemukan sesudut pandang berkilauan, sukmanya
gemetar, ruh keluar-masuk bercampur membuai, di sini rasa ketagikan
meminta jatah. Bermula penasaran dan pertanyaan; apa, bagaimana, kenapa?
Kemudian pemilahan tempat-waktu, kesuntukan, ketundukan, kehusyukan,
menyetiai; pemberontakan, perjuangan, gairah tak habis-habisnya
melapangkan jalan, mencipta jalur sesuai karakter empunya. Karenanya,
jiwa pembawanya senantiasa muda, lantaran tahu hukum masa
mengabadikannya. Darinya, sketsa alam dijangkau indera terdekat, pemampu
memendek-panjangkan jarak, meringkas-mengurai terbang sesuka
pemiliknya, tentu tidak lepas seberapa tetesan air hikmah jatuh dari
jari kekuasaan-Nya.
Keanggunannya lebihi candu, sanggup menarik harta paling bernilai;
waktu, usia, kesempatan, tak sekadar menggadaikan juga pertukaran meski
merugi, hakikatnya tiada kerugian dalam perdagangan dengan ilmu. Telah
banyak bangsawan, para pedagang mengurbankan miliknya demi meraih
untaian kemewahannya, namun diberkahi kebangsawanan serta kejayaan jiwa.
Di antara itu dengan memegang tongkatnya, mampu mengembalikan yang
pernah sirna, pun kenyataannya; ia sabda-sabda melampaui masa, bulir
mutiaranya membahayai kesewenang-wenangan, tiran. Dan meski dibakar
lelembarannya, hakikannya kembali, sejauh penerusnya bertabah telusuri
jalanan sunyi, dimana para pendahulu pernah melalui.
Kepribadiannya dikjaya menanamkan kepercayaan dan keyakinan diri
pencarinya. Karena inti hidup sudah bersemayam dalam pengejawantahan,
para pembawanya tak gentar melintasi batas negara, batasan nalar pun
batas-batas keimanan, seakan dituntun meski penuh pergolayakan. Adanya
setarik-menarik energi semesta di dirinya, sebentuk peleburan gula
dipanasi bersama air dalam panci, diaduk sejenis membikin kembang gula,
bertambah mengental manis atas pusaran masalah bergerak cepat. Keadaan
itu menyadari sunatullah berlaku, juga hubungan dengan alam raya lebih
luas. Kesungguhan mencari menyentuh dinding kodrati, dan betapa
mengerahkan seluruh tenaga menyadari kelemahan manusiawi. Dari sana
menemukan pandangan, jadi pelajaran berharga pengembaraan menggelora.
Kedelapan, syiar golongan terhormat, ini upah sepadan yang
diperjuangkan, diantaranya berontak kepada penjajahan, bergerilya di
medan tempur sebelum berjuang terang-terangan, setelah cukup dirasai
sanggup kuasai tanah-waktu perjanjian yang telah dijanjikan. Kehormatan
ini tak dicarinya, sebagaimana tidak memilih ‘nasib buruk’ pernah
menimpanya; mula kesadaran lalu menimbang, meramu menjadi kukuh
bertahan, atau hampir semua dihitung, sehingga tidak berpribadi pangling
oleh kejutan perubahan. Tulisan ini ruhaniah judul yang bisa diudar
menguraikan nilai pengajaran, membentuk kepribadian umat atas kesadaran
inti yang dibetot dari akar niat, untuk ditanam di ladang lain, tentu
sudah mempelajari kebutuhan tanaman serta tanahnya, agar tumbuh subur
sesuai harapan.
Para beliau dalam perkumpulan masing-masing sesuai bidang ditekuni,
ada dipayungi plakat, ada pengembara tak terikat identitas. Tahap
tingkatannya begitu dalam sealur kedalaman pencarian, dan Tuhan Swt
pertemukan sesuai gelombangnya, meski sebagian terpental keluar atau
sedikit bergayuh seirama ombak pencarian luhur. Lebih terang
kesungguhan, kekhusyukan bisa dirasai yang sama mengalami. Dari itu
menjadi pelajaran naiknya tingkatan menginsyafi seberapa barunya
kembara, jelasnya tak terikat kedudukan pandangan indrawi, namun lebih
derajat batin temuan yang dilewatinya. Bahasa lain, mereka petarung di
hutan belantara misteri alam raya, sudah jauh lelangkahnya sedari gua
pertapaan. Hanyalah sekali tempo teringat datang sebentar di tanah
permenungan, jika mengalami goyah. Tapi lekas keluar menuju ramainya
pasar peradaban, untuk menguji jurus-jurus terbaru mematangkan sesuai
hukum nan tengah disibaknya.
Kesembilan, pencariannya orang-orang mukmin. Padanya ilmu
tak sekadar jalan pengetahuan, penglihatan hukum disaksikan, pandangan
di alam pemikiran, juga laku pencarian dengan kaki realitas, di sinilah
nalar turun sebagai hijab, yang sebelumnya terus mengikuti jalur
penelusuran. Dengan pelbagai ilmu pengetahuan, hati sudah tercetak,
telah disucikan memancarkan permenungan lama, akar-akar kian halus
menembus pori-pori bebatu. Langkahnya laksana kilat, semacam pecahan
cahaya tertabur di udara, wewarna dan titik-titik terjadi sejarak
bintang-gemintang berdaya tarik sesuai ketentuan. Lalu dari pancangannya
hati membaca, langkah memahami lewat uraian menandai capaian, sungai
mengalir melewati cela-cela batu, mengangkut ranting, dedaun kering,
hanyut tak melampaui tradisi alam hukum Tuhan, dimana jikalau berbentuk
ujaran-ujaran bagi bekal pencari kebenaran.
Karena ilmu mendatangkan bahagia, mengundang kemenangan, menarik
kejayaan dunia-akhirat. Maka para beliau tak gusar menumpas keraguan,
memukul kejahiliaan, mengangkat cahaya menyinari sekeliling, dan tidak
takabur oleh kebaikan-keburukan datang dari Sang Maha Kuasa, tentu
melalui pintu pertaubatan, pensucian diri berulang, istikomah dalam
kepasrahan, keikhlasan. Penulis hanya berteguh niat, marilah berdoa agar
kita mencapai jalan ke sana. Pada derajat ini ilmu tak sekadar nikmat
badani, lezat ruhani, bacaan dijadikannya amalam menerus dalam
pembelajaran, olah karena kita tak mungkin sempurna. Maka, bukalah pintu
lebar-lebar, bentangkan ruang tamu lapang, suguhkan rasa hormat, dan
menerima yang pahit, salah satu jalan ternikmat dirasai.
Sepuluh, pilihan bagi yang memiliki pandangan benar. Ini
hadir oleh mengetahui jalan-jalan, disamping tahu ketentuan-ketetapannya
memungkinkan langkah menuju pandangan benar. Iramanya terkadang
dipercepat, dipelankan, dipotong melintas memandang sorot lampu ilmu
pengetahuan. Ini dialog batin terdalam di antara pandangan mata,
terlebih dekat dari urat leher sendiri; detakan nadi, deraian jantung,
mata lurus ke letak bersudut, hati punjernya arah. Tetapi begitu, medan
yang ditempuh tak mudah meski telah ketahui, tanjakan, menurun, licin,
sudut cadas meruncing, mudah rumpil menjatuhan ingatan. Kiranya
kehati-hatian, kewaspadaan, mengulang-ulang niat kesucian tertanam dalam
agar hujamannya mendalam. Jika digambarkan lalui cela sempit di antara
tebing curam dikejar srigala hitam, tapi dengan kemantapan tekat,
keyakinan bulat, sebilah keris berlekuk iman, setelunjuk bersyahadat
dalam kesaksian.
Sebelum temukan ini, batin digusarkan angin keragu-raguan, waswas
tidak tenangkan segala gerak, lambang tak tertangkap, dibingungkan arah,
buyar pandangan mata, lubang telinga buntu, tak terasa selain
kebingungan memuncak. Namun dengan telaten mengudar benang sengkarut,
mengurai jalinan rumit, mengulur menemukan ketentuan menggembirakan,
yang tidak tercapai kecuali atas kehendak Allah Swt. Serasa nafas
senjakala mematangkan iman pada selimut petang menaburkan ketentraman,
desahan pekerti, hembusan angin dari taman kegembiraan. Aliran sungai
mengalir jernih, enak diteguk tenggorokan kehausan, kedahagaan merindu
manfaat tak hanya bagi diri-sesama, juga sekalian alam nan dirawat
setiap kaum beriman.
Akhirnya mencapai urutan sebelas, sebagai jalan kebahagiaan menuju surga. Maka sepatutnya para pendidik mencecapi ayat-ayat teles, di sisi ayat-ayat garing,
ditempuh sungguh dihayati yakin, diimani mendarah daging dan ruh,
sehingga bersambung kepada generasi-generasi mendatang. Dan pendidikan
dimungkinkan membentuk karakter kebudayaan madani, pribadi umat nan
tangguh sedari datangnya persinggungan, benturan kian keras
pertempurannya di medan akhir jaman. Semoga ini permenungan tidak
sebatas di sini, tetapi terus dipelajari di dalam diri, tiap gerak tak
lepas ilmu pengetahuan yang diraih, kaidah-kaidah disinauhi mencapai gaung pujian kehadirat Ilahi Robbi.
Kamis kliwon, senjakala awal dan akhir Nisfu Sya’ban 1433 H,
5 Juli 2012, Indonesia, Ponorogo, Tanah Jawa.
*) Makalah Seminar Pendidikan di kampus STITAF, Siman, Sekaran, Lamongan, Jawa Timur. Tertanggal 15 Juli 2012.
**) Nurel Javissyarqi, pengelana asal Lamongan, beberapa bukunya; “Balada-balada Takdir Terlalu Dini, (2001)” Kumpulan Esai-(kebudayaan)-nya “Trilogi Kesadaran, (2006)” dan “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri,(2011)” Antologi Puisinya “Kitab Para Malaikat, (2007)” &ll.
Pengelola Website www.sastra-indonesia.com dan www.pustakapujangga.com
(Penerbitan buku PUstaka puJAngga). Sementara ini tinggal di lingkungan
STKIP PGRI Ponorogo, Jawa Timur.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar