Gola Gong **
http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/
KETIKA saya membaca “Rinai Kabut Singgalang” (Rahima Intermedia, Januari 2011) karya Muhammad Subhan, langsung teringat sinetron. Ini bahan baku yang bagus untuk membuat sinetron, karena sangat cocok dengan selera pemirsa TV di negeri ini, yang senang dengan kisah mengharu biru. Di dalam dunia sinetron, ada istilah “soap opera convention”, yaitu tema popular seperti Cinderella syndrome, cinta terlarang, odyphus complex, petualangan, konflik dua keluarga, persahabatan, dan perselingkuhan. Tema-tema keseharian ini sangat digemari pemirsa sinetron di tanah air, karena merasa sangat dekat dengan kehidupan mereka.
PROBLEM SASTRA
Lewat Rinai Kabut Singgalang (RKS), saya terlempar ke masa lalu, saat Buya Hamka menjadi pelopor cerita romantis jenis ini. Saya tahu, banyak para penulis Minangkabau kini enggan menulis hal ini, karena rata-rata sudah (merasa) melampaui itu. Tidak apa-apa. Tapi, Muhammad Subhan menuliskan hal itu juga tidak apa-apa. Saya setuju dengan apa yang ditulis Damhuri Muhammad di kata pengantar buku ini, bahwa RKS sebagai bentuk “mempertahankan identitas roman berlatar alam Minangkabau”. Harus tetap diingat, penulis menulis karya (sastra) bukan untuk sesama penulis saja, tapi ada tujuan yang lebih besar, yaitu puluhan juta masyarakat yang belum membaca buku (sastra). Dengan cara memilah-milah pembaca buku (sastra), seperti halnya pemirsa di TV yang dipilah berdasarkan peringkat penghasilan, RKS mencoba meraih pembaca di kelas sosial-ekonomi mahasiswi, ibu-ibu, dan pembantu. Dengan cara seperti ini, sastra (apapun genrenya) pada suatu saat kelak, tidak lagi berjarak dengan masyarakatnya.
Persoalannya di negeri ini tidak semua berpendidikan tinggi (pintar) dan gemar membaca buku (sastra). Ini memang harus tetap dipikirkan para penulis (sastra). Perihal sastra berjarak dengan masyarakat (pembaca)nya dibuktikan penelitian Taufiq Ismail sepanjang Juli-Oktober 1997 dengan cara mewawancarai pelajar tamatan SMA di 13 negara. Pertanyaan yang diajukan adalah: berapa judul buku sastra wajib dibaca selama 3 tahun bersekolah? Rata-rata pelajar di luar Indonesia pembaca sastra, seperti di Thailand Selatan 5 judul, Malaysia dan Singapura 6 judul, Brunei 7 judul, Rusia 12 buku, Canada 13 buku, Jepang dan Swiss 15, Jerman Barat 22 judul, Perancis dan Belanda 30 judul, Amerika 32 buku, dan Hindia Belanda 25 buku. Sedangkan pelajar Indonesia “nol” membaca sastra sejak 1950 sampai 2011. Taufiq membandingkan, kewajiban membaca buku siswa tamatan AMS (SMA) Hindia Belanda dulu sebanyak 25 buku dalam 3 tahun. Juga ada bimbingan mengarang seminggu sekali, berarti 36 pertemuan setahun. Itu sama saja setiap pelajar Hindia Belanda selama 3 tahun bersekolah harus menulis 108 karangan. “Hasilnya luar biasa. Generasi Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Natsir, Syarifudin Prawiranegara,” cerita Taufiq Ismail. “Sekarang, para siswa mengarang ketika mau kenaikan kelas saja, sekali setahun mirip shalat Iedul Fitri,” tambahnya prihatin.
Itu tampak nyata di negeri ini dengan hanya diterbitkannya 10 ribu judul buku pertahun dan hanya diserap 1.000 judul oleh penduduk Indonesia yang jumlahnya 200 juta lebih itu. Berapa orang di Indonesia yang senang membaca buku? Saya pernah mengalami buku karangan saya (Balada Si Roy) dicetak lebih dari 100 ribu eksemplar (1990), Hilman Hariwijaya dengan “Lupus” lebih dari 1 juta eksemplar (1990), begitu juga di era 2000 dengan “Laskar Pelangi” (Andrea Hirata) dan “Ayat-ayat Cinta” (Habiburrahman el-Shirazy) di atas 1 juta ekemplar (tapi tetap belum menembus 1,5 juta). Bandingkan dengan jumlah penduduk di negeri ini. Jadi, jika sebuah judul buku bisa menembus angka keramat sebesar 2.000 eksemplar, penerbit sudah bernapas lega. Padahal, andai 1% saja yang rajin membeli buku (berarti 2 juta eksemplar), penulis di Indonesia akan kaya dan tentu akan leluasa mengeksplorasi karyanya. Akan lahir karya-karya yang beragam dan antara penulis – pembaca – penerbit terjadi komunikasi harmonis.
HIBURAN
Sastra pada dasarnya menghibur, seperti halnya sinetron. Perbedaannya, sinetron di Indonesia hadir setiap hari tanpa memedulikan logika cerita sehingga bikin perut terasa mual, sedangkan sastra berada di ruang-ruang rahasia dan berjarak dengan masyarakat. Persoalannya itu tadi, masyarakat di negeri ini tidak semuanya senang membaca apalagi membeli bukunya. Masyarakat yang intelektualnya tinggi lebih sedikit dibanding yang berpendidikan rendah, sehingga mereka tidak tertarik pergi ke toko buku atau perpustakaan. Mereka merasa cepat pusing jika dihadapkan pada buku-buku sastra dengan penggarapan serius. Paling-paling mereka hanya membaca sebagai hiburan saja.
Sebagai penulis saya termasuk membaca segala macam jenis sastra untuk menambah wawasan. Dalam proses membaca RKS, saya akan memakai pendekatan dari sisi film (TV). Rasa ketertarikan saya dimulai ketika membaca bab 1 (Duka di Kampung Pesisir, hlm 15). Muhammad Subhan memulai dengan sudut pandang “saya”, yang hendak menceritakan kisah RKS ini. Siapakah “saya”? Kemudian di akhir cerita, pembaca akan tahu bahwa “saya’ adalah tokoh Yusuf, sahabat karib tokoh utama, Fikri. Teknik ini tidak baru. Sudah banyak ditulis. Multatulli dengan “Max Havelaar’, misalnya. Saya juga pernah. Tapi, tetap saja menarik dan alurnya sangat filmis. Jika saya menulis skenarionya untuk sinetron, saya akan menulis dengan pembukaan gambar sebuah adegan tokoh Yusuf yang sedang memandangi tokoh Rahima, calon istri Fikri, yang hingga ajal menjemputnya, tidak bersedia disentuh, karena saking cintanya kepada Fikri yang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang. Teknik flash back yang akan saya pakai dan sudah sangat umum di dunia film (TV atau pun layar lebar).
Kemudian ada beberapa kelemahan intrinsik yang saya temukan. Misalnya, dalam alur cerita Fikri yang hendak dicelakai para pemuda kampung Kajai. Tokoh Yusuf disiksa oleh para pemuda (hlm 93) hingga tak sadarkan diri. Di kuburan Mak Safri (paman Fikri), saat Yusuf menghibur Fikri, tidak disinggung sama sekali persoalan ini (hlm 111). Begitu juga selama sebulan perjalanan waktu, polisi tidak berhasil mengendus ini. Kasus pembunuhan Mak Safri, Subhan selesaikan di bab 12 (Mendapat Orangtua Angkat, hlm 171) lewat surat Yusuf kepada Fikri, bahwa polisi sudah menangkap 2 pembunuh Mak Safri, yang juga menyiksa Fikri. Kalau saya jadi penulis, konflik ini akan saya garap sejak di bab 7 (Tragedi Berdarah, hlm 95). Ah, itu soal selera saya kira dan itu tidak mengganggu alur cerita secara keseluruhan. Tapi tetap saja akan menarik jika disinetronkan, konflik ini akan jadi plot point (suatu pristiwa yang menggerakkan cerita) yang menarik. Seperti halnya film layar lebar “Merantau”, dimana eksplorasi kerarifan lokal pencak silat ranah Minang mencuat di sini. Penonton kita (TV atau layar lebar) masih senang dengan tontonan berbau laga (film action).
Saya juga merasa terhibur ketika membaca RKS sepanjang perjalanan Serang-Palembang-Jambi-Tebo-Bukit Tinggi. Terutama penggambaran setting lokasi ranah Minangnya. Saya merasa sedang dibawa berwisata oleh tokoh Fikri. Saya yakin RKS akan jadi semacam panduan pariwisata bagi para pelancong keluarga. Ini akan sesuai dengan kesepakatan para pengeola TV, bahwa on air look di TV itu harus beauty. RKS tentu akan menyajikan panorama gambar yang sangat indah. Detail-detail alam Minangkabau akan enak di mata penontonnya. Saya yakin, DOP (pengarah gambar) akan tertantang memindahkan setiap kalimat keindahan Minangkabau di RKS ke pita filmnya.
Tentu RKS tidak hanya sekedar menghibur. Tetap saja Subhan dengan cara popular mengemas amanat kepada pembacanya lewat para tokoh rekaannya. Seperti halnya Ahmad Fuadi yang berasal dari Kampung Bayur, Maninjau, lewat novel “Negeri Lima Menara” (Gramedia), yang sudah terjual 170 ribu buku menyampaikan amanat “man jada wa jadaa” (yang bersungguh-sungguh akan berhasil) dan buku keduanya “Ranah Tiga Warna” (sudah 70 ribu buku) dengan “Man shabara zhafira” (yang bersabar akan beruntung). Di RKS, pembaca akan diingatkan, bahwa bersikap sabar seperti tokoh Fikri akan mendapatkan kebahagiaan tidak di dunia, tentu di akherat. Lewat tokoh Fikri, secara verbal, pembaca yang dibidiknya diingatkan untuk terus berbagi kepada sesama. Ini akan jadi ending yang sangat disukai pengelola TV, yaitu menguras air mata penonton.
MEDIA TELEVISI
Untuk bisa bangkit dari keterpurukan memalukan sebagai orang yang tidak membaca sastra, kita harus saling dukung-mendukung. Sesama penulis tidak boleh diskriminatif terhadap karya yang ditulis penulis lainnya, tapi justru harus terus menyediakan bahan bacaan dengan menuliskannya untuk seluruh lapisan masyarakat di negeri ini, yang berlatar belakang beragam. Cara mengenalkan sastranya bisa di mana saja. Di perpustakaan, di komunitas, di toko buku, di sekolah, di kampus, di koran, bahkan di televisi.
Ya, kita harus belajar dari penyelenggara TV. Selama ini kita — para penerbit dan penulis — sudah melupakan televisi (dan production house), yang sebetulnya sangat ampuh sebagai media ruang penyampai sastra kepada para penonton. Kita selalu menyalahkan televisi, yang sudah menyebarkan kebodohan lewat (logika) cerita sinetron. Saya yakin, jika pemirsa TV tahu, bahwa sinetron yang ditontonnya berdasarkan sebuah novel, mereka pasti akan membeli novelnya. Lihat saja yang terjadi pada “Laskar Pelangi” dan “Ayat-ayat Cinta”, setelah dilayarlebarkan, oplahnya terus meningkat. Buku trilogy saya; Pada-Mu Aku Bersimpuh, yang ditayangkan RCTI saat puasa 2001, ketika diterbitkan ulang dengan menggabungkannya menjadi judul “Cinta-Mu Seluas Samudra” memasuki cetakan ke-empat.
Sastra – apapun itu genrenya – memiliki peluang merebut ruang dan waktu emas (prime time) televisi, jika para pelakunya mau melakukan itu dan tidak menganggap tabu televisi. Sastra bisa menjadikan para penonton TV di negeri ini tercerahkan dan lepas dari kungkungan “mimpi di siang bolong”. Sastra bisa menyediakan bahan baku cerita dengan logika cerita yang tertib bagi televise, jika para pelakunya berbondong-bondong melamar jadi penulis scenario di TV dan para penerbitnya melakukan jejaring dengan TV.
Arswendo Atmowiloto dan Dedi Setiadi pernah melakukan itu di TVRI (80-an). Kemudian diteruskan pada era 90-an di beberapa TV swasta, tapi tidak berkelanjutan. Saya menyebutnya ini adalah “sastra TV” untuk menyaingi “sastra koran” di hari Minggu yang begitu dinanti warga Indonesia dari kelompok kecerdasan tinggi atau kaum inelektual.
Saya dan beberapa penulis pernah melakukan itu di Indosiar (1995), ketika pakem rumah produksi adalah “menjual mimpi” di ranah sinetron lewat sinetron ala Indihe dan Hongkong, saya mencoba berpijak ke bumi. Kemudian saya menjadi salah satu team creative di RCTI (1996 – 2008); mencoba menawarkan gagasan baru dalam bercerita di “sastra TV” (untuk menyaingi sastra Koran tadi), agar para penonton dari kelas CDE (menengah bawah = pembantu dan PRT) mendapat suguhan sinetron yang selain menghibur, juga tetap memaksa kaki mereka menapak di bumi. Bahkan novel saya yang berjudul “Pada-Mu Aku Bersimpuh” (Mizan, 2002) diangkat ke sinetron Ramadhan di RCTI dan mendapatkan penghargaan sebagai tayangan sinetron Ramadhan dengan cerita terbaik versi MUI pada waktu itu. Beberapa sinetron pernah beredar di TV dimana ceritanya berdasarkan novel; Lupus karya Hilman (Indosiar, 1997), Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha (SCTV, 2000), Al-Bahri karya saya (TV7, 2002), dan Siti Nurbaya karya Marah Roesli (TVRI, 1991).
Usaha ini saya rasakan dengan RSK. Target pembaca yang dibidik Subhan adalah para pelajar dan mahasiswi putri yang senang menonton sinetron dan ibu-ibu serta pembantu yang selalu setia di rumah sampai suami dan majikan pulang dari kantor sambil menonton sinetron. Ini ditegaskan Damhuri Muhammad di kata pengantar, bahwa buku ini “sesekali berpola sinetronik”.
Seperti saya tulis di atas, bahwa RKS sangat sesuai dengan tema-tema yang diusung dalam “soap opera convention”, yaitu bercerita tentang cinta seseorang ala “cinderella syndrome”; si miskin lewat tokoh Fikri kepada putri kaya bernama Rahima, walaupun pada akhirnya Fikri meninggal dunia dengan meminta kepada Rahima, agar mau menikah dengan Yusuf, sahabatnya.
WARNA LOKAL
Bagi saya, RKS adalah sebuah karya yang harus disupport, asalkan kita paham target pembacanya. Penerbit harus mampu mengatur strategi pemasaran dan penjualannya; yaitu untuk pembaca wanita mulai mahasiswi, ibu rumah tangga dan pembantu. Penerbit juga gencar melobi PH/TV. Penulis RKS atau penulis lainnya yang menulis buku dengan genre popular tidak perlu merasa minder di depan penulis yang selalu menulis untuk pembaca yang memiliki intektual tinggi atau dikategorikan sastra serius. Begitu juga penulis jenis karya itu tidak perlu merasa lebih unggul dari yang lainnya, karena ini persoalan pilihan. Yang harus dilakukan para penulis, adalah menulis saja dengan pilihan hatinya tapi memiliki satu tujuan; menghilangkan kebutaaksaraan membaca buku (sastra) di negeri ini seperti yang dikeluhkan Taufik Ismail. Dengan cara itu, saya yakin sastra tidak lagi berjarak dengan masyarakat.
TV adalah ruang yang harus diincar oleh penulis. RKS berpeluang sebagai sastra TV, karena memenuhi kriteria televisi, yaitu penderitaan dari tokoh Fikri yang terus-menerus sehingga akan mengakibatkan pemirsaTV terkuras air matanya, cinta sejati yang tersandung, intrik-intrik dari para tokoh, serta setting lokasi Minangkabau yang indah. Apalagi sekarang pemerintah menghimbau, agar tayangan sinetron harus menampilkan warna lokal. Di beberapa FTV kini mulai rajin diangkat cerita berlatar belakang kebudayaan lokal kita. RKS memiliki warna lokal yang kuat; yaitu kebudayan Minang yang matrilineal (garis ibu) lewat tokoh kakak Rahima, yaitu Ningsih, yang memisahkan Fikri si miskin dengan Rahima. Terutama setting lokal Minangnya yang kuat; pemandangan danau Maninjau, gunung Singgalang, dan lokal genuine lainnya.
Kita doakan saja semoga ada TV atau PH yang berminat mengangkat RKS ke sinetron atau film layar lebar di TV. Insya Allah.
**) Gola Gong adalah pengarang novel dan penulis scenario sinetron. Pernah bekerja sebagai creative di Indosiar (1995), dan RCTI (1996 – 2008). Kini menekuni dunia penerbian di Gong Publishing, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Indonesia, Dewan Pembina Forum Lingkar Pena, dan Pendiri Rumah Dunia (www.rumahdunia.net)
*) Makalah ini dipaparkan di acara “Bedah Novel ‘Rinai Kabut Singgalang”, Minggu, 3 April 2011, pukul 08.00 – 16.00 WIB, Graha Serambi Mekah, Padang Panjang.
PESAN SEGERA NOVEL INI: Caranya: Hubungi nomor 0819 9351 6937 atau 0813 7444 2075. Harga buku Rp 48.000/eks (ditambah ongkos kirim). Uang pembelian ditransfer ke rekening: BNI Cabang Bukittinggi No Rek. 0207005426, a.n. Fitri Kumala Sari. Add juga facebook Rinai Kabut Singgalang di rinaikabutsinggalang@yahoo.com atau rahimaintermedia@yahoo.com. Salam.
Dijumput dari: http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/07/gola-gong-novel-rinai-kabut-singgalang.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar