Sabtu, 23 Juni 2012

Menimbang Kembali Kasus Syekh Siti Jenar (I – II)

Walid Syaikhun
http://www.republika.co.id/

(I)
Pada abad ke-16 seorang wali Sufi harus menghadapi tuduhan sesat oleh Majelis Hakim kerajaan Islam Demak. Gara-gara tuduhan ini Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang, sang wali, harus menjalani hukuman mati dengan tikaman sebuah keris yang konon milik Sunan Jati Cirebon. Referensi Islam Indonesia telah membukukan Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sesat yang membangkang terhadap kepemimpinan Walisanga.

Istilah kafir, murtad, zindik dan atheis adalah tuduhan yang akrab dialamatkan kepadanya. Bahkan, dia telah menjadi simbol tokoh pembangkangan terhadap sistem yang telah dianggap absah. Itu sebabnya, Syekh Siti Jenar dinisbatkan sebagai tokoh kaum abangan — yang tak rela terhadap musnahnya ajaran nenek moyang setelah datangnya Islam.

Syekh Siti Jenar dianggap berdosa karena menyebarkan faham wihdatul wujud (manunggaling kawula gusti) kepada masyarakat yang waktu itu masih tergolong awam. Lebih fatal lagi adalah ucapannya Ama al-haq (Akulah Al-haq) — sebuah pernyataan yang menyebabkan Al Hallaj dihukum mati.

Karena alasan inilah maka DH Kraemar menjulukinya Al-Hallaj dari Jawa. Berikutnya — terutama oleh para penulis Belanda seperti Rinkes dan Zoetmolder — Siti Jenar disebut-sebut sebagai penganut Syi’ah, beraliran Jabariah dan Qadariah (Rinkes, ”De Heiligen van Java”) serta pengikut tarekat Rifaiyah (Zoetmolder, ”Pantheisme en Monisme”) Bahkan Kraemer dalam ”Een Javaansche Primbon” menempelnya sebagai musuh dalam selimut bagi Islam. ”Sering kali dari balik pikiran-pikirannya yang pantheistik, yang berkedok istilah-istilah Islam, terasa sekali polemik yang tajam menyerang Islam secara diam-diam,” tulis Kraemer.

Syahdan, dalam satu diskusi periodik yang dilakukan Majelis Walisanga, Syekh Siti Jenar melontarkan buah renungannya yang kemudian dikenal sebagai konsep Syahadat Mutaawwila atau lebih dikenal Sasahidan. Konsep ini berakar padfaham wihdatul wujud, sebuah faham tasauf yang menjadi trade mark para wali waktu itu. Sasahidan adalah tafsir Siti Jenar terhadap Alquran surah Thaha ayat 14 yang berbunyi: innany anallaha la ilaha illa ana fa’buduny. Wa aqimish-sholaata li dzikri (Sesungguhnya AKu ini adalah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku).

Syahadat mutawwila yang bunyi lengkapnya Asyhadu anla ilala illa huwa (Tidak ada Tuhan selain Dia), menurut Siti Jenar merupakan pengejawantahan atas surah Thaya ayat 14 tadi. ”Aku” dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai kehidupan kita sendiri. Sehingga, bernafas pun dianggap sebagai ibadah kepada Sang Pencipta. Dalam kerangka filosofis ini Siti Jenar memandang kehidupan di dunia adalah sesuatu yang semu atau palsu. Sedangkan kehidupan sebenarnya adalah alam akhirat, karena di situ manusia hidup kekal. ”Mila dunya punika dudu aran idup, pratandane sira pejah, aneng donyo ingaran pati,” kata Siti Jenar.

Diskusi periodik Walisanga ini terekam dalam kitab ”Pananggalaning ngilmu” sebuah kitab majmu yang berisi kumpulan wejangan para wali peserta diskusi. Sunan Giri misalnya mengulas tentang Ananing Dzat (Keadaan Dzat), Sunan Gunung Jati tentang Kasentosaing Iman (Kesentosaan Iman), Sunan Kalijaga mengulas soal Tata Malige ing Baitul Mal. Sedangkan Syekh Siti Jenar sebagai pembahas soal Sasahidaning Dumados (Kesaksian dari Kejadian atau Mahluk).

Masih dalam paradigma filosofisnya, Siti Jenar berprinsip tidak terlalu menekankan simbol formalisme dalam mencari kebenaran. Sikap tunduk dan patuh pada Yang Benar itulah yang menurutnya hakikat ajaran agama yang oleh Alquran disebut sikap Al-Hanief.

Siti Jenar yang nama aslinya Sayyid Ali Anshar ini juga membenarkan adanya kesinambungan dan persatuan agama-agama samawi atau yang disebut wihdatul adyan. Sikap intelektual inilah yang mendorong Siti Jenar mengeluarkan statement yang dianggap kontroversial: ”Jangan banyak semu. Aku inilah Allah, Aku bernama Prabu Satmata dan tiadalah yang lain dengan nama ketuhanan” (”Walisanga”, Solochin Salam). Babak berikutnya, tokoh ini hanya dikenang sebagai Wali yang diqishosh (hukum mati) oleh sesama wali lainnya.

Melihat konteks situasional di atas, merasa perlu menggarisbawahi sebuah vonis dan tuduhan yang telah ditulis para pelopor sejarah Syekh Siti Jenar. Memang, sementara ini ada kesan, sejarah Walisanga adalah ”Ruang Keramat” yang setiap orang merasa tabu memasukinya, apalagi bertingkah nyleneh. Sehingga, dapat dipahami jika sepanjang masa selalu muncul kontroversi pemikiran keagamaan, bahkan menjadi fenomena yang menyejarah.

(II)
Syekh Siti Jenar tergolong wali senior dalam Majelis Walisanga. Andilnya terhadap pengembangan Islam di Pulau Jawa sangat besar. Sayangnya, informasi tentang asal usul dan sepak terjangnya sangat simpang siur. Berita menyebut Siti Jenar sebagai penganut Syi’ah yang datang dari tanah Persia dan berdakwah dengan wali lainnya.

Dia menggantikan Syekh Sutamaharja (kakak Maulana Ishak) yang gugur dibunuh oleh pasukan Andayaningrat dari Pengging dalam sebuah insiden antara pasukan Islam dengan laskar Majapahit, sekitar tahun 1524 M. )”Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa”, H.J. De Graaf). Siti Jenar tergolong berhasil membangun masyarakat Islam di Pengging, Ngerang, Butuh, Pajang dan sekitarnya sehingga beberapa pembesar setempat seperti Ki Gede Kanigara (putra Andayaningrat) menyerahkan diri masuk Islam.

Lebih dari itu, pola dakwah Siti Jenar melalui pengembangan tradisi keagamaan dianggap paling berhasil, sehingga cara ini ditiru oleh Sunan Kalijaga pada waktu berikutnya. Dalam kaitan ini kita patut mempertanyakan laporan para penulis sejarah yang menyebut Syekh Siti Jenar sebagai musuh Islam, antek-antek kezindikan. Para pelopor nampaknya telah memanipulasi diri dengan menisbatkan Walisanga sebagai pelontar-pelontar tuduhan mereka terhadap Siti Jenar.

Wihdatul wujud sebagai sebuah faham tasauf pada masa itu sudah akrab di mata Walisanga. Apalagi banyak di antara mereka yang mendalami dan mengambil jalan tarekat itu. Sebut saja misalnya Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Menurut Kitab ”Walisanga” yang disebut-sebut sebagai karya Sunan Giri II. Sunan Gunung Jati telah mendalami karya-karya ulama wujudiyah dan menjadikannya sebagai ”kurikulum” pengajaran kepada para santrinya, semiasl Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati sangat menguasai ilmu-ilmu yang termaktub dalam kitab karya Syekh Ibrahim Al-Iraqi (kumpulan syair Al-Iraqi), Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syabasty (ahli tarikh Daulat Fatimiyah yang meninggalkan karya spektauler ”ad-Dirayah”, berisi kisah jenaka tentang biara-biara di Irak, Suriah, Mesir dan Aljazair), Syekh Muyidin Ibnu Araby (Ibn Araby), Syekh Abu Yazid Al-Bustomi, Syekh Abu Abdullah Ibn Muhammad Ar-Rudayi (yang digelari ”Babak Penyair Persia”), Syekh Samaun Assarini dan kitab-kitab karya ulama wihdatul wujud lainnya. Sunan Gunung Jati juga dikenal sebagai penganut Syi’ah yang sangat sholih. Bahkan, hingga pemerintahan Penembahan Giri Laya (1650-1662) Syi’ah menjadi mazhab resmi kerajaan Cirebon.

Sunan Kalijaga juga seorang penganut wihdatul yang cukup fanatik. Dia bersama-sama Syekh Siti Jenar pernah berguru faham ini kepada Sunan Bonang bin Sunan Ampel. Tema-tema dakwah yang dikumandangkan Sunan Kalijaga sangat mengakar bercorak wujudiyah. Hal itu antara lain dapat dilihat dari karya yang cukup masyhur di masyarakat Jawa, ”Dewa Ruci”. Arya Sena (Bhima) yang menjadi tokoh cerita itu berusaha mencari Jejering Pangeran (letak kedudukan Tuhan) mencapai klimaks usahanya setelah fana, melebur masuk dalam telinga Dewa Ruci. Karya ini merupakan pengembangan dari paham Jalaluddin Rumy, dan khususnya ”Manthiquth Thair” karya Fariduddin Athar. Dua nama yang disebutkan terakhir adalah tokoh utama wihdatul wujud.

Penjelasan di atas mengasumsikan bahwa wihdatul wujud yang dianut Syekh Siti Jenar dianut pula oleh sebagian anggota Walisanga. Maka, wajarkah jika Majelis Walisanga menganggap sesat kepercayaan itu padahal dianutnya juga? Tuduhan itu makin tidak jelas dengan adanya label Jubariyah dan Qodariyah sekaligus.

Satu sisi Syekh Siti Jenar disesatkan karena berprinsip bahwa gerak langkah manusia secara mutlak ditentukan oleh Tuhan (Jabariyah), dan pada sisi lain dia dizindikkan karena menganut paham Qodariyah yang menganggap takdir manusia sepenuhnya ditentukan oleh tindakan dan sikapnya sendiri dan menafikan campur tangan Tuhannya. Bagaimana mungkin dua paham antagonis ini dinisbatkan kepada satu orang secara bersamaan? Para pengulas Syekh Siti Jenar nampaknya tidak memiliki wawasan teologis, sehingga salah melontarkan tuduhan yang sebenarnya jauh panggang dari api.

Siti Jenar juga disebut-sebut sebagai penganut tarekat Rifaiyah — sebuah aliran tarekat yang didirikan oleh Ahmad Rifai (meninggal 1181 M). Padahal, di Aceh penganut wujudiyah dimusuhi oleh penganut Rifaiyah. Syekh Nuruddin Arraniri yang secara intens mengecam dan memfatwakan halalnya darah kaum wujudiyah adalah syaikh dalam tarikat Rifa’iyah yang ia pelajari dari gurunya Syaikh Ba Syaiban di India. Kemungkinan besar tuduhan itu baru disusun setealh munculnya kelompok Ahmad Rifa’i — sebuah kelompok radikal bermazhab Syafii di Jawa — yang memberontak penguasa Belanda pada Abad ke-18. Untuk kepentingan politik pemerintahnya, para penulis Belanda telah mencitrakan setiap pembangkang dengan asosiasi sebagai penganut aliran Siti Jenar, yang saat itu telah melegenda sebagai sosok pembangkang.
Kesimpulannya, persoalan Syekh Siti Jenar tampaknya bukan persoalan kemurtadan, kezindikan, atau malah kekafiaan. Masalahnya sebenarnya sudah menjadi klasik. Perbedaan pendapat dalam memasyarakatkan pandangan-pandangan ”esoteris”. Banyak ulama dalam sejarah Islam, termasuk Imam Ghazali, cenderung mempertahankan pembagian masyarakat keilmuan ke dalam kelompok elite (khawash) dan awam. Hal ini ternyata dari vonis yang dibacakan oleh Sunan Giri: ”Siti Jenar kafir di sisi manusia, dan mukmin di sisi Allah.”

penulis: Walid Syaikhun
Redaktur: M Irwan Ariefyanto
Sumber: berbagai sumber
Dijumput dari: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/09/m0m8uf-menimbang-kembali-kasus-syekh-siti-jenar-i
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/09/m0m966-menimbang-kembali-kasus-syekh-siti-jenar-ii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez