Untukmu: yang tersayang, yang terkasih
Dari: santrimu yang tak tahu diri
Muhammad Ali Fakih AR
http://mafasyrus-kerdasuma.blogspot.com/
Gus, malam ini lengang. Tak ada angin yang bersiur dan awan-awan berlayar indah di langit. Seperti malam satu tahun yang lalu, ketika kau mengimami shalat magrib kami dan sekitar jam 10 kau meninggalkan kami. Tidak mudah rupanya untuk tidak mengingat malam itu, 14 Maret 2007, yang sungguh bagi kami sangat membualkan.
Lihatlah, kami merayakan 1 tahun kematianmu. Kami pakai bahasa ‘merayakan’ karena, seperti yang dulu kau nyatakan sendiri, kematian lebih indah dari pada kehidupan yang serba fatamorgana ini. Jelasnya, kami merayakan “kehidupan” yang kau damba-dambakan itu.
Untuk mengenangmu, sesungguhnya kami tak pernah tahu apa yang harus kami lakukan. Kami hanya bersepakat untuk menembangkan lagu shalawatan yang kau ciptakan dan sering kau lantunkan (Madinah dan Cheng Ho) itu supaya dengan mudah kami mengingatmu. Dan kemudian seperti biasanya, diantara kami ada yang bertugas merefleksikan dunia dan kehidupanmu secara panjang-lebar dengan suara yang dipaksakan terbatah-batah agar kami semua tahu bahwa memang demikianlah yang dinamakan refleksi. Ketika itu kami mulai memejamkan mata bersama, dan meresapi kebersamaan kita dulu, kehangatanmu, kesantunanmu, kerianganmu, ke…ah, tak mungkin semuanya terwakilkan oleh kata. Serasa kami tak kuasa menahan isak jika semuanya terurai, terberai, dan kau benar-benar menjelma mimpi panjang kami. Kami hanya ingin kau hadir dalam lubuk kami dan tidak dalam bayangan kami yang terkadang menyesatkan.
Kami berbicara semau kami, gus. Tentang pesantren, tentang keluarga dan dirimu, tentang apa saja sepuas hati kami. Kami bisa saja menangis, tertawa, rikuh, atau sikap dan sifat lain karenanya. Dan kami tidak benar-benar tahu apakah kau melihat itu semua dengan sempurna. Tetapi keyakinan kami begitu kuat, bahwa kau akan selalu mengiringi kami setiap saat.
Dapat kami bayangkan, kau akan hadir malam ini. Seperti katamu sendiri, “aku selalu bersama kalian”. Entah – dalam bayangan kami – dengan apa kau telah menempuh perjalanan jauh dari Kediri, hanya untuk menghadiri acara kecil ini. Kau akan menganggap acara ini sangat berarti bagimu dan karenanya kau tertuntut hadir.
Jelas dalam bayangan kami, ketika kami semua memejamkan mata, kau hadir mengendap-ngendap di pintu dengan baju koko putih, songkok putih, sarung biru, dan sandal kulit yang talinya hampir copot – setelah kesukaanmu itu. Kau perlahan duduk di antara atau di tengah-tengah kami dan ikut komat-kamit membacakan kalimat shalawat yang sedang kami baca. Kau menitikkan air mata saat kau menatap kami yang sedang meratapmu. Barangkali kau ingin sekali membelai kami penuh kasih dan sayang, dan memberitahukan kami bahwa kau hadir dalam acara itu. Kau akan mengatakan,”mengapa kalian menangis. Aku di sini bersama kalian. Apa kalian menganggapku mati? Bisakah seseorang menafsiri hidup orang lain? Mengapa kalian cuek pada kedatanganku ini? Aku datang jauh-jauh dari Kediri?
Tapi kami akan terus menangis. Meski kau mengusap-ngusap kepala kami, kami tak akan betul-betul mampu memastikan usapan itu. Kami akan terus menangis, gus, dan tanpa seorang pun yang dapat menghalanginya. Seandainya kau memenuhi keinginan kami agar kematianmu itu hanya omong-kosong atau sementara atau barangkali kesalahan prediksi dokter semata atau indikasi apa saja yang penting kau kembali hidup dan berkumpul kembali bersama kami, mungkin kami akan sempurna menatapmu dan tidak akan pernah menangis lagi. Tahukah kau, gus? Kau ini sudah meninggal. Duniamu dan dunia kami jauh berbeda. Jadi jangan kau harap kami bisa menangkap kehadiranmu itu. Bukan karena apa, tetapi kami betul-betul buta akan duniamu. Kami hanya bisa menikmati dunia kami sendiri. Kami tidak sepertimu yang selalu mengaku bisa menemui orang yang sudah meninggal.
Sesungguhnya kami tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu ketika menatap kami semua yang hanyut dalam perenungan, sementara kau merasa sebagai tamu yang asing karena kedatanganmu tidak kami indahkan. Jika memang benar begitu, kami sangat kasihan padamu, gus. Kau merasa asing di tengah orang-orang yang telah kau besarkan. Tapi itulah yang memang sepatutnya terjadi, sekali lagi, duniamu dan dunia kami jauh berbeda. Kau dan kami, akan sama-sama merasa asing. Dunia kadang memang penuh teka-teki, gus.
Barangkali juga kau tidak akan tahu apa yang sedang berdiaspora dalam kepala kami. Ketika memejamkan mata, jangan pernah kau bayangkan, kepala kami terasa kosong dan tak ada sesuatu yang sedang berkecamuk di sana. Bahwa kami sama-sama berangkat menuju masa lalu ketika masih bersamamu. Kami berupaya meremajakan ingatan kami atas tragedi malam yang mencekam itu. Kematianmu.
Sungguh kami terkejut sekitar jam 21.30 saat Bu Har mengabarkan kepada kami bahwa kau tak sadarkan diri. Kami terkejut karena hal itu tak pernah terjadi kepadamu selama itu atau karena kau tidak pernah mengeluh sakit ketika mengimami shalat magrib. Keterkejutan itulah yang memaksa kami untuk meninggalkan senda-gurau kami dan langsung menuju rumahmu untuk memastikan kebenaran kabar Bu Har itu, tanpa sebersit pun perasaan “asing” dalam benak kami. Dengan mudahnya kami menggotong gempal tubuhmu ke dalam mobil yang telah dipesan oleh beberapa orang diantara kami dan langsung membawamu ke rumah sakit PKU Muhammadiah. Tak lama kemudian, sesuatu yang “asing” menyeruak kendang telinga kami sekitar jam 22.00, bahwa kau dinyatakan telah tiada.
Ah, kami kira dokter yang merawatmu itu adalah seorang pembual. Kami tak akan pernah percaya kalau kau betul-betul meniggal. Seandainya kami diberi kesempatan akan kami perintahkan dokter itu untuk memeriksamu kembali, barangkali prediksinya itu salah. Jika dia salah, mungkin tak segan-segan kami mendampratnya atau memukulnya, sekedar menghajar agar hal yang sama tidak akan dia ulangi lagi.
Tapi sayang kami tak punya wewenang. Kami hanya bisa meratap tak percaya di luar kamar rawatmu, menunggu kabar selanjutnya dari Pak Gendut dan Bu Maya. Setelah keluar dari kamar, informasi yang disampaikan mereka berdua kepada kami sama juga dengan informasi dokter tadi itu. Ah, kalian pembohong – benak kami. Semuanya tak dapat dipercaya. Sungguh kami betul-betul tak percaya, karena tak seperti biasanya ajal menjemput awaknya secepat itu. Baru setelah mata kami nyalang melihat tubuhmu dibalut sampir batik coklat, kami agak meragukan keyakinan itu. Serasa kami ingin mendekati tubuhmu dan memegang nadimu. Apakah benar jantungmu sudah tak berdetak?
Karena kami masih tak percaya, karena itu pula kami tak merasa kehilangan. Sedikitpun kami tidak menangis. Meski orang-orang menyiapkan pemandian buatmu, dan dirumahmu berderak orang-orang, masih saja kami tak percaya. Yang ada dalam kepala kami hanya bahwa yang dikatakan semua orang itu hanya omong-kosong belaka. Terus saja kami tertawa di dalam hati sambil berbisik-bisik, “Dikira kita nggak tahu kalau semua ini bohongan. Paling-paling setelah dimandikan, Gus Zainal akan bangkit lagi dan tertawa kepada khalayak, memberitahukan bahwa dia Cuma bermain-main saja.”
Tapi perkiraan kami meleset. Setelah kau dimandikan, kau tak bangkit-bangkit. Sampai orang-orang mengkafanimu, kau juga masih demikian. Mengapa begitu – benak kami. Bukankah semua ini hanya bualan? Mengapa gus Zainal mau dikafani, padahal dia masih hidup?
Meski mata kepala kami melihat kau dikafani, untuk memastikan kembali, kami bertanya pada Bu Maya, apakah Gus Zainal benar-benar meniggal? Tanpa kata-kata, dengan wajah muram bersimbah air mata, beliau hanya mengangguk lirih. Hingga dua kali Bu Maya mengguk, maka berderailah air mata kami. Kami baru percaya bahwa orang-orang berdatangan memenuhi halaman kantor KUTUB bukan untuk sekedar bermain-main. Mereka ingin menatapmu untuk yang terakhir kali. Tetapi sesungguhnya dalam benak kami tidak demikian. Perasaan kami masih abu-abu, apakah benar kau meninggal atau Bu Maya hanya membual?
Pertanyaan itu menemukan jawabannya di pagi hari sekitar jam 09.00, ketika orang-orang berderak memikul keranda ke dekat mobil yang dibawa oleh orang tuamu dari Kediri, dan memasukkan tubuhmu perlahan. Goncangan yang dahsyat terjadi dalam dada kami. Kami betul-betul tak dapat membedungnya. Apalagi ketika mobil itu bergegas dari halaman rumahmu, betapa isak kami meledak-ledak, air mata kami menyumbul deras bagai mata air di musim penghujan, dan harapan hidup kami hancur-lebur. Kami tak punya semangat hidup lagi. Masa depan bagi kami adalah lolong anjing yang menjijikkan. “Sang pembangun telah berpulang,” dada kami berdebar-debar.
Kini tragedi itu sudah satu tahun, gus. Berarti kami telah menjalankan amanatmu selama satu tahun pula. Padahal dalam perasaan kami, kau meninggal kemarin lusa. Kami tidak menyangka bahwa malaikat Mungkar dan Nakir telah menjagamu satu tahun penuh.
Selama satu tahun ini terlalu banyak yang harus disampaikan. Barangkali kau tak akan kuat menahan rasa haru dan tangis seandainya kami ceritakan pengalaman menggetirkan selama satu tahun pasca-kematianmu. Tak akan kuceritakan panjang-lebar tentang detik-detik menggetirkan itu. Kami hanya memberitahu bahwa rumah untuk pondok dan kantor KUTUB tidak bisa dikontrak lagi, kami sekarang ada di Cabeyan Panggungharjo Sewon Bantul dengan menempati rumah joglo pemberian seorang dermawan. Selama perpindaha itulah yang kami sebut sebagai detik-detik yang menggetirkan. Dengan bersusah-payah teman-teman telah mengusahakan tetap berdiri dan berjalannya pesantren, LKKY, dan penerbit KUTUB – warisan berhargamu. Santri senior menyusun konsep program, sementara yang junior berkerja praksis. Suatu pekerjaan yang sangat melelahakan. Selama itu kami baru sadar betapa beratnya perjuanganmu dalam membangun pesantren dan mendidik kami. Tetapi yang pasti perlu kau tahu, di bawah “bayang-bayang ruhmu” kami telah terbata-bata memikul semua warisanmu itu.
Kini suasana menjadi sangat berbeda. Kebahagiaan kita dulu tidak pernah kami rajut kembali. Tetapi ketahuilah, kami tetap hidup dalam sepenanggungan. Bu Maya, putra-putrimu, dan para santrimu telah betul-betul menjadi keluarga yang harmonis, meski tanpa raba-tanganmu. Kami masih meneruskan “puing-puing” warisanmu dan dengan sekuat tenaga akan menggapai apa yang kau cita-citakan terhadap kami. Doakan jalan-panjang kami, gus! Semoga kau bahagia di sana?
Teriring salam cinta-kasih dari kami semua!***
(Malam Jum’at, 14 Maret 2008).
Dijumput dari: http://mafasyrus-kerdasuma.blogspot.com/2008/05/surat-kepada-gus-zainal-arifin-thoha.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar